Share

5. Makin Berani

Tiba waktunya pulang. Sebenarnya aku masih betah tinggal di kampung, namun kami harus segera kembali lantaran Naya tidak boleh terlalu lama bolos sekolah. Soal usulanku pada Mas Fikri untuk pulang kampung dan membantu Bapak bertani rupanya harus kami urungkan, pasalnya sawah yang akan digarap pun sudah tergusur oleh pembangunan jalan tol.

"Masalah uang ini, kamu jangan bilang-bilang dulu sama Abang-abangmu, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika kami sudah berada di atas kendaraan umum.

"Iya Mas, bahkan aku berpikir supaya tidak perlu memberitahu mereka saja. Atau Bang Usman dan Bang Halim akan berebut untuk meminjam uang ini." Aku tersenyum miris mengingat kedua kakakku itu sepertinya sangat haus dengan yang namanya rupiah.

Sebenarnya aku paham kenapa kedua Abangku sangat boros dengan uang. Itu salah mereka juga, anak-anaknya dibiasakan untuk hidup serba enak. Makan enak, pakaian bagus-bagus, semuanya serba dimanja. Itu yang membuat pengeluaran dua Abangku tidak terkontrol. Belum lagi gaya hidup kedua kakak iparku yang selangit. Meskipun Bang Usman dan Bang Halim memiliki pekerjaan yang bagus di perusahaan ternama, tapi itu tidak membuat mereka bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Tiba di rumah kontrakan, aku langsung membersihkan diri. Sementara dua anakku yang nampaknya kelelahan sudah tertidur pulas.

Setelah beberapa menit aku membereskan tempat tinggalku dan berniat untuk beristirahat, Mbak Ira kembali menghubungiku.

"Kamu sudah pulang 'kan, Nur?"

Sebelum menjawab, aku melirik Mas Fikri yang duduk tidak jauh dariku. Pria itu pun mengangguk, awalnya aku mau berbohong dengan mengatakan kalau aku masih di kampung. Lantaran sudah dapat kuduga maksud kakak iparku itu menghubungi.

"Iya Mbak, baru saja sampai. Belum ada satu jam." Sengaja aku berkata seperti itu mengharap Mbak Ira mengerti bahwa kami harus beristirahat.

"Kebetulan sekali, kalau begitu kamu langsung saja ke sini, ya, Nur!"

"Besok saja, Mbak. Sekarang aku capek! Lagian ini sudah sore, pekerjaannya tidak mungkin selesai sekarang." Aku menolak karena memang badan rasanya sekali.

"Besok itu beres-beres dan membersihkan rumah Mbak."

"Lalu sekarang untuk apa, Mbak?"

"Udah ah, kamu jangan banyak tanya. Pokoknya kamu ke sini sekarang juga!"

"Maaf Mbak, sepertinya aku tidak bisa."

"Eh, kamu sudah berani melawan, ya? Atau kamu mau, hasil penjualan rumah dan bengkel itu tidak Bang Usman berikan?!"

Rupanya kakak iparku itu memanfaatkan uang itu untuk mengancamku. Aku pun berpikir sejenak, khawatir kalau ucapan Mbak Ira akan menjadi kenyataan. Bisa saja ia membujuk suaminya agar menahan uang itu. Benar-benar licik!

"Cepetan! Mbak tunggu, ya!" Mbak Ira mengakhiri panggilannya, setelah itu aku pun melirik Mas Fikri yang menatapku penasaran.

"Ada apa, Dek?"

"Biasa Mas, Nyonya besar memanggilku ke rumahnya," jawabku malas.

"Bukankah ini sudah sore? Kalau mau beres-beres ruangan tidak akan cukup waktunya."

"Beres-beres itu besok, Mas. Sekarang ada pekerjaan lain katanya. Palingan juga aku disuruh masak. Biasanya juga seperti itu."

"Ya sudah, kamu pergi saja!"

"Sebenarnya aku capek, tapi barusan Mbak Ira mengancamku. Kalau aku tidak mau, nanti uang bagianku mau ditahan."

"Kalau masalah uang, kita 'kan sudah punya pemberian Bapak dan Emak. Lakukan saja ini sebagai perhatian pada saudara. Siapa tahu lama-lama hati mereka akan luluh melihat kebaikanmu." Selalu kalimat itu yang diucapkan oleh Mas Fikri. Suamiku itu selalu memintaku untuk bersabar dan bersabar.

"Kalau begitu, aku titip anak-anak dulu, ya, Mas. Nanti aku usahakan untuk pulang sebelum malam."

"Iya, pergi saja, Dek. Pakai saja motor biar nggak capek. Mas juga tidak akan kemana-mana."

Aku mengangguk karena biasanya aku menggunakan sepeda untuk pergi ke rumah Mbak Ira. Apalagi sekarang jaraknya lebih jauh lagi lantaran tempat tinggalku yang bergeser.

***

Benar saja, tiba di rumah Mbak Ira aku melihat ember yang penuh dengan ikan dan aku sudah tahu apa yang harus kukerjakan.

"Nanti malam ada teman-temannya Reno, mau makan-makan di sini. Kamu bersihkan dan sekalian siapkan semuanya!" Mbak Ira langsung memerintah.

"Kenapa Mbak Ira tidak pesen saja ke rumah makan. Itu bisa lebih hemat waktu."

"Jadi kamu tidak mau mengerjakan ini?!"

"Buka seperti itu, Mbak. Zaman sekarang ini, makanan apapun bisa dipesan dan yang jualan pun banyak."

"Kamu pikir itu tidak membutuhkan uang yang banyak?"

Aku terdiam lantaran mengerti jika pesan makanan itu butuh uang banyak. Sementara Mbak Ira bisa menggunakan tenagaku secara gratis. Jika dibayar pun jauh dari kata layak.

Tak membuang waktu aku pun langsung membersihkan ikan-ikan yang penuh satu ember, maksudnya supaya aku tidak pulang kemalaman.

"Habis ini sekalian dibakar, ya, Nur!"

"Sepertinya waktunya tidak cukup, Mbak. Aku harus segera pulang sebelum gelap soalnya tadi waktu ke sini aku tidak pamitan sama anak-anakku, mereka sedang tidur dan takutnya begitu bangun dia nyariin aku."

"Kan ada suamimu, lagi pula kamu juga kerja di sini nggak gratis."

Aku membuang napas kasar, tidak gratis tapi tidak layak juga. Tenagaku hanya bernilai tak lebih dari lima puluh ribu. Hanya cukup untuk membeli satu macam sayur dan tempe mendoan.

Tunggu saja, Mbak. Sebentar lagi kamu tidak akan bisa menyuruh-nyuruh aku seperti ini lagi. Setelah aku punya tempat tinggal yang layak, aku berencana untuk membuka usaha sendiri. Dengan begitu aku harap kakak-kakak iparku tidak akan bisa semena-mena lagi memeras tenagaku.

Belum juga selesai pekerjaanku, Mas Fikri menghubungiku. Tidak salah lagi, anak-anak pasti bangun dan mencariku.

"Sebentar lagi aku selesai, tolong tenangkan dulu mereka, ya."

"Iya, Dek, tapi Nisa tidak mau tenang."

"Sebentar lagi ya, Mas, ini hampir selesai, kok."

Setelah aku mengakhiri panggilan, cepat-cepat kuselesaikan pekerjaan. Sebenarnya masih banyak, namun hatiku tidak tenang pada anak-anak yang sedang mencariku. Lalu aku berinisiatif untuk menemui Mbak Ira yang duduk di ruang tengah sambil memainkan ponsel.

"Aku izin pulang sekarang, ya, Mbak."

"Memangnya sudah selesai?" tanpa menoleh ke arahku, Mbak Ira berkata dengan nada datar.

"Tinggal sedikit lagi, tapi barusan Mas Fikri menelepon, katanya Nisa rewel dan mencariku."

"Kalau kamu pulang, lalu siapa yang akan mengerjakan sisanya?"

"Mbak 'kan bisa? Atau anak-anak Mbak. Mereka 'kan sudah besar-besar, masak bakar ikan saja nggak bisa."

"Kalau aku yang mengerjakan, nanti kuku Mbak pada rusak. Mana sebentar lagi mau ada pesta. Sudah, pokoknya Mbak nggak mau tahu sebelum kamu pulang pekerjaan kamu harus sudah selesai!"

Ternyata apa yang aku pikirkan benar juga, sia-sia aku menemui Mbak Ira untuk meminta izin pulang lebih cepat. Akhirnya aku pergi lagi ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaan, masih ada beberapa ikan yang belum dibakar. Cepat-cepat kau selesaikan, tak peduli meskipun sebagian gosong. Kuakali dengan menaruh ikan-ikan gosong itu di bagian bawah, jadinya ketika Mbak Ira nanti memeriksa tidak akan kelihatan.

"Sudah, Mbak. Aku akan pulang tapi aku minta ikan untuk makan nanti di rumah." Kutatap Mbak Ira yang sedikit melebarkan matanya. Mungkin kakak iparku itu heran karena sekarang aku berani meminta ikan.

"Kenapa! Mbak tidak mau ngasih? Ya sudah, kalau begitu aku ambil sendiri, yang penting aku sudah izin." Aku pun bergerak untuk mengambil ikan dan memindahkannya ke dalam kantong plastik.

"Eh, tunggu! Biar Mbak yang ambil." Mbak Ira melangkah cepat lalu merebut sendok dan plastik yang ada di tanganku.

"Kamu bawa yang kecil-kecil aja, lagi pula anak-anakmu 'kan masih kecil-kecil." Mbak Ira memasukkan 2 buah ikan yang kecil-kecil.

"Di rumahku 'kan ada 4 orang, Mbak. Masak ikannya cuma dua?!"

"Ini untuk anakmu saja, kamu 'kan sudah gede. Makan durinya aja bisa." Mbak Ira menyerahkan plastik yang sudah berisi dua buah ikan bakar. Aku hanya bisa menghela panjang sambil menerimanya.

"Ya sudah, aku permisi. Tapi aku minta bayaranku sekarang, soalnya di rumah lagi tidak punya bumbu."

"Eh, sekarang kamu sudah berani minta bayaran?"

"Kalau Mbak Ita tidak mau membayar, aku ambil lagi ikannya, deh." Kemudian aku berlagak untuk mengambil ikan.

"Jangan! Ini ambil!" Mbak Ira mengambil uang di saku celananya lalu memberikan tiga lembar uang puluhan padaku.

"Cuma segini, Mbak? Yang tempo hari aku masakin buat teman kantornya Bang Usman malah sama sekali belum dibayar. Mbak ingat 'kan?"

"Halah, itu nanti lagi. Sekarang kamu cerewet, ya?!"

Kuayunkan langkah meninggalkan rumah Mbak Ira sambil tersenyum. Sekarang mungkin aku masih cerewet, Mbak. Kedepannya Aku bahkan akan berani membantah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status