Share

3. Ujian Zafirah.

Azril menatap tubuh kaku sang adik yang terbujur kaku di atas brankar, kain putih kini menutupi sekujur tubuhnya, dan air matanya telah mengering. Tubuhnya tidak ada lagi tenaga bagai raga tanpa nyawa, penampilannya berantakan. Bahkan orang tidak mengenali jika dirinya seorang CEO di perusahaan ternama.

Jelita yang berada di sampingnya sudah berusaha untuk menghiburnya, namun semua gagal hingga langkah orang yang berlari mengalihkan pandangannya dari Azril.

"Assalamualaikum, saya Fredi dan ini Zafirah," ucap Fredi pada Jelita dan Azril.

"Wa'alaikumsalam, silakan Paman," Azril menatap dua orang yang berdiri tidak jauh darinya.

"Paman Fredi, saya abangnya Zaki," Azril berdiri mendekati Fredi, berjabat tangan dengan pria paruh baya di depannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa sampai terjadi kecelakaan, dan kenapa kita berada di sini?"

Fredi mencecar pertanyaan pada Azril. Dirinya mengerti jika berada di depan ruangan yang banyak di takuti orang. Paman Ferdi berusaha menepis praduganya, walau faktanya mereka benar-benar berada di depan ruangan yang tidak ingin di ketahui olehnya.

"Zaki itu—"

Azril menceritakan kronologis kejadian kecelakaan yang menimpa Zaki pada Fredi, paman Zafira, dan Zafirah yang sedari tadi hanya mendengarkan, berlahan air matanya mengalir tanpa mampu Zafirah tahan. Fredi bersama Zafirah di antarkan ke kamar, di mana tubuh Zaki yang terbujur kaku. Zafira yang sedari tadi berusaha tegar, kini dirinya tidak bisa menahan gejolak hatinya berlahan dirinya mendekati dan membuka kain putih yang menutup tubuh Zaki. Namun, saat melihat wajah Zaki yang penuh luka, tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke belakang. Fredi yang berdiri tidak jauh darinya, dengan sigap menahan tubuh Zafira yang tiba-tiba pingsan.

Azril menemani Fredi ke ruang rawat untuk memeriksa kondisi Zafirah. Seorang dokter wanita memasuki ruangan dan memeriksa denyut nadi Zafirah.

"Tuan, boleh saya buka cadar istri anda?" Azril yang berada tepat di samping tempat tidur Zafirah hanya bisa menatap bingung.

"Maaf Dok, apa tidak bisa di periksa tanpa membuka cadarnya?" Fredi yang berdiri di samping Azril baru menyadari, jika wajah Zafirah tidak pernah terlihat oleh orang lain selain dirinya.

"Bukankah anda Ayah pasien dan Tuan, suami pasien?" Dokter yang merasa heran saat memeriksa kondisi Zafirah. Namun, kesulitan karena cadarnya tidak di lepas.

"Paman, biar saya tunggu di luar,"

Azril yang mengerti jika wajah Zafirah tidak pernah terlihat oleh pria yang bukan mahromnya memilih menunggu di luar. Hatinya tidak tenang melihat wanita yang akan menjadi adik iparnya tergeletak tidak sadarkan diri menahan gejolak hatinya setelah melihat sendiri calon suaminya telah meninggal.

"Iya nak Azril maaf." Paman menatap wajah Azril yang terlihat sayu.

Azril meninggalkan ruangan Zafirah, namun saat akan menutup pintu tanpa sadar dirinya melihat wajah Zafirah walau tidak jelas.

Keesokan harinya pemakaman Zaki penuh dengan air mata, Zafirah yang berada di dekat makam tidak kuasa menahan air matanya, para pelayat mulai meninggalkan makam. Kini, hanya ada Zafirah dan Azril yang masih berada di sana.

"Kamu pulanglah! Sudah sore, Paman pasti menunggumu,"

Azril meminta Zafirah untuk pulang, mengingat kondisi fisik dan pikiran Zafirah yang lemah membuatnya berinsiatif untuk mengantarnya pulang.

"Aku akan mengantarmu pulang!" Tanpa menunggu jawaban dari Zafirah, Azril melangkah lebih dulu.

Dalam perjalanan menuju rumah Zafirah, tanpa ada yang berinsiatif memulai obrolan, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Tanpa terasa, mereka telah sampai di depan rumah sederhana Fredi.

"Assalamualaikum, Paman." Zafirah mengetuk pintu hingga tiga kali mengucapkan salam tidak ada sahutan dari dalam, bi Minah tetangga Zafirah berlari mendekati Zafirah.

"Assalamualaikum Zafirah, anu. I-itu Paman," dengan nafas ngos-ngosan. Bi Minah menyampaikan kabar pada Zafirah.

"Wa'alaikumsalam bi Minah, ada apa? Anu apa Bu? Bicara pelan-pelan ya!"

Bi Minah menarik napasnya dalam-dalam dan memulai bicara dengan tenang.

"Zafirah, Pamanmu masuk rumah sakit."

Mendengar Pamannya masuk rumah sakit, tubuh Zafirah bergetar.

"Rumah sakit mana Bu?"

Azril melihat tubuh Zafirah bergetar, memutuskan untuk bertanya. Sejak tadi Azril hanya diam mendengarkan pembicaraan dua wanita berbeda generasi.

"Rumah sakit kota Tuan." Jawab Bu Minah.

"Aku antar kamu ke rumah sakit, sekarang kita harus pergi."

Tanpa berfikir lagi, Zafirah mengikuti langkah lebar Azril.

Sepanjang perjalanan, Zafirah tidak berhenti memanjatkan doa untuk sang Paman, keluarga satu-satunya yang dia miliki di dunia ini.

Mobil yang di kendarai Azril memasuki halaman rumah sakit, Zafirah turun dari mobil dan berlari menuju ruang UGD tanpa memperdulikan Azril yang ada di belakangnya.

Azril yang mengikuti langkah Zafirah, hingga sampai di depan pintu ruang UGD. Setelah menunggu kurang dari dua jam seorang Dokter keluar.

"Saudara pasien Fredi?" Zafirah berdiri mendekati sang dokter.

"Saya keponakannya Dok, apa yang terjadi dengan Paman saya? Setau saya Paman tidak memiliki penyakit apapun Dok,"

Zafirah mencecar pertanyaan pada dokter yang menangani Pamannya. Selama ini, Pamannya tidak mengeluh sakit sehingga kejadian benar-benar membuatnya panik.

"Sebaiknya kalian ikut ke ruanganku! Ada yang ingin aku katakan pada kalian,"

Mereka mengikuti dokter menuju ruangannya. Bahkan Azril mengekor di belakang menuju ruang pribadi Doker.

"Begini. Tuan Fredi adalah pasien saya selama empat tahun terakhir, beliau menderita sakit jantung yang lama dideritanya,"

Zafirah menggelengkan kepalanya, dirinya tidak percaya jika sang Paman menderita sakit separah itu.

"Dok, saya tidak ingin mendengar apapun, tapi saya minta selamatkan Paman saya Dok."

Zafirah mengiba pada Dokter yang selama empat tahun menjadi Dokter pribadi Pamannya. Zafirah benar-benar tidak percaya, jika Pamannya menderita penyakit jantung. Suara di ruangan dokter Mardi membuat Zafirah dan Azril menatapnya bingung.

"Nona, itu panggilan dari ruangan tuan Fredi, sebaiknya kita ke sana."

Saat mereka akan beranjak, seorang perawat menerobos ruangannya.

"Dokter Mardi, kondisi tuan Fredi semakin kritis, beliau terus memanggil Zafirah,"

Zafirah beranjak dari kursinya saat mendengar kondisi Pamannya semakin kritis. Tanpa memperdulikan tubuhnya yang lemah, Zafirah berlari keruang Pamannya.

"Paman, ini Zafirah. Bertahanlah demi Zafirah, Paman! Jangan tinggalkan Zafirah!"

Tangis Zafirah pecah melihat kondisi tubuh sang Paman dalam keadaan lemah, napasnya tersengal terkuat begitu berusaha untuk mengatakan sesuatu pada Zafirah.

"Za–Zafirah maafkan Paman, selama ini menyembunyikan penyakit Paman padamu,"

Dengan napas yang semakin lemah, Fredi berusaha untuk bicara pada Zafirah untuk terakhir kalinya.

"Paman tidak perlu minta maaf pada Zafirah, sekarang Zafirah mohon pada Paman, jangan banyak bicara lagi ya. Dok cepat lakukan apapun untuk Paman saya Dok, saya mohon,"

Zafirah menangkupkan kedua tangannya memohon pada dokter Mardi untuk menyelamatkan Pamannya.

"Nak Azril, kemarilah,"

Tangan Fredi memberi syarat agar Azril mendekatinya. Dengan cepat Azril mendekati sang paman yang semakin kesulitan untuk bernapas.

"Paman saya di sini, apa yang ingin Paman katakan pada saya?"

Azril mendekatkan telinganya pada wajah Fredi. Suaranya yang yang lemah membuat Azril melakukan hal itu.

"Nak Azril, Paman mohon nikahi Zafirah, Paman percayakan Zafirah padamu,"

Tubuh Azril menenggang mendengar ucapan Fredi padanya. Sebelum Azril menjawab perkataan Fredi, tiba-tiba layar monitor memperlihatkan garis lurus dan bersuara kencang. Teriakan Zafirah terdengar menyayat hati Azril namun dirinya tidak bisa berbuat apapun.

"Paman jangan tinggalkan Zafirah Paman, Dok lakukan apapun untuk Paman Dok!"

Zafirah menggoyahkan tubuh Pamannya yang diam. Berusaha untuk membangunkannya dari tidur, namun semua sia-sia sang Paman telah berpulang ke Rahmatullah.

"Zafirah ikhlaskan Pamanmu, Allah lebih sayang padanya."

Tubuh Zafirah terkulai lemas, kini dirinya sendiri di dunia ini tanpa siapapun. Dalam dua hari berturut-turut, dirinya melepas orang-orang yang memiliki arti dalam hidupnya. Baru kemarin dirinya mengantar sang calon imam ke peristirahatan terakhir. Kini, dirinya kembali mengantar Paman tercinta ke tempat yang sama.

Hujan membasahi bumi, seakan turut merasakan sesak yang di rasakan Zafirah, hujan yang enggan meninggalkan dirinya yang tengah memeluk pusara Pamannya.

"Ya Allah, sungguh nikmat ujianmu pada hamba ini, engkau telah mengambil semua yang aku sayangi, hamba ikhlas menerima ujianmu ini, hamba percaya di balik ujian ini engkau telah menyiapkan yang terindah untuk hamba,"

Terdengar suara adzan Maghrib, berlahan Zafirah meninggalkan makan Pamannya, dengan langkah tertatih dirinya telah sampai di rumah beberapa tetangga tengah menyiapkan acara doa untuk Paman dan Zaki, Zafirah berjalan menuju kamarnya dan memberiskan tubuhnya. Mulai hari ini, dirinya harus lebih kuat lagi menjalani hidup tanpa adanya paman di sampingnya.

Seminggu setelah pemakaman Pamannya, selama itu juga dirinya tidak mengunjungi musholla, dirinya merindukan anak-anak. Canda tawa mereka adalah obat untuknya. Hari ini Zafirah mengajar anak-anak lagi, dan alangkah bahagianya, saat anak-anak menyambut kedatangannya.

"Assalamualaikum, anak-anak!" Ucap Zafirah.

"Wa'alaikumsalam kak Zafirah, hore! Kak Zafirah mulai mengajar lagi!" Teriak mereka bersamaan, Zafira tersenyum melihat mereka yang menyambutnya, mereka berebut memeluk Zafirah, tingkah mereka membuat tawa Zafirah lepas.

Di kantor, seorang pria bertubuh atletis tengah memeriksa tumpukan berkas-berkas, yang selama seminggu tidak dia sentuh hanya asistennya yang mengerjakannya.

"Tuan Azril, satu jam lagi ada meeting dengan perusahaan Mega bintang."

Adam sang asisten yang merangkap sebagai pengawal pribadinya, kini memandang sang Tuannya yang terlihat sedih setelah kehilangan adik satu-satunya.

"Atur ulang lagi, jika tidak mau kamu yang mengantikan posisiku aku harus pergi sekarang," tanpa menunggu

menunggu jawaban dari asistennya, dirinya melangkah pergi menuju mobilnya yang terparkir di tempat khusus.

Di dalam mobil dirinya tidak langsung menyalakan, tapi pikirannya kembali pada satu minggu kemarin di mana adik dan Paman wanita yang bernama Zafirah meninggal dalam waktu yang berdekatan, satu hari setelah kematian Zaki dan di susul Paman Zafirah.

"Bang, aku mohon nikahi Zafirah, gantikan posisiku menjadi imam untuknya. Dia wanita yang baik, suatu saat Abang akan mencintainya, jaga Zafirah untukku Bang. Aku mohon, anggap ini permintaan pertama dan terakhirku," kalimat terakhir yang terus menganggu pikirannya, dan kembali ingatan perkataan terakhir dari paman Zafira membuatnya semakin bingung, disisi lain dirinya memiliki kekasih dan di sisi lain dirinya tidak mungkin menolak permintaan paman dan adiknya.

"Argh! Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?"

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
MiaKadir
tak sedar baca ikut nages, padahal iseng2 baca saja
goodnovel comment avatar
Fatmah SY
yang kuat Zafira.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status