Share

Dicap Bodoh

“Aku selalu bisa memaafkanmu, Mas. Bukankah kamu sudah tahu itu? Berapapun banyaknya air mata yang kau pinta dariku, aku rela. Akan kuberi semua yang kupunya dengan sukacita.” Walau aku sadar, aku tak punya apa-apa.

“Kenapa harus menyiksa diri? Kita berhak bahagia. Namun, kita tidak akan bisa bahagia jika terus bersama.”

“Bahagiaku jika ada di sisimu. Mas tak perlu melakukan apa-apa. Cukup izinkan aku terus di sisimu. Itu sudah lebih dari cukup.”

“Jangan memaksa, Laras! Mari kita akhiri saja.”

Aku menggeleng kuat-kuat. Air mata terus terburai. “Apa salah ku, Mas? Kenapa kamu tak mengizinkanku? Jika Mas ingin menikahi dia, nikahilah, Mas. Tapi aku tak mau bercerai darimu!”

“Kenapa kamu sebodoh itu, Laras? Wanita mana yang sanggup dimadu?”

“Jika itu satu-satunya jalan agar aku bisa mempertahankan pernikahanku, maka aku sanggup, Mas. Akan kulewati setiap badai demi keutuhan rumah tangga kita.”

Bagiku madu itu lebih baik daripada kematian. Jiwaku akan mati, jika ia pergi membawa seluruh cinta yang telah kutanam begitu dalam.

“Ia tidak akan mau dimadu, Laras. Mengertilah!”

“Jika ia mencintaimu sebesar aku mencintaimu, maka ia akan mau dimadu, daripada tidak memiliki Mas sama sekali,” kataku dengan tatapan tegas. Itulah keputusanku, yang mungkin akan dianggap bodoh orang lain. Namun jika memang aku dihadapkan pilihan dimadu atau diceraikan, maka aku lebih memilih dimadu.

“Dia tidak akan bisa menerimanya!”

“Maka cintanya tak sebesar cintaku.”

“Dia berbeda denganmu Laras. Dia wanita masa kini yang menganut monogami.”

“Lantas kenapa ia masih mendekatimu, Mas, setelah tahu bahwa kamu sudah menikah dan memiliki dua anak? Jika ia bisa merusak kebahagiaan orang lain demi kebahagiaan dia sendiri, maka dia tidak punya hati.

“Dia tahu kita tak pernah bahagia.”

“Apakah dia tahu aku sangat bahagia? Anak-anak juga bahagia. Ibu bahagia, bapak bahagia. Berapa banyak kebahagiaan yang akan rusak jika kita berpisah?"

“Aku tetap akan menceraikanmu. Sudah terlalu lama kita bersama, sementara aku mengorbankan cintaku dan cintanya.”

“Kenapa Mas tega? Kenapa Mas tak bisa bahagia denganku?”

Suamiku bungkam. Tetapi tekad bulat membayang di sana.

“Katakan Mas, bagaimana caranya agar Mas bisa mencintaiku? Walau tak bisa menjadi seperti dirinya, namun aku akan mencoba menjadi seperti yang kau minta. Asal jangan kau minta aku berpisah darimu. Lebih baik aku mati di pelukanmu, daripada aku hidup tanpamu.”

“Kenapa kamu begitu terobsesi padaku Laras?” Mas Danu terpana mendengar pernyataanku.

“Karena aku mencintaimu. Dan cinta ini membuatku kuat menanggung setiap derita. Biarkan aku memberikan seluruh hidupku, jiwa ragaku, untuk mencintaimu Mas. Akan kuterima setiap luka. Karena lukaku, tak sebanding dengan besarnya cintaku padamu.”

“Bodoh!” umpatnya dengan kesal.

Aku mengangguk. Membenarkan ucapannya. Begitulah aku, yang bodoh, yang mencintai satu pria dan tidak pernah bisa berpaling darinya meski seribu luka mendera. 

***

Pada Mas Danu, pemilik hatiku, tak ingin kusimpan cemburu meskipun ia tak sudi menatapku penuh cinta. Sebagaimana aku memujanya dengan cinta buta.

Ketika ia tidur pulas di sisiku, ‘kan kutelusuri ornamen wajahnya tanpa jemu. Jika ia menyentuhku, terasa kupu-kupu beterbangan di ragaku. Menggelinjang, membuncah dalam bahagia, bersuka cita dalam pesta – yang hanya aku seorang yang bisa merayakannya.

Orang menyebutku bodoh, karena membiarkan cinta bertepuk sebelah tangan. Namun orang-orang pintar itu tidak tahu, betapa cinta ini membawa kebahagiaan yang tak dapat kulukiskan. Saat seseorang bilang, kamu beruntung punya suami yang tampan dan mapan, di situ aku berbunga-bunga mengakuinya. Siapa yang sangka, gadis dengan paras biasa sepertiku, akan mendapatkan jodoh setampan bintang film ternama?

Pada suatu pagi yang cerah, aku menyuapi si bungsu, kala Mbok Minah, asisten rumah tangga kami memanggil. “Bu, ada tamu.”

Siapa? Mas Danu sudah pergi bekerja. Sementara aku tak punya janji dengan siapa pun hari ini. Memang setelah menikah dengan orang kaya, aku jadi punya banyak teman. Teman arisan, teman pengajian, teman lama yang tiba-tiba datang mendekat, serta aneka jenis teman lain yang sebenarnya berteman bukan karena pribadiku, melainkan statusku.

Seorang wanita cantik nan anggun telah duduk di sofa empuk berwarna coklat keemasan. High heels warna merah muda membingkai anggun kakinya yang jenjang. Kulitnya putih mulus, terlihat halus bagai bintang iklan body lotian. Melihatnya, dadaku berdegup kencang tanpa aturan. Dialah Sekar Diandrasukma. Wanita yang bertakhta begitu lama di hati suamiku, Danu Wicaksono.

Aku mengenali wajahnya dari berbagai foto yang masih disimpan suamiku di laci meja kerjanya. Masih kukenali parasnya yang cantik, yang membuatku ingin operasi plastik untuk menyamainya. Gambar diri yang tersembunyi di dalam galeri ponsel suami. Bagaimana aku tidak mengenali wajah sang ratu yang hendak mencuri rajaku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status