Share

7. Tak diberi Seragam

"Ini Pa, sekarang Nurma sudah mulai bertingkah. Dia pasang tarif dan seenaknya mau pulang." Mbak Ira langsung membela diri, ditambah lagi menyudutkanku.

"Tapi 'kan, Mbak. Perjanjiannya tadi sampai jam 12.00. Sekarang sudah melebihi, pekerjaanku masih banyak karena ditambah dan ditambah lagi. Jadi wajar kalau aku minta uang tambahan. Asal Abang tahu, aku pasang tarif karena aku juga butuh biaya hidup. Usaha Mas Fikri 'kan Abang hentikan. Sementara uang warisan itu pun Abang tahan. Jadi wajar kalau aku mata duitan, lagipula selama ini, bayaran yang aku terima tidak layak." Aku pun tak mau kalah untuk membela diri.

Bang Usman tidak bisa menjawab ketika aku mengatakan itu, sepertinya dia merasa kalau sudah mempersendat jalan rezekiku.

"Sudah, Ma, kasih aja. Itung-itung sedekah sama orang miskin!"

Deg! Ucapan Bang Usman berhasil membuat tekanan darahku naik. Terasa perih menusuk hatiku. Dia mengatakan adiknya sendiri orang miskin. Apa dia tidak merasa yang membuat aku miskin itu adalah kakaknya sendiri, yaitu dirinya.

"Yang bikin aku miskin itu siapa, Bang? Kalau saja rumah dan bengkel itu tidak dijual, tentu saat ini aku punya tempat tinggal dan masih punya tempat usaha."

Bang Usman kembali diam lalu sedetik kemudian dia menoleh dan menatapku dengan tajam.

"Kenapa sih, Nur, kamu ngomong gitu terus? Masalah itu 'kan sudah Abang bilang, Abang butuh uang!"

"Tapi Nurma juga butuh tempat tinggal dan mata pencaharian, Bang!" Tak sadar aku menjawab dengan nada tinggi saking kesalnya.

"Lihatlah, Bang, adikmu ini! Semenjak pulang dari kampung kemarin, dia jadi ngelunjak. Berani melawan dan berkata kasar, padahal sebelumnya hanya manggut-manggut saja," cibir, Mbak Ira sambil melirikku sinis.

"Sudah, sudah! Aku pulang untuk makan siang, tapi sekarang jadi tidak berselera!" Setelah itu Bang Usman pun meraih kunci mobil yang berada di meja makan. Kakak tertuaku itu pun bergegas pergi.

"Ini gara-gara kamu, Nur! Gara-gara mulutmu yang tidak bisa dijaga!" Mbak Ira menunjuk mukaku, setelah itu ia pun mengikuti langkah suaminya keluar rumah. Lalu terdengar percakapan meski tidak jelas tertangkap oleh telingaku.

Sepertinya Mbak Ira tidak sadar, yang seharusnya dijaga itu mulut dia. Dari dulu selalu seenaknya berkata-kata padaku, menghina dan merendahkan aku dan keluargaku. Kalau saja uang hasil penjualan rumah dan bengkel itu sudah ada di tanganku aku bisa melakukan yang lebih dari ini pada mereka. Tapi saat ini, aku tidak mau  bertindak lebih, takut uang itu malah ditahan oleh Bang Usman selamanya.

Segera aku pun menuju ke belakang untuk menunaikan salat duhur di ruangan khusus yang berada di dekat dapur. Ruangan tempat menunaikan kewajiban seorang muslim ini sepertinya hanya digunakan olehku ketika bekerja di sini dan para tamu yang datang berkunjung. Sekali pun aku tak pernah melihat yang punya rumah menggunakan ruangan ini untuk beribadah. Padahal mukena Mbak Ira bagus-bagus. Harganya pun tiga kali lipat dari milikku di rumah. Sayang sekali, mukena se-mahal itu hanya dijadikan pajangan dan sesekali dipake berswa poto oleh Mbak Ira lalu diunggah di media sosial dengan caption islami. Miris.

Selepas menunaikan salat duhur, kudapati Nisa tertidur. Tak membuang waktu lagi aku segera meneruskan pekerjaan. Kali ini membersihkan halaman belakang. Tak lupa kukirimkan pesan pada Mas Fikri bahwa aku pulang agak sore. 

Karena bekerja di luar ruangan, maka aku cepat merasa haus. Kusempatkan untuk mengambil minum di dapur. Sayup-sayup kudengar suara Mbak Ira sedang berbicara. Saat kulihat ke depan, ternyata mobil Bang Usman sudah tidak ada. Lalu Mbak Ira berbicara dengan siapa, sebab tiga anaknya jam segini tidak ada di rumah. Rani sang calon pengantin masih di tempat kerjanya, sementara dua adik laki-lakinya sedang bersekolah.

Penasaran aku berjalan perlahan menuju arah pintu yang menghubungi dapur dan ruang tengah, kebetulan pintunya sedikit terbuka.

"Mbak tunggu besok pagi, ya. Pokoknya bilang sama yang punya butik, baju seragam resepsi itu harus bisa diambil besok. Soalnya punya anak-anak takut ada yang tidak pas."

Oh, rupanya Mbak Ira sedang membicarakannya baju seragam untuk pestanya nanti. Tapi entah dengan siapa.

"Mbak percaya sama kamu, Dek, maaf merepotkan. Punya keluargamu tolong pisahkan saja, ya."

Sekarang aku tahu, Mbak Ira sedang berbicara dengan Mbak Diah, istrinya Bang Halim.

"Cuma untuk dua kelurga, keluarga si Nurma tidak Mbak kasih. Sayang juga, baju mahal dipake keluarga si Nurma yang kerjanya di dapur," sahut Mbak Ira diiringi suara cekikikan.

Tiba-tiba mataku memanas mendengar ucapan Mbak Ira barusan. Kejadian ini terulang lagi, dulu waktu Mbak Ira mengadakan pesta khitanan anak bungsunya, aku dan Mas Fikri tidak mendapat jatah seragam. Sekarang pun sama. Tak apa lah, kalau dulu aku sempat baper, maka saat ini aku tidak boleh sampai menangis. Kedua Abang dan iparku harus tahu, kalau aku juga bisa melawan. Kuusap air mata yang menggenang supaya tidak sampai jatuh. Lalu aku bergegas ke belakang lagi untuk melanjutkan pekerjaan.

***

Sebelum ashar, semua pekerjaan sudah kuselesaikan. Bayaran pun aku terima sesuai dengan janji Mbak Ira. Tanpa banyak bicara lagi aku pun bergegas pulang, teringat Naya yang sekarang entah dengan siapa di rumah.

Ternyata Mas Fikri sudah pulang dan saat ini menemani anak sulungku. Tak tahan dengan perlakuan Mbak Ira, aku pun langsung menceritakan semua yang kualami hari ini di rumah kakakku itu.

"Yang sabar, Dek. Kamu jangan dulu terlalu jauh bertindak sebelum uang itu berada di tangan kita. Kalau Bang Usman kelewat marah, bukan tidak mungkin dia akan menahan uang itu lebih lama lagi." Seperti biasa Mas Fikri selalu memintaku untuk bersabar. Tapi apa yang dikatakannya memang benar juga, Sebelum uang itu sampai ke tanganku, aku tidak boleh membuat Bang Usman marah, bisa-bisa aku gigit jari.

"Maaf Mas, tadi itu aku tidak bisa menahan diri dan terbawa emosi saking kesalnya."

"Oh ya, soal seragam itu jangan terlalu dipikirkan. Nanti kita beli yang couple-an dengan anak-anak juga."

Aku tersenyum sumringah mendengar ucapan Mas Fikri barusan.

"Beli yang bagus supaya tidak tampil malu-maluin di pesta Mbak Ira dan Bang Usman," imbuhnya sambil mengusap lenganku.

"Oh, ya, Mas. Bagaimana dengan tempat itu?"

"Ada sih, tapi di komplek pasar. Ruko yang di depan itu banyak yang kosong. Bagaimana kalau kita sewa salah satunya. Dek Nurma engga apa-apa 'kan tinggal di ruko untuk sementara?"

"Tidak apa-apa, Mas. Nanti aku juga bisa sambil jualan. Kalau di pasar pasti rame."

"Tempatnya lebih luas dari kontrakan ini. Uang sisanya kita tabung dulu. Nanti kita cari lagi rumah yang lebih layak."

Aku tak bisa berkata-kata lagi, hanya mengangguk sebagai jawaban untuk Mas Fikri. Mudah-mudahan ini awal dari kesuksesan kami, agar tidak lagi dipandang sebelah mata oleh saudara-saudaraku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status