Share

Bab 5

"Kamu mau ke mana, Emir?"

Langkah ini terhenti. Aku kembali menoleh ke arah Papa yang ternyata menyusulku ke luar rumah.

"Emir harus ke Pondok Ustadz Hakim sekarang juga, Pa. Emir takut terlambat sampai di sana."

"Memangnya apa yang akan kamu lakukan di sana? Sudahlah, Emir. Terima saja kenyataan kalau ternyata Humaira itu bukan Khanza."

"Tidak, Pa. Emir masih harus membuktikan karena Emir yakin dia adalah Khanza." Aku bersikeras.

"Andai benar dia Khanza, apa kamu yakin dia akan bersedia kembali padamu? Ingat, Emir. Kamu sudah mengkhianatinya. Kamu menduakan dia tanpa sepengetahuan dirinya. Bagaimana seandainya Khanza memilih berpisah denganmu?"

Pertanyaan Papa cukup menohok. Ya, benar aku telah mengkhianati Khanza dengan menikahi Najwa secara diam-diam. Namun, tentu saja aku tidak akan membiarkan Khanza pergi apalagi meminta perpisahan. Setahun tanpa dirinya, aku bagai manusia yang kehilangan arah meski ada Najwa di sampingku. Aku tidak bisa membayangkan andai saja apa yang Papa katakan terjadi. Khanza meminta berpisah dan dia memilih bersama pria lain?

Tidak!

Sampai kapanpun Khanza hanya milikku. Tidak akan aku biarkan pria manapun memiliki dan merebutnya dariku.

"Emir pastikan, Khanza akan kembali ke rumah ini. Sampai kapanpun dia akan tetap menjadi istri Emir."

Setelahnya, aku bergegas menuju mobil tanpa menoleh lagi ke arah Papa. Saat ini yang terpenting adalah memperlihatkan foto Khanza kepada Ustadz Hakim sebelum semuanya terlambat. Semoga saja kali ini aku menemukan titik terang, karena jika sampai terbukti Humaira adalah Khanza, maka malam ini juga aku akan membawanya kembali ke rumah ini.

šŸšŸšŸ

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika aku sampai di kediaman Ustadz Hakim. Sang Ustadz terlihat mengantar beberapa orang ke luar dari rumahnya menuju mobil yang terparkir di pekarangan. Mereka pasti rombongan keluarga yang akan mengkhitbah Humaira. Seketika ketakutan menyergap diri ini. Bagaimana jika Humaira telah menerima pinangan dari pria itu?

Aku sengaja menunggu di dalam mobil hingga rombongan itu pergi. Setelah mobil mereka keluar dari area rumah Ustadz Hakim, aku bergegas turun sebelum Sang Ustadz kembali masuk.

"Tunggu, Pak Ustadz!"

Dia menoleh dan terlihat terkejut akan kedatanganku.

"Nak Emir?"

"Ya, Pak Ustadz. Ini saya. Bisakah kita berbicara sebentar? Ada yang ingin saya tunjukkan," ucapku sebelum beliau kembali bertanya.

"Silakan masuk dulu. Kita berbicara di dalam saja."

Aku mengikuti Ustadz Hakim memasuki rumah. Umi Salamah yang tengah membereskan hidangan di ruang tamu pun terlihat terkejut melihatku.

"Nak Emir?"

"Nak Emir ingin menunjukkan sesuatu pada kita. Sebaiknya Umi duduk dulu. Kita lihat apa yang akan Nak Emir tunjukkan," terang Ustadz Hakim kepada istrinya.

Umi Salamah menurut. Beliau mengikuti suaminya duduk di sofa panjang di ruangan ini.

"Silakan, Nak Emir."

Tak ingin membuang waktu, aku mengambil ponsel dan mencari foto Khanza di sana. Setelah kutemukan, aku menyerahkannya kepada Ustadz Hakim.

"Ini foto Khanza."

Ustad Hakim menatap foto di ponsel itu dengan lekat. Tak lama kemudian, ia beristighfar bersamaan dengan Umi Salamah.

"Bagaimana, Ustadz? Apa benar wajah mereka sama?" Aku sungguh tidak sabar.

Ustadz Hakim menghela napas berat. Ia mengembalikan ponsel itu padaku.

"Mungkin ini alasannya kenapa Humaira selalu menolak setiap lamaran yang datang padanya. Maaf, Nak Emir. Saya cukup terkejut akan hal ini. Wajah mereka memang sama. Tapi saya tidak habis pikir kenapa Humaira menyangkal waktu kemarin Nak Emir bersikeras mengatakan kalau dia itu Khanza." Ustadz Hakim memijat pelipisnya. Mungkin terlalu shock atas kenyataan yang baru ia ketahui.

"Untuk lebih jelasnya, bagaimana kalau kita memanggil Humaira ke sini saja? Kita tanyakan alasannya kenapa kemarin ia menyangkal. Mungkin Humaira punya alasan kuat hingga melakukan hal itu." Umi Salamah memberi saran yang tentu saja langsung kami setujui.

"Sebentar, Umi panggilkan dia dulu."

Aku mengangguk setuju. Meski sebenarnya ingin sekali langsung menemui Khanza dan memeluknya erat, tetapi aku harus menghargai mereka sang pemilik rumah. Aku berusaha sabar menunggu Umi Salamah memanggil Khanza di kamarnya.

Orang yang kami tunggu akhirnya tiba. Aku beranjak dari duduk untuk menghampirinya yang berdiri di samping Umi Salamah.

"Sayang ...."

Khanza masih enggan menatapku. Ia beringsut mundur dan berlindung di belakang tubuh ibu angkatnya.

"Khanza, kemarilah. Mas ingin memelukmu." Aku kembali mendekat, tetapi ia makin menjauh.

"Ustadz, tolong beritahu istri saya agar tidak menjauh. Saya ini suaminya. Saya berhak memeluknya," ujarku dengan frustasi. Penolakan Khanza untuk yang kesekian kalinya membuatku sedikit terpancing emosi.

"Nak Emir, bersabarlah. Biarkan Humaira duduk dulu supaya kita bisa berbicara dengan tenang." Ustadz Hakim memperingatkan. Aku terpaksa menurutinya meski hati ini tetap tidak rela melihat Khanza yang selalu menghindariku.

"Duduklah, Nak. Kita bicarakan ini baik-baik. Abi dan Umi pun ingin mendengar penjelasan darimu mengapa sampai membohongi kami selama ini."

"Maaf, Abi. Apa setelah ini, Abi akan meminta saya pergi dari sini?"

Khanza akhirnya angkat bicara. Ia masih tetap pada posisinya. Berdiri di samping Umi Salamah meski ibu angkatnya itu sudah memintanya untuk duduk.

"Kalau kamu memang istrinya Nak Emir, Abi tidak bisa menahanmu tetap di sini. Ada suamimu yang lebih berhak atas dirimu." Ustadz Hakim berkata dengan bijak. Tentu saja beliau tidak bisa mempertahankan Khanza untuk tinggal di sini karena saat ini ada aku yang lebih berhak atasnya.

"Kamu akan pulang bersama Mas. Bersiaplah, malam ini juga Mas akan membawamu kembali ke rumah kita."

"Rumah yang mana?"

Kali ini Khanza menatapku. Mata indahnya mengembun saat netra kami beradu tatap.

"Di rumah itu sudah ada wanita lain yang menempati posisiku. Aku ... aku tidak ingin kembali ke sana. Tolong, Mas Emir, lepaskan aku saja. Silakan ceraikan aku sekarang juga!"

"Astaghfirullah!"

*

*

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status