Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam ketika aku terpaksa meninggalkan Najwa di peraduan. Bayang wanita bercadar itu terus mengusik ingatan ini hingga mata pun tak jua bisa terpejam.
Humaira atau Khanza?Pertanyaan itu tak hentinya berputar di dalam otak. Andai benar ia adalah Khanza, lantas mengapa ia justru menolak kehadiranku dan enggan bertemu denganku? Bukankah seharusnya ia senang karena berjumpa kembali dengan suami yang telah lama tidak ditemuinya ini?Kuambil gawai yang sengaja kubawa sambil duduk di balkon kamar. Mencari foto Khanza yang selama ini menjadi tempat pelampiasan jika diri ini tengah merindu padanya. Foto dirinya yang tengah tersenyum sambil memperlihatkan cincin hadiah anniversary dariku ketika kami merayakan ulang tahun pernikahan yang pertama. Tak sadar, bibir ini ikut tersenyum ketika mengingat moment bahagia itu."Mas merindukanmu," gumamku seraya mengusap fotonya di layar ponsel."Kenapa kamu memilih pergi dan tak kembali? Apa Mas punya salah padamu? Apa kamu tahu Mas telah menikah dengan Najwa?" Aku berbicara sendiri, berharap segala pertanyaan dalam benak ini mendapatkan jawaban meski aku tau hal itu terasa mustahil."Mas kenapa duduk di sini?" Suara lembut Najwa membuyarkan lamunan tentang Khanza. Istri keduaku pasti terbangun karena aku tidak berada di sisinya."Mas tidak bisa tidur. Kenapa bangun, hmm?""Karena Mas tidak ada di sampingku."Benar dugaanku. Entah mengapa akhir-akhir ini Najwa bersikap sangat manja. Ia tidak akan lelap jika aku tidak memeluknya ketika tidur."Mas sedang memikirkan Mbak Khanza?" Tatapan Najwa tertuju pada foto Khanza di layar ponselku."Ya. Mas sedang mengingatnya." Aku menarik lengannya agar ia duduk di sampingku. "Maaf, bukan maksud Mas mengabaikanmu. Mas hanya masih penasaran dengan wanita yang berada di pondok Ustadz Hakim. Entah mengapa Mas sangat yakin bahwa dia adalah Khanza.""Aku mengerti. Mas pasti sangat merindukan Mbak Khanza."Aku mengangguk. Tangan ini menggenggam jemarinya dengan erat. "Terima kasih. Kamu tidak perlu khawatir. Andai benar wanita itu adalah Khanza, kamu tetap akan menjadi istriku sampai kapanpun. Kalian menempati posisi yang sama di hati ini," tuturku lembut sambil membawa jemarinya untuk kukecup."Ya, aku percaya." Dia tersenyum. "Mas, boleh aku memberi saran?" sambungnya lagi."Katakan, Sayang."Najwa mengambil ponsel yang aku letakkan di atas paha. Istri keduaku membuka kunci yang aku beritahu padanya, kemudian memperlihatkan foto Khanza padaku."Kenapa Mas tidak memperlihatkan foto ini pada Ustadz Hakim atau Umi Salamah? Mungkin saja dengan melihat foto ini, mereka bisa memberitahu apa Humaira itu Mbak Khanza atau bukan."Aku terperangah. Merutuki diri yang sama sekali tidak terpikirkan akan hal itu."Kamu benar. Kenapa Mas tidak berpikir sampai ke sana?""Karena Mas terlalu fokus pada Humaira. Bahkan Mas sampai melupakan aku yang duduk di samping Mas." Raut Najwa berubah sendu. Aku makin merasa bersalah karena hampir melupakannya waktu itu."Maaf. Mas terlalu penasaran dan ingin membuktikan bahwa dugaan Mas benar sampai lupa siapa saja yang berada di ruangan itu. Sekali lagi maaf. Mas janji tidak akan seperti itu lagi.""Ya, aku akan selalu memaafkan Mas."Aku berterima kasih padanya. Najwa menuntunku untuk berdiri hingga kini kami berhadapan. Dibelainya wajah ini dengan lembut. Aku menikmatinya dengan memejamkan mata dan naasnya yang muncul adalah bayang wajah Khanza. "Kita tidur. Aku ingin dipeluk sebelum nanti saat-saat seperti ini tidak akan bisa aku rasakan setiap hari. Setelah Mbak Khanza kembali, semua yang ada pada diri Mas bukan milikku seorang. Seperti dulu di awal pernikahan kita, aku kembali harus membiasakan diri untuk berbagi," ujarnya. Terselip nada sedih dalam setiap kalimat yang ia ucapkan."Maaf karena telah membawamu ke dalam kondisi seperti ini. Mungkin Mas termasuk pria yang serakah karena menginginkanmu di saat Mas sudah terikat tali pernikahan dengan Khanza. Percayalah, Mas juga mencintaimu sama halnya mencintai Khanza. Mas pastikan, kalian berdua akan tetap menjadi istri Mas sampai kapanpun."Kalimat itu aku tutup dengan memberi kecupan di keningnya cukup lama.🍁🍁🍁Satu Minggu ini aku disibukkan oleh pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Sedikit masalah di perusahaan cukup menguras waktu dan pikiran hingga aku tidak bisa berkunjung ke pondok Ustadz Hakim secepatnya. Beruntung Papa ikut turun tangan hingga aku bisa menyelesaikannya tanpa harus menunggu terlalu lama.Aku sudah tidak sabar untuk kembali menemui Humaira. Saran dari Najwa malam itu membuatku lebih bersemangat untuk kembali membuktikan bahwa Humaira dan Khanza adalah orang yang sama. Andai itu benar, aku tidak akan menunggu lebih lama lagi. Akan kubawa Khanza pulang dan tidak akan aku biarkan dia pergi lagi dari hidupku."Emir, Papa mau bicara."Papa menepuk sofa di sampingnya. Aku yang sebenarnya lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, terpaksa menuruti permintaannya."Ada apa, Pa?""Papa dengar dari Mama, katanya besok kamu akan berkunjung ke pondok Ustadz Hakim?""Ya. Emir masih ingin membuktikan kalau wanita yang kita temui itu Khanza."Papa menghela napas. Sepertinya beliau ingin menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan kepergianku besok."Papa rasa, sebaiknya kamu tidak usah ke sana. Mungkin memang dia bukan Khanza seperti apa yang kamu yakini selama ini.""Kenapa Papa bisa berbicara seperti itu?" Aku mengerutkan dahi. "Bagaimana Papa bisa yakin kalau dia bukan Khanza?" cecarku lagi."Karena ...."Papa seperti ragu mengucapkannya."Karena?""Karena malam ini ada pria yang akan mengkhitbah Humaira. Itu yang dikatakan Ustadz Hakim pada Papa."**Bersambung."Mas, jangan deket-deket! Aku mual nyium bau badan kamu!"Aku menghela napas pasrah sembari menuruti keinginannya. Memberi jarak agak jauh karena dia yang katanya mual jika berdekatan denganku. Kehamilan Khanza kali ini lebih parah dari yang pertama. Itu yang ia katakan ketika aku bertanya tentang perbedaan dengan kehamilannya yang dulu. Jika dulu ia masih bisa makan nasi, maka sekarang mencium baunya saja ia langsung muntah. Dan yang paling parah, ia selalu mengusirku jika suaminya ini sedang ingin bermanja dengannya. Akan tetapi, aku tetap bersabar demi dia dan calon bayi kami. Apa pun keinginannya akan aku turuti termasuk ketika ia memintaku mengambilkan mangga muda di pohon yang letaknya di depan rumah Ustadz Hakim. Bayangkan. Malam-malam kami berangkat ke Ciamis demi memenuhi permintaan ngidamnya yang aneh.Namun meski begitu, aku bahagia. Akhirnya aku bisa menjadi seorang ayah dari anak yang lahir dari rahim wanita yang sangat kucintai. Rumah tanggaku dengan Khanza di pernik
"Lebih baik Mas Emir mencari wanita lain untuk dijadikan pendamping. Jangan wanita cacat sepertiku yang bahkan untuk berjalan saja susah."Itulah jawaban Khanza atas pertanyaanku hari itu. Dia menolak ketika aku melamarnya secara langsung. Akan tetapi, bukan Emir namanya jika menyerah begitu saja. Akan kulakukan berbagai cara untuk membujuknya agar ia mau menerima. "Mas tidak menginginkan wanita lain. Jika mau, Mas bisa saja menerima Kiyomi yang tergila-gila sama Mas. Tapi Mas menolaknya karena memang tidak mencintainya. Hanya kamu dan cuma kamu. Andai kita tidak bisa bersama lagi, lebih baik Mas menduda seumur hidup," tuturku selembut mungkin. Berharap ia merasa tersanjung atas penuturanku barusan. "Manis sekali. Andai saja dulu Mas bisa bersikap seperti itu. Tegas menolak hadirnya wanita lain di tengah pernikahan kita. Mungkin jalan ceritanya akan berbeda," pungkasnya yang selalu berhasil membuatku tak berkutik. "Mas rela meminta maaf sampai beribu-ribu kali untuk hal yang satu i
"Wildan dan Khanza dinyatakan kritis."Keterangan dari Ustadz Hakim membuat tubuhku makin lemas. Tidak. Khanza tidak boleh pergi meninggalkanku selamanya. Dia harus sembuh karena ada bayinya yang sangat membutuhkannya. Papa menuntunku untuk duduk di kursi tunggu. Beliau mengusap punggung putranya ini yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mengapa orang-orang baik seperti mereka harus mengalami hal tragis seperti ini? Mengapa tidak aku saja yang menggantikan posisi mereka?"Khanza tidak akan pergi kan, Pa? Dia harus tetap hidup demi anaknya. Katakan pada Dokter untuk menyelematkan mereka. Berapapun biayanya tidak masalah. Emir akan membayar semuanya," racauku seraya meremas rambut dengan kasar. "Tenanglah. Daripada meracau seperti ini lebih baik kamu berdoa. Papa paham perasaanmu. Tapi kita tidak bisa melawan apa yang sudah Tuhan gariskan untuk setiap umatnya," ucapnya bijak.Ya, aku paham dan mengerti maksud ucapan Papa. Akan tetapi, tetap saja hati ini dilanda ketakutan
"Papa senang akhirnya kamu bisa fokus pada pekerjaan. Perusahaan kita makin maju di tanganmu," ucap Papa ketika kami tengah mengobrol di ruang tengah. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Satu tahun sudah semenjak pertemuanku dengan Khanza di pesta pernikahan Aidan, kami tidak pernah bersua kembali. Hanya kabar terakhir yang kudengar dari Mama, bahwa Khanza baru saja melahirkan. Akhirnya, impian Khanza untuk memiliki momongan terkabul. Aku turut senang mendengar kabar bahagia itu meski dalam sudut hati yang lain merasa iri. Kenapa bukan aku ayah dari anak yang dikandung Khanza? Mengapa di saat ia menikah dengan pria lain, Tuhan memberi anugerah sebesar itu kepada mantan istriku?"Emir.""Ya, Pa?" Guncangan di bahu aku rasakan. Sepertinya aku terlalu larut dalam lamunan tentang mantan istriku hingga tidak mendengar panggilan dari Papa. "Melamun lagi, hmm?" tanyanya. Aku menghela napas. "Sedikit." Papa memandang sendu putranya ini. Wajahnya yang tadi ceria berubah murung ketika m
Keinginan Kiyomi untuk berpindah agama ternyata tidak main-main. Ia sangat antusias ketika aku mempertemukan dia dengan Ustadz Hakim. Semoga saja jalannya dipermudah hingga ia benar-benar diberi hidayah untuk berubah. Aku sendiri memilih berpamitan setelah menitipkan Kiyomi di sana. Awalnya wanita itu keberatan, tetapi aku meyakinkan dia bahwa aku akan sesekali mengunjunginya. Jujur aku masih tidak menduga dia bisa senekat itu demi seorang pria. Bahkan Kiyomi sampai menentang kedua orang tuanya karena melarang gadis itu berpindah agama. Cinta memang buta dan pepatah itu benar adanya. Namun, aku salut karena dengan kejadian ini, Kiyomi berniat memeluk Islam dan semoga saja ia akan Istiqomah dengan niatnya tersebut. Dua bulan sudah gadis itu tinggal di Pondok dan aku belum pernah sekalipun menemuinya. Hanya sesekali bertanya pada Ustadz Hakim tentang perkembangannya di sana. Kabar baik aku dapatkan. Kiyomi begitu tekun memperdalam ilmu agama, bahkan ia sempat menangis ketika Ustadz H
Pov Emir"Selamat menempuh hidup baru lagi. Mas akan selalu mendoakan semoga kalian berbahagia sampai maut memisahkan."Doa yang aku ucapkan untuk Khanza benar-benar tulus. Mantan istri yang masih sangat kucintai itu memang berhak mendapatkan kebahagiaan bersama pria yang tepat untuknya. Dokter Wildan. Pria itu sudah sah menjadi suami Khanza, menggantikan diriku yang kini harus mengikhlaskan mereka berdua. Benar apa yang dikatakan Papa. Tidak semua hal yang kita inginkan akan kita dapatkan, termasuk ketika aku ingin memiliki Khanza kembali. Aku yang telah menyakitinya. Aku juga yang telah membuang dengan memilih melepaskannya. Kini aku harus memetik hasil dari keputusanku tersebut. Mengikhlaskan ia bersama pria lain yang jauh lebih baik dariku. "Terima kasih, Mas."Suara lembutnya terdengar bergetar. Ia menangis. Entah karena bahagia atau justru karena mengasihani mantan suaminya ini. Tidak. Aku tidak boleh membuatnya menangis, apalagi di hari bahagianya. Karena itulah, aku bergeg
Pov Khanza. "Boleh minta waktunya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan padamu."Suara Dokter Wildan menghentikan langkahku yang baru saja keluar dari ruang rawat Najwa. Berbalik, aku bisa melihat keseriusan di wajahnya. "Anda ingin bicara apa?""Bagaimana kalau sambil makan siang di Kantin? Supaya ngobrolnya agak enakan," tawarnya. Aku sempat ragu karena sebenarnya tidak nyaman jika harus berduaan dengannya. Akan tetapi, mengingat mungkin saja apa yang akan ia bicarakan adalah hal yang penting, maka terpaksa aku menyetujuinya. "Boleh."Dokter Wildan mempersilakan aku untuk berjalan terlebih dahulu, sedangkan dia mengikut di belakangku. Kami memasuki Kantin yang cukup ramai karena memang sudah saatnya jam makan siang. "Apa yang ingin Anda bicarakan?" tanyaku setelah pesanan kami datang. Dokter Wildan yang duduk berhadapan denganku memberi isyarat agar kami makan terlebih dahulu sebelum memulai obrolan. Menghela napas, kuturuti keinginannya meski hati sedikit jengkel. Tidak tah
"Kamu?"Ternyata informasi dari Mama memang benar. Kiyomi sudah duduk manis di ruang tamu dan ditemani Mama yang memasang wajah ditekuk. Sangat kentara kalau ia tidak menyukai kedatangan wanita ini. "Emir! Akhirnya kita bertemu lagi."Kiyomi berdiri, bergerak mendekat ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. Hampir saja wanita ini mendaratkan kecupan di pipi, tetapi beruntung, aku dengan sigap menjauh dari jangkauannya. Kiyomi terlihat kecewa dan aku sama sekali tidak peduli. Gadis asal Tokyo ini memang cukup fasih berbahasa Indonesia karena ia pernah bercerita bahwa dulu pernah menetap cukup lama di sini bersama orang tuanya. Namun, setelah Kiyomi lulus SMA, mereka kembali ke negara asal karena kedua orang tuanya harus mengurus perusahaan keluarga yang terbengkalai. Perkenalanku dengan gadis itu ketika ia berkunjung ke salah satu Resto milikku. Kiyomi ternyata salah satu teman baik dari Daniel, sahabat sekaligus partner kerjaku di sana. Gadis itu memang cantik, pun dengan pe
Pov Emir."Emir, Najwa kecelakaan dan dia ingin bertemu denganmu."Berita tentang Najwa telah kudengar dari Aidan. Mantan kakak iparku tersebut memintaku untuk datang ke rumah sakit dan menjenguk Najwa yang katanya ... selalu memanggil namaku. Tak aku pungkiri, rasa cemas tentu hadir ketika mendengar berita itu. Apalagi Aidan berkata bahwa kondisi Najwa bisa dikatakan cukup parah. "Biar Mama yang menemani kamu ke sana."Aku bernapas lega ketika Mama bersedia mengantarku. Beliau pasti mengerti bahwa putranya ini agak canggung jika harus datang ke sana sendirian, mengingat statusku dan Najwa yang hanya sebatas mantan. Namun, ada yang sedikit mengganjal ketika mengingat kembali perkataan Aidan. Najwa selalu memanggil namaku bahkan sebelum ia sadarkan diri sepenuhnya. Sebenarnya, ada apa dengan Najwa? Mengapa setelah kami berpisah cukup lama, ia masih saja menyimpan namaku di hatinya?Setengah jam perjalanan terasa sangat cepat. Aku dan Mama langsung menuju ruang rawat Najwa atas petun