Ishya, Ibu kiran tiba – tiba terbangun dari tidurnya ketika tidak sengaja tertidur di ruang tengah rumahnya. Untuk pertama kalinya, Ishya berpisah dengan Kiran, putra kesayangannya dan perasaan gelisah langsung menyerbu Ishya.
Ishya memijat dahinya dan merasakah sesuatu yang buruk dalam pikirannya. Ishya bangkit dari duduknya dan segera mengambil mantel hangatnya. Dengan menerobos gelapnya malam, Ishya memberanikan diri membuka pintu rumahnya dan berjalan keluar rumah.
Entah kenapa sesuatu yang buruk terlintas di kepalaku. Putraku, Kiran.
Aku harus menemui Kiran dan memastikan keadaannya baik – baik saja. Kuharap ini hanya pikiranku saja. Kuharap kamu baik – baik saja, Kiran putraku.
Tidak lama kemudian. . .
Rania bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Suara ketukan pintu di malam hari sempat membuat Rania merasa sedikit tidak enak. Terlebih lagi, cucunya Amartya yang masih belum pulang membuat perasaan Rania tidak dapat dijelaskan sejak tadi.
“Siapa?” teriak Rania memastikan identitas tamu malamnya.
“Ini saya, Bunda Kiran.”
Mendengar jawaban itu, Rania segera membuka pintu rumahnya. Eila yang juga merasakan perasaan yang sama dengan Rania, bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Rania. Melihat pintu yang terbuka, Eila segera mengambil ancang – ancang untuk berusaha keluar dari rumah.
Dengan gerakan cepat, Rania segera menghentikan usaha Eila.
“Biarkan aku pergi, Bi. Aku harus memastikan keadaan Eesha,” teriak Eila.
“Bukankah tadi detektf itu mengatakan jika lebih baik kita berdua menunggu di sini,” kata Rania memberi peringatan “Lebih baik, jika kamu menunggu di sini, Eila.”
Ishya menatap bingung ke arah Eila dan Rania. Satu hal yang Ishya tangkap dari ekspresi dua wanita di depannya saat ini. Dua wanita di hadapannya sedang dalam keadaan gelisah dan khawatir. Ishya merasakan sesuatu yang buruk sedang terjadi.
“Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa Ibu Eesha ingin pergi? Ke mana Eesha pergi dan apa hubungannya dengan detektif yang dimaksud oleh Bu Rania?” tanya Ishya.
Rania bingung bagaimana menjelaskan keadaan yang sedang dialaminya saat ini, terutama hilangnya cucunya juga bersama dengan anak Ishya.
“Sebenarnya. . . Eesha, Kiran dan cucuku, Amartya keluar dari rumah tanpa sepengetahuan kami. Ganendra dan detektif yang datang bersama dengan Eila kini sedang mencari mereka.”
“Kenapa bisa begitu?” tanya Ishya tidak mengerti, “kenapa Kiran, Eesha dan Amartya keluar di malam hari?”
“Sepertinya Eesha melihat kedatangan kakaknya. Kiran dan Amartya mengikuti Eesha pulang ke rumahnya yang ingin bertemu dengan kakaknya,” jelas Rania.
“Ini salahku. . .” kata Eila yang hendak menangis. “Harusnya aku memberitahu Bibi, Jika Rhea putri pertamaku telah meninggal. Eesha yang tidak tahu jika kakaknya telah meninggal merasa melihat kakaknya di rumah.”
Mendengar penjelasan Eila, tubuh Ishya langsung gemetar ketakutan. “Jika putri pertamamu telah meninggal, lalu siapa dilihat oleh tiga anak itu di rumahmu?”
Rania yang berusaha keras menghentikan usaha Eila untuk pergi akhirnya menyerah. Ishya pun yang merasa khawatir dengan keadaan putranya akhirnya mengikuti Eila dan Rania pergi bersama menuju ke rumah Eesha.
Di sisi lain. . .
Dalam keadaan gemetar dan ketakutan, Eesha bertanya, “Siapa itu orang yang masuk ke rumahku?”
“Ssssttt. . .” Kiran memberi isyarat. “Kita pergi dulu dari sini.”
Amartya yang masih kecil merasakan rasa takut Eesha dan membuatnya tidak berhati – hati dalam berjalan. Amartya tersandung bebatuan di samping rumah Eesha dan menimbulkan suara kecil.
Dengan gerakan cepat, Kiran segera menggendong Amartya.
“Kita lebih baik pergi segera pergi dari sini. . .” bisik Kiran.
Suara pintu rumah Eesha terbuka dan cahaya dari lampu senter mengarah tepat ke wajah Eesha, Kiran dan Amartya. Sosok pria asing yang tadinya berada di dalam rumah Eesha kini telah berdiri di depan tiga anak itu dan mengarahkan pistol ke arah mereka.
“Akhirnya aku menemukanmu, gadis kecil.” Sosok pria asing itu tersenyum menyeringai ke arah Eesha ketika melihat Eesha.
Kiran dan Eesha yang merasakan bahaya mendekat, mundur selangkah di saat yang sama.
“Aku datang kemari untuk bertanya padamu, gadis kecil. Kakakmu, Rhea menyanyikan sebuah lagu di tempatnya bekerja. Aku ingin bertemu dengan pemilik lagu itu.”
` Eesha gemetar ketakutan melihat seringaian menakutkan dari pria asing di hadapannya. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, Eesha bertanya kepada pria asing di hadapannya.
“Lagu? Lagu apa yang dinyanyikan oleh kakakku?”
Kiran dan Eesha mundur selangkah lagi, berusaha menjaga jarak aman dari sosok pria asing di hadapannya.
“Kak, Kiran. . .” bisik Amartya yang berada di punggung Kiran. “Pria itu menakutkan. Ayo, kita pulang.”
Amartya merengek ketakutan.
“Jangan takut, Amartya,” bujuk Kiran. “Kita akan pergi dari sini. Aku janji akan membawamu pulang.”
Hujan merah mengabaikan rengekan Amartya dan mulai menyanyikan lagu yang ditanyakannya kepada Eesha.
Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu.
Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di dalam hati.
Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan.
Bahkan jika kata – katamu sedingin es,
Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati.
Mendengar nyanyian dari pria asing itu, Eesha dan Kiran tersentak dan terkejut di saat yang bersamaan. Sementara Amartya yang sejak awal sudah merasa takut menjadi semakin takut kepada sosok pria asing di hadapan mereka.
“Kenapa Paman ingin tahu mengenai lagu itu?” tanya Kiran memberanikan diri.
“Aku tidak bertanya padamu, aku bertanya pada gadis kecil ini.” Pria asing itu menyeringai menatap ke arah Kiran dan kemudian mengalihkan pandangannya kepada Eesha. “Jadi katakan padaku, gadis kecil. Dari mana kamu tahu lagu itu?”
Melihat seringai mengerikan dari pria asing di hadapannya, Eesha semakin gemetar ketakutan. Dengan terbata – bata, Eesha menjawab pertanyaa pria asing di hadapannya. “A. . aku tahu lagu itu dari te. . . teman sekelasku. Teman sekelasku selalu menyanyikan lagu itu di kelas. Kenapa Paman bertanya tentang lagu itu?”
“Aku mengenal pemilik lagu itu dan kakakmu menyanyikan lagu itu di depan banyak orang tanpa seijin pemiliknya. . .” jawab pria asing itu dengan tersenyum ke arah Eesha. “Kakakmu benar – benar gadis nakal yang tidak punya etika.”
Eesha menoleh ke arah Kiran yang berada di sampingnya, masih dengan gemetar ketakutan.
“Jadi. . . Paman mengenal pemilik lagu ini?” tanya Kiran penasaran.
“Kenapa kamu ingin tahu anak kecil?”
Pertanyaan Kiran berhasil menarik perhatian pria asing di hadapannya dan mengalihkan pandangannya dari Eesha yang ketakutan kepada dirinya.
Suara pistol yang berat didengar oleh pria asing dan tiga anak dihadapannya.
“Siapa kamu?” teriak Rajendra yang tiba – tiba muncul dengan pistol di tangannya bersama dengan Ganendra di belakangnya.
Ganendra segera berlari mendekat ke arah Eesha, Kiran dan Amartya. Ganendra segera mengambil Amartya yang gemetar ketakutan di punggung Kiran.
Sosok pria asing di hadapan Eesha kini mengalihkan pandangannya ke arah Rajendra dan mengabaikan Eesha, Kiran, Amartya dan Ganendra yang mendekat.
“Lama tidak berjumpa Detektif Rajendra. Tak kusangka, akhirnya kamu berhasil melacak keberadaanku hingga ke tempat terpencil ini.”
Mendengar jawaban yang diberikan sosok asing di hadapannya, Rajendra merasa terkejut dan merasa senang di saat yang bersamaan. Rajendra tidak menyangka jika buruannya yang selama ini dikejarnya kini berdiri tepat di depannya. Di saat yang bersamaan, Rajendra merasa senang karena dugaan yang ada di dalam pikirannya adalah benar.
Rajendra menatap ke arah pria asing yang berdiri di depan tiga anak kecil yang sedang menodongkan pistol ke arah mereka. Dari balik lengan pakaiannya yang serba hitam, sekilas Rajendra melihat sebuah gelang dengan gantungan Teratai berwarna merah.
Gambaran pelayan itu jelas mirip dengan pria ini dan bahkan gantungan di gelang yang digunakan oleh pria ini sesuai dengan penjelasan pelayan café. Haruskah aku mengatakan jika hari ini adalah hari keberuntunganku?
“Hujan Merah. . . kamu benar – benar muncul di tempat ini.” Rajendra tersenyum ke arah Hujan Merah dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah tiga anak kecil yang sejak tadi dicarinya. “Tuan Ganendra, akan lebih baik jika kamu membawa anak – anak itu pergi dari tempat ini segera.”
Paham dengan perintah Rajendra, Ganendra segera meletakkan Amartya di punggungnya dan kedua tangannya meraih tangan Kiran dan Eesha berusaha mengajak pergi dua anak itu.
Kiran menahan tubuhnya dan tetap berada di tempatnya berdiri membuat Ganendra dan Rajendra menatap bingung ke arahnya. “Tunggu sebentar, Paman. Paman itu. . .” Kiran menunjuk ke arah Hujan Merah tanpa rasa takut lagi. “Paman itu belum menjawab pertanyaanku.”
“Cepat pergi dari sini, Nak. . .” teriak Rajendra ke arah Kiran. “Di sini berbahaya. Kamu tidak tahu siapa orang yang sedang berdiri di hadapanmu itu.”
Hujan Merah mengalihkan pandangannya ke arah Kiran dan menatapnya dengan penuh rasa ketertarikan. Sementara itu, Eesha yang merasa tatapan Hujan Merah semakin menakutkan mendekat ke arah Ganendra dan menggengam kuat tangan Ganendra.
“Paman belum menjawab pertanyaanku. . .” Kiran memberanikan dirinya lagi.
“Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu, Nak?” Hujan Merah tersenyum memandang Kiran.
“Karena aku tahu siapa pemilik lagu itu. . .” Kiran tidak lagi merasakan ketakutan dalam dirinya melainkan rasa penasaran akan sosok di hadapannya saat ini.
“Oh, benarkah?” tanya Hujan Merah bermain – main karena tidak percaya. “Kenapa aku harus percaya pada ucapanmu, Nak?”
Rajendra yang merasa tidak bisa menahan kesabarannya berteriak ke arah Kiran. “Hei, anak kecil. Berhenti bertanya dan segera pergi dari sini.”
Hujan Merah tersenyum memuji keberanian anak kecil di hadapannya. “Jika kamu benar – benar tahu siapa pemilik lagu itu, maka katakan padaku, Nak. Siapa pemilik lagu itu?”
“Kalau aku mengatakannya, apakah Paman akan memberitahuku di mana pemilik lagu itu berada?” tanya balik Kiran.
Hujan Merah merasa sedang bermain – main dengan anak kecil yang cukup pintar di hadapannya saat ini dan terus menguji seberapa besar kayakinan dan keberanian dari anak laki – laki di hadapannya saat ini. “Jika jawabanmu benar, aku akan mempertimbangkannya. Bagaimana?”
Rajendra benar – benar tidak lagi bisa menahan kesabarannya melihat anak kecil di hadapannya sedang bernegosiasi dengan pembunuh berantai.
“Hei, Nak. . . cepat pergi dari sini.” Rajendra memberi peringatan lagi kepada Kiran kemudian memberikan perintah kepada Ganendra yang berada di dekat Kiran. “Ganendra. . . cepat bawa pergi anak itu dari sini, sekarang juga.”
“Kiran, ayo kita pergi dari sini,” bujuk Ganendra.
“Tidak mau.” Kiran bersikeras untuk tetap berada di hadapan pria yang diduga adalah Hujan Merah, pembunuh berantai.
“Kiran. . . ayo kita pergi.”
Kali ini. Eesha pun ikut memohon kepada Kiran.
“Tidak, Eesha. Aku harus tahu di mana pemilik lagu itu berada.”
Hujan Merah tersenyum memandang Kiran. “Jadi katakan padaku, siapa pemilik lagu itu?”
Kiran menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Hujan Merah. “Varron. Varron Arvind.”
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Kiran, Hujan Merah tersentak dan terkejut.“Dari mana kamu tahu nama itu, anak kecil?”Kiran menemukan celah.“Jika Paman ingin tahu dari mana aku mendengar nama itu? Maka turunkan dulu pistol Paman dan biarkan dua temanku menjauh dari sini.”Hujan Merah menyeringai ngeri ke arah Kiran dan memuji keberanian Kiran. “Kamu masih anak – aank tapi kamu cukup pintar dan berani. Kamu bahkan berani mengajakku untuk bernegosiasi di saat seperti ini. Kurasa kamu bukan anak biasa. Sepertinya, kamu benar – benar sudah tidak merasa takut lagi, anak kecil?”“Kuanggap itu pujian, Paman. Kuakui nama itu sangat penting bagiku. Aku harus menemukan pemilik nama itu karena suatu alasan tapi, nama itu tidak lebih penting dari keselamatan dua temanku. Jadi, Paman mau mendengarkan permintaanku?” tanya Kiran dengan senyuman kecil di bibirnya.Hujan Merah tertawa keras mendengar jawaban Kiran. “Baik
Dua puluh tahun kemudian. . .Setelah selesai berjalan – jalan melihat trailer dari film perdananya di papan billboard, Eesha kemudian memlih untuk duduk di café di pinggir jalanan kota dan menikmati gelas besar es krim strawberry dan teringat kenangan lamanya bersama dengan Kiran.“Kamu mau es krim, Kiran? Bibi di kantin dengan sengaja memberiku dua es krim karena membantunya membersihkan sampah di depan kantin.”“Bisa aku minta yang strawberry?” tanya Kiran.“Strawberry? Kenapa Strawberry? Biasanya anak laki – laki sangay suka dengan es krim rasa coklat.”“Aku lebih suka es krim dengan rasa strawberry. Apakah tidak boleh?”“Baiklah kalau begitu. Kiran yang rasa Strawberry dan aku akan makan yang rasa coklat.” Eesha tersenyum.“Kamu tidak keberatan aku meminta yang rasa strawberry?”&nbs
Tanpa Eesha sadari, hari sudah berganti malam. Usahanya untuk menemukan penyanyi café bernama Nanda tidak membuah hasil. Eesha yang sempat kembali ke café tidak menemukan sosok Nanda di café itu. Merasa lelah, Eesha memutuskan untuk pulang ke rumahnya.“Aku pulang. . .” kata Eesha begitu tiba di rumahnya.Mendengar suara Eesha yang tiba di rumah, Eila dan Ishya segera memberikan jawaban kepada putri mereka.“Kamu pulang, sayang. . .” kata Eila dan Ishya di saat yang sama.“Ya, Ibu. . .” jawab Eesha pada Eila. Kemudian dengan cepat Eesha juga menjawab Ishya, “Ya, Bunda.”Eesha yang baru masuk ke dalam rumahnya mendapati Amartya sedang duduk santai di sofa besar di ruang keluarganya dan bersikap seakan rumah Eesha adalah rumahnya sendiri. Di samping Amartya, duduk Ravindra yang merupakan asisten pribadi Amartya. Ravindra menatap Eesha dengan penuh hormat.“Dia datang lagi kemari?” Eesha melirik ke arah Amart
Selama seminggu setelah terakhir kali bertemu dengan Nanda, si penyanyi café, Eesha terus berusaha untuk menemukan pria itu. Selama seminggu, Eesha terus datang berkunjung je café di mana dirinya bertemu pertama kali dengan Nanda. Baik itu siang ataupun sore hari, Eesha akan menghabiskan beberapa jam waktunya yang berharga hanya untuk duduk sambil memakan es krim rasa strawberry menunggu kedatangan pria bernama Nanda. Namun bahkan setelah semua waktu dan usahanya selama seminggu, pria dengan nama Nanda itu tidak pernah terlihat di café atau di sekitar jalanan café, tempat Eesha terakhir kali bertemu dengan Nanda. Hari ini, Eesha berpakaian sedikit rapi. Setelah menghabiskan waktunya menunggu di café untuk bertemu dengan Nanda, Eesha bergegas menuju ke tempat pemutaran perdana film miliknya. Begitu Eesha tiba di gedung tempat pemutaran film, Eesha segera duduk di tempat duduknya sebagai penonton bukan sebagai anggota produksi atau lebih tepatnya penulis sc
Eesha membuka kedua matanya dan mendapati dua ibunya sedang menggenggam kedua tangannya. Begitu melihat putri mereka membuka kedua matanya, Ishya dan Eila bertanya di saat yang bersamaaan. “Sayang, kamu sudah bangun?” “Ibu, Bunda, aku ada di mana?” tanya Eesha masih berusaha memperjelas pandangannya. Seluruh tubuh Eesha serasa begitu lemas dan tenaganya seakan habis begitu saja. “Kami di rumah sakit, sayang. Kemarin kamu pingsan karena syok dan semalaman kamu hanya tertidur,” jelas Eila dengan wajah yang penuh dengan rasa khawatir. Ah, terakhir kali yang aku ingat adalah penjelasan dokter tentang keadaan Trika. Eesha dapat melihat jelas dua ibunya tidak tidur untuk menjaganya selama semalaman. Warna hitam di bawah kedua mata ibunya terlihat jelas sekali. “Ya, kurasa aku memang tidak sadarkan diri setelah mendengarkan penjelasan dokter kemarin,” jawab Eesha. Untuk sesaat
Eesha salah tingkah ketika Rajendra mendengar gerutuan kesalnya. “Belum lama ini, aku bertemu dengan seseorang yang menyanyikan lagu milik Kiran ketika lagu itu masih belum direlease secara penuh. Karena penasaran, aku mengikuti orang itu dan berakhir pada perkenalan kamu berdua. Pria itu bernama Nanda. Kupikir, aku bisa menemukan informasi tentang Kiran melalui dirinya.” “Di mana kamu mengenalnya, Eesha?” “Di café dekat aku terakhir kali bertemu dengan Paman. Tidak jauh dari jalanan itu ada café dengan panggung kecil di dalamnya dan Nanda menyanyikan lagu milik Kiran di sana saat itu. Selama seminggu kemarin aku berusaha menemukannya dan selalu datang ke café itu. Tapi sayang, aku tidak bertemu dengannya. Siapa yang sangka, aku akan bertemu dengan Nanda di pemutaran perdana filmku dan dialah yang memberikan pertolongan pertama pada Trika. Berkat Nanda, Trika bisa selamat.” “Apa kamu tidak melebih – lebihkan?” tanya Amartya dengan nada dingi
Eesha diam – diam keluar dari rumahnya untuk mencari keberadaan pria bernama Nanda. Eesha kembali berkunjung ke café di mana dirinya pertama kali bertemu dengan Nanda.Begitu sampai di kafe, Eesha memesan satu gelas besar strawberry sundae untuk mendingin kepalanya. Selagi menunggu pesanannnya datang, Eesha menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri berusaha menemukan sosok Nanda.Lima menit lamanya, Eesha menunggu. Lima menit lamanya pula, Eesha mencari – cari sosok Nanda.“Ini pesanan, Nona. Satu gelas besar strawberry sundae.”Eesha menoleh ke arah pelayan yang membawa pesanannya dan terkejut ketika melihat sosok yang dicarinya sejak tadi datang begitu saja ke hadapannya. “Kamu. . .”Tanpa Eesha sangka, Nanda muncul begitu saja di depannya dengan membawa satu gelas besar strawberry sundae pesanannya.Nanda tersenyum menatap wajah Eesha yang terkejut ketika melih
Dalam waktu satu menit, Rajendra telah tiba di hadapan Eesha dan Nanda yang sedang menunggu kedatangannya.“Maaf, kondisi kantor sedang penuh keributan saat ini.”“Tidak apa – apa, Paman.”Rajendra menatap ke arah Nanda dengan penuh tanda tanya, “Inikah teman yang kamu maksud, Eesha?”Eesha menganggukkan kepalanya, “Benar, Paman. Namanya Nanda. Dia teman yang aku ceritakan pada Paman.” Eesha memperkenalkan Rajendra kepada Nanda dan begitu pula sebalikanya. “Nanda, ini Paman Rajendra. Meski kami tidak berhubungan darah, tapi aku sudah menganggap Paman seperti keluargaku sendiri.”“Saya Nanda, Salam kenal, Pak Rajendra.” Nanda menudukkan kepalanya sedikit sembari memperkenalkan diri dan bersikap sopan.“Kamu bisa memanggilku Paman sama seperti yang Eesha lakukan. . .” Rajendra berusaha mencairkan suasana dan bersikap sa