"Kamu mau ke mana, Emir?"
Langkah ini terhenti. Aku kembali menoleh ke arah Papa yang ternyata menyusulku ke luar rumah."Emir harus ke Pondok Ustadz Hakim sekarang juga, Pa. Emir takut terlambat sampai di sana.""Memangnya apa yang akan kamu lakukan di sana? Sudahlah, Emir. Terima saja kenyataan kalau ternyata Humaira itu bukan Khanza.""Tidak, Pa. Emir masih harus membuktikan karena Emir yakin dia adalah Khanza." Aku bersikeras."Andai benar dia Khanza, apa kamu yakin dia akan bersedia kembali padamu? Ingat, Emir. Kamu sudah mengkhianatinya. Kamu menduakan dia tanpa sepengetahuan dirinya. Bagaimana seandainya Khanza memilih berpisah denganmu?"Pertanyaan Papa cukup menohok. Ya, benar aku telah mengkhianati Khanza dengan menikahi Najwa secara diam-diam. Namun, tentu saja aku tidak akan membiarkan Khanza pergi apalagi meminta perpisahan. Setahun tanpa dirinya, aku bagai manusia yang kehilangan arah meski ada Najwa di sampingku. Aku tidak bisa membayangkan andai saja apa yang Papa katakan terjadi. Khanza meminta berpisah dan dia memilih bersama pria lain?Tidak!Sampai kapanpun Khanza hanya milikku. Tidak akan aku biarkan pria manapun memiliki dan merebutnya dariku."Emir pastikan, Khanza akan kembali ke rumah ini. Sampai kapanpun dia akan tetap menjadi istri Emir."Setelahnya, aku bergegas menuju mobil tanpa menoleh lagi ke arah Papa. Saat ini yang terpenting adalah memperlihatkan foto Khanza kepada Ustadz Hakim sebelum semuanya terlambat. Semoga saja kali ini aku menemukan titik terang, karena jika sampai terbukti Humaira adalah Khanza, maka malam ini juga aku akan membawanya kembali ke rumah ini.šššWaktu sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika aku sampai di kediaman Ustadz Hakim. Sang Ustadz terlihat mengantar beberapa orang ke luar dari rumahnya menuju mobil yang terparkir di pekarangan. Mereka pasti rombongan keluarga yang akan mengkhitbah Humaira. Seketika ketakutan menyergap diri ini. Bagaimana jika Humaira telah menerima pinangan dari pria itu?Aku sengaja menunggu di dalam mobil hingga rombongan itu pergi. Setelah mobil mereka keluar dari area rumah Ustadz Hakim, aku bergegas turun sebelum Sang Ustadz kembali masuk."Tunggu, Pak Ustadz!"Dia menoleh dan terlihat terkejut akan kedatanganku."Nak Emir?""Ya, Pak Ustadz. Ini saya. Bisakah kita berbicara sebentar? Ada yang ingin saya tunjukkan," ucapku sebelum beliau kembali bertanya."Silakan masuk dulu. Kita berbicara di dalam saja."Aku mengikuti Ustadz Hakim memasuki rumah. Umi Salamah yang tengah membereskan hidangan di ruang tamu pun terlihat terkejut melihatku."Nak Emir?""Nak Emir ingin menunjukkan sesuatu pada kita. Sebaiknya Umi duduk dulu. Kita lihat apa yang akan Nak Emir tunjukkan," terang Ustadz Hakim kepada istrinya.Umi Salamah menurut. Beliau mengikuti suaminya duduk di sofa panjang di ruangan ini."Silakan, Nak Emir."Tak ingin membuang waktu, aku mengambil ponsel dan mencari foto Khanza di sana. Setelah kutemukan, aku menyerahkannya kepada Ustadz Hakim."Ini foto Khanza."Ustad Hakim menatap foto di ponsel itu dengan lekat. Tak lama kemudian, ia beristighfar bersamaan dengan Umi Salamah."Bagaimana, Ustadz? Apa benar wajah mereka sama?" Aku sungguh tidak sabar.Ustadz Hakim menghela napas berat. Ia mengembalikan ponsel itu padaku."Mungkin ini alasannya kenapa Humaira selalu menolak setiap lamaran yang datang padanya. Maaf, Nak Emir. Saya cukup terkejut akan hal ini. Wajah mereka memang sama. Tapi saya tidak habis pikir kenapa Humaira menyangkal waktu kemarin Nak Emir bersikeras mengatakan kalau dia itu Khanza." Ustadz Hakim memijat pelipisnya. Mungkin terlalu shock atas kenyataan yang baru ia ketahui."Untuk lebih jelasnya, bagaimana kalau kita memanggil Humaira ke sini saja? Kita tanyakan alasannya kenapa kemarin ia menyangkal. Mungkin Humaira punya alasan kuat hingga melakukan hal itu." Umi Salamah memberi saran yang tentu saja langsung kami setujui."Sebentar, Umi panggilkan dia dulu."Aku mengangguk setuju. Meski sebenarnya ingin sekali langsung menemui Khanza dan memeluknya erat, tetapi aku harus menghargai mereka sang pemilik rumah. Aku berusaha sabar menunggu Umi Salamah memanggil Khanza di kamarnya.Orang yang kami tunggu akhirnya tiba. Aku beranjak dari duduk untuk menghampirinya yang berdiri di samping Umi Salamah."Sayang ...."Khanza masih enggan menatapku. Ia beringsut mundur dan berlindung di belakang tubuh ibu angkatnya."Khanza, kemarilah. Mas ingin memelukmu." Aku kembali mendekat, tetapi ia makin menjauh."Ustadz, tolong beritahu istri saya agar tidak menjauh. Saya ini suaminya. Saya berhak memeluknya," ujarku dengan frustasi. Penolakan Khanza untuk yang kesekian kalinya membuatku sedikit terpancing emosi."Nak Emir, bersabarlah. Biarkan Humaira duduk dulu supaya kita bisa berbicara dengan tenang." Ustadz Hakim memperingatkan. Aku terpaksa menurutinya meski hati ini tetap tidak rela melihat Khanza yang selalu menghindariku."Duduklah, Nak. Kita bicarakan ini baik-baik. Abi dan Umi pun ingin mendengar penjelasan darimu mengapa sampai membohongi kami selama ini.""Maaf, Abi. Apa setelah ini, Abi akan meminta saya pergi dari sini?"Khanza akhirnya angkat bicara. Ia masih tetap pada posisinya. Berdiri di samping Umi Salamah meski ibu angkatnya itu sudah memintanya untuk duduk."Kalau kamu memang istrinya Nak Emir, Abi tidak bisa menahanmu tetap di sini. Ada suamimu yang lebih berhak atas dirimu." Ustadz Hakim berkata dengan bijak. Tentu saja beliau tidak bisa mempertahankan Khanza untuk tinggal di sini karena saat ini ada aku yang lebih berhak atasnya."Kamu akan pulang bersama Mas. Bersiaplah, malam ini juga Mas akan membawamu kembali ke rumah kita.""Rumah yang mana?"Kali ini Khanza menatapku. Mata indahnya mengembun saat netra kami beradu tatap."Di rumah itu sudah ada wanita lain yang menempati posisiku. Aku ... aku tidak ingin kembali ke sana. Tolong, Mas Emir, lepaskan aku saja. Silakan ceraikan aku sekarang juga!""Astaghfirullah!"**Bersambung."Astaghfirullah, Nak. Jangan berbicara seperti itu!"Ustadz Hakim dan Umi Salamah menegur putri angkat mereka. Pun denganku yang hanya mampu menggelengkan kepala setelah mendengar permintaan Khanza. Menceraikan dia? Tentu saja tidak akan pernah aku lakukan sampai kapan pun!"Lalu saya harus bagaimana, Abi? Saya hanya perempuan biasa yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa suami saya ternyata telah menikah lagi. Saya tidak siap dan tidak akan pernah rela dimadu." Khanza terduduk di dekat Umi Salamah yang langsung menyambut istriku ke dalam pelukannya. Sedangkan aku? Hanya mampu menundukkan kepala, merasa malu kepada istriku, juga Ustadz Hakim dan istrinya."Jadi, alasan kamu pergi dari rumah itu karena kamu sudah tahu Mas menikah lagi?" Kali ini aku memberanikan diri menatap Khanza. "Ya. Aku sudah tahu kalau Mas Emir menikahi wanita lain secara diam-diam. Aku marah, aku sakit, dan aku benci kalian berdua! Aku memutuskan pergi karena aku sadar, aku tidak akan sanggup hidup dengan se
"Poligami tanpa meminta izin kepada istri pertama memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan sang istri pertama. Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap ( hak-hak ) yatim ( bilamana kamu menikahinya ), maka nikahilah perempuan ( lain ) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka ( nikahilah ) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Nak Emir masih ingat penggalan surat An-Nisa tersebut?"Perkataan Ustadz Hakim semalam masih melekat dalam ingatan ini. Ya, aku sadar telah melakukan kesalahan fatal dengan menyakiti Khanza. Ego dalam diri ini mencuat ketika Khanza tidak pernah mau mengabulkan permintaanku. Seharusnya, aku menuntunnya dengan sabar hingga hatinya terbuka dan secara ikhlas mau menjalankan kewajiban untuk menutup aurat. Bukan dengan menikahi wanita lain yang
Kepulangan Khanza disambut haru oleh Papa dan Mama. Kedua orangtuaku langsung menuju rumah ini ketika aku memberi kabar pada mereka. Suasana haru melingkupi kami. Mama tak hentinya menangis sambil memeluk tubuh menantu kesayangannya. Tak jarang, kalimat bernada sindiran ia lontarkan pada putranya ini yang telah menjadi sebab kepergian Khanza. Aku menerimanya dengan ikhlas. Se-pedas apa pun ucapan Mama, tetap aku terima karena memang begitulah kenyataannya. Aku-lah penyebab Khanza memilih pergi dan menjauh dari kami. Aku yang telah bermain hati dan menghadirkan orang ketiga dalam bahtera rumah tangga ini. "Kamu jangan pernah meninggalkan kami lagi. Hampir setiap malam Mama tidak bisa tidur karena mengkhawatirkanmu. Mama takut terjadi sesuatu yang buruk padamu. Mama tidak akan pernah berhenti menyalahkan Emir karena dia biang keladi masalah ini! Andai saja dia tidak jelalatan dan menikah lagi, kamu pasti tidak akan memilih pergi!""Sudah, Ma. Emir sudah menyadari kesalahannya. Kita bi
"Maaf jika Mas terkesan mengabaikanmu. Mas harus terus berada di samping Najwa untuk menguatkannya."Aku memberi penjelasan kepada Khanza agar ia tidak salah paham dan merasa diabaikan. Sebelum jenazah ayah mertuaku dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku sempatkan menghampiri Khanza yang terus didampingi oleh Mama. "Tidak apa, aku mengerti.""Kamu tidak marah?" Aku memastikan."Kenapa harus marah? Dia kan istri Mas Emir juga.""Berjanjilah untuk tidak berpikiran macam-macam. Mas janji setelah semuanya selesai, Mas akan lebih sering menghabiskan waktu denganmu.""Tidak perlu terlalu berlebihan, lakukan saja sewajarnya. Aku tidak akan menuntut waktu lebih banyak karena aku tidak ingin dikatakan sebagai istri yang serakah. Berbagi waktulah dengan adil padaku juga Najwa."Perkataan Khanza sama sekali tidak membuatku senang. Ia seolah menghindar dariku yang sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. "Mas hanya ingin mengganti waktu satu tahun selama kita
Pov Khanza"Jaga diri baik-baik, Abi dan Umi akan selalu mendoakan kamu. Jika suatu saat kamu memutuskan untuk menyerah, kembalilah ke sini. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu."Perkataan Abi Hakim menjadi pengantar ketika aku memutuskan untuk kembali bersama Mas Emir. Meski hati ini berat melakukannya, aku berusaha menerima takdir diri yang ternyata dipertemukan kembali dengan suamiku. Emir Alfaraz ... suami yang kukira sangat mencintaiku, ternyata tega menduakan diri ini. Marah, benci, bahkan hancur. Itulah gambaran hatiku saat itu. Mas Emir telah menodai ikatan suci pernikahan dengan menghadirkan orang ketiga dalam bahtera rumah tangga kami. Tidak ada pilihan lain selain pergi. Hidup bersama pengkhianat hanya akan memupuk luka yang terus menggerogoti hati ini. Ikhlas Berbagi? Tidak!Aku tidak akan pernah sudi berbagi dengan wanita lain. Hidupku terlalu berharga jika harus bertahan dengan suami yang telah tega mendua. Tidak ada jaminan ia akan berlaku adil jika aku mene
Pov Khanza"Kenapa Anda membawa saya ke tempat ini?"Pria yang ternyata Kakak dari Najwa menarik wajahnya yang tadi begitu dekat. Ia berjalan menuju lemari usang yang tidak jauh dari ranjang tempatku duduk dan menyandarkan tubuhnya di sana. "Supaya kamu tidak mengganggu kebahagiaan adikku.""Saya Mengganggu? Anda tidak salah?" Aku cukup tersinggung dengan apa yang ia katakan. Seharusnya perkataan itu lebih pantas ditujukkan kepada adiknya. Najwa yang hadir menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku dan Mas Emir. Mencuri sebagian hati suamiku tanpa memikirkan perasaanku. Lantas kenapa pria ini malah menuduh orang yang salah?"Istirahatlah. Sebentar lagi anak buahku membawakan makanan untukmu."Pria yang kutahu bernama Aidan sama sekali tidak menanggapi ucapanku. Ia kembali berjalan menuju pintu kamar dan hampir saja keluar sebelum aku menahannya."Anda ingin membunuh saya?"Pergerakannya terhenti. Ia bergeming di posisinya tanpa menoleh padaku."Jika memang dengan membunuh saya membua
Pov EmirHampir satu minggu sudah Khanza menghilang dan aku masih berusaha untuk mencarinya. Meski rasa lelah kadang menyapa karena selain disibukkan oleh pekerjaan, aku pun harus mendampingi Najwa yang tengah mengandung dengan kondisi yang sangat lemah. Istri keduaku menolak setiap makanan yang dimasak oleh Asisten Rumah Tangga di rumah Mama. Alhasil, aku harus menuruti keinginannya yang kerap kali ingin makan makanan luar bahkan di waktu yang seharusnya aku gunakan untuk beristirahat.Papa menyarankan untuk melapor kepada polisi atas kehilangan Khanza dan aku sudah melakukannya. Namun hingga saat ini belum menemukan titik terang di mana istriku itu berada. Bahkan di Pondok Ustadz Hakim pun sudah aku kunjungi dan Khanza tidak ada di sana. Ustadz Hakim menyayangkan karena hal seperti ini harus terulang. Beliau merasa kecewa karena aku lalai menjaga putri angkatnya tersebut."Maafkan saya, Ustadz." Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan di depan ayah angkat Istri pertamaku."Mas ....
"Sayang!"Khanza yang tengah duduk di salah satu kursi menoleh padaku. Tanpa merasa sungkan ataupun malu oleh beberapa orang polisi yang berada di ruangan ini, aku memeluk istriku erat. Rindu, khawatir sekaligus lega bercampur menjadi satu. Kehilangan Khanza kembali ditambah dengan menghadapi kehamilan Najwa yang cukup lemah membuatku nyaris gila. Rupanya mempunyai dua istri tidak semudah yang aku bayangkan. Berusaha bersikap adil tapi nyatanya sangat sulit kulakukan jika situasi sudah mendesak. Apa memang aku harus melepas salah satunya seperti yang diminta oleh Mama Alice?Ah, biar nanti saja kupikirkan lagi. Yang terpenting saat ini aku ingin melepas rindu kepada istri pertamaku ini. "Kamu dari mana saja? Apa yang terjadi sampai kamu menghilang beberapa hari?" cecarku setelah mengurai pelukan. Aku sedikit kecewa karena Khanza tidak membalas pelukanku. Bahkan tidak terlihat senang ketika bertemu denganku lagi. "Maaf, Pak Emir. Sebaiknya kita duduk dulu. Kita dengarkan keterangan d