Share

Bab 6 : Pertengkaran

Aku bagai ditelanjangi di depan semua orang.

"Tapi Nay ini paling cantik di kampung ini, Nyonya," sahut Bang Kamal.

Wajahku terasa memanas. Tidak pernah lelaki berkumis tipis itu memujiku selama ini, kecuali hari ini dan ketika ia meminta kompensasi kepada Tuan Steven waktu itu.

Nyonya Sarah tersenyum miring seakan mengejek. "Yaa, cantik. Tapi sama saja dengan yang sudah-sudah pastinya," tuduhnya.

Sama seperti apa maksudnya? Yang sudah-sudah? Mantan-mantan istri Tuan Steven-kah?

"Sudah. Silakan dinikmati dulu makanan ini. Nanti dingin, gak enak lagi," ujar Tuan Steven sembari memulai mengambil makanan di hadapannya.

"Oke, silakan. Kita makan dulu," kata Nyonya Sarah. Akhirnya sekilas senyum tipis tampak agak tulus diperlihatkan kepada kami.

Melihat semua sudah memulai ritual makan malam, mau tidak mau aku pun ikut serta mengambil makanan yang kelihatan mewah di hadapan. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak berselera, tapi demi menghormati tuan rumah, aku melakukannya.

"Nay siapa namamu?" tanya Nyonya Sarah di tengah-tengah acara makan kami.

Aku meraih gelas air putih dan meneguk sedikit isinya. "Naysilla, Nyonya," jawabku sekenanya.

Nyonya Sarah hanya mengangguk-angguk mendengar jawabanku.

"Mbok!" panggil Tuan Steven kepada salah seorang pembantunya.

Seorang wanita paruh baya bergegas meraih sebuah teko untuk mencuci tangan dan menyiramkan airnya ke tangan Tuan Steven. Ia kemudian memberikan sebuah serbet bersih kepada lelaki itu.

Melihat itu, dalam hati aku hanya bisa menggerutu, 'Begitu saja perlu dibantu. Dasar orang kaya!'

*****

Kami kemudian makan malam.

Nyonya Sarah juga menyusul menyelesaikan makannya. Kulihat dia tidak membutuhkan bantuan dari si Mbok tadi untuk mencuci tangannya. Berarti hanya Tuan Steven saja yang manja. Aku hanya bisa menghela napas melihat hal itu.

Aku juga segera menyelesaikan makanku setelah melihat Bang Rizal juga selesai. Tak berapa lama, ada beberapa pelayan yang menyajikan sebuah puding berwarna merah muda dengan fla putih di hadapan kami. Kelihatannya enak dan segar.

"Ini puding stroberi hasil panen warga sini juga," ucap Nyonya Sarah menjelaskan.

Aku hanya mengangguk pelan. Kemudian aku meraih sendok kecil yang sudah disediakan untuk mencicipi puding ber-fla putih tersebut setelah melihat Nyonya Sarah memakannya dengan nikmat.

"Stroberi di lahan warga bagian atas memang bagus-bagus, Nyonya!" seru Bang Rizal seraya tersenyum.

Desa kami cukup luas dan kontur wilayahnya tidak rata. Jadi, yang tinggal di dataran lebih tinggi kami menyebutnya dengan warga bagian atas.

"Iya, ini hasil kebun mereka," jawab Nyonya Sarah membenarkan.

"Leha!" panggil Tuan Steven dengan suara lebih keras dari sebelumnya. Ia terlihat tidak senang. Ada apa?

"Iya, Tuan?"

Seorang wanita muda menghadapnya dengan tergopoh-gopoh.

"Kamu tahu, 'kan, aku gak suka stroberi?" Tuan Steven menggeser sloki wadah puding tersebut dengan agak kasar, hampir saja menumpahkan isinya.

"Ma–maaf, Tuan. Saya lupa." Wanita muda bernama Leha tadi segera meraih sloki puding di hadapan Tuan Steven dan menyingkirkan dari pandangan pria itu.

"Lupa ... lupa," sindir Tuan Steven masih dengan tampangnya yang tidak senang dengan kelalaian sang pembantu.

"Sudah ... sudah," interupsi Nyonya Sarah, "sana kamu!" usirnya ke arah pembantu tersebut.

"Kerja gak becus," sambung Tuan Steven lagi.

Hal remeh seperti itu bisa membuatnya marah begitu? Aku hanya bisa beristighfar di dalam hati. Padahal puding ini enak. Bahkan sangat enak.

"Dia baru sebulan kerja, maklumi saja." Nyonya Sarah menenangkan sang putra.

Tuan William hanya mendengkus mendengar ucapan sang ibu.

"Ngomong-ngomong, kapan kalian akan menikah, heh?" Nyonya Sarah mengalihkan pembicaraan dan melihat ke arah putranya, kemudian bergiliran ke arahku.

"Segera setelah selesai masa iddahnya, Nyonya," sela Bang Rizal.

"Kok, kamu yang jawab?" tanya Nyonya Sarah heran.

Bang Rizal langsung terdiam.

"Segera, Mom. Tunggu semua beres," jawab Tuan Steven.

"Apanya yang tunggu beres? Masa iddah apa? Dia baru jadi janda?" cecar Nyonya Sarah lagi.

"Tunggu selesai urus akta cerai kami dulu, Nyonya," sahut Bang Rizal menjelaskan lebih lanjut.

"Maksudnya?" Alis Nyonya Sarah bertaut. Dahinya yang sudah mulai berkerut semakin kentara kerutannya.

Bang Rizal lanjut bicara, "Iya, kami masih harus mengur–"

"Steven!" bentak Nyonya Sarah memotong omongan Bang Rizal, "apa maksud dia ini, hah?"

Sepertinya Nyonya Sarah tidak mengetahui apa yang terjadi.

Tuan Steven menggaruk tengkuknya. Ia tampak tidak enak hati. "Nay ini mantan istrinya Rizal, Mom. Mereka sedang mengurus perceraian di pengadilan agama," jelas pria blasteran itu kemudian.

"Hah?" Netra Nyonya Sarah semakin nanar melihat bergiliran ke arah kami bertiga.

Aku hanya diam menyimak pembicaraan dua orang ibu dan anak itu. Begitu juga Bang Rizal yang dua kali diinterupsi oleh Nyonya Sarah. Ia pun terdiam, bisu.

"Iya. Jadi, aku nunggu mereka resmi dulu. Baru aku akan nikahi Nay," lanjut pria blasteran itu.

Nyonya Sarah terlihat heran dan semakin marah.

"Kamu yang suruh mereka bercerai? Iya?" Tuduhan itu sangat tepat sasaran. Sepertinya Nyonya Sarah sangat memahami siapa anaknya.

"Bukan begitu, Nyonya. Saya memang berniat untuk menceraikan Nay sudah lama," sela Bang Rizal seolah membela pria blasteran di hadapan Nyonya Sarah, dan hal itu membuatku ternganga.

Benarkah? Aku tidak menyangka. Benarkah Bang Rizal memang sudah lama berniat menceraikanku?

"Steve! Seperti gak ada perempuan lain aja kamu! Istri orang pun kamu mau jadikan istrimu!" Nyonya Sarah Dramawan tampak berang.

Aku semakin bingung harus berbuat apa di situ.

"Sudahlah, Mom. Mommy yang suruh aku cari istri lagi, 'kan? Nih, aku sudah dapat calonnya," tutur Tuan Steven sembari mengusap wajahnya, tampak bosan dengan percakapan ini.

"Iya tentu saja Mommy suruh kamu menikah lagi. Mau berapa lama lagi kamu jadi duda? Kamu 'kan, sudah empat puluh tahun! Lagian, kamu baru punya anak satu perempuan. Tapi, bukan berarti kamu harus ngambil istri orang!" geram Nyonya Sarah.

Aku sangat tidak nyaman masih berada di sini. "Se–sebaiknya saya permisi dulu." Aku bangkit dan hendak permisi pulang saja. Suasana tampak semakin panas di sini.

"Apa-apaan, sih, Nay?" bisik Bang Rizal sembari meraih lenganku, menahan aku untuk melangkah pergi.

"Kamu! Perempuan macam apa yang rela bercerai untuk menikah dengan lelaki lain?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status