Lengkung senyum terbit di bibir David saat menatap langit-langit kantor. Sepasang cicak yang berkejaran di plafon bercat putih itu mengingatkannya pada Zoya. Bukan bentuknya, tetapi sikap jinak-jinak merpati si wanita. Jika dia mendekat, Zoya segera melebarkan jarak. Namun, kala dia tak acuh, wanita tersebut sering mencuri-curi pandang padanya, menggemaskan sekali. "Aku perhatikan akhir-akhir ini ada yang berbeda sama kamu." David menoleh ke kanan dan melihat Andrea sudah berdiri di dekatnya. Wajah David seketika berubah dingin. Dia menegakkan punggungnya kembali dan bersikap seperti biasa, datar dan tak peduli.Andrea tersenyum tipis. Ada sengatan ngilu di dada melihat senyum David pudar. "Kamu enggak nanya kapan aku kembali?""Memangnya penting?"Wanita berwajah barbie itu menghela napas dalam, lalu mengembuskan perlahan. Dia duduk di depan David. "Gimana Zoya?" David mengangkat pandangannya. "Baik," jawabnya singkat, tetapi mampu melesatkan nyeri ke dada Andrea. Mata lelaki itu
Zoya memegangi perut saking keras dan lamanya tertawa. Apalagi mengingat raut David sejak masuk rumah hantu. Lelaki itu selalu berdiri di belakang wanita tersebut sambil memegang tangan atau bahunya. Bahkan, dia nyaris menghajar satu aktor yang berperan sebagai Franskenstein, yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Untung saya Zoya sigap mencegah, lalu menarik David keluar dari stan itu."Iya, ketawa aja terus!" dengkus David menatap Zoya dengan kesal.Alih-alih berhenti, tawa Zoya semakin nyaring. Dia bahkan berpegangan pada bahu David agar tidak jatuh."Abis kamu lucu banget, mukamu sampe pucat gitu. Masak sama hantu-hantuan aja takut." Lagi, Zoya terkikik geli.David melengos. Untung saja yang menertawainya Zoya, kalau orang lain sudah sejak tadi dia kirim silahturahmi sama malaikat maut."Aku enggak takut, geli aja," tangkis David."Ngeles." Zoya menepuk lengan David. "Heran, bos preman, tatoan, keliatan sangar, tapi hati hello kitty." Lagi, dia meledek lelaki itu.Senyum tengil
Begitu sabuk pengaman terlepas, Zoya segera menarik tangan David dan menunjuk mulut sebagai isyarat tidak bisa lagi menahan desakan dari dalam lambung. David melingkarkan tangannya di pinggang si wanita, lalu menuntun ke rerumputan agar bisa memuntahkan isi perutnya. Napas Zoya terengah-engah karena mengeluarkan isi perut sangat menguras tenaganya. Dia menggenggam tangan David kuat-kuat karena kesadarannya belum seratus persen. Dia juga tidak bertenaga menepis usapan lembut tangan lelaki itu di tengguk dan bahunya. Andai situasi normal, pasti dia sudah gemetaran karena gugup."Aduh, hamil muda, kok, malah keluar tengah malam. Mbok, ya, di rumah Mbak. Kasihan dedek dalam perutnya." Seorang wanita yang kebetulan lewat menegur Zoya.Kelopak mata Zoya melebar mendengar teguran si wanita yang sok tahu itu. Dia menoleh ingin membalas, tetapi lagi-lagi isi perutnya keluar."Iya, Mbak. Istri saya emang bandel banget. Maklum, mungkin bawaan bayi."Zoya bertambah pusing mendengar jawaban David
"Jangan, Bang! Aku enggak mau ....""Jangan ngebantah lo! Mau diusir dari kontrakan. Lo harus patuh karna gue suami lo, ayo!""Aku enggak mau jual diri! Lebih baik jadi buruh cuci atau gosok, daripada menjadi pemuas nafsu hidung belang.""Lo pikir jadi buruh gosok sama cuci bakalan kaya? Sampai mati kita bakal kere terus!""Kalau gitu Abang yang cari uang, bukan aku!""Kurang ajar lo, berani nyuruh-nyuruh gue!"Usapan di bahu menarik kembali kesadaran David yang sempat terlempar keras ke masa lalu. Laki-laki itu menoleh dan mengulas senyum getir. Potongan-potongan pertengkaran kedua orang tuanya masih sering menyelinap ke dalam tempurung kepala. Sang ibu mati-matian menolak keinginan gila ayahnya yang berniat menjadikan wanita yang melahirkannya itu menjadi wanita tuna susila, sementara lelaki yang harusnya bertanggung jawab menafkahi keluarga hanya duduk di rumah berjudi dan mabuk-mabukan.Mereka bisa makan karena hasil keringat ibunya yang membuat David kecil masih bisa merasakan n
Zoya duduk di kursi besi dan menumpukan kedua sikunya di lutut, telapak tangannya menutup mulut agar tangisnya tidak mengganggu pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang. Suara letusan senjata dan tubuh David yang jatuh ke jalan aspal tak mau enyah dari tempurung kepalanya, selalu berputar-putar membuat rasa takut mencengkeram dadanya kuat-kuat. "Zoya! Apa yang terjadi?" seruan Andrea yang baru saja datang justru membuat tangis wanita itu pecah. Dia memeluk Andrea yang duduk di sebelahnya."Da ... David, dia tertembak karena melindungiku dari penjahat itu." Suara Zoya bergetar. Air matanya tumpah membuat basah wajahnya."Apa?" Dahi Andrea berkerut. "Maksud kamu apa? Ngomong yang jelas," desak Andrea lagi.Jantungnya nyaris lepas ketika Zoya menelepon dan mengatakan sedang di rumah sakit karena keadaan David kritis. Dia tidak bertanya lebih jauh, karena telinganya terasa pekak. Tanpa berganti pakaian, dia langsung meluncur ke rumah sakit."Serangan itu tiba-tiba. Mereka menabrak da
Mata Zoya terus mengamati setiap pahatan wajah David. Dia ingin merekam setiap detail raut si lelaki untuk disimpan di dalam ceruk kepala, yang akan dia ingat bila rindu mendesak untuk sebuah pertemuan. Zoya menekan dada ketika merasakan sengatan ngilu di jantungnya. Wanita tersebut berusaha keras tetap kuat meski badai sedang mengobrak-abrik keyakinannya. Kata-kata Andrea terus berdengung di dalam tempurung kepalanya. Wanita berwajah Barbie itu berkata benar, tidak mungkin dia dan David bersama. Dunia mereka terlalu berbeda, bukannya takut pada keselamatan dirinya sendiri, tetapi dia tak mau membahayakan lelaki itu dengan kebersamaan mereka.Begitu banyak orang-orang yang bergantung hidup kepada David, meski pekerjaan mereka tidak bisa dikatakan baik. Zoya tidak mau menghakimi perihal halal atau haram, Itu semua adalah pilihan semua orang, yang pasti dia tidak ingin membuat orang-orang itu kehilangan pekerjaan hanya karena David harus selalu menjaganya. Zoya tidak ingin menjadi se
"Ayo," ajak Yani sambil membuka pintu mobil. Dia membantu menggendong Lea ketika Zoya ikut keluar.Mata Zoya mengamati bangunan di hadapannya. Rumah lantai satu bergaya minimalis modern itu tampak sejuk dipandang mata. Tampak empat buah pohon pinus menjulang sejajar tumbuh di depan pagar yang tingginya hanya sepinggang orang dewasa. Rumput jepang terhampar dan dipangkas rapi laksana permadani di pekarangan yang tidak begitu luas, juga bunga-bunga anggrek dari berbagai jenis dan warna terlihat subur diletakkan di sisi sebelah kanan beratapkan kanopi. "Selamat datang di rumahku," sambut Yani sembari membuka pintu pagar. Dia memberi isyarat agar Zoya mengikutinya.Zoya menghela napas dalam. Dia memang memilih tinggal bersama Yani karena ajakan wanita itu, sebab dia tidak punya sanak saudara lain untuk dituju. Lagipula temannya itu memaksa karena tidak ingin kejadian yang sama menimpanya, setidaknya sampai dia mendapatkan pekerjaan dan uang untuk menyewa rumah.Zoya meninggalkan kartu
"Kenalin, ini Mas Nabil suamiku." Yani memperkenalkan lelaki beraut teduh dan mata sayu kepada Zoya.Zoya bergeming, dia tidak mungkin lupa wajah lelaki yang pernah menolongnya dulu. "Ah, Anda ternyata, terima kasih atas bantuannya dulu." Zoya berucap seraya mengulurkan tangannya.Nabil menangkupkan tangan di dada untuk membalas uluran tangan Zoya, dahinya berkerut mendengar pernyataan wanita berambut bergelombang di hadapannya. Dia mencoba mengingat-ingat di mana pernah bertemu.Zoya menarik uluran tangannya, dia paham jika suami Yani tidak mau bersinggungan dengan wanita yang bukan mahrom, persis sahabatnya yang selalu menjaga diri sejak gadis. Benar adanya, wanita baik untuk laki-laki baik pula."Anda pernah memberi saya uang sekitar setahun yang lalu. Saat itu saya histeris di dalam ruangan ATM."Penjelasan Zoya mengurai banyak ingatan di benak Nabil, sehingga satu ingatan setahun yang lalu muncul ke tempurung kepalanya."Aah, iya, kamu rupanya. Iya, saya ingat." Nabil menoleh ke