Share

Bab 3

"Maaf, Umi. Saya tidak bersedia membuka cadar ini di hadapan siapapun. Saya ... saya belum siap."

Jawaban Dari Humaira membuat bahuku terkulai lemas. Kesempatan untuk mengetahui siapa dia sebenarnya hilang karena sepertinya dia tidak ingin aku mengungkap jati dirinya.

"Dengan kamu menolak permintaan kami, Mas makin yakin kalau kamu itu Khanza." Aku mencoba memancingnya.

"Saya Humaira, bukan Khanza!" Dia membantah.

"Sudah, sudah! Jangan berdebat di sini." Papa menengahi. "Begini saja. Bagaimana kalau kami mendengar cerita dari Ustadz Hakim saat menemukan Humaira dan bagaimana kondisinya saat itu. Apakah tidak ada barang miliknya yang bisa dijadikan petunjuk? Kartu identitas? Ponsel?" cecarnya tak sabar. Mungkin Papa pun merasa penasaran tentang siapa Humaira sebenarnya setelah mendengar dugaanku.

"Tidak ada. Kami menemukan Humaira di pinggir jalan tanpa identitas apa pun. Awalnya saya dan istri merasa aneh, tetapi setelah mendengar penjelasan langsung dari Humaira bahwa dia sempat dirampok sebelum ditabrak, kami memakluminya. Kami memutuskan membawa Humaira ke sini karena dia mengatakan tidak mempunyai keluarga lagi."

Aku dan Papa saling tatap. Entah apa yang berada di pikiran Papa setelah mendengar penjelasan Ustadz Hakim. Beliau menghela napas dalam, sebelum kembali berkata.

"Sebenarnya saya juga penasaran tentang siapa Humaira sebenarnya. Tapi jika memang dia tidak ingin memperlihatkan wajahnya pada kami, maka kami tidak akan memaksa."

"Pa!" Tak sadar, aku meninggikan nada suara.

"Jangan membantah, Emir. Kita harus menghargai keputusan Humaira."

"Tapi bagaimana kalau dia itu Khanza?"

"Biarkan waktu yang akan menjawabnya. Kita bisa mencari bukti tentang dugaanmu dengan cara lain. Hentikan tingkah ngototmu itu. Hargailah Najwa yang berada di sampingmu."

Mendengar perkataan Papa, refleks aku menoleh ke arah istriku yang hampir saja aku lupakan karena terlalu penasaran akan sosok Humaira. Najwa menunduk, membuatku merasa bersalah karena tidak bisa menjaga perasaannya.

"Maaf. Mas hanya ingin membuktikan kalau dugaan Mas itu benar." Aku menggenggam jemarinya.

"Tidak apa, Mas. Aku mengerti." Dia mengulas senyum.

Pertemuan malam itu akhirnya tidak menemukan titik terang. Akan tetapi, Humaira salah jika mengira aku akan menyerah begitu saja. Aku akan melakukan berbagai cara agar bisa membuktikan bahwa dia itu Khanza. Lihat saja, jika terbukti dugaanku benar, aku tidak akan pernah melepaskan dia.

🍁🍁🍁

Pagi selepas sholat subuh, kami bersiap untuk kembali ke Jakarta. Ustadz Hakim memberi kami banyak sekali buah tangan yang langsung kami terima dengan senang hati.

Papa dan Ustadz Hakim masih asik berbincang di teras rumah ketika aku memutuskan untuk mencari keberadaan seseorang yang ingin kutemui sebelum pulang. Setelah berpamitan kepada Najwa, aku berkeliling di sekitar pondok, berharap menemukan dia dan bisa mengajaknya berbicara sebentar saja.

Ternyata, Allah begitu baik padaku. Aku menemukan dia tengah duduk termenung di sebuah kursi yang berdekatan dengan aula tempat pernikahan kemarin dilaksanakan.

"Khanza."

Dia terperanjat dan menoleh.

"Anda? Sedang apa Anda di sini?"

Aku mengulas senyum. "Mas ingin menemuimu sebelum pulang. Bisakah kita bicara sebentar saja?"

"Bicara apalagi?" Nada suaranya terdengar malas.

"Tentang kamu, tentang kita."

"Jangan becanda, Tuan. Kita bukan siapa-siapa."

"Mas masih yakin kalau kamu itu Khanza."

"Harus berapa kali saya bilang, saya bukan Khanza!"

"Baiklah, Mas tidak akan memaksa. Untuk saat ini Mas akan membiarkan kamu tinggal di sini. Tapi tidak untuk selamanya karena jika terbukti kamu itu Khanza, Mas akan membawamu kembali pulang."

"Pulang ke mana?" Dia menggeleng lemah. "Tempat saya di sini."

"Bukan. Tempatmu bukan di sini. Hanya ada dua tempat bagi seorang Khanza." Aku berjalan mendekat dan dia dengan sigap menjauh dariku.

"Tempatmu di sini." Aku menunjuk dadaku. "Di hatiku dan di rumah kita."

"Anda benar-benar tidak tahu malu. Sudah beristri masih saja berusaha menggoda wanita lain. Tuan Emir yang terhormat, sikap Anda ini membuat saya yakin bahwa Khanza pergi karena Anda tidak bisa setia padanya."

Perkataan yang keluar dari bibirnya menohok hati ini. Benarkah Khanza pergi karena mengetahui aku tidak setia padanya? Namun, bagaimana Khanza bisa mengetahui pernikahanku dengan Najwa sedangkan aku belum pernah berbicara kepada siapapun tentang hal itu?

Aku masih bergelut dengan pikiranku sendiri hingga tak sadar ketika Humaira beranjak meninggalkanku yang masih terpaku di tempatku berdiri.

🍁🍁🍁

Aku melangkah gontai menuju mobil setelah berpamitan kepada Ustadz Hakim beserta istrinya. Rasa penasaran pada sosok Humaira begitu besar hingga rasanya enggan untuk meninggalkan tempat ini.

"Emir, sampai kapan kamu terus berdiri di situ? Cepat masuk mobil!"

Panggilan dari Papa menyentak diri ini dari lamunan.

"Iya, Pa."

Sekali lagi, aku menoleh ke arah kediaman Ustadz Hakim. Di sana ... di rumah sang Ustadz, aku bisa melihat seseorang yang tengah mengintip dari balik gorden. Tak sadar, bibir ini tersenyum ketika dia menutup gorden itu saat menyadari aku tengah menatap ke arahnya.

"Mas makin yakin kamu adalah Khanza. Tunggu Mas, Sayang. Mas pasti kembali lagi untuk menjemputmu."

*

*

Bersambung.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
jgn mau kmbli kanza, ,dasar jantan kelamin
goodnovel comment avatar
Fatimah
emir egois.di kasih satu minta dua
goodnovel comment avatar
Bintang ponsel
iyaa dasar pelakor, sama2 brengsek sich si suami sma si pelakor jgn mau kmu humaira, dasar serakah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status