Share

NOTE 8 PERBURUAN MALAM PART 1

Ishya, Ibu kiran tiba – tiba terbangun dari tidurnya ketika tidak sengaja tertidur di ruang tengah rumahnya. Untuk pertama kalinya, Ishya berpisah dengan Kiran, putra kesayangannya dan perasaan gelisah langsung menyerbu Ishya. 

Ishya memijat dahinya dan merasakah sesuatu yang buruk dalam pikirannya. Ishya bangkit dari duduknya dan segera mengambil mantel hangatnya. Dengan menerobos gelapnya malam, Ishya memberanikan diri membuka pintu rumahnya dan berjalan keluar rumah. 

Entah kenapa sesuatu yang buruk terlintas di kepalaku. Putraku, Kiran. 

Aku harus menemui Kiran dan memastikan keadaannya baik – baik saja. Kuharap ini hanya pikiranku saja. Kuharap kamu baik – baik saja, Kiran putraku. 

Tidak lama kemudian. . .

Rania bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Suara ketukan pintu di malam hari sempat membuat Rania merasa sedikit tidak enak. Terlebih lagi, cucunya Amartya yang masih belum pulang membuat perasaan Rania tidak dapat dijelaskan sejak tadi. 

“Siapa?” teriak Rania memastikan identitas tamu malamnya. 

“Ini saya, Bunda Kiran.” 

Mendengar jawaban itu, Rania segera membuka pintu rumahnya. Eila yang juga merasakan perasaan yang sama dengan Rania, bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Rania. Melihat pintu yang terbuka, Eila segera mengambil ancang – ancang untuk berusaha keluar dari rumah. 

Dengan gerakan cepat, Rania segera menghentikan usaha Eila. 

“Biarkan aku pergi, Bi. Aku harus memastikan keadaan Eesha,” teriak Eila. 

“Bukankah tadi detektf itu mengatakan jika lebih baik kita berdua menunggu di sini,” kata Rania memberi peringatan “Lebih baik, jika kamu menunggu di sini, Eila.” 

Ishya menatap bingung ke arah Eila dan Rania. Satu hal yang Ishya tangkap dari ekspresi dua wanita di depannya saat ini. Dua wanita di hadapannya sedang dalam keadaan gelisah dan khawatir. Ishya merasakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. 

“Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa Ibu Eesha ingin pergi? Ke mana Eesha pergi dan apa hubungannya dengan detektif yang dimaksud oleh Bu Rania?” tanya Ishya. 

Rania bingung bagaimana menjelaskan keadaan yang sedang dialaminya saat ini, terutama hilangnya cucunya juga bersama dengan anak Ishya. 

“Sebenarnya. . . Eesha, Kiran dan cucuku, Amartya keluar dari rumah tanpa sepengetahuan kami. Ganendra dan detektif yang datang bersama dengan Eila kini sedang mencari mereka.” 

“Kenapa bisa begitu?” tanya Ishya tidak mengerti, “kenapa Kiran, Eesha dan Amartya keluar di malam hari?” 

“Sepertinya Eesha melihat kedatangan kakaknya. Kiran dan Amartya mengikuti Eesha pulang ke rumahnya yang ingin bertemu dengan kakaknya,” jelas Rania. 

“Ini salahku. . .” kata Eila yang hendak menangis. “Harusnya aku memberitahu Bibi, Jika Rhea putri pertamaku telah meninggal. Eesha yang tidak tahu jika kakaknya telah meninggal merasa melihat kakaknya di rumah.” 

Mendengar penjelasan Eila, tubuh Ishya langsung gemetar ketakutan. “Jika putri pertamamu telah meninggal, lalu siapa dilihat oleh tiga anak itu di rumahmu?” 

Rania yang berusaha keras menghentikan usaha Eila untuk pergi akhirnya menyerah. Ishya pun yang merasa khawatir dengan keadaan putranya akhirnya mengikuti Eila dan Rania pergi bersama menuju ke rumah Eesha. 

Di sisi lain. . .

Dalam keadaan gemetar dan ketakutan, Eesha bertanya, “Siapa itu orang yang masuk ke rumahku?” 

“Ssssttt. . .” Kiran memberi isyarat. “Kita pergi dulu dari sini.” 

Amartya yang masih kecil merasakan rasa takut Eesha dan membuatnya tidak berhati – hati dalam berjalan. Amartya tersandung bebatuan di samping rumah Eesha dan menimbulkan suara kecil.

Dengan gerakan cepat, Kiran segera menggendong Amartya. 

“Kita lebih baik pergi segera pergi dari sini. . .” bisik Kiran. 

Suara pintu rumah Eesha terbuka dan cahaya dari lampu senter mengarah tepat ke wajah Eesha, Kiran dan Amartya. Sosok pria asing yang tadinya berada di dalam rumah Eesha kini telah berdiri di depan tiga anak itu dan mengarahkan pistol ke arah mereka. 

“Akhirnya aku menemukanmu, gadis kecil.” Sosok pria asing itu tersenyum menyeringai ke arah Eesha ketika melihat Eesha. 

Kiran dan Eesha yang merasakan bahaya mendekat, mundur selangkah di saat yang sama. 

“Aku datang kemari untuk bertanya padamu, gadis kecil. Kakakmu, Rhea menyanyikan sebuah lagu di tempatnya bekerja. Aku ingin bertemu dengan pemilik lagu itu.” 

` Eesha gemetar ketakutan melihat seringaian menakutkan dari pria asing di hadapannya. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, Eesha bertanya kepada pria asing di hadapannya. 

“Lagu? Lagu apa yang dinyanyikan oleh kakakku?” 

Kiran dan Eesha mundur selangkah lagi, berusaha menjaga jarak aman dari sosok pria asing di hadapannya. 

“Kak, Kiran. . .” bisik Amartya yang berada di punggung Kiran. “Pria itu menakutkan. Ayo, kita pulang.” 

Amartya merengek ketakutan. 

“Jangan takut, Amartya,” bujuk Kiran. “Kita akan pergi dari sini. Aku janji akan membawamu pulang.” 

Hujan merah mengabaikan rengekan Amartya dan mulai menyanyikan lagu yang ditanyakannya kepada Eesha. 

Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu. 

Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di dalam hati. 

Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan. 

Bahkan jika kata – katamu sedingin es, 

Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati.

Mendengar nyanyian dari pria asing itu, Eesha dan Kiran tersentak dan terkejut di saat yang bersamaan. Sementara Amartya yang sejak awal sudah merasa takut menjadi semakin takut kepada sosok pria asing di hadapan mereka. 

“Kenapa Paman ingin tahu mengenai lagu itu?” tanya Kiran memberanikan diri. 

“Aku tidak bertanya padamu, aku bertanya pada gadis kecil ini.” Pria asing itu menyeringai menatap ke arah Kiran dan kemudian mengalihkan pandangannya kepada Eesha. “Jadi katakan padaku, gadis kecil. Dari mana kamu tahu lagu itu?” 

Melihat seringai mengerikan dari pria asing di hadapannya, Eesha semakin gemetar ketakutan. Dengan terbata – bata, Eesha menjawab pertanyaa pria asing di hadapannya. “A. . aku tahu lagu itu dari te. . . teman sekelasku. Teman sekelasku selalu menyanyikan lagu itu di kelas. Kenapa Paman bertanya tentang lagu itu?” 

“Aku mengenal pemilik lagu itu dan kakakmu menyanyikan lagu itu di depan banyak orang tanpa seijin pemiliknya. . .” jawab pria asing itu dengan tersenyum ke arah Eesha. “Kakakmu benar – benar gadis nakal yang tidak punya etika.” 

Eesha menoleh ke arah Kiran yang berada di sampingnya, masih dengan gemetar ketakutan. 

“Jadi. . . Paman mengenal pemilik lagu ini?” tanya Kiran penasaran. 

“Kenapa kamu ingin tahu anak kecil?” 

Pertanyaan Kiran berhasil menarik perhatian pria asing di hadapannya dan mengalihkan pandangannya dari Eesha yang ketakutan kepada dirinya. 

Suara pistol yang berat didengar oleh pria asing dan tiga anak dihadapannya. 

“Siapa kamu?” teriak Rajendra yang tiba – tiba muncul dengan pistol di tangannya bersama dengan Ganendra di belakangnya. 

Ganendra segera berlari mendekat ke arah Eesha, Kiran dan Amartya. Ganendra segera mengambil Amartya yang gemetar ketakutan di punggung Kiran. 

Sosok pria asing di hadapan Eesha kini mengalihkan pandangannya ke arah Rajendra dan mengabaikan Eesha, Kiran, Amartya dan Ganendra yang mendekat. 

“Lama tidak berjumpa Detektif Rajendra. Tak kusangka, akhirnya kamu berhasil melacak keberadaanku hingga ke tempat terpencil ini.” 

Mendengar jawaban yang diberikan sosok asing di hadapannya, Rajendra merasa terkejut dan merasa senang di saat yang bersamaan. Rajendra tidak menyangka jika buruannya yang selama ini dikejarnya kini berdiri tepat di depannya. Di saat yang bersamaan, Rajendra merasa senang karena dugaan yang ada di dalam pikirannya adalah benar. 

Rajendra menatap ke arah pria asing yang berdiri di depan tiga anak kecil yang sedang menodongkan pistol ke arah mereka. Dari balik lengan pakaiannya yang serba hitam, sekilas Rajendra melihat sebuah gelang dengan gantungan Teratai berwarna merah. 

Gambaran pelayan itu jelas mirip dengan pria ini dan bahkan gantungan di gelang yang digunakan oleh pria ini sesuai dengan penjelasan pelayan café. Haruskah aku mengatakan jika hari ini adalah hari keberuntunganku?

“Hujan Merah. . . kamu benar – benar muncul di tempat ini.” Rajendra tersenyum ke arah Hujan Merah dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah tiga anak kecil yang sejak tadi dicarinya. “Tuan Ganendra, akan lebih baik jika kamu membawa anak – anak itu pergi dari tempat ini segera.” 

Paham dengan perintah Rajendra, Ganendra segera meletakkan Amartya di punggungnya dan kedua tangannya meraih tangan Kiran dan Eesha berusaha mengajak pergi dua anak itu. 

Kiran menahan tubuhnya dan tetap berada di tempatnya berdiri membuat Ganendra dan Rajendra menatap bingung ke arahnya. “Tunggu sebentar, Paman. Paman itu. . .” Kiran menunjuk ke arah Hujan Merah tanpa rasa takut lagi. “Paman itu belum menjawab pertanyaanku.” 

“Cepat pergi dari sini, Nak. . .” teriak Rajendra ke arah Kiran. “Di sini berbahaya. Kamu tidak tahu siapa orang yang sedang berdiri di hadapanmu itu.”

Hujan Merah mengalihkan pandangannya ke arah Kiran dan menatapnya dengan penuh rasa ketertarikan. Sementara itu, Eesha yang merasa tatapan Hujan Merah semakin menakutkan mendekat ke arah Ganendra dan menggengam kuat tangan Ganendra. 

“Paman belum menjawab pertanyaanku. . .” Kiran memberanikan dirinya lagi. 

“Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu, Nak?” Hujan Merah tersenyum memandang Kiran. 

“Karena aku tahu siapa pemilik lagu itu. . .” Kiran tidak lagi merasakan ketakutan dalam dirinya melainkan rasa penasaran akan sosok di hadapannya saat ini. 

“Oh, benarkah?” tanya Hujan Merah bermain – main karena tidak percaya. “Kenapa aku harus percaya pada ucapanmu, Nak?” 

Rajendra yang merasa tidak bisa menahan kesabarannya berteriak ke arah Kiran. “Hei, anak kecil. Berhenti bertanya dan segera pergi dari sini.” 

Hujan Merah tersenyum memuji keberanian anak kecil di hadapannya. “Jika kamu benar – benar tahu siapa pemilik lagu itu, maka katakan padaku, Nak. Siapa pemilik lagu itu?” 

“Kalau aku mengatakannya, apakah Paman akan memberitahuku di mana pemilik lagu itu berada?” tanya balik Kiran. 

Hujan Merah merasa sedang bermain – main dengan anak kecil yang cukup pintar di hadapannya saat ini dan terus menguji seberapa besar kayakinan dan keberanian dari anak laki – laki di hadapannya saat ini. “Jika jawabanmu benar, aku akan mempertimbangkannya. Bagaimana?” 

Rajendra benar – benar tidak lagi bisa menahan kesabarannya melihat anak kecil di hadapannya sedang bernegosiasi dengan pembunuh berantai. 

“Hei, Nak. . . cepat pergi dari sini.” Rajendra memberi peringatan lagi kepada Kiran kemudian memberikan perintah kepada Ganendra yang berada di dekat Kiran. “Ganendra. . . cepat bawa pergi anak itu dari sini, sekarang juga.” 

“Kiran, ayo kita pergi dari sini,” bujuk Ganendra. 

“Tidak mau.” Kiran bersikeras untuk tetap berada di hadapan pria yang diduga adalah Hujan Merah, pembunuh berantai. 

“Kiran. . . ayo kita pergi.” 

Kali ini. Eesha pun ikut memohon kepada Kiran. 

“Tidak, Eesha. Aku harus tahu di mana pemilik lagu itu berada.” 

Hujan Merah tersenyum memandang Kiran. “Jadi katakan padaku, siapa pemilik lagu itu?” 

Kiran menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Hujan Merah. “Varron. Varron Arvind.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status