Share

Bab 2 : Persetujuan

"A–pa?" pekikku tertahan.

Pria gila! Aku tidak mau jadi korban lelaki yang dikenal sudah menjandakan tiga wanita ini. Aku ini istri orang, dan tentu saja aku tidak mau jadi korban ke sekian dari pria sejenis Steven Arnold yang terkenal kasar, arogan, dan penjahat kelamin.

Sekasar-kasarnya ucapan dan sikap Bang Rizal selama ini kepadaku, ia bukanlah orang yang suka mempermainkan perempuan. Dia suami yang setia.

Tiga tahun kami menikah, walau aku belum memberinya keturunan, ia tidak pernah kedengaran bermain wanita di luar sana dan berniat poligami, atau bahkan berniat menceraikanku. Aku tidak mau dicerai!

Sayangnya, sebelah alis Tuan Steven seketika naik mendengar pekikanku.

"Apa yang kamu harapkan dengan lelaki seperti dia?" tanyanya seakan tidak membutuhkan jawaban dariku dan terkesan menyindir, "lebih baik kamu jadi istriku."

Tuan Steven Arnold tiba-tiba tersenyum. Namun, aku seketika merinding karena senyumnya bagai vonis kematian untukku.

Aku pun menunduk dan bergidik ketika pria itu melangkah mendekat ke arahku. Ia berjalan melingkariku. Aku merasa bagai ditelanjangi di depannya.

"Oke, kalian berpisah baik-baik ya. Aku tunggu keputusan kalian. Dua hari lagi, aku mau kalian sudah menyelesaikan semuanya."

Dari sudut mata, kulihat jarinya berisyarat ke arah Bang Hanan. Kemudian, mereka pergi dan membanting pintu membuatku sedikit berjenggit.

Beberapa detik kemudian, aku seakan baru tersadar. Segera, aku menghambur menghampiri Bang Rizal. Aku bantu suamiku itu untuk berdiri kemudian duduk di sofa butut kami di ruang tamu ini.

"A–abang tidak apa-apa?" tanyaku khawatir kepada suamiku.

"Tidak apa-apa gimana?" sergahnya, "matamu buta apa? Lihat ini aku babak belur. Uhuk!" Ia terbatuk.

"Iya ... maaf. Sebentar aku ambil air hangat." Aku segera berjalan cepat ke arah dapur dan menyiapkan air hangat untuk membersihkan luka-luka suamiku.

Setelah siap, aku bawa baskom lengkap dengan handuk kecil untuk menyeka wajah Bang Rizal.

"Aakh! Pelan-pelan, bodoh!" umpat lelaki itu kepadaku ketika aku mulai membersihkan sekitar hidung dan mulutnya.

Begitulah sikap Bang Rizal selama ini. Aku sudah tidak heran.

"Maaf, Bang," ucapku seraya menyeka wajahnya dengan lebih hati-hati.

Bang Rizal meringis sesekali ketika handuk kecil yang kupegang mengenai lukanya. Di rumah tidak ada plaster, jadi luka dan lebam itu hanya aku bersihkan, kemudian aku kompres dengan sedikit es batu.

"Abang istirahat dulu. Ini, diminum," suruhku sembari mengarahkan sebuah cangkir berisi air hangat yang telah aku siapkan ke bibir Bang Rizal.

Lelakiku itu menghirup air tersebut sedikit demi sedikit. "Sudah," ucapnya setelah meminum beberapa teguk.

Aku lalu meletakkan cangkir di atas meja. Kemudian hendak berdiri membawa baskom dan handuk bekas membersihkan luka-luka suamiku ke dapur.

Namun, ucapan Bang Rizal yang mendadak--membuatku tidak jadi melangkah.

"Aku akan minta kompensasi ke Steven sialan itu!"

"Kompensasi apa, Bang?" tanyaku tidak mengerti, masih sambil berdiri memegang baskom.

"Ah, sudahlah ... sana kamu taroh itu!" Bang Rizal malah menyuruhku pergi tanpa menjelaskan terlebih dahulu.

Aku pun menurut sembari pikiran menerawang. Maksud Bang Rizal sebenarnya apa, sih? Kompensasi apa? Aah ... gak ngerti!

*****

Kini, aku meletakkan secangkir kopi hangat di hadapan Tuan Steven Arnold dan secangkir lagi aku serahkan kepada Bang Hanan yang hanya berdiri di samping majikannya duduk. Beberapa hari berlalu setelah pemukulan kejam itu, mereka tiba-tiba kembali ke rumah kami. Aku tak paham, tetapi aku jelas tak mau membuat Tuan Steven kesal padaku.

"Silakan duduk, Bang Hanan," ucapku sopan ke arah ajudan bertubuh tinggi besar itu.

"Biar saja dia berdiri di situ," sela Tuan Steven sembari meraih cangkir kopi yang kusajikan tadi, lalu ia menyesapnya perlahan, "hmmm ... enak kopi buatan calon istriku," lanjutnya.

Aku hanya bisa menunduk tak tahu harus bicara apa. Benci sekali aku mendengar ucapan itu.

Bang Rizal juga tidak mau membahas hal ini sama sekali. Padahal, aku sudah menanyakan apa keputusannya. Namun, dia hanya bilang agar aku diam saja--biar dia yang mengurus semuanya.

Sebagai istrinya, selama ini memang aku tak mau membantah suami. Kecuali hanya satu hal dulu, Bang Rizal tidak suka aku mengenakan jilbab. Hanya saja, aku tidak mau menurutinya dan dia tidak suka hal itu

Untuk hal lain, jika dia menuntutku untuk taat, aku rasa itu tidak masalah.

Walau terkadang aku hanya memendam rasa jika ingin menyampaikan sesuatu, tapi dengan sikap Bang Rizal yang sering berkata kasar, lebih baik aku menelan keinginan dan mengalah.

Semua keputusan ada pada dia. Aku menuruti itu semua demi keutuhan rumah tangga kami.

Keluargaku sangat miskin. Ketika setelah sekian lama ayah mendahului, akhirnya ibu juga menyusul dan kembali keharibaan Yang Mahakuasa.

Jadi, ketika Bang Rizal mendekati, aku memutuskan untuk segera menikah dengannya. Agar aku tidak dibawa pergi oleh bibi yang tinggal di desa sebelah.

Adik ibuku itu adalah orang yang sangat perhitungan, padahal beliau lumayan berpunya.

Terlebih, aku tak tahan dengan lisannya yang terlalu sering mengungkit-ungkit apa yang telah ia keluarkan untuk kami.

Daripada aku harus tinggal dengannya, makanya aku lebih memilih untuk meminta Bang Rizal melamar saja.

Akan tetapi, seperti kata pepatah, bagai lepas dari mulut singa masuk ke mulut serigala.

Bang Rizal berubah dari hari ke hari sifat aslinya makin nampak. Tidak seperti ketika ia baru mendekati dan baru menikah, ia menjadi kasar dan sering mengungkit kemiskinan keluargaku.

"Duduk!" Tuan Steven melirikku membuat lamunanku berhenti.

Tanganku mengepal. Padahal, ini rumah kami, tapi justru dia yang menyuruhku duduk. Huuuufftt ....

Aku pun dengan perlahan mengambil posisi di sebelah Bang Rizal dan meletakkan bokong di sana.

"Bagaimana ... kalian sudah memutuskan untuk bercerai, 'kan?" tanya Tuan Steven sembari meletakkan ujung tungkai panjangnya ke atas lutut dan bersender di sofa butut kami.

"Tuan ...," sahut Bang Rizal merendahkan suara seperti biasa jika berhadapan dengan pria blesteran itu.

Ah, entah mengapa jantungku jadi berdetak lebih kencang menanti apa yang akan diucapkan Bang Rizal.

Dua hari ini dia sama sekali tidak membahas tentang perintah tak masuk akal dari Tuan Steven.

"Hmm." Tuan Steven menatap intens ke arah Bang Rizal.

"Saya minta kompensasi jika saya harus menceraikan Nay!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Firsyaka
kereeeen sekali kak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status