Aku bagai ditelanjangi di depan semua orang.
"Tapi Nay ini paling cantik di kampung ini, Nyonya," sahut Bang Kamal.Wajahku terasa memanas. Tidak pernah lelaki berkumis tipis itu memujiku selama ini, kecuali hari ini dan ketika ia meminta kompensasi kepada Tuan Steven waktu itu.Nyonya Sarah tersenyum miring seakan mengejek. "Yaa, cantik. Tapi sama saja dengan yang sudah-sudah pastinya," tuduhnya.Sama seperti apa maksudnya? Yang sudah-sudah? Mantan-mantan istri Tuan Steven-kah?"Sudah. Silakan dinikmati dulu makanan ini. Nanti dingin, gak enak lagi," ujar Tuan Steven sembari memulai mengambil makanan di hadapannya."Oke, silakan. Kita makan dulu," kata Nyonya Sarah. Akhirnya sekilas senyum tipis tampak agak tulus diperlihatkan kepada kami.Melihat semua sudah memulai ritual makan malam, mau tidak mau aku pun ikut serta mengambil makanan yang kelihatan mewah di hadapan. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak berselera, tapi demi menghormati tuan rumah, aku melakukannya."Nay siapa namamu?" tanya Nyonya Sarah di tengah-tengah acara makan kami.Aku meraih gelas air putih dan meneguk sedikit isinya. "Naysilla, Nyonya," jawabku sekenanya.Nyonya Sarah hanya mengangguk-angguk mendengar jawabanku."Mbok!" panggil Tuan Steven kepada salah seorang pembantunya.Seorang wanita paruh baya bergegas meraih sebuah teko untuk mencuci tangan dan menyiramkan airnya ke tangan Tuan Steven. Ia kemudian memberikan sebuah serbet bersih kepada lelaki itu.Melihat itu, dalam hati aku hanya bisa menggerutu, 'Begitu saja perlu dibantu. Dasar orang kaya!'*****Kami kemudian makan malam.Nyonya Sarah juga menyusul menyelesaikan makannya. Kulihat dia tidak membutuhkan bantuan dari si Mbok tadi untuk mencuci tangannya. Berarti hanya Tuan Steven saja yang manja. Aku hanya bisa menghela napas melihat hal itu.Aku juga segera menyelesaikan makanku setelah melihat Bang Rizal juga selesai. Tak berapa lama, ada beberapa pelayan yang menyajikan sebuah puding berwarna merah muda dengan fla putih di hadapan kami. Kelihatannya enak dan segar."Ini puding stroberi hasil panen warga sini juga," ucap Nyonya Sarah menjelaskan.Aku hanya mengangguk pelan. Kemudian aku meraih sendok kecil yang sudah disediakan untuk mencicipi puding ber-fla putih tersebut setelah melihat Nyonya Sarah memakannya dengan nikmat."Stroberi di lahan warga bagian atas memang bagus-bagus, Nyonya!" seru Bang Rizal seraya tersenyum.Desa kami cukup luas dan kontur wilayahnya tidak rata. Jadi, yang tinggal di dataran lebih tinggi kami menyebutnya dengan warga bagian atas."Iya, ini hasil kebun mereka," jawab Nyonya Sarah membenarkan."Leha!" panggil Tuan Steven dengan suara lebih keras dari sebelumnya. Ia terlihat tidak senang. Ada apa?"Iya, Tuan?"Seorang wanita muda menghadapnya dengan tergopoh-gopoh."Kamu tahu, 'kan, aku gak suka stroberi?" Tuan Steven menggeser sloki wadah puding tersebut dengan agak kasar, hampir saja menumpahkan isinya."Ma–maaf, Tuan. Saya lupa." Wanita muda bernama Leha tadi segera meraih sloki puding di hadapan Tuan Steven dan menyingkirkan dari pandangan pria itu."Lupa ... lupa," sindir Tuan Steven masih dengan tampangnya yang tidak senang dengan kelalaian sang pembantu."Sudah ... sudah," interupsi Nyonya Sarah, "sana kamu!" usirnya ke arah pembantu tersebut."Kerja gak becus," sambung Tuan Steven lagi.Hal remeh seperti itu bisa membuatnya marah begitu? Aku hanya bisa beristighfar di dalam hati. Padahal puding ini enak. Bahkan sangat enak."Dia baru sebulan kerja, maklumi saja." Nyonya Sarah menenangkan sang putra.Tuan William hanya mendengkus mendengar ucapan sang ibu."Ngomong-ngomong, kapan kalian akan menikah, heh?" Nyonya Sarah mengalihkan pembicaraan dan melihat ke arah putranya, kemudian bergiliran ke arahku."Segera setelah selesai masa iddahnya, Nyonya," sela Bang Rizal."Kok, kamu yang jawab?" tanya Nyonya Sarah heran.Bang Rizal langsung terdiam."Segera, Mom. Tunggu semua beres," jawab Tuan Steven."Apanya yang tunggu beres? Masa iddah apa? Dia baru jadi janda?" cecar Nyonya Sarah lagi."Tunggu selesai urus akta cerai kami dulu, Nyonya," sahut Bang Rizal menjelaskan lebih lanjut."Maksudnya?" Alis Nyonya Sarah bertaut. Dahinya yang sudah mulai berkerut semakin kentara kerutannya.Bang Rizal lanjut bicara, "Iya, kami masih harus mengur–""Steven!" bentak Nyonya Sarah memotong omongan Bang Rizal, "apa maksud dia ini, hah?"Sepertinya Nyonya Sarah tidak mengetahui apa yang terjadi.Tuan Steven menggaruk tengkuknya. Ia tampak tidak enak hati. "Nay ini mantan istrinya Rizal, Mom. Mereka sedang mengurus perceraian di pengadilan agama," jelas pria blasteran itu kemudian."Hah?" Netra Nyonya Sarah semakin nanar melihat bergiliran ke arah kami bertiga.Aku hanya diam menyimak pembicaraan dua orang ibu dan anak itu. Begitu juga Bang Rizal yang dua kali diinterupsi oleh Nyonya Sarah. Ia pun terdiam, bisu."Iya. Jadi, aku nunggu mereka resmi dulu. Baru aku akan nikahi Nay," lanjut pria blasteran itu.Nyonya Sarah terlihat heran dan semakin marah."Kamu yang suruh mereka bercerai? Iya?" Tuduhan itu sangat tepat sasaran. Sepertinya Nyonya Sarah sangat memahami siapa anaknya."Bukan begitu, Nyonya. Saya memang berniat untuk menceraikan Nay sudah lama," sela Bang Rizal seolah membela pria blasteran di hadapan Nyonya Sarah, dan hal itu membuatku ternganga.Benarkah? Aku tidak menyangka. Benarkah Bang Rizal memang sudah lama berniat menceraikanku?"Steve! Seperti gak ada perempuan lain aja kamu! Istri orang pun kamu mau jadikan istrimu!" Nyonya Sarah Dramawan tampak berang.Aku semakin bingung harus berbuat apa di situ."Sudahlah, Mom. Mommy yang suruh aku cari istri lagi, 'kan? Nih, aku sudah dapat calonnya," tutur Tuan Steven sembari mengusap wajahnya, tampak bosan dengan percakapan ini."Iya tentu saja Mommy suruh kamu menikah lagi. Mau berapa lama lagi kamu jadi duda? Kamu 'kan, sudah empat puluh tahun! Lagian, kamu baru punya anak satu perempuan. Tapi, bukan berarti kamu harus ngambil istri orang!" geram Nyonya Sarah.Aku sangat tidak nyaman masih berada di sini. "Se–sebaiknya saya permisi dulu." Aku bangkit dan hendak permisi pulang saja. Suasana tampak semakin panas di sini."Apa-apaan, sih, Nay?" bisik Bang Rizal sembari meraih lenganku, menahan aku untuk melangkah pergi."Kamu! Perempuan macam apa yang rela bercerai untuk menikah dengan lelaki lain?"Aku memutuskan untuk menerima rujuk yang ditawarkan oleh Steven hari itu. Jujur, saat ini hatiku merasa sangat ... lengkap. Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami sekarang.Sudah dua bulanan aku kembali ke rumah besar ini—rumah keluarga Arnold. Mommy dan Tasya juga terlihat sangat bahagia di hari akad aku dengan Steven untuk kedua kalinya. Ya, karena masa iddah telah lewat, makanya kami perlu mengulang kembali akad. Hendi awalnya ragu untuk mendukung. Namun, pada akhirnya setelah ia melihat semua orang—terutama Bibi dan juga kedua sepupuku mensupport, ia pun ikut mendukung aku kembali bersama pria yang memang namanya masih setia terukir di dalam hati ini. Yakni dia yang merupakan ayah dari putra kesayanganku ... Zack."Steve, apa-apaan kamu ikut masuk, ih!" Aku berusaha mendorong tubuh liat itu agar mau keluar dari kamar mandi."Aku lihat kamu tadi sudah shalat Ashar, jadi kita sudah boleeeh—" Dua alis tebal itu terangkat-angkat ke atas dengan tatapan manik
"Lho, Nak Wahyu sudah mau pulang?" Terdengar suara Bibi dari luar sana. Sepertinya Bibi melihat gelagat Mas Wahyu yang hendak pergi dari rumah ini."Iya, Bi. Aku permisi dulu," jawab Mas Wahyu sekenanya."Ah, iya-iya. Hati-hati di jalan, Nak Wahyu. Maaf kalau sudah banyak merepotkan Nak Wahyu selama ini."Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari lisan Bi Eli kepada Mas Wahyu. Aku tertawa miris mendengarnya. Bukankah selama ini beliau seakan tidak mau peduli dengan hal itu?Sementara itu, aku dan Steven masih saling diam di ruang tiga kali tiga meter ini. Aku tidak tahu dan mungkin malas untuk kembali membahas sesuatu bersama pria itu.Bi Eli menyibak tirai di muka pintu dan aku pun sontak menoleh ke arah beliau tanpa berkata apa-apa. Namun, ternyata orang tua itu tidak mau masuk. Beliau kembali melepas gorden sehingga kembali tertutup, walau jelas masih ada celah di sana. Sepertinya Bibi mengambil duduk di ruang makan di sana, karena aku mendengar bunyi derit seperti kursi yang dige
Telapak tangan ini terasa kebas karena beradu dengan rahang kukuhnya. Mata ini pun mulai terasa panas. Dada naik turun karena menahan emosi.Akan tetapi, pria itu hanya tertunduk sebentar karena wajahnya barusan terkena gamparan tanganku. Kemudian ia menoleh dengan tatapan seakan makin menantang.Zack yang tadi telah terlelap akhirnya terbangun dan menangis dengan sangat kencang. Tentu saja dia kaget mendengar bunyi tamparan dan suaraku yang keras barusan.Pria arogan di hadapanku itu bangkit berdiri dengan terus menatap nyalang ke arahku.Aku pun sontak mendongak ke arah dia yang memang lebih tinggi dari tubuhku dengan tatapan tidak mau kalah. Namun, bulir bening tiba-tiba lolos dan jatuh dari sudut mata. Dengan gerakan cepat aku segera menyusutnya. Aku mencoba menarik napas panjang walau tersendat-sendat demi meredakan gelegak yang tengah membara di dalam dada."Ada apa ini?!" Tiba-tiba Bi Eli dan Mas Wahyu muncul di muka pintu. Sedetik kemudian Bibiku melangkah maju dan meraih Zac
Jujur saja, ini pertemuan pertamaku dengan Steven semenjak hari itu. Hari di mana ia telah menjatuhkan talaq kepadaku di ruang tamu rumah ini. Waktu itu aku masih dalam keadaan hamil. Usia kandunganku saat itu baru enam bulan lebih, hampir masuk bulan ke tujuh.Aah, walaupun janggut itu terlihat lebih lebat, kamu masih tetap tampan dan gagah, Steve ... aku cukup tertegun dengan kehadirannya. Apakah arti dari debaran kencang di dalam dada ini ya, Rabb?Sebentar saja sepasang netra biru gelap itu melihat lekat ke arahku, sejurus kemudian ia langsung mengalihkan pandangan ke arah Bi Eli. "Maaf, aku mau mengunjungi anakku," ucap pria bermata safir tersebut dengan suara khasnya yang berat dan datar. Sebentar manik itu melirik ke arah Mas Wahyu.Hmmm ... ia tampak tidak senang dengan adanya pria berkacamata itu di sini.Apa kamu cemburu, Steve ...?Sementara Mas Wahyu hanya duduk diam memperhatikan di tempat duduknya sana. Ia sepertinya tidak berniat untuk menyapa Steven terlebih dahulu se
Setelah sadar dari pingsan kemarin karena kehilangan banyak darah, akhirnya hari ini—hari keempat setelah melahirkan—aku diperbolehkan untuk pulang. Semua orang terlihat sangat bahagia. Tentu saja, terutama diri ini.Sebenarnya Mommy menyuruhku untuk kembali ke rumah besarnya. Namun, sekali lagi aku menolak dengan halus. Dulu waktu belum resmi bercerai dengan Steven saja, aku tidak mau. Apalagi saat ini, kami sudah benar-benar bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami-istri.Akan tetapi, aku berjanji kepada Mommy untuk selalu datang. Mungkin nanti setelah tubuhku lebih sehat dan bayiku lebih kuat. Hal itu karena aku menyadari, bahwa tentu saja orang tua itu ingin bertemu cucu laki-lakinya sesekali.Kemarin Hendi sudah melihat keponakannya yang baru lahir. Hanya sehari saja. Berikutnya ia dan Tasya kembali mesti belajar di pondok. Tasya yang terlihat begitu berat meninggalkan adiknya. Namun, aku membujuknya. Aku berjanji setiap pekan di jadwal peneleponan, kami akan melakukan video c
Aku hanya bisa tersenyum melihat putri cantikku yang kini mengerucutkan bibirnya lucu. Entahlah, aku merasa cukup senang ketika mendengar pria itu datang. Artinya dia masih peduli. Walaupun memang, sebenarnya tidak berpengaruh apa pun. Toh, kami sudah bukan pasangan suami-istri lagi. Kalau mengingat hal itu, daging merah di dalam dada ini kembali terasa perih. "Hendi mana ya, Bi? Apa nggak ikut pulang sama Tasya?" tanyaku kepada Bibi.Belum sempat Bi Eli membuka mulutnya, Tasya pun menyambar, "Kak Hendi masih harus setoran tasmi', Bu! Tapi besok dia nyusul dijemput Pak Hardi.""Oh, gitu," sahutku singkat.Tidak berapa lama kemudian, perawat yang tadi memeriksaku kembali datang menghampiri. Ah, hatiku merasa begitu bahagia ketika melihat wanita muda itu menggendong seorang bayi berbalut kain bedong di tangannya."Rebahan aja, Bu," ujar perawat tersebut ketika ia melihat aku berusaha untuk bangkit dan duduk. Mendengar ucapannya, aku pun menurut. Kembali aku merebahkan tubuh ini. "Ss