“Mbak, mau kuliah? Sungguhan?” tanya Caca tak percaya bahwa keinginan itu keluar dari diriku sendiri.“Hem ....” Dibantu atau tidak dibantu olehnya, aku akan tetap mengambil kesempatan itu. Seperti kata mertuaku, aku harus mencintai diriku sendiri. Toh, cinta yang kuyakini, yang membuatku rela mati rasa, telah tiada. Tak ada akses ke sana. Aku sungguh buta!‘Bebaskan dirimu!’ ucapan wanita jahat itu seolah racun yang terus meremas-remas ingatan.Jadi aku tahanan di matanya? Atau budak?‘Ikhlaskan jika jodohmu dengan Danu tak panjang. Ubah dirimu menjadi wanita yang gemilang!’ Nasihat terakhir mertuaku berputar ulang.Jadi aku wanita yang suram? Wanita yang tak layak diperhitungkan!“Rekomendasikan padaku, klinik skincare yang bagus. Aku ingin memiliki kulit yang kencang dan bersinar seperti kulitmu,” pintaku di lain waktu pada Caca. Satu-satunya pihak keluarga yang masih bisa kumintai tolong. Tentu saja, lepas dari urusan Mas Danu, karena ia mengaku juga tak tahu.Entah, mengapa aku m
“Oh ... you’re right! I agree with you.” Staf admin yang kutaksir berusia 22 tahun itu tersenyum manis pada Mike. Agaknya, ia menaruh rasa pada Mike. Memang sulit menampik pesona pria bermata biru itu.Seseorang dengan wajah bule natural datang menghampiri Mike. Mereka terlihat akrab. Mike langsung meninggalkan kami dan pergi bersama pria yang tingginya sepantaran tinggi Mike. Seolah tak penting, ada aku atau tidak ada aku, di depannya. Sekedar melihat punggung pria itu saja sudah menimbulkan desir aneh. Sehingga aku harus berkali-kali mengedipkan mata untuk membuang semua bayangannya.Staf admin langsung mengubah jam belajarku. Mengaturnya agar tidak perlu bertemu kelas dengan Mike. Bagusnya pelayanan di tempat mahal adalah murid bisa memilih siapa yang jadi tutornya.Ia menjelaskan bahwa Mike hanyalah tutor tamu yang mengajar secara eksklusif di kelas-kelas perdana untuk menyapa peserta kursus. Sesekali ia juga mengajar secara khusus sesuai kebutuhan peserta tertentu. Namun jika pe
“Cappucino,” ia menawarkan kopi lain yang dipegang tangan kirinya, “or you want Americano? Jangan khawatir, keduanya belum kuminum,” imbuhnya.Karena tidak terlalu paham kopi, jadi aku menerima apa saja yang ia berikan. Toh, aku tidak terlalu suka kopi.“Turun! Nonton dari dekat lebih nikmat!” ajaknya. “Tidak, terima kasih. Aku ingin di sini saja.”“Kalau begitu boleh aku masuk dan menemanimu sampai kopimu habis?”Dua mata biru itu kembali hangat dan ramah. Sulit sekali menolaknya. Bukankah ini yang kuinginkan tadi? Sekedar minum kopi bagai teman baik. Belum ada 12 jam dan keinginan itu hampir terwujud. Haruskah aku menghindar lagi dan merasa sakit hati lagi?Setan dalam diriku mengatakan, ‘Sekali saja mencoba. Mengapa tidak? Kamu juga butuh teman yang bisa membuatmu merasa senang.’Daripada kami berada di dalam mobil berdua, lebih nyaman jika berbaur dengan orang-orang di trotoar yang asyik menikmati minuman dari mobile coffee yang berjajar di sepanjang jalan.Mike tersenyum. Puas
“Bagaimana kabarnya? Kamu tahu? Apakah dia sudah sadar? Bagai kakinya? Tidak jadi lumpuhkan? Sudah sejauh apa kemajuannya? Apakah Sekar merawatnya dengan baik?”Mike mengerutkan kening. Memasang wajah masam. “Pertanyaan yang beruntun. Mengapa tak berhenti penasaran dan memulai memantaskan diri hingga ia kembali?” sarannya.“Banyak yang telah berubah darimu, Laras, tetapi kuharap kamu tak pernah kehilangan jati diri. Kamu wanita yang baik dan tetaplah jadi baik. Jangan jadi munafik dan membohongi diri sendiri demi sebuah eksistensi. Ketika kamu merasa tak nyaman, memaksakan diri hanya akan membuatmu berselimut kepalsuan. Bisakah kamu bebaskan diri dari aneka beban perasaan?”Bagaimana dia tahu bahwa aku begitu terbebani dengan semua ini? Sekentara itukah?“Kamu adalah kamu. Mencintai diri sendiri tak perlu dengan meniru-niru orang lain.”Kress. Paper cup milikku yang isinya telah habis kuremas hingga gepeng.Bahkan sebagai peniru pun, aku adalah peniru yang buruk sehingga bisa ia baca
Baru saja hendak kujawab ketika adik tirinya datang dengan dua porsi besar roti bakar.“Yeay, kita punya dua roti bakar istimewa. Satu cheese dan satunya chocolate. Laras, kamu suka yang mana?”Mendongak, memandang padanya. Aku belum tahu namanya, bagaimana ia bisa tahu namaku? Bukankah kami belum berkenalan?“Aku tahu namamu dari Mikey, ia sering bercerita tentangmu,” ujarnya sambil menyenggol bahu sang kakak.“Awas, jangan keceplosan lagi! Aku stop uang jajanmu nanti!” ancam Mike pada adiknya. Si gadis pirang langsung membentuk isyarat siap mengunci mulut.Mata wanita itu berpindah ke paper cup-ku yang sudah tak berbentuk setelah kuremas.“Wah, kopimu sudah habis. Kamu harus pesan minuman lain agar bisa menelan semua roti ini tanpa tersedak. Do you want something?”“Lemon tea, ada?”Adiknya mengangguk dan kembali ke kedai dengan lincah. Kakinya sangat ringan dan ia terus saja berjalan dengan gerakan menari, membuat rambut ekor kudanya bergoyang-goyang. Keceriaan gadis itu mengingatk
Tertera nama nanny yang mengurus Hawa.Masih dengan dada berdebar menerima panggilannya. “Ya, Mbak. Ada apa?” Gugup, apa yang akan terjadi jika tak ada dering gawai malam ini?“Maaf, Bu, masih lama pulangnya?” suaranya terdengar takut. Tak biasanya ia meneleponku, kecuali benar-benar ada yang mendesak.Naluri keibuanku aktif kembali. “Hawa enggak papa ‘kan, Mbak?” cemasku. Mike ikut menyimak, melihatku cemas agaknya menularkan kecemasan yang sama di parasnya.“Dek Hawa enggak mau tidur dan minum susu. Katanya mau nenen sama mama.”Hawa minta nenen? Sudah lama ia minum ASI via botol, bahkan sering menolak jika aku menyusuinya. Kenapa malam ini tiba-tiba Hawa begitu? Nalurinyakah sebagai anak? Jadi ini pertanda Tuhan bahwa anakku tak rela ibunya bermain-main dengan pria lain?“Aku akan segera pulang, Mbak. Bentar lagi sampai.” Segera aku berdiri. Menyambar tasku, dengan gawai masih menempel di telinga. Lupa berpamitan pada Mike yang tentu saja, langsung mengejarku.“Tunggu, Laras!” cega
Ia juga menyuapiku ketika luka di perutku pascaoperasi belum mengering. “Hati-hati. Biar aku saja,” katanya begitu melihatku kesulitan menyuap makanan. Kukira, lambat laun kami akan jadi pasangan sejati.“Aku mungkin tak bisa memberikan hatiku untukmu, namun aku bisa memberimu nafkah lahir dan batin, sesuai kemampuanku. Maaf jika hanya ragaku yang kamu miliki, sebab kamu tahu di mana hatiku berada.”Sekalipun kata-kata itu ia berikan padaku sebagai cambuk peringatan, namun kami bisa menutupinya dari orang-orang. Hingga berita perselingkuhannya menyambar-nyambar, aku masih memilih menutup mata.Tidak, Mas Danu tak mungkin begitu. Tak mungkin ia menistakan diri dan wanita yang ia cintai dengan skandal kotor, sanggahku. Akan tetapi, semua terbukti. Bahkan, ia pun tak menutupinya lagi. Api di dalam sekam, akhirnya membakar hutan. Tak ada yang tersisa, selain rasaku yang masih sekuat baja.***Sambil menyusui, kupandangi layar gawai. Seribu pesan yang kukirim ke gawai Mas Danu tak terba
“Ternyata kamu sangat bijaksana. Namun, jika tamu itu membawa senjata dan hendak membunuhmu, bukankah seharusnya kamu lari? Minimal melawan.”“Jika melawan, aku pasti kalah. Jika berlari, rumahku akan kosong, dan aku terpaksa menggelandang di jalanan sebagai fakir miskin.”“Kamu takut miskin?” terdengar suaranya mengejek.“Miskinnya manusia adalah tak punya amalan apa-apa untuk membeli tiket surga. Bukan masalah harta. Karena bagi seorang muslim, harta sejati yang bisa ia bawa hanyalah amal.”Aku tahu Mike adalah seorang mualaf. Namun, sepanjang yang kulihat, Mike bukanlah mualaf yang rajin beribadah. Sehari-hari, ia lebih mirip non muslim karena saat hari Jumat pun, Mike tak ikut ke masjid bersama karyawan pria lainnya. Menurut kabar, Mike menjadi mualaf karena hendak menikahi muslimah tetapi gagal. Meski begitu, Mike tak kembali pada keyakinan lama karena berpendapat bahwa apa sudah diputuskan, tak boleh disesali.“Apa hubungannya dengan pernikahanmu, Laras?”“Mas Danu adalah tiket