Author perhatikan si Ali lama-lama kebanyakan modusnya ya 🙈
"Aku mohon Ali, jangan!" Naila beringsut hendak turun dari atas ranjang. Dia tak mau Ali menyentuh tubuhnya lagi. Meski dia sudah menjatuhkan hati pada Ali. Namun, sampai saat ini pria itu belum membalas cintanya. Naila jelas tahu, kejadian yang terjadi tadi karena hawa nafsu Ali. Melihat pergerakan Naila, mata Ali melotot keluar lalu dengan cepat menahan pergelangan tangan Naila. "Jangan banyak bergerak, Naila!" seru Ali. "Lepaskan aku!" Naila meringis pelan sejenak pundaknya mulai terasa sakit, kakinya pun mendadak berhenti. "Bukankah sudah aku katakan jangan bergerak hah!" Muka Ali mulai memerah. Tanpa banyak kata dia menggendong Naila. Jeritan Naila berkumandang di sekitar tiba-tiba. "Argh! Lepaskan aku, Al! Apa kamu sudah gila! Aku sedang sakit!" Naila berusaha memberontak. Tetapi tubuhnya begitu lemah. Dalam hitungan detik, teriakan Naila lenyap dalam sekejap, saat Ali merebahkan dirinya di atas kasur. "Memangnya apa yang mau aku lakukan?" Dalam keadaan tubuh bagian at
Dua hari kemudian, keadaan Naila sudah terlihat membaik. Seusai perkataan Ali kemarin, hari ini mereka akan kedatangan tamu dari Jepang dan Naila memiliki andil untuk menyambut kedatangan tamu tersebut. Sedari tadi dia tengah sibuk memoles wajahnya agar mirip seperti beberapa bulan lalu. Blush on berwarna gelap, foundation, dan perlengkapan make up lainnya, bertebaran di meja rias sekarang. Naila duduk di depan kaca tanpa menghentikan gerakan tangan. "Wow, pandai sekali Nona make-up hampir mirip. Nona seperti dua orang yang berbeda." Di belakang, Santi berdiri tegap, melihat Naila melalui cermin.Naila tersenyum sekilas. "Ya harus pandai, Santi. Aku pun tak menyangka skill make-upku bertambah."Santi menyentuh kedua pundak Naila dan berkata, "Ya, itu hasil kerja keras Nona selama ini, Nona keren sekali. Aku harap Tuan Ali dapat segera jatuh cinta dengan Nona."Mendengar nama Ali disebut, wajah Naila sedikit muram. Selama dua hari ini dia jarang berjumpa dengan Ali. Karena Ali sibuk
Dahi Ali berkerut samar, mulai tak mengerti pemikiran calon mitra di hadapannya ini. Sekarang dia paham mengapa Tanjiro dikatakan pria tua licik. "Tanjiro-sama, machigattemasen ka? Watashiniha sudeni tsuma ga imasu."(Tuan, apa Anda tidak salah? Aku sudah memiliki istri) "Wakatteru, dakara kare wa Akiko ga anata no ni-banme no tsuma ni naritai tte itta no yo," balas Tanjiro. (Aku tahu, maka dari itu, katanya Akiko mau menjadi istri keduamu) Tak ada sahutan, Ali memilih diam."Sore ni, yoku wakarimasenga, ano josei wa anata no tsumadesu, Ali-sama," lanjut Tanjiro lagi. (Lagipula aku tak yakin, wanita itu istrimu Tuan Ali) Wajah Ali berubah dingin. Dengan alis kanan terangkat sedikit ke atas, ia berkata,"Naze kakushin ga nai nodeshou ka?" (Mengapa tak yakin?) Tanjiro menyeringai tipis. "U ̄n, anata ni kazoku ga iru to iu hanashi wa kiita koto ga nainode, sore ga tan'naru iiwakedearu kanōsei wa arimasen. Sore ni, watashi no musume to kekkon sureba, takusan no onkei o uke rarerude
Naila panik sekaligus terkejut. Ia berusaha mendorong tubuh Ali. Namun, pria itu menarik pinggangnya dan memeluknya dengan begitu erat, hingga tak memberi ruang padanya sedikitpun. 'Astaga, apa Ali sudah gila! Ini kan di luar mansion! Apa tidak ada orang di sekitar!' Naila masih berusaha melepaskan diri. Akan tetapi, Ali mengunci tubuhnya lebih kuat. Dengan mata terpejam pria itu melumat bibir ranum Naila. 'Tolong aku!' Ciuman kali ini terasa lebih kasar dan dalam hingga Naila kesulitan bernapas sekarang. Tetapi, lama-kelamaan mulai Naila hanyut dengan permainan Ali dan secara perlahan menutup matanya. Naila tak tahu jika dari kejauhan ada empat pasang mata memandang ke arah mereka sekarang, dengan raut wajah merah padam. Dalam hitungan detik Ali membuka mata dan mengurai pelukan kala mendengar napas Naila mulai tak beraturan. Dengan napas terengah-engah Naila berkata,"Al, hentikan, apa kamu sudah gila?!" Naila melayangkan tatapan tajam karena Ali bertindak sesuka hati. Kekeha
Sudut bibir Naila terangkat sedikit dan membentuk sebuah senyuman yang sangat tipis, hingga membuat menahan Anya kesal saat ini. "Meninggalkan Ali?" Naila tak menyangka ternyata mertuanya datang kemari bukan untuk meminta maaf. Beberapa menit sebelumnya, dia tentu saja heran dan terkejut, mendapatkan pesan dari Roni bila Anya melakukan sesuatu segeralah menghubunginya sebab sekarang Ali juga tengah sibuk menghadiri rapat yang sempat tertunda kemarin. Naila mencoba berpikir positif dan menyambut kedatangan Anya dengan baik nanti. Akan tetapi, harapan Naila terlalu tinggi, bukannya meminta maaf Anya malah mengusirnya. Anya mengerutkan dahi, tengah keheranan melihat sikap Naila, yang kini telah berani menatapnya. Pertemuan pertama beberapa bulan Naila terlihat enggan membalas tatapan lawan bicara dan tak berani sekalipun mengangkat kepala. Tetapi, sekarang ada sesuatu yang berbeda, sorot mata Naila menyiratkan keberanian. "Iya! Ambil uang ini dan pergi jauh-jauh dari anakku!" Dengan ma
Anya melebarkan mata kala pergelangan tangannya ditangkis Naila. Dia tak menyangka Naila dapat membaca gerakan tangannya barusan. Wanita di hadapannya ini memiliki sikap yang sangat berbeda sekarang, tak seperti dulu. "Hentikan Ma, apa Mama tidak lelah? Sebaiknya kita berdamai saja Ma, lebih baik kita saling merangkul selayaknya mertua dan menantu," ucap Naila dengan sorot mata nan teduh."Diam kamu! Tak usah membantahku!" Anya mengibaskan dengan kuat tangan Naila seketika lalu mengusap pelan pergelangan tangannya yang terasa sakit akibat cengkeraman Naila barusan. "Nona Naila, tak apa-apa, 'kan?" Santi baru saja tiba. Betapa terkejutnya dia saat melihat Anya hendak menampar Naila. Hembusan napas lega keluar dari hidung Santi sekarang karena Naila telah berhasil mengelak tamparan Anya. Naila melirik Santi dan memberi bahasa isyarat melalui senyuman tipis, mengatakan bahwa dia dalam keadaan baik-baik saja."Dasar wanita licik!" seru Anya. Naila hanya mampu menghela napas kasar set
"Ternyata benar, kamu pelakunya!"Naila melangkah cepat menuju ambang pintu sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Melihat Shakira dan temannya berambut panjang juga berdiri di depan pintu toilet. Shakira dan wanita tersebut melempar pandangan satu sama lain sejenak, sedikit heran. Shakira juga bersedekap di depan dada dan mengangkat angkuh dagunya. "Apa maksudmu?""Pasti kamu yang mengunci aku barusan, 'kan? Mengapa kamu suka sekali mencari ulah denganku Shakira?" tanya Naila, mulai geram dengan sikap Shakira, yang terlampau sering menganggunya. Shakira malah tercengang sejenak. "Apa aku tidak salah mendengar, hei aku baru saja datang, jangan sembarang menuduh! Untuk apa aku susah-susah mengunci kamu di toilet, lebih baik aku langsung melabrakmu!" Kening Naila terlihat berkerut, kebingungan. Sebab perkataan Shakira barusan benar, dia dapat melihat hal itu dari sorot mata Shakira. "Lalu mengapa kamu ada di sini? Kalau bukan kamu dan temanmu siapa lagi?" Shakira berdecak
"Di sini kamu rupanya, Talitha!" Pria bertubuh gemulai itu melangkah perlahan mendekati mereka, sambil melenggak-lenggokan pinggangnya. Melihat kedatangan Marimar, Naila mengulas senyum lebar. Sedangkan Shakira, raut ketakutan terukir jelas di wajahny. Berharap Marimar tak mendengarkan pertengkaran mereka tadi. Marimar salah satu orang yang sangat susah didekati dan bisa saja membuat namanya tercoreng. Terlebih lagi untuk penilaian kegiatan Marimar salah satu jurinya. "Miss Marimar, mengapa anda ada di sini?" tanya Shakira sembari melirik temannya sejenak. Marimar melirik-lirik Naila dan Shakira bergantian."Aku mau menolong Talitha, katanya ada seseorang yang menguncinya di toilet, jadi aku ke sini, apa kamu yang menguncinya?" tanya Marimar, masih dengan sorot mata dingin.Shakira menggeleng cepat. "Tidak, Miss. Untuk apa aku menguncinya, aku tadi menolong Talitha, benarkan Talitha?"Shakira menoleh ke arah Naila dan memberi kode untuk mengiyakan ucapannya.'Wanita ini benar-benar