Share

5. Makin Berani

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2023-05-31 16:41:36

Tiba waktunya pulang. Sebenarnya aku masih betah tinggal di kampung, namun kami harus segera kembali lantaran Naya tidak boleh terlalu lama bolos sekolah. Soal usulanku pada Mas Fikri untuk pulang kampung dan membantu Bapak bertani rupanya harus kami urungkan, pasalnya sawah yang akan digarap pun sudah tergusur oleh pembangunan jalan tol.

"Masalah uang ini, kamu jangan bilang-bilang dulu sama Abang-abangmu, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika kami sudah berada di atas kendaraan umum.

"Iya Mas, bahkan aku berpikir supaya tidak perlu memberitahu mereka saja. Atau Bang Usman dan Bang Halim akan berebut untuk meminjam uang ini." Aku tersenyum miris mengingat kedua kakakku itu sepertinya sangat haus dengan yang namanya rupiah.

Sebenarnya aku paham kenapa kedua Abangku sangat boros dengan uang. Itu salah mereka juga, anak-anaknya dibiasakan untuk hidup serba enak. Makan enak, pakaian bagus-bagus, semuanya serba dimanja. Itu yang membuat pengeluaran dua Abangku tidak terkontrol. Belum lagi gaya hidup kedua kakak iparku yang selangit. Meskipun Bang Usman dan Bang Halim memiliki pekerjaan yang bagus di perusahaan ternama, tapi itu tidak membuat mereka bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Tiba di rumah kontrakan, aku langsung membersihkan diri. Sementara dua anakku yang nampaknya kelelahan sudah tertidur pulas.

Setelah beberapa menit aku membereskan tempat tinggalku dan berniat untuk beristirahat, Mbak Ira kembali menghubungiku.

"Kamu sudah pulang 'kan, Nur?"

Sebelum menjawab, aku melirik Mas Fikri yang duduk tidak jauh dariku. Pria itu pun mengangguk, awalnya aku mau berbohong dengan mengatakan kalau aku masih di kampung. Lantaran sudah dapat kuduga maksud kakak iparku itu menghubungi.

"Iya Mbak, baru saja sampai. Belum ada satu jam." Sengaja aku berkata seperti itu mengharap Mbak Ira mengerti bahwa kami harus beristirahat.

"Kebetulan sekali, kalau begitu kamu langsung saja ke sini, ya, Nur!"

"Besok saja, Mbak. Sekarang aku capek! Lagian ini sudah sore, pekerjaannya tidak mungkin selesai sekarang." Aku menolak karena memang badan rasanya sekali.

"Besok itu beres-beres dan membersihkan rumah Mbak."

"Lalu sekarang untuk apa, Mbak?"

"Udah ah, kamu jangan banyak tanya. Pokoknya kamu ke sini sekarang juga!"

"Maaf Mbak, sepertinya aku tidak bisa."

"Eh, kamu sudah berani melawan, ya? Atau kamu mau, hasil penjualan rumah dan bengkel itu tidak Bang Usman berikan?!"

Rupanya kakak iparku itu memanfaatkan uang itu untuk mengancamku. Aku pun berpikir sejenak, khawatir kalau ucapan Mbak Ira akan menjadi kenyataan. Bisa saja ia membujuk suaminya agar menahan uang itu. Benar-benar licik!

"Cepetan! Mbak tunggu, ya!" Mbak Ira mengakhiri panggilannya, setelah itu aku pun melirik Mas Fikri yang menatapku penasaran.

"Ada apa, Dek?"

"Biasa Mas, Nyonya besar memanggilku ke rumahnya," jawabku malas.

"Bukankah ini sudah sore? Kalau mau beres-beres ruangan tidak akan cukup waktunya."

"Beres-beres itu besok, Mas. Sekarang ada pekerjaan lain katanya. Palingan juga aku disuruh masak. Biasanya juga seperti itu."

"Ya sudah, kamu pergi saja!"

"Sebenarnya aku capek, tapi barusan Mbak Ira mengancamku. Kalau aku tidak mau, nanti uang bagianku mau ditahan."

"Kalau masalah uang, kita 'kan sudah punya pemberian Bapak dan Emak. Lakukan saja ini sebagai perhatian pada saudara. Siapa tahu lama-lama hati mereka akan luluh melihat kebaikanmu." Selalu kalimat itu yang diucapkan oleh Mas Fikri. Suamiku itu selalu memintaku untuk bersabar dan bersabar.

"Kalau begitu, aku titip anak-anak dulu, ya, Mas. Nanti aku usahakan untuk pulang sebelum malam."

"Iya, pergi saja, Dek. Pakai saja motor biar nggak capek. Mas juga tidak akan kemana-mana."

Aku mengangguk karena biasanya aku menggunakan sepeda untuk pergi ke rumah Mbak Ira. Apalagi sekarang jaraknya lebih jauh lagi lantaran tempat tinggalku yang bergeser.

***

Benar saja, tiba di rumah Mbak Ira aku melihat ember yang penuh dengan ikan dan aku sudah tahu apa yang harus kukerjakan.

"Nanti malam ada teman-temannya Reno, mau makan-makan di sini. Kamu bersihkan dan sekalian siapkan semuanya!" Mbak Ira langsung memerintah.

"Kenapa Mbak Ira tidak pesen saja ke rumah makan. Itu bisa lebih hemat waktu."

"Jadi kamu tidak mau mengerjakan ini?!"

"Buka seperti itu, Mbak. Zaman sekarang ini, makanan apapun bisa dipesan dan yang jualan pun banyak."

"Kamu pikir itu tidak membutuhkan uang yang banyak?"

Aku terdiam lantaran mengerti jika pesan makanan itu butuh uang banyak. Sementara Mbak Ira bisa menggunakan tenagaku secara gratis. Jika dibayar pun jauh dari kata layak.

Tak membuang waktu aku pun langsung membersihkan ikan-ikan yang penuh satu ember, maksudnya supaya aku tidak pulang kemalaman.

"Habis ini sekalian dibakar, ya, Nur!"

"Sepertinya waktunya tidak cukup, Mbak. Aku harus segera pulang sebelum gelap soalnya tadi waktu ke sini aku tidak pamitan sama anak-anakku, mereka sedang tidur dan takutnya begitu bangun dia nyariin aku."

"Kan ada suamimu, lagi pula kamu juga kerja di sini nggak gratis."

Aku membuang napas kasar, tidak gratis tapi tidak layak juga. Tenagaku hanya bernilai tak lebih dari lima puluh ribu. Hanya cukup untuk membeli satu macam sayur dan tempe mendoan.

Tunggu saja, Mbak. Sebentar lagi kamu tidak akan bisa menyuruh-nyuruh aku seperti ini lagi. Setelah aku punya tempat tinggal yang layak, aku berencana untuk membuka usaha sendiri. Dengan begitu aku harap kakak-kakak iparku tidak akan bisa semena-mena lagi memeras tenagaku.

Belum juga selesai pekerjaanku, Mas Fikri menghubungiku. Tidak salah lagi, anak-anak pasti bangun dan mencariku.

"Sebentar lagi aku selesai, tolong tenangkan dulu mereka, ya."

"Iya, Dek, tapi Nisa tidak mau tenang."

"Sebentar lagi ya, Mas, ini hampir selesai, kok."

Setelah aku mengakhiri panggilan, cepat-cepat kuselesaikan pekerjaan. Sebenarnya masih banyak, namun hatiku tidak tenang pada anak-anak yang sedang mencariku. Lalu aku berinisiatif untuk menemui Mbak Ira yang duduk di ruang tengah sambil memainkan ponsel.

"Aku izin pulang sekarang, ya, Mbak."

"Memangnya sudah selesai?" tanpa menoleh ke arahku, Mbak Ira berkata dengan nada datar.

"Tinggal sedikit lagi, tapi barusan Mas Fikri menelepon, katanya Nisa rewel dan mencariku."

"Kalau kamu pulang, lalu siapa yang akan mengerjakan sisanya?"

"Mbak 'kan bisa? Atau anak-anak Mbak. Mereka 'kan sudah besar-besar, masak bakar ikan saja nggak bisa."

"Kalau aku yang mengerjakan, nanti kuku Mbak pada rusak. Mana sebentar lagi mau ada pesta. Sudah, pokoknya Mbak nggak mau tahu sebelum kamu pulang pekerjaan kamu harus sudah selesai!"

Ternyata apa yang aku pikirkan benar juga, sia-sia aku menemui Mbak Ira untuk meminta izin pulang lebih cepat. Akhirnya aku pergi lagi ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaan, masih ada beberapa ikan yang belum dibakar. Cepat-cepat kau selesaikan, tak peduli meskipun sebagian gosong. Kuakali dengan menaruh ikan-ikan gosong itu di bagian bawah, jadinya ketika Mbak Ira nanti memeriksa tidak akan kelihatan.

"Sudah, Mbak. Aku akan pulang tapi aku minta ikan untuk makan nanti di rumah." Kutatap Mbak Ira yang sedikit melebarkan matanya. Mungkin kakak iparku itu heran karena sekarang aku berani meminta ikan.

"Kenapa! Mbak tidak mau ngasih? Ya sudah, kalau begitu aku ambil sendiri, yang penting aku sudah izin." Aku pun bergerak untuk mengambil ikan dan memindahkannya ke dalam kantong plastik.

"Eh, tunggu! Biar Mbak yang ambil." Mbak Ira melangkah cepat lalu merebut sendok dan plastik yang ada di tanganku.

"Kamu bawa yang kecil-kecil aja, lagi pula anak-anakmu 'kan masih kecil-kecil." Mbak Ira memasukkan 2 buah ikan yang kecil-kecil.

"Di rumahku 'kan ada 4 orang, Mbak. Masak ikannya cuma dua?!"

"Ini untuk anakmu saja, kamu 'kan sudah gede. Makan durinya aja bisa." Mbak Ira menyerahkan plastik yang sudah berisi dua buah ikan bakar. Aku hanya bisa menghela panjang sambil menerimanya.

"Ya sudah, aku permisi. Tapi aku minta bayaranku sekarang, soalnya di rumah lagi tidak punya bumbu."

"Eh, sekarang kamu sudah berani minta bayaran?"

"Kalau Mbak Ita tidak mau membayar, aku ambil lagi ikannya, deh." Kemudian aku berlagak untuk mengambil ikan.

"Jangan! Ini ambil!" Mbak Ira mengambil uang di saku celananya lalu memberikan tiga lembar uang puluhan padaku.

"Cuma segini, Mbak? Yang tempo hari aku masakin buat teman kantornya Bang Usman malah sama sekali belum dibayar. Mbak ingat 'kan?"

"Halah, itu nanti lagi. Sekarang kamu cerewet, ya?!"

Kuayunkan langkah meninggalkan rumah Mbak Ira sambil tersenyum. Sekarang mungkin aku masih cerewet, Mbak. Kedepannya Aku bahkan akan berani membantah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    82. Balasan dari Tuhan

    Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    81. Warisan

    Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    80. Kisah Ibu

    Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    79. Terpaksa Membayar

    Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    78. Sikap Diah

    Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    77. Perhatian

    Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status