Ijab qobul sebentar lagi akan dilaksanakan. Aku bersama Najwa juga Papa dan Mama duduk di barisan paling depan atas arahan dari salah satu murid Ustadz Hakim. Mata ini meneliti sekeliling, mencari sosok yang berhasil membuatku terjaga semalaman. Wanita bercadar yang diperkenalkan Ustadz Hakim sebagai anak angkatnya itu tidak terlihat di manapun. Entah mengapa diri ini ingin sekali bertemu dengannya lagi untuk memastikan bahwa dugaanku benar. Dia Khanza. Istriku yang telah hilang selama satu tahun lamanya.
Debar di dada ini ketika kami sempat saling tatap, mengingatkanku pada pertemuan pertama kami, dulu. Meski dia seolah tidak mengenaliku, tetapi hati ini tidak akan bisa dikelabui. Dia Khanza-ku. Ya, aku yakin dia istriku. Sepertinya aku memang harus mencari tahu siapa dia sebenarnya. Andaikan dia memang Khanza, aku tidak akan menyiakan kesempatan untuk segera membawanya kembali ke rumah kami."Sah!""Sah!"Ucapan serempak dari para saksi mengembalikan kesadaran diri ini dari lamunan tentang Khanza. Lantunan doa kami panjatkan untuk sepasang pengantin yang tengah berbahagia di depan sana. Papa mengajak kami untuk mengucapkan selamat dan aku pun mengikutinya sembari menggandeng lengan Najwa."Mereka terlihat serasi ya, Mas." Najwa berbisik setelah kami menyalami sepasang pengantin tersebut."Ya, mereka serasi seperti kita." Najwa mencubit lengan ini dan aku terkekeh geli. Rasanya selalu menyenangkan jika sedang menggodanya seperti ini."Meski memakai cadar, aku yakin pengantin wanitanya pasti sangat cantik.""Kamu benar. Pasti secantik dirimu."Cubitan kedua aku dapatkan. Pipi Najwa merona dan salah tingkah. Menggoda Najwa mampu menghilangkan bayangan Khanza untuk sejenak, hingga mata ini menangkap sosoknya yang baru saja turun dari pelaminan."Sayang, Mas tinggal dulu sebentar ya. Mau ke toilet." Aku beralasan agar Najwa tidak curiga."Iya, Mas. Jangan lama-lama."Aku mengangguk dan tersenyum. Setelah meninggalkan Najwa, aku kembali mencari sosok itu yang ternyata tengah berjalan keluar aula. Aku bergegas mengejarnya sebelum dia menjauh dan menghilang. Kali ini aku benar-benar harus mencari tahu siapa dia sebenarnya. Dari semalam aku belum mendengar suaranya karena dia terus bungkam di samping Umi Salamah. Mungkin saja dengan mendengarnya berbicara, bisa menguatkan keyakinan ini bahwa dia adalah Khanza, istriku."Tunggu, Nona!" Aku berseru saat dia mempercepat langkah."Tunggu!"Aku berhasil mengejarnya. Tangan ini refleks memegang lengannya agar dia tidak sempat menghindar."Tolong lepaskan tangan Anda, Tuan! Kita bukan mahram."Suara itu ... aku tersenyum mendengarnya. Aku yakin dia adalah Khanza karena suaranya sangat mirip dengan istriku. Meski terdengar dingin, aku bisa merasakan desiran hangat yang menjalar sampai ke hati ini. Dia boleh saja bersembunyi di balik cadar yang ia kenakan. Namun, dia lupa bahwa aku sudah sangat hafal dirinya luar dan dalam. Hanya Khanza. Hanya dia yang mampu membuat seorang Emir jatuh cinta dengan mendengar suaranya saja."Ada yang ingin saya tanyakan. Bisakah kita berbicara sebentar?" Aku bertanya selembut mungkin setelah tangan ini terpaksa melepaskan cekalan pada lengannya."Maaf, Tuan. Tidak baik seorang wanita dan seorang pria yang bukan mahram berbicara berdua saja. Apalagi dengan status Anda yang sudah mempunyai istri."Ya, dia benar. Akan tetapi, bagaimana caranya agar aku bisa membuktikan kalau dia itu Khanza?"Sebentar saja, saya mohon.""Maaf, tidak bisa. Saya tidak ingin terjadi fitnah nantinya.""Khanza." Aku menyebut namanya ketika dia mulai melangkah kembali.langkahnya terhenti. Kusaksikan tubuhnya sempat menegang mendengarku menyebutkan nama itu."Kamu pasti Khanza. Istriku.""Anda salah orang.""Tidak. Mas yakin itu kamu. Suaramu masih sangat Mas hafal. Meski cadar yang kamu kenakan menjadi penghalang, tapi Mas yakin, Mas tidak akan salah." Aku maju beberapa langkah, mendekatinya yang masih setia membelakangi diri ini."Kemarilah, Sayang. Mas sangat rindu ingin memelukmu.""Anda sungguh tidak sopan, Tuan!" Dia memekik ketika tangan ini menyentuh pundaknya."Khanza.""Saya Humaira, bukan Khanza!"Dia beranjak menjauhiku. Meninggalkan aku yang masih bergelut dengan pemikiranku sendiri. Sepertinya memang tidak ada cara lain. Aku harus berbicara pada Papa dan Mama tentang dugaanku ini."Aku yakin kamu itu Khanza, bukan Humaira." Aku bergumam sendiri.🍁🍁🍁"Maaf jika saya lancang, Pak Ustadz. Saya sengaja mengajak kita berkumpul di sini untuk membicarakan sesuatu."Akhirnya setelah mendapat persetujuan dari Papa, aku meminta padanya untuk memberitahu Ustadz Hakim, istrinya beserta Humaira agar berkumpul di ruang tamu rumahnya. Rasa penasaran ini menuntunku untuk membuktikan siapa wanita itu sebenarnya sebelum besok kami kembali ke Jakarta."Silakan, Nak Emir. Jika memang ada yang ingin disampaikan, kami siap mendengarkan," ucap Ustadz Hakim.Aku melirik ke arah Humaira yang setia menundukkan kepala. Sedari tadi dia seperti sengaja menghindar agar tidak bersitatap denganku. Jemarinya meremas gamis yang ia kenakan. Ciri khas Khanza jika sedang dilanda gelisah dan hal ini makin memperkuat keyakinanku tentang siapa dirinya."Pak Ustadz, kalau diperbolehkan, saya ingin melihat wajah putri angkat Anda. Bisakah dia membuka cadarnya di hadapan saya?""Emir!" Papa membentak. Pasti beliau tidak pernah menduga aku akan mengajukan permintaan seperti ini.Namun, sebelum semua orang beranggapan buruk, aku segera menjelaskan maksud permintaanku tersebut."Semenjak kemarin Anda memperkenalkan Humaira sebagai putri angka Anda, saya merasakan keterikatan dengannya. Saya ... saya merasa kalau dia adalah Khanza. Istri saya yang menghilang selama satu tahun ini."Ustadz Hakim terperangah. Pun dengan Umi Salamah yang duduk berdampingan dengan Humaira."Maaf, Nak Emir. Ini maksudnya apa? Bukankah istri Nak Emir itu Najwa?" Ustadz Hakim terlihat bingung."Benar. Najwa memang istri saya, tapi lebih tepatnya istri kedua. Sebelum saya menikah dengan Najwa, saya telah memiliki istri yaitu Khanza. Sayangnya istri saya pergi dari rumah dan tidak ada satu pun di antara kami yang mengetahui ke mana dia pergi. Saya mohon, Pak Ustadz. Izinkan saya melihat wajah Humaira untuk membuktikan bahwa dugaan saya benar." Aku setengah mengiba.Ustadz Hakim terlihat bimbang. Aku mengerti karena ia pasti berat untuk mengabulkan permintaan ini."Emir, kamu yakin dia itu Khanza? Kamu tidak sedang mengada-ada, kan?" Mama angkat bicara. Ia pasti terkejut atas dugaan putranya ini."Yakin. Apalagi setelah tadi siang Emir mendengar langsung suaranya. Dia Khanza, Ma. Istri Emir.""Bagaimana ini, Pak Ustadz? Putra saya tidak mungkin salah mengenali suara istrinya. Jujur saja saya ikut penasaran ingin melihat wajah Humaira. Bisakah kami melihatnya sekarang untuk memastikan dugaan putra saya itu benar? Jika memang Humaira itu Khanza, kami akan membawanya kembali ke Jakarta." Mama begitu antusias. Beliau memang sangat menyayangi Khanza. Sudah Pasti Mama sangat senang jika menantunya akhirnya diketemukan."Saya tidak bisa memutuskan hal ini. Saya serahkan pada Humaira untuk menjawabnya." Ustadz Hakim menoleh ke arah putri angkatnya."Bagaimana, Nak? Kamu bersedia mengabulkan permintaan Nak Emir dan mamanya? Jika bersedia, Abi persilakan kamu untuk membuka cadar tetapi tidak di sini dan hanya mamanya Nak Emir yang bisa melihat. Hal ini Abi sarankan untuk menghindari fitnah. Karena bisa saja dugaan Nak Emir itu salah."Fokus kami sepenuhnya tertuju ke arah Humaira. Putri angkat Ustadz Hakim itu makin terlihat gelisah. Sejurus kemudian, ia mendongak, menatap kami satu per satu."Bagaimana, Nak? Apa kamu bersedia?" Umi Salamah mengulang pertanyaan.**Bersambung."Mas, jangan deket-deket! Aku mual nyium bau badan kamu!"Aku menghela napas pasrah sembari menuruti keinginannya. Memberi jarak agak jauh karena dia yang katanya mual jika berdekatan denganku. Kehamilan Khanza kali ini lebih parah dari yang pertama. Itu yang ia katakan ketika aku bertanya tentang perbedaan dengan kehamilannya yang dulu. Jika dulu ia masih bisa makan nasi, maka sekarang mencium baunya saja ia langsung muntah. Dan yang paling parah, ia selalu mengusirku jika suaminya ini sedang ingin bermanja dengannya. Akan tetapi, aku tetap bersabar demi dia dan calon bayi kami. Apa pun keinginannya akan aku turuti termasuk ketika ia memintaku mengambilkan mangga muda di pohon yang letaknya di depan rumah Ustadz Hakim. Bayangkan. Malam-malam kami berangkat ke Ciamis demi memenuhi permintaan ngidamnya yang aneh.Namun meski begitu, aku bahagia. Akhirnya aku bisa menjadi seorang ayah dari anak yang lahir dari rahim wanita yang sangat kucintai. Rumah tanggaku dengan Khanza di pernik
"Lebih baik Mas Emir mencari wanita lain untuk dijadikan pendamping. Jangan wanita cacat sepertiku yang bahkan untuk berjalan saja susah."Itulah jawaban Khanza atas pertanyaanku hari itu. Dia menolak ketika aku melamarnya secara langsung. Akan tetapi, bukan Emir namanya jika menyerah begitu saja. Akan kulakukan berbagai cara untuk membujuknya agar ia mau menerima. "Mas tidak menginginkan wanita lain. Jika mau, Mas bisa saja menerima Kiyomi yang tergila-gila sama Mas. Tapi Mas menolaknya karena memang tidak mencintainya. Hanya kamu dan cuma kamu. Andai kita tidak bisa bersama lagi, lebih baik Mas menduda seumur hidup," tuturku selembut mungkin. Berharap ia merasa tersanjung atas penuturanku barusan. "Manis sekali. Andai saja dulu Mas bisa bersikap seperti itu. Tegas menolak hadirnya wanita lain di tengah pernikahan kita. Mungkin jalan ceritanya akan berbeda," pungkasnya yang selalu berhasil membuatku tak berkutik. "Mas rela meminta maaf sampai beribu-ribu kali untuk hal yang satu i
"Wildan dan Khanza dinyatakan kritis."Keterangan dari Ustadz Hakim membuat tubuhku makin lemas. Tidak. Khanza tidak boleh pergi meninggalkanku selamanya. Dia harus sembuh karena ada bayinya yang sangat membutuhkannya. Papa menuntunku untuk duduk di kursi tunggu. Beliau mengusap punggung putranya ini yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mengapa orang-orang baik seperti mereka harus mengalami hal tragis seperti ini? Mengapa tidak aku saja yang menggantikan posisi mereka?"Khanza tidak akan pergi kan, Pa? Dia harus tetap hidup demi anaknya. Katakan pada Dokter untuk menyelematkan mereka. Berapapun biayanya tidak masalah. Emir akan membayar semuanya," racauku seraya meremas rambut dengan kasar. "Tenanglah. Daripada meracau seperti ini lebih baik kamu berdoa. Papa paham perasaanmu. Tapi kita tidak bisa melawan apa yang sudah Tuhan gariskan untuk setiap umatnya," ucapnya bijak.Ya, aku paham dan mengerti maksud ucapan Papa. Akan tetapi, tetap saja hati ini dilanda ketakutan
"Papa senang akhirnya kamu bisa fokus pada pekerjaan. Perusahaan kita makin maju di tanganmu," ucap Papa ketika kami tengah mengobrol di ruang tengah. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Satu tahun sudah semenjak pertemuanku dengan Khanza di pesta pernikahan Aidan, kami tidak pernah bersua kembali. Hanya kabar terakhir yang kudengar dari Mama, bahwa Khanza baru saja melahirkan. Akhirnya, impian Khanza untuk memiliki momongan terkabul. Aku turut senang mendengar kabar bahagia itu meski dalam sudut hati yang lain merasa iri. Kenapa bukan aku ayah dari anak yang dikandung Khanza? Mengapa di saat ia menikah dengan pria lain, Tuhan memberi anugerah sebesar itu kepada mantan istriku?"Emir.""Ya, Pa?" Guncangan di bahu aku rasakan. Sepertinya aku terlalu larut dalam lamunan tentang mantan istriku hingga tidak mendengar panggilan dari Papa. "Melamun lagi, hmm?" tanyanya. Aku menghela napas. "Sedikit." Papa memandang sendu putranya ini. Wajahnya yang tadi ceria berubah murung ketika m
Keinginan Kiyomi untuk berpindah agama ternyata tidak main-main. Ia sangat antusias ketika aku mempertemukan dia dengan Ustadz Hakim. Semoga saja jalannya dipermudah hingga ia benar-benar diberi hidayah untuk berubah. Aku sendiri memilih berpamitan setelah menitipkan Kiyomi di sana. Awalnya wanita itu keberatan, tetapi aku meyakinkan dia bahwa aku akan sesekali mengunjunginya. Jujur aku masih tidak menduga dia bisa senekat itu demi seorang pria. Bahkan Kiyomi sampai menentang kedua orang tuanya karena melarang gadis itu berpindah agama. Cinta memang buta dan pepatah itu benar adanya. Namun, aku salut karena dengan kejadian ini, Kiyomi berniat memeluk Islam dan semoga saja ia akan Istiqomah dengan niatnya tersebut. Dua bulan sudah gadis itu tinggal di Pondok dan aku belum pernah sekalipun menemuinya. Hanya sesekali bertanya pada Ustadz Hakim tentang perkembangannya di sana. Kabar baik aku dapatkan. Kiyomi begitu tekun memperdalam ilmu agama, bahkan ia sempat menangis ketika Ustadz H
Pov Emir"Selamat menempuh hidup baru lagi. Mas akan selalu mendoakan semoga kalian berbahagia sampai maut memisahkan."Doa yang aku ucapkan untuk Khanza benar-benar tulus. Mantan istri yang masih sangat kucintai itu memang berhak mendapatkan kebahagiaan bersama pria yang tepat untuknya. Dokter Wildan. Pria itu sudah sah menjadi suami Khanza, menggantikan diriku yang kini harus mengikhlaskan mereka berdua. Benar apa yang dikatakan Papa. Tidak semua hal yang kita inginkan akan kita dapatkan, termasuk ketika aku ingin memiliki Khanza kembali. Aku yang telah menyakitinya. Aku juga yang telah membuang dengan memilih melepaskannya. Kini aku harus memetik hasil dari keputusanku tersebut. Mengikhlaskan ia bersama pria lain yang jauh lebih baik dariku. "Terima kasih, Mas."Suara lembutnya terdengar bergetar. Ia menangis. Entah karena bahagia atau justru karena mengasihani mantan suaminya ini. Tidak. Aku tidak boleh membuatnya menangis, apalagi di hari bahagianya. Karena itulah, aku bergeg