"Maaf, Umi. Saya tidak bersedia membuka cadar ini di hadapan siapapun. Saya ... saya belum siap."
Jawaban Dari Humaira membuat bahuku terkulai lemas. Kesempatan untuk mengetahui siapa dia sebenarnya hilang karena sepertinya dia tidak ingin aku mengungkap jati dirinya."Dengan kamu menolak permintaan kami, Mas makin yakin kalau kamu itu Khanza." Aku mencoba memancingnya."Saya Humaira, bukan Khanza!" Dia membantah."Sudah, sudah! Jangan berdebat di sini." Papa menengahi. "Begini saja. Bagaimana kalau kami mendengar cerita dari Ustadz Hakim saat menemukan Humaira dan bagaimana kondisinya saat itu. Apakah tidak ada barang miliknya yang bisa dijadikan petunjuk? Kartu identitas? Ponsel?" cecarnya tak sabar. Mungkin Papa pun merasa penasaran tentang siapa Humaira sebenarnya setelah mendengar dugaanku."Tidak ada. Kami menemukan Humaira di pinggir jalan tanpa identitas apa pun. Awalnya saya dan istri merasa aneh, tetapi setelah mendengar penjelasan langsung dari Humaira bahwa dia sempat dirampok sebelum ditabrak, kami memakluminya. Kami memutuskan membawa Humaira ke sini karena dia mengatakan tidak mempunyai keluarga lagi."Aku dan Papa saling tatap. Entah apa yang berada di pikiran Papa setelah mendengar penjelasan Ustadz Hakim. Beliau menghela napas dalam, sebelum kembali berkata."Sebenarnya saya juga penasaran tentang siapa Humaira sebenarnya. Tapi jika memang dia tidak ingin memperlihatkan wajahnya pada kami, maka kami tidak akan memaksa.""Pa!" Tak sadar, aku meninggikan nada suara."Jangan membantah, Emir. Kita harus menghargai keputusan Humaira.""Tapi bagaimana kalau dia itu Khanza?""Biarkan waktu yang akan menjawabnya. Kita bisa mencari bukti tentang dugaanmu dengan cara lain. Hentikan tingkah ngototmu itu. Hargailah Najwa yang berada di sampingmu."Mendengar perkataan Papa, refleks aku menoleh ke arah istriku yang hampir saja aku lupakan karena terlalu penasaran akan sosok Humaira. Najwa menunduk, membuatku merasa bersalah karena tidak bisa menjaga perasaannya."Maaf. Mas hanya ingin membuktikan kalau dugaan Mas itu benar." Aku menggenggam jemarinya."Tidak apa, Mas. Aku mengerti." Dia mengulas senyum.Pertemuan malam itu akhirnya tidak menemukan titik terang. Akan tetapi, Humaira salah jika mengira aku akan menyerah begitu saja. Aku akan melakukan berbagai cara agar bisa membuktikan bahwa dia itu Khanza. Lihat saja, jika terbukti dugaanku benar, aku tidak akan pernah melepaskan dia.🍁🍁🍁Pagi selepas sholat subuh, kami bersiap untuk kembali ke Jakarta. Ustadz Hakim memberi kami banyak sekali buah tangan yang langsung kami terima dengan senang hati.Papa dan Ustadz Hakim masih asik berbincang di teras rumah ketika aku memutuskan untuk mencari keberadaan seseorang yang ingin kutemui sebelum pulang. Setelah berpamitan kepada Najwa, aku berkeliling di sekitar pondok, berharap menemukan dia dan bisa mengajaknya berbicara sebentar saja.Ternyata, Allah begitu baik padaku. Aku menemukan dia tengah duduk termenung di sebuah kursi yang berdekatan dengan aula tempat pernikahan kemarin dilaksanakan."Khanza."Dia terperanjat dan menoleh."Anda? Sedang apa Anda di sini?"Aku mengulas senyum. "Mas ingin menemuimu sebelum pulang. Bisakah kita bicara sebentar saja?""Bicara apalagi?" Nada suaranya terdengar malas."Tentang kamu, tentang kita.""Jangan becanda, Tuan. Kita bukan siapa-siapa.""Mas masih yakin kalau kamu itu Khanza.""Harus berapa kali saya bilang, saya bukan Khanza!""Baiklah, Mas tidak akan memaksa. Untuk saat ini Mas akan membiarkan kamu tinggal di sini. Tapi tidak untuk selamanya karena jika terbukti kamu itu Khanza, Mas akan membawamu kembali pulang.""Pulang ke mana?" Dia menggeleng lemah. "Tempat saya di sini.""Bukan. Tempatmu bukan di sini. Hanya ada dua tempat bagi seorang Khanza." Aku berjalan mendekat dan dia dengan sigap menjauh dariku."Tempatmu di sini." Aku menunjuk dadaku. "Di hatiku dan di rumah kita.""Anda benar-benar tidak tahu malu. Sudah beristri masih saja berusaha menggoda wanita lain. Tuan Emir yang terhormat, sikap Anda ini membuat saya yakin bahwa Khanza pergi karena Anda tidak bisa setia padanya."Perkataan yang keluar dari bibirnya menohok hati ini. Benarkah Khanza pergi karena mengetahui aku tidak setia padanya? Namun, bagaimana Khanza bisa mengetahui pernikahanku dengan Najwa sedangkan aku belum pernah berbicara kepada siapapun tentang hal itu?Aku masih bergelut dengan pikiranku sendiri hingga tak sadar ketika Humaira beranjak meninggalkanku yang masih terpaku di tempatku berdiri.🍁🍁🍁Aku melangkah gontai menuju mobil setelah berpamitan kepada Ustadz Hakim beserta istrinya. Rasa penasaran pada sosok Humaira begitu besar hingga rasanya enggan untuk meninggalkan tempat ini."Emir, sampai kapan kamu terus berdiri di situ? Cepat masuk mobil!"Panggilan dari Papa menyentak diri ini dari lamunan."Iya, Pa."Sekali lagi, aku menoleh ke arah kediaman Ustadz Hakim. Di sana ... di rumah sang Ustadz, aku bisa melihat seseorang yang tengah mengintip dari balik gorden. Tak sadar, bibir ini tersenyum ketika dia menutup gorden itu saat menyadari aku tengah menatap ke arahnya."Mas makin yakin kamu adalah Khanza. Tunggu Mas, Sayang. Mas pasti kembali lagi untuk menjemputmu."**Bersambung.Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam ketika aku terpaksa meninggalkan Najwa di peraduan. Bayang wanita bercadar itu terus mengusik ingatan ini hingga mata pun tak jua bisa terpejam. Humaira atau Khanza? Pertanyaan itu tak hentinya berputar di dalam otak. Andai benar ia adalah Khanza, lantas mengapa ia justru menolak kehadiranku dan enggan bertemu denganku? Bukankah seharusnya ia senang karena berjumpa kembali dengan suami yang telah lama tidak ditemuinya ini?Kuambil gawai yang sengaja kubawa sambil duduk di balkon kamar. Mencari foto Khanza yang selama ini menjadi tempat pelampiasan jika diri ini tengah merindu padanya. Foto dirinya yang tengah tersenyum sambil memperlihatkan cincin hadiah anniversary dariku ketika kami merayakan ulang tahun pernikahan yang pertama. Tak sadar, bibir ini ikut tersenyum ketika mengingat moment bahagia itu. "Mas merindukanmu," gumamku seraya mengusap fotonya di layar ponsel."Kenapa kamu memilih pergi dan tak kembali? Apa Mas punya salah padamu?
"Kamu mau ke mana, Emir?" Langkah ini terhenti. Aku kembali menoleh ke arah Papa yang ternyata menyusulku ke luar rumah. "Emir harus ke Pondok Ustadz Hakim sekarang juga, Pa. Emir takut terlambat sampai di sana.""Memangnya apa yang akan kamu lakukan di sana? Sudahlah, Emir. Terima saja kenyataan kalau ternyata Humaira itu bukan Khanza.""Tidak, Pa. Emir masih harus membuktikan karena Emir yakin dia adalah Khanza." Aku bersikeras. "Andai benar dia Khanza, apa kamu yakin dia akan bersedia kembali padamu? Ingat, Emir. Kamu sudah mengkhianatinya. Kamu menduakan dia tanpa sepengetahuan dirinya. Bagaimana seandainya Khanza memilih berpisah denganmu?"Pertanyaan Papa cukup menohok. Ya, benar aku telah mengkhianati Khanza dengan menikahi Najwa secara diam-diam. Namun, tentu saja aku tidak akan membiarkan Khanza pergi apalagi meminta perpisahan. Setahun tanpa dirinya, aku bagai manusia yang kehilangan arah meski ada Najwa di sampingku. Aku tidak bisa membayangkan andai saja apa yang Papa k
"Astaghfirullah, Nak. Jangan berbicara seperti itu!"Ustadz Hakim dan Umi Salamah menegur putri angkat mereka. Pun denganku yang hanya mampu menggelengkan kepala setelah mendengar permintaan Khanza. Menceraikan dia? Tentu saja tidak akan pernah aku lakukan sampai kapan pun!"Lalu saya harus bagaimana, Abi? Saya hanya perempuan biasa yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa suami saya ternyata telah menikah lagi. Saya tidak siap dan tidak akan pernah rela dimadu." Khanza terduduk di dekat Umi Salamah yang langsung menyambut istriku ke dalam pelukannya. Sedangkan aku? Hanya mampu menundukkan kepala, merasa malu kepada istriku, juga Ustadz Hakim dan istrinya."Jadi, alasan kamu pergi dari rumah itu karena kamu sudah tahu Mas menikah lagi?" Kali ini aku memberanikan diri menatap Khanza. "Ya. Aku sudah tahu kalau Mas Emir menikahi wanita lain secara diam-diam. Aku marah, aku sakit, dan aku benci kalian berdua! Aku memutuskan pergi karena aku sadar, aku tidak akan sanggup hidup dengan se
"Poligami tanpa meminta izin kepada istri pertama memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan sang istri pertama. Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap ( hak-hak ) yatim ( bilamana kamu menikahinya ), maka nikahilah perempuan ( lain ) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka ( nikahilah ) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Nak Emir masih ingat penggalan surat An-Nisa tersebut?"Perkataan Ustadz Hakim semalam masih melekat dalam ingatan ini. Ya, aku sadar telah melakukan kesalahan fatal dengan menyakiti Khanza. Ego dalam diri ini mencuat ketika Khanza tidak pernah mau mengabulkan permintaanku. Seharusnya, aku menuntunnya dengan sabar hingga hatinya terbuka dan secara ikhlas mau menjalankan kewajiban untuk menutup aurat. Bukan dengan menikahi wanita lain yang
Kepulangan Khanza disambut haru oleh Papa dan Mama. Kedua orangtuaku langsung menuju rumah ini ketika aku memberi kabar pada mereka. Suasana haru melingkupi kami. Mama tak hentinya menangis sambil memeluk tubuh menantu kesayangannya. Tak jarang, kalimat bernada sindiran ia lontarkan pada putranya ini yang telah menjadi sebab kepergian Khanza. Aku menerimanya dengan ikhlas. Se-pedas apa pun ucapan Mama, tetap aku terima karena memang begitulah kenyataannya. Aku-lah penyebab Khanza memilih pergi dan menjauh dari kami. Aku yang telah bermain hati dan menghadirkan orang ketiga dalam bahtera rumah tangga ini. "Kamu jangan pernah meninggalkan kami lagi. Hampir setiap malam Mama tidak bisa tidur karena mengkhawatirkanmu. Mama takut terjadi sesuatu yang buruk padamu. Mama tidak akan pernah berhenti menyalahkan Emir karena dia biang keladi masalah ini! Andai saja dia tidak jelalatan dan menikah lagi, kamu pasti tidak akan memilih pergi!""Sudah, Ma. Emir sudah menyadari kesalahannya. Kita bi
"Maaf jika Mas terkesan mengabaikanmu. Mas harus terus berada di samping Najwa untuk menguatkannya."Aku memberi penjelasan kepada Khanza agar ia tidak salah paham dan merasa diabaikan. Sebelum jenazah ayah mertuaku dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku sempatkan menghampiri Khanza yang terus didampingi oleh Mama. "Tidak apa, aku mengerti.""Kamu tidak marah?" Aku memastikan."Kenapa harus marah? Dia kan istri Mas Emir juga.""Berjanjilah untuk tidak berpikiran macam-macam. Mas janji setelah semuanya selesai, Mas akan lebih sering menghabiskan waktu denganmu.""Tidak perlu terlalu berlebihan, lakukan saja sewajarnya. Aku tidak akan menuntut waktu lebih banyak karena aku tidak ingin dikatakan sebagai istri yang serakah. Berbagi waktulah dengan adil padaku juga Najwa."Perkataan Khanza sama sekali tidak membuatku senang. Ia seolah menghindar dariku yang sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. "Mas hanya ingin mengganti waktu satu tahun selama kita
Pov Khanza"Jaga diri baik-baik, Abi dan Umi akan selalu mendoakan kamu. Jika suatu saat kamu memutuskan untuk menyerah, kembalilah ke sini. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu."Perkataan Abi Hakim menjadi pengantar ketika aku memutuskan untuk kembali bersama Mas Emir. Meski hati ini berat melakukannya, aku berusaha menerima takdir diri yang ternyata dipertemukan kembali dengan suamiku. Emir Alfaraz ... suami yang kukira sangat mencintaiku, ternyata tega menduakan diri ini. Marah, benci, bahkan hancur. Itulah gambaran hatiku saat itu. Mas Emir telah menodai ikatan suci pernikahan dengan menghadirkan orang ketiga dalam bahtera rumah tangga kami. Tidak ada pilihan lain selain pergi. Hidup bersama pengkhianat hanya akan memupuk luka yang terus menggerogoti hati ini. Ikhlas Berbagi? Tidak!Aku tidak akan pernah sudi berbagi dengan wanita lain. Hidupku terlalu berharga jika harus bertahan dengan suami yang telah tega mendua. Tidak ada jaminan ia akan berlaku adil jika aku mene
Pov Khanza"Kenapa Anda membawa saya ke tempat ini?"Pria yang ternyata Kakak dari Najwa menarik wajahnya yang tadi begitu dekat. Ia berjalan menuju lemari usang yang tidak jauh dari ranjang tempatku duduk dan menyandarkan tubuhnya di sana. "Supaya kamu tidak mengganggu kebahagiaan adikku.""Saya Mengganggu? Anda tidak salah?" Aku cukup tersinggung dengan apa yang ia katakan. Seharusnya perkataan itu lebih pantas ditujukkan kepada adiknya. Najwa yang hadir menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku dan Mas Emir. Mencuri sebagian hati suamiku tanpa memikirkan perasaanku. Lantas kenapa pria ini malah menuduh orang yang salah?"Istirahatlah. Sebentar lagi anak buahku membawakan makanan untukmu."Pria yang kutahu bernama Aidan sama sekali tidak menanggapi ucapanku. Ia kembali berjalan menuju pintu kamar dan hampir saja keluar sebelum aku menahannya."Anda ingin membunuh saya?"Pergerakannya terhenti. Ia bergeming di posisinya tanpa menoleh padaku."Jika memang dengan membunuh saya membua