"Ini Pa, sekarang Nurma sudah mulai bertingkah. Dia pasang tarif dan seenaknya mau pulang." Mbak Ira langsung membela diri, ditambah lagi menyudutkanku.
"Tapi 'kan, Mbak. Perjanjiannya tadi sampai jam 12.00. Sekarang sudah melebihi, pekerjaanku masih banyak karena ditambah dan ditambah lagi. Jadi wajar kalau aku minta uang tambahan. Asal Abang tahu, aku pasang tarif karena aku juga butuh biaya hidup. Usaha Mas Fikri 'kan Abang hentikan. Sementara uang warisan itu pun Abang tahan. Jadi wajar kalau aku mata duitan, lagipula selama ini, bayaran yang aku terima tidak layak." Aku pun tak mau kalah untuk membela diri.Bang Usman tidak bisa menjawab ketika aku mengatakan itu, sepertinya dia merasa kalau sudah mempersendat jalan rezekiku."Sudah, Ma, kasih aja. Itung-itung sedekah sama orang miskin!"Deg! Ucapan Bang Usman berhasil membuat tekanan darahku naik. Terasa perih menusuk hatiku. Dia mengatakan adiknya sendiri orang miskin. Apa dia tidak merasa yang membuat aku miskin itu adalah kakaknya sendiri, yaitu dirinya."Yang bikin aku miskin itu siapa, Bang? Kalau saja rumah dan bengkel itu tidak dijual, tentu saat ini aku punya tempat tinggal dan masih punya tempat usaha."Bang Usman kembali diam lalu sedetik kemudian dia menoleh dan menatapku dengan tajam."Kenapa sih, Nur, kamu ngomong gitu terus? Masalah itu 'kan sudah Abang bilang, Abang butuh uang!""Tapi Nurma juga butuh tempat tinggal dan mata pencaharian, Bang!" Tak sadar aku menjawab dengan nada tinggi saking kesalnya."Lihatlah, Bang, adikmu ini! Semenjak pulang dari kampung kemarin, dia jadi ngelunjak. Berani melawan dan berkata kasar, padahal sebelumnya hanya manggut-manggut saja," cibir, Mbak Ira sambil melirikku sinis."Sudah, sudah! Aku pulang untuk makan siang, tapi sekarang jadi tidak berselera!" Setelah itu Bang Usman pun meraih kunci mobil yang berada di meja makan. Kakak tertuaku itu pun bergegas pergi."Ini gara-gara kamu, Nur! Gara-gara mulutmu yang tidak bisa dijaga!" Mbak Ira menunjuk mukaku, setelah itu ia pun mengikuti langkah suaminya keluar rumah. Lalu terdengar percakapan meski tidak jelas tertangkap oleh telingaku.Sepertinya Mbak Ira tidak sadar, yang seharusnya dijaga itu mulut dia. Dari dulu selalu seenaknya berkata-kata padaku, menghina dan merendahkan aku dan keluargaku. Kalau saja uang hasil penjualan rumah dan bengkel itu sudah ada di tanganku aku bisa melakukan yang lebih dari ini pada mereka. Tapi saat ini, aku tidak mau bertindak lebih, takut uang itu malah ditahan oleh Bang Usman selamanya.Segera aku pun menuju ke belakang untuk menunaikan salat duhur di ruangan khusus yang berada di dekat dapur. Ruangan tempat menunaikan kewajiban seorang muslim ini sepertinya hanya digunakan olehku ketika bekerja di sini dan para tamu yang datang berkunjung. Sekali pun aku tak pernah melihat yang punya rumah menggunakan ruangan ini untuk beribadah. Padahal mukena Mbak Ira bagus-bagus. Harganya pun tiga kali lipat dari milikku di rumah. Sayang sekali, mukena se-mahal itu hanya dijadikan pajangan dan sesekali dipake berswa poto oleh Mbak Ira lalu diunggah di media sosial dengan caption islami. Miris.Selepas menunaikan salat duhur, kudapati Nisa tertidur. Tak membuang waktu lagi aku segera meneruskan pekerjaan. Kali ini membersihkan halaman belakang. Tak lupa kukirimkan pesan pada Mas Fikri bahwa aku pulang agak sore. Karena bekerja di luar ruangan, maka aku cepat merasa haus. Kusempatkan untuk mengambil minum di dapur. Sayup-sayup kudengar suara Mbak Ira sedang berbicara. Saat kulihat ke depan, ternyata mobil Bang Usman sudah tidak ada. Lalu Mbak Ira berbicara dengan siapa, sebab tiga anaknya jam segini tidak ada di rumah. Rani sang calon pengantin masih di tempat kerjanya, sementara dua adik laki-lakinya sedang bersekolah.Penasaran aku berjalan perlahan menuju arah pintu yang menghubungi dapur dan ruang tengah, kebetulan pintunya sedikit terbuka."Mbak tunggu besok pagi, ya. Pokoknya bilang sama yang punya butik, baju seragam resepsi itu harus bisa diambil besok. Soalnya punya anak-anak takut ada yang tidak pas."Oh, rupanya Mbak Ira sedang membicarakannya baju seragam untuk pestanya nanti. Tapi entah dengan siapa."Mbak percaya sama kamu, Dek, maaf merepotkan. Punya keluargamu tolong pisahkan saja, ya."Sekarang aku tahu, Mbak Ira sedang berbicara dengan Mbak Diah, istrinya Bang Halim."Cuma untuk dua kelurga, keluarga si Nurma tidak Mbak kasih. Sayang juga, baju mahal dipake keluarga si Nurma yang kerjanya di dapur," sahut Mbak Ira diiringi suara cekikikan.Tiba-tiba mataku memanas mendengar ucapan Mbak Ira barusan. Kejadian ini terulang lagi, dulu waktu Mbak Ira mengadakan pesta khitanan anak bungsunya, aku dan Mas Fikri tidak mendapat jatah seragam. Sekarang pun sama. Tak apa lah, kalau dulu aku sempat baper, maka saat ini aku tidak boleh sampai menangis. Kedua Abang dan iparku harus tahu, kalau aku juga bisa melawan. Kuusap air mata yang menggenang supaya tidak sampai jatuh. Lalu aku bergegas ke belakang lagi untuk melanjutkan pekerjaan.***Sebelum ashar, semua pekerjaan sudah kuselesaikan. Bayaran pun aku terima sesuai dengan janji Mbak Ira. Tanpa banyak bicara lagi aku pun bergegas pulang, teringat Naya yang sekarang entah dengan siapa di rumah.Ternyata Mas Fikri sudah pulang dan saat ini menemani anak sulungku. Tak tahan dengan perlakuan Mbak Ira, aku pun langsung menceritakan semua yang kualami hari ini di rumah kakakku itu."Yang sabar, Dek. Kamu jangan dulu terlalu jauh bertindak sebelum uang itu berada di tangan kita. Kalau Bang Usman kelewat marah, bukan tidak mungkin dia akan menahan uang itu lebih lama lagi." Seperti biasa Mas Fikri selalu memintaku untuk bersabar. Tapi apa yang dikatakannya memang benar juga, Sebelum uang itu sampai ke tanganku, aku tidak boleh membuat Bang Usman marah, bisa-bisa aku gigit jari."Maaf Mas, tadi itu aku tidak bisa menahan diri dan terbawa emosi saking kesalnya.""Oh ya, soal seragam itu jangan terlalu dipikirkan. Nanti kita beli yang couple-an dengan anak-anak juga."Aku tersenyum sumringah mendengar ucapan Mas Fikri barusan."Beli yang bagus supaya tidak tampil malu-maluin di pesta Mbak Ira dan Bang Usman," imbuhnya sambil mengusap lenganku."Oh, ya, Mas. Bagaimana dengan tempat itu?""Ada sih, tapi di komplek pasar. Ruko yang di depan itu banyak yang kosong. Bagaimana kalau kita sewa salah satunya. Dek Nurma engga apa-apa 'kan tinggal di ruko untuk sementara?""Tidak apa-apa, Mas. Nanti aku juga bisa sambil jualan. Kalau di pasar pasti rame.""Tempatnya lebih luas dari kontrakan ini. Uang sisanya kita tabung dulu. Nanti kita cari lagi rumah yang lebih layak."Aku tak bisa berkata-kata lagi, hanya mengangguk sebagai jawaban untuk Mas Fikri. Mudah-mudahan ini awal dari kesuksesan kami, agar tidak lagi dipandang sebelah mata oleh saudara-saudaraku.Hari pernikahan Rani pun tiba. Sebuah pesta yang mewah digelar di rumahnya Bang Usman. Dari tiga hari yang lalu aku sudah sibuk membantu persiapan acara. Tak satupun kerabatnya Mbak Ira yang membantu. Tapi hari ini aku tidak mau tahu lagi urusan belakang.Aku datang pagi-pagi sekali, bersama Mas Fikri dan dua putriku yang cantik-cantik dengan dress berwarna lilac yang sama denganku. Lima hari yang lalu Mas Fikri mengajak kami berbelanja baju couple untuk dipakai hari ini. "Pilih yang terbaik, Dek. Kalian harus tampil maksimal besok.""Tapi yang bagus itu mahal, Mas.""Ya, enggak apa-apa. Beli aja!" Akhirnya aku menurut, kupilih baju yang paling mahal yang kebetulan tersedia juga ukuran untuk dua putriku. Untuk Mas Fikri juga kupilihkan atasan batik dengan warna senada. Tak lupa juga sepatu dengan hak tinggi untuk menunjang penampilanku supaya lebih sempurna."Habis ini kita mampir ke toko perhiasan, Dek.""Untuk apa, Mas?""Ya, untuk beli perhiasan, Dek. Masa beli pecel lele," jawab
"Mas, kalau aku pikir-pikir, mungkin lebih baik kita beli mobil sekarang.""Kenapa kemarin Dek Nurma mengangguk ketika Mas bilang beli mobilnya nanti saja. Kok, sekarang berubah pikiran?" Mas Fikri menautkan alis ketika malam ini, sebelum kami tidur, aku mengutarakan keinginanku untuk cepat-cepat membeli mobil."Anak-anak sudah semakin besar, tadi saja waktu ke pestanya Bang Usman motor hampir nggak muat. Belum lagi kalau salah satu dari mereka tidur, makin berabe saja." Aku beralasan, padahal yang sebenarnya aku sudah tidak tahan dengan hinaan kakak-kakakku dan istri-istrinya."Jadi, yakin nih, sekarang pengen beli mobil?" Mas Fikri kembali bertanya sambil tertawa geli meledekku."Yakin, Mas.""Nanti kita malah dikira ngepet. Pakai baju bagus dan perhiasan saja, disangka minjem, melihat uang di dompet banyak, disangka pinjol," lanjut Mas Fikri karena sebelumnya aku sudah menceritakan reaksi Mbak Diah dan Mbak Ira ketika melihat penampilanku tadi siang."Ya, nggak apa-apa, Mas. Dikira
Meski baru lima hari aku membuka toko sembako di pasar, tapi alhamdulillah sudah punya pelanggan. Sengaja aku memasang harga sedikit lebih murah untuk menarik pembeli, yang penting ada sedikit sisa dari modal. Aku pernah mendengar bahwa rezeki itu tertakar dan tidak mungkin tertukar. Jadi meskipun banyak toko serupa di pasar, jika sudah rezeki maka pelangganku akan datang sendiri. Aku pun punya banyak waktu untuk keluarga, sebab jualan hanya rame sampai jam 15.00 saja.Sebenarnya Mas Fikri sempat ragu untuk mengizinkan aku berjualan. Dia bilang urusan mencari nafkah itu tanggung jawabnya. Tapi setelah aku membujuknya, akhirnya dia mengizinkan juga dengan syarat aku tidak boleh terlalu cape dan tentu saja aku tidak boleh lalai pada tanggung jawabku sebagai seorang istri dan juga ibu. Selain itu, aku punya alasan sendiri sebelum memutuskan untuk mencari kesibukan dengan cara berjualan. Disamping ingin merubah perekonomian keluargaku, aku juga ingin menghindari pekerjaan di rumah Mbak Ir
"Ap-apa?! Abang bilang aku anak haram?" Suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Bagaimana tidak, kalimat yang tidak pernah aku duga itu terucap dari mulut Bang Usman dalam keadaan sangat marah.Mendapat pertanyaan seperti itu, Bang Usman seperti menyadari sesuatu. Kakak tertuaku itu, sejenak hanya tertegun kemudian saling tatap dengan Bang Halim. Mbak Ira pun sontak menutup mulutnya sementara matanya membelalak. Aku beralih pada Mbak Diah yang tadi menunduk dan terisak, bahkan sempat histeris, kini wanita itu pun terdiam seperti menahan nafas."Ada apa sebenarnya, Bang? Apa ada yang kalian sembunyikan dariku?!" Nafasku memburu, aku berusaha menguasai diri.Bang Usman masih diam. Tak ada penjelasan apapun dari mulut kedua kakakku. Mereka hanya saling pandang lalu masing-masing berpaling sambil membuang napas kasar."Bukankah aku juga anak Bapak dan Ibu? Kalau aku anak haram, tolong jelaskan padaku!" Aku bertanya lagi dengan nada meninggi.Tapi keduanya masih bungkam, hanya mata Mbak I
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya kami sampai di rumah Bi Rahmi. Wanita yang sudah semakin tua itu menyambut kedatangan kami dengan gembira. Selain bapak dan Ibu, Bi Rahmi memang cukup dekat denganku. Hanya sayangnya beliau tinggal agak jauh karena ikut suaminya. Setelah suaminya tiada pun beliau masih menetap di sini."Bagaimana kabar kalian, kenapa lama tidak berkunjung ke sini?""Maafkan kami, Bi. Setelah kepergian Ibu, memang kami sibuk mengurus tahlilan. Dan setelah itu aku sibuk pindah rumah.""Pindah rumah? Kalian pindah ke mana? Bukankah itu rumah untukmu?"Lalu aku menceritakan pada Bibi perihal rumah yang dijual oleh Bang Usman dan sampai saat ini uang itu belum sampai ke tanganku. Bahkan kemarin aku mendapatkan berita yang sangat mengejutkan."Maksud kedatanganku ke sini untuk menanyakan pada Bibi. Apa benar yang dikatakan oleh Bang Usman itu?"Bi Rahmi terdiam, sepertinya ia juga tidak siap menceritakan sesuatu padaku."Tolong katakan saja, Bi. Aku ingi
"Makan dulu, Dek. Kamu jangan terlalu larut dalam masalah ini. Nanti kalau mobil kita sudah datang, Mas janji kita akan mencari ibu Nuning."Mendengar itu sontak aku menoleh ke arah suamiku."Beneran, Mas?""Walau bagaimana dia adalah ibu yang mengandung dan melahirkanmu. Meskipun tidak mengurusmu, dia tetap Ibumu. Kita harus menemukan beliau entah itu orangnya ataupun pusarannya."Tak terasa air mataku pecah lagi, bagaimana kalau saat ini Bu Nuning sudah meninggal? Aku belum sempat berterima kasih pada beliau karena perjuangan yang mengandung dan melahirkan aku. Aku juga ingin tahu apa alasannya hingga beliau tidak merawatku. "Menurut Mas Fikri, kira-kira kenapa Bu Nuning tidak mau merawatku? Apa mungkin beliau tidak menginginkan aku!""Kita jangan berburuk sangka dulu, Dek. Siapa tahu ada alasan yang membuat kalian harus berjauhan. Mas pikir tidak ada Ibu yang tidak mau merawat anaknya.""Atau ... jangan-jangan Ibu sudah tiada, hingga ayah membawaku pulang ke sini lalu kembali pada
Hmm, rupanya bang Halim mengira kami membeli mobil dengan cara kredit. Padahal hampir semua orang sudah tahu jika Mas Fikri tidak pernah mau mengambil kreditan."Alhamdulillah, Bang. Sudah engga betah berdesakan dalam satu motor." Sengaja aku menunjuk motor baruku yang terparkir tidak jauh. Ternyata itu berhasil membuat bang Halim menoleh. "Motor kamu baru juga?""Iya, Bang. Motor lama sudah sering mogok."Untuk beberapa saat, Bang Halim hanya mangut-manggut."Berani sekali kalian, ngambil cicilan dua kendaraan sekaligus," cibirnya kemudian yang membuat aku tersenyum kaku."Motor yang lama dijual?" Ya ampun kenapa pertanyaan Bang Usman detail sekali?"Enggak kok, Bang, masih ada. Lumayan buat saya kemana-mana kalau ada kerjaan mendadak," jawab Mas Fikri sambil tersenyum. Dulu sewaktu di tempat lama, memang kerap ada yang memanggil untuk membetulkan kendaraan. Meski semenjak kami pindah dari tempat itu belum pernah ada yang membutuhkan jasa Mas Fikri melalui panggilan."Kalian 'kan s
Ternyata dugaanku benar, ini mobilnya Bang Halim. Rupanya sebelum mampir ke ruko, tadi Bang Halim juga sempat mampir ke toko sembako milikku. Tapi Fitri bilang yang turun itu seorang wanita. Apa mungkin tadi di dalam mobil Bang Halim itu ada Mbak Diah? Hanya saja dia tidak turun. Bisa jadi karena dia malu padaku lantaran ketahuan terlibat pinjaman online."Sebentar ...." Aku mengambil ponsel untuk memastikan apakah wanita yang datang ke toko itu adalah Mbak Diah. Kucari kontak Mbak Diah lalu kutunjukkan foto profilnya pada Fitri."Orangnya yang ini, bukan, Fit?""Ah iya, Mbak Nurma kenal?""Eum ... dia kakak iparku. Tapi kami tidak begitu dekat. Jadi aku minta tolong jangan bilang-bilang padanya kalau toko ini milikku, jika suatu saat dia datang lagi ke sini.""Baik Mbak, sepertinya hubungan kalian tidak harmonis, ya."Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban untuk Fitri, males sekali membahas kakak iparku itu. Jadi benar, tadi Mbak Diah tidak turun dari mobil ketika mereka mampir k