Share

Bab 4

Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam ketika aku terpaksa meninggalkan Najwa di peraduan. Bayang wanita bercadar itu terus mengusik ingatan ini hingga mata pun tak jua bisa terpejam.

Humaira atau Khanza?

Pertanyaan itu tak hentinya berputar di dalam otak. Andai benar ia adalah Khanza, lantas mengapa ia justru menolak kehadiranku dan enggan bertemu denganku? Bukankah seharusnya ia senang karena berjumpa kembali dengan suami yang telah lama tidak ditemuinya ini?

Kuambil gawai yang sengaja kubawa sambil duduk di balkon kamar. Mencari foto Khanza yang selama ini menjadi tempat pelampiasan jika diri ini tengah merindu padanya. Foto dirinya yang tengah tersenyum sambil memperlihatkan cincin hadiah anniversary dariku ketika kami merayakan ulang tahun pernikahan yang pertama. Tak sadar, bibir ini ikut tersenyum ketika mengingat moment bahagia itu.

"Mas merindukanmu," gumamku seraya mengusap fotonya di layar ponsel.

"Kenapa kamu memilih pergi dan tak kembali? Apa Mas punya salah padamu? Apa kamu tahu Mas telah menikah dengan Najwa?" Aku berbicara sendiri, berharap segala pertanyaan dalam benak ini mendapatkan jawaban meski aku tau hal itu terasa mustahil.

"Mas kenapa duduk di sini?" Suara lembut Najwa membuyarkan lamunan tentang Khanza. Istri keduaku pasti terbangun karena aku tidak berada di sisinya.

"Mas tidak bisa tidur. Kenapa bangun, hmm?"

"Karena Mas tidak ada di sampingku."

Benar dugaanku. Entah mengapa akhir-akhir ini Najwa bersikap sangat manja. Ia tidak akan lelap jika aku tidak memeluknya ketika tidur.

"Mas sedang memikirkan Mbak Khanza?" Tatapan Najwa tertuju pada foto Khanza di layar ponselku.

"Ya. Mas sedang mengingatnya." Aku menarik lengannya agar ia duduk di sampingku. "Maaf, bukan maksud Mas mengabaikanmu. Mas hanya masih penasaran dengan wanita yang berada di pondok Ustadz Hakim. Entah mengapa Mas sangat yakin bahwa dia adalah Khanza."

"Aku mengerti. Mas pasti sangat merindukan Mbak Khanza."

Aku mengangguk. Tangan ini menggenggam jemarinya dengan erat. "Terima kasih. Kamu tidak perlu khawatir. Andai benar wanita itu adalah Khanza, kamu tetap akan menjadi istriku sampai kapanpun. Kalian menempati posisi yang sama di hati ini," tuturku lembut sambil membawa jemarinya untuk kukecup.

"Ya, aku percaya." Dia tersenyum. "Mas, boleh aku memberi saran?" sambungnya lagi.

"Katakan, Sayang."

Najwa mengambil ponsel yang aku letakkan di atas paha. Istri keduaku membuka kunci yang aku beritahu padanya, kemudian memperlihatkan foto Khanza padaku.

"Kenapa Mas tidak memperlihatkan foto ini pada Ustadz Hakim atau Umi Salamah? Mungkin saja dengan melihat foto ini, mereka bisa memberitahu apa Humaira itu Mbak Khanza atau bukan."

Aku terperangah. Merutuki diri yang sama sekali tidak terpikirkan akan hal itu.

"Kamu benar. Kenapa Mas tidak berpikir sampai ke sana?"

"Karena Mas terlalu fokus pada Humaira. Bahkan Mas sampai melupakan aku yang duduk di samping Mas." Raut Najwa berubah sendu. Aku makin merasa bersalah karena hampir melupakannya waktu itu.

"Maaf. Mas terlalu penasaran dan ingin membuktikan bahwa dugaan Mas benar sampai lupa siapa saja yang berada di ruangan itu. Sekali lagi maaf. Mas janji tidak akan seperti itu lagi."

"Ya, aku akan selalu memaafkan Mas."

Aku berterima kasih padanya. Najwa menuntunku untuk berdiri hingga kini kami berhadapan. Dibelainya wajah ini dengan lembut. Aku menikmatinya dengan memejamkan mata dan naasnya yang muncul adalah bayang wajah Khanza.

"Kita tidur. Aku ingin dipeluk sebelum nanti saat-saat seperti ini tidak akan bisa aku rasakan setiap hari. Setelah Mbak Khanza kembali, semua yang ada pada diri Mas bukan milikku seorang. Seperti dulu di awal pernikahan kita, aku kembali harus membiasakan diri untuk berbagi," ujarnya. Terselip nada sedih dalam setiap kalimat yang ia ucapkan.

"Maaf karena telah membawamu ke dalam kondisi seperti ini. Mungkin Mas termasuk pria yang serakah karena menginginkanmu di saat Mas sudah terikat tali pernikahan dengan Khanza. Percayalah, Mas juga mencintaimu sama halnya mencintai Khanza. Mas pastikan, kalian berdua akan tetap menjadi istri Mas sampai kapanpun."

Kalimat itu aku tutup dengan memberi kecupan di keningnya cukup lama.

🍁🍁🍁

Satu Minggu ini aku disibukkan oleh pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Sedikit masalah di perusahaan cukup menguras waktu dan pikiran hingga aku tidak bisa berkunjung ke pondok Ustadz Hakim secepatnya. Beruntung Papa ikut turun tangan hingga aku bisa menyelesaikannya tanpa harus menunggu terlalu lama.

Aku sudah tidak sabar untuk kembali menemui Humaira. Saran dari Najwa malam itu membuatku lebih bersemangat untuk kembali membuktikan bahwa Humaira dan Khanza adalah orang yang sama. Andai itu benar, aku tidak akan menunggu lebih lama lagi. Akan kubawa Khanza pulang dan tidak akan aku biarkan dia pergi lagi dari hidupku.

"Emir, Papa mau bicara."

Papa menepuk sofa di sampingnya. Aku yang sebenarnya lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, terpaksa menuruti permintaannya.

"Ada apa, Pa?"

"Papa dengar dari Mama, katanya besok kamu akan berkunjung ke pondok Ustadz Hakim?"

"Ya. Emir masih ingin membuktikan kalau wanita yang kita temui itu Khanza."

Papa menghela napas. Sepertinya beliau ingin menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan kepergianku besok.

"Papa rasa, sebaiknya kamu tidak usah ke sana. Mungkin memang dia bukan Khanza seperti apa yang kamu yakini selama ini."

"Kenapa Papa bisa berbicara seperti itu?" Aku mengerutkan dahi. "Bagaimana Papa bisa yakin kalau dia bukan Khanza?" cecarku lagi.

"Karena ...."

Papa seperti ragu mengucapkannya.

"Karena?"

"Karena malam ini ada pria yang akan mengkhitbah Humaira. Itu yang dikatakan Ustadz Hakim pada Papa."

*

*

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nyaprut
laki laki serakah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status