Share

Bab 2

Sejuknya udara malam ini, seperti tidak ingin menyentuh tubuh Bu Shifa. Kelihatannya batin Bu Shifa saat itu sedang diselimuti oleh hawa yang sangat berbeda. Belum apa-apa, kecemburuannya dan pertanyaan-pertanyaan aneh, mulai muncul di kepala Bu Shifa.

Tetapi, keyakinan Bu Shifa sudah bulat. Apalagi tujuan utamanya hanya ingin mencari tahu, jawaban apa yang akan Pak Rafi berikan. Supaya batin Bu Shifa bisa merasa tenang. Dan, untuk melakukan rencananya, Bu Shifa perlu waktu yang tepat, agar lebih merasa nyaman saat membicarakan hal itu.

Setelah mempertimbangkannya dengan baik, akhirnya, Bu Shifa memilih waktunya, pada saat mereka sedang melakukan perbincangan sebelum tidur. Karena Bu Shifa mendapatkan sebuah kesimpulan, bahwa biasanya saat itu jiwa dan raga Pak Rafi, dalam kondisi yang paling tenang.

Dan, perbincangan semacam itu, menjadi salah satu kegiatan yang paling mahal untuk mereka. Apalagi untuk Bu Shifa, yang cuma seorang Ibu rumah tangga, yang rasa cintanya sering meluap-luap. Bu Shifa merasa perlu mengetahui, apa saja kegiatan Pak Rafi di luar sana.

Oleh karena itu, Bu Shifa segera beranjak menuju kamarnya. Saat itu Pak Rafi sedang bersantai sambil memainkan ponsel di tangannya.

Dengan perlahan, Bu Shifa segera merebahkan tubuhnya di pundak Pak Rafi. Tentu saja, hal itu membuat Pak Rafi harus menampilkan senyum terbaiknya.

Kemudian, tanpa berlama-lama, Bu Shifa segera mengungkapkan tujuannya. Saat dia melihat Pak Rafi sudah merasa siap untuk berbincang dengannya.

“Sayang, aku boleh mengatakan sesuatu?” kata Bu Shifa.

“Apa, Dek? Enggak biasanya kamu kayak begini. Silakan katakan saja,” jawab Pak Rafi sambil tersenyum.

“Mas, tahu kan kalau kita sudah menikah lebih dari 6 tahun. Salahku, Mas, belum bisa memberimu seorang anak. Ya, meskipun hasil konsultasi sama dokter mengatakan, kalau kesehatan kita itu dalam keadaan yang baik-baik saja. Tapi, aku punya ide untukmu. Mau dengar?”

“Ide? Ide apa, dek?” Kening Pak Rafi terlihat mulai berkerut. Sebagai simbol, bahwa pikirannya sedang mengurai perkataan Istrinya tadi.

Bu Shifa pun tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia terlalu sibuk merapikan suasana batinnya sendiri.

Namun, ketika Bu Shifa ingin kembali membuka suaranya, tanpa dia sadari, sepertinya Pak Rafi sudah mengetahui maksud dari ucapannya tadi.

Pak Rafi pun segera menyela kata-kata yang mulai keluar dari mulut Bu Shifa, dengan mengatakan, “Biarkan Tuhan yang menentukan. Toh, belum tentu juga saat Aku menikah dengan wanita lain langsung memiliki keturunan. Sama saja, tuhan yang punya kuasa.”

Tanpa bisa berkata-kata lagi, Bu Shifa langsung memeluk suaminya. Air matanya menetes deras saat itu juga. Dia beruntung, bisa memiliki Suami yang sangat setia kepadanya.

Mungkin karena Pak Rafi, adalah orang yang cukup taat dalam beragama, sehingga dalam keadaan apapun Pak Rafi bisa mengerti, bagaimana dia harus menunjukkan sikapnya.

Sebenarnya selama pernikahan mereka, Bu Shifa juga sudah pernah mengandung anak dari Pak Rafi. Tapi, sepertinya Tuhan jauh lebih sayang kepada mereka, dan jabang bayi, yang ada di dalam kandungan Bu Shifa.

Di usia kehamilan yang ke 2 dan 3 bulan, Bu Shifa dan Pak Rafi, harus mengikhlaskan calon anaknya. Kehamilannya harus mengalami kecelakaan, karena faktor kesehatan Bu Shifa yang tidak stabil.

“Nanti Kamu pasti hamil lagi, kok. Sabar, ya. Ikhlaskan saja musibah yang terjadi sekarang.” Kata Pak Rafi penuh keyakinan.

Memang benar keyakinan yang dimiliki oleh Pak Rafi, adalah hal yang wajar. Karena saat ini, Pak Rafi baru berusia 32 tahun, sedangkan Bu Shifa berusia 30 tahun.

Tetapi, apakah selama ini Bu Shifa tidak merasa bersalah? Istri mana yang tidak kecewa pada dirinya sendiri, karena belum bisa memberikan keturunan? Apalagi ini murni, karena kesalahannya yang tidak bisa menjaga kesehatan tubuhnya itu yang terus saja menurun.

Bersyukurnya Pak Rafi, tidak pernah menyalahkan Bu Shifa. Sangat jelas menurut Pak Rafi, kalau kecelakaan yang menimpanya itu, adalah kehendak Tuhan. Yang terpenting, Bu Shifa masih hidup. Bahkan, lebih sehat wal afiat hingga saat ini.

Hari-hari pun berlalu tanpa adanya lagi perasaan sedih. Bu Shifa pun merasa jauh lebih tenang, karena dia yakin Suaminya akan selalu ada di sampingnya.

*****

“Ah, sudah jam berapa ini?” ucap Bu Shifa pelan sambil melirik ke arah jarum jam dinding, yang menggantung di hadapannya.

Suara hewan malam yang terdengar di telinga Bu Shifa, tiba-tiba saja mengejutkan kesadarannya. Tanpa disadari, sehabis mengenang masa lalunya itu, pikiran Bu Shifa malah terjebak, dengan rasa kantuk yang menyerang kedua matanya.

Kemudian, ketika kesadarannya mulai membaik, Bu Shifa segera melangkahkan kakinya pergi menuju kamar Bayu.

“Masbay, kamu sudah makan belum? Sudah jam 8 malam, loh,” teriak Bu Shifa sambil mengetuk pintu kamar Bayu dengan sangat keras.

Sebenarnya Bayu merasa malas untuk membangunkan tubuhnya dari pembaringannya. Tapi, karena Bu Shifa yang memanggil, dia harus membuka pintu kamarnya segera.

Malam itu nafsu makannya, tiba-tiba saja pergi menghilang. Walau sebenarnya Bayu pun tahu, jika perutnya sudah berteriak lapar sekarang. Tapi, Bayu tidak peduli dengan hal itu. Karena yang dia harapkan, saat ini hanya ingin memejamkan matanya secepat mungkin.

Oleh karena itu, ketika Bayu sudah berhadapan dengan Bu Shifa, dia harus melakukan teknik berpikir cepat untuk menemukan sebuah alasan yang masuk akal.

Dengan tenang Bayu mengatakan, “Iya, Bu. Aku masih kenyang. Nanti saja, ya makannya. Baru saja aku makan pisang rebus yang Ibu buat.”

Seharusnya Bu Shifa akan sangat marah, kalau dia tahu anaknya dengan sengaja menahan lapar di perutnya. Sebab Bu Shifa memiliki keyakinan, bahwa kesehatan tubuh itu yang paling penting. Bagaimana bisa menikmati hidup sedangkan raga lagi merasa sakit?

Setelah mendengar jawaban itu, Bu Shifa harus memastikan kebenaran ucapannya. Sebagai seorang Ibu, sudah menjadi kewajibannya, untuk memperhatikan kondisi tubuh anak-anaknya yang menjadi tanggung jawab dirinya.

“Benar, kamu belum lapar? Kapan kamu makan pisang rebus Ibu? Bukannya siang tadi, ya, terakhir kali kamu mengunyah,” geram Bu Shifa sambil memukul-mukul perut Bayu.

Bayu mengerti dengan ucapan yang disampaikan oleh Bu Shifa. Biasanya bagi seorang Ibu, bisa mengetahui benar dan tidaknya perilaku seorang anak, dari rasa firasatnya yang sangat kuat. Oleh karena itu, lebih baik Bayu mengatakan yang sejujurnya saja sekarang.

“Sebenarnya perutku sudah lapar, sih, Bu,” ucap Bayu sambil menundukkan kepalanya. “Tapi, badan, Mas, sekarang rasanya lagi lemas banget. Besok pagi saja, ya, makannya.”

Mata Bu Shifa segera menelisik ke semua sisi tubuh Bayu. Dia memang melihat tubuh anaknya, sekarang sedang dalam kondisi yang kurang baik.

Dengan tergesa-gesa, Bu Shifa segera memegang beberapa bagian tubuh Bayu. Setelah itu Bu Shifa mengatakan, “Kamu sakit, Mas? Badanmu demam, ya? Sudah minum obat belum? Sekarang kita ke rumah sakit, ya.”

Bayu yang terkejut dengan sikap Bu Shifa, dengan cepat dia mengatakan, “Enggak, Bu. Aku enggak apa-apa. Cuma ingin tidur lebih cepat saja. Biar keadaannya lebih membaik besok.”

Akhirnya, Bu Shifa memilih mengalah. Dia bisa memahami keinginan Bayu saat ini. Sambil menyunggingkan senyum hangatnya, Bu Shifa mengatakan, “Iya sudah kalau kamu maunya begitu. Ibu enggak akan paksa. Yang penting, kalau nanti kamu mau makan, segera makan, ya. Jangan ditahan. Oh, iya sebentar lagi ayah dan adikmu pulang.”

Setelah itu Bu Shifa segera pergi meninggalkannya. Dan, Bayu pun langsung menutup pintu kamarnya, kemudian merebahkan kembali tubuhnya yang lemah. Sebuah kegiatan yang paling nyaman untuk dia lakukan saat ini.

Bayu merasa bukan cuma tubuhnya saja yang merasa lelah, tetapi pikirannya juga merasakan hal yang sama.

Meskipun begitu, Bayu tahu, dia tidak boleh memandang remeh masalah yang lagi dihadapinya. Pikirannya harus tetap fokus. Dia harus bisa menemukan jalan keluarnya sekarang juga.

Tapi, apa solusi terbaiknya? Sampai saat ini, otaknya saja masih belum bisa digunakan untuk berpikir dengan jernih. Setiap detik, perasaan takutnya selalu membayangi akal dan pikirannya.

Sejak beberapa bulan yang lalu, masalah itu datang ke kehidupan Bayu. Sebuah masalah yang pasti akan mengorbankan hati, atau karier yang sudah dicapainya sekarang. Atau malah berpotensi bisa menghancurkan keduanya secara bersamaan. Memang benar, kedua hal itu tidak akan pernah terpisahkan, ketika menjalin sebuah hubungan percintaan.

Beberapa hari yang lalu, Bu Shifa sempat memberikan sebuah nasihat kepadanya. Saat itu mereka sedang makan malam bersama. Entah apa maksudnya, tiba-tiba saja Bu Shifa membuka obrolan dengan mengatakan, “Mas, merebut hati itu hanya perlu pakai cinta. Tapi, untuk mempertahankan hubungannya, ya harus menggunakan uang. Kamu harus mempertimbangkan ulang keputusanmu itu.”

Mendengar ucapan itu, sontak membuat batin Bayu merasa kesal. Dia merasa tidak setuju dengan pendapat itu.

“Iya, Bu aku mengerti tentang hal itu. Tapi, apa semuanya harus selalu diukur menggunakan uang? Sedangkan cinta dan kesetiaan kadang tidak membutuhkan syarat seperti itu. Aku mau coba membuktikan kepada bu tina kalau aku bisa berdiri sendiri tanpa perusahaan itu.”

“Iya, Ibu pun paham. Tapi, kalau nantinya Kamu gagal bagaimana? Kalau bu tina mengubah keputusannya, apa yang akan kamu lakukan? Kamu tahu sifat buruk bu tina, kan. Ibu yakin kamu akan langsung ditolak kalau bu tina tahu bahwa kamu sudah keluar dari perusahaan itu. Kasihan Nadya, Mas!"

Bayu hanya bisa menganggukkan kepalanya. Dia mengakui apa yang dikatakan oleh Bu Shifa mungkin saja benar. Karena sebelumnya, Bayu pun tidak pernah mempertimbangkan keputusannya sampai sejauh itu.

Seingat Bayu, keputusan itu memang dia pilih berdasarkan hasil pemikirannya sendiri. Dan, mungkin saja, saat itu Bayu sedang dipengaruhi oleh sifat egois, yang kadang suka mendominasi pikirannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status