***
Ting ...
|Lama sekali kamu, Andra! Anita sudah menunggu sejak tadi||Jangan-jangan Helen menahan kamu di rumah? Ingat ya, Helen itu cuma wanita mandul, jangan terlalu memanjakan dia. Mengerti?!|Aku meremas ponsel Mas Andra dalam genggaman. Entah bagaimana ceritanya laki-laki yang sudah menikahiku sejak tiga tahun yang lalu itu meninggalkan ponselnya di atas meja makan. Padahal biasanya dia dan ponsel bagai Ibu dan anak yang tidak terpisahkan. Atau mungkin ini cara Tuhan memberitahu padaku betapa Mama pandai sekali mengemas kelembutan sikapnya selama ini, tapi ternyata di belakangku ... dia berani mengataiku mandul.Drrtt ....Drrtt ....Aku menggeser ikon ke kanan saat nama 'Anitaku' terpampang di layar ponsel suamiku. "Halo, Mas ... kamu lama sekali sih? Keburu dokter kandungan rame nanti," gerutu suara wanita di seberang sana. "Aku tunggu sekarang juga, kalau kamu masih juga jagain Helen yang lagi pura-pura sakit maka aku akan pergi membawa calon bayi kita!"Tut ....Lemas sudah persendianku mendengar suara wanita yang menelepon Mas Andra barusan. Bahkan ponsel yang kupegang hampir saja terlepas dalam genggaman.Dokter kandungan ...?Aku yang pura-pura sakit ...?Siapa sebenarnya wanita yang diberi nama Anitaku' ini?Kuraup udara dengan rakus dan mengembuskannya kasar. Hari ini sengaja aku meliburkan diri untuk tidak pergi ke butik karena badan terasa begitu letih dan lemas sejak pagi. Mas Andra pun pamit untuk pergi ke kantor karena dia bilang ada meeting dengan divisi pemasaran. Produk minuman kemasan yang sedang kami pasarkan mengalami peningkatan yang pesat. Kupikir alasannya adalah sebuah kebenaran yang wajib aku percaya, tapi nyatanya ....Tidak ingin membuang-buang waktu, gegas aku menyadap W******p miliknya ke dalam ponselku. Setelah beres, sejenak kubaca pesan-pesan yang ternyata ada di daftar arsip selama ini. Oh, Tuhan! Bodohnya aku yang tidak pernah mengutak-atik ponsel suami sendiri. Semua itu kulakukan karena aku percaya pada Mas Andra, tapi sepertinya kepercayaan yang kuberikan dia sia-siakan begitu saja.|Permainan kamu sungguh membuat Mas ketagihan, Nit. Besok kita ulangi lagi ya?||Jangan lupa pakai lingeri yang Mas belikan. Kamu benar-benar seksi, berbeda sekali dengan Helen yang tubuhnya semakin melar. Membosankan!|Aku menggigit bibir geram. Ternyata begini kelakuan Mas Andra selama ini? Dan wanita yang bernama Anita ... lihat saja, aku akan mencari tau sendiri kebenarannya. Mereka semua harus hancur karena sudah menyakitiku sedemikian dalam. Mas Andra mungkin lupa darimana dia berasal. Baiklah, mari aku ingatkan siapa dirimu sebenarnya, Mas!Tok ... Tok ... Tok ....Segera kuhapus air mata yang membekas di pipi. Aku yakin sekali kalau yang datang adalah Mas Andra, dia pasti teringat ponselnya ketika di jalan."Kenapa balik lagi, Mas?"Mas Andra mengulas senyum manis di depanku. Tiba-tiba saja keningku dikecup dengan lembut. Jika dulu aku akan merasa tersanjung dan begitu beruntung sebagai seorang wanita, maka hari ini aku benar-benar ingin muntah di wajahnya. Dasar buaya!"Hape Mas ketinggalan. Mas taruh dimana ya tadi, kamu lihat, Len?"Aku menggeleng. Biar saja dia mencari hapenya sampai ketemu, sukur-sukur kalau wanita yang bernama Anita menunggu cukup lama. Biar dia tau rasa karena sudah bermain api dengan suami orang."Ck! Perasaan tadi Mas cuma duduk di ruang makan deh, Sayang. Kamu beneran nggak lihat?""Mas curiga sama aku?""Bukan begitu," sahut Mas Andra salah tingkah. Aku bersedekap dada menatap kedua mata suamiku dan berkata, "Lagipula kenapa panik sekali sih, Mas? Nanti kan bisa kamu cari lagi kalau sudah pulang dari kantor, katanya tadi buru-buru?" selaku dengan tersenyum tipis berusaha menyembunyikan kekesalan di dalam hati."Tidak bisa gitu, Len. Hape itu penting sekali buat Mas, lagipula kalau nanti Anita ...."Mas Andra menghentikan ucapannya ketika dia tanpa sadar menyebut nama Anita. Aku menaikkan satu alis dan menatap tajam ke arahnya. "Siapa Anita?""Ah, anu ... klien baru kita di kantor, Sayang. Mas tadi ada janji bertemu klien di Cafe, takut dia bingung cari Cafe yang Mas maksud."Aku terkekeh. Kenapa setelah tiga tahun bersama, aku baru menyadari jika Mas Andra benar-benar buaya berbulu musang! Pandai sekali dia bersilat lidah."Sudahlah. Nanti tolong bantu cari ponsel Mas ya, aku buru-buru takut ditunggu sama staf yang lain. Ingat, jangan buka-buka hape suami karena itu adalah privasi. Mengerti?"Aku mengangguk malas. Anggap saja kamu bisa lepas kali ini, Mas. Tapi setelah aku menemukan gambaran siapa Anita sebenarnya, maka bersiap-siaplah untuk kutendang dari rumah ini. Setelah memastikan kepergian Mas Andra, aku segera menekan nomor Hazel saat itu juga. Badan lemas dan kepala pusing tiba-tiba tidak lagi aku rasakan. Hari ini juga aku ingin memastikan jika prasangkaku tidak salah. Aku tidak akan membiarkan mereka membodohiku terlalu lama."Halo, Bu Helen ....""Datang ke rumah saya sekarang juga!""Baik, Bu!"Selain Mas Andra, Hazel adalah salah satu orang kepercayaan almarhum Papa yang bertugas memantau perkembangan perusahaan kami selama ini, meskipun aku yakin jika Mas Andra tidak tau akan hal itu. Aku menyambar cardigan di balik pintu dan menutup wajah yang pucat dengan sedikit make up. Lalu mengaplikasikan pewarna bibir tipis sekali hanya untuk mengurangi kesan pucat di wajah. Setelah kurasa selesai, aku kembali membuka ponsel dan mendapati satu pesan yang ternyata mampu mengoyak hatiku hingga membiarkan kedua mata yang selama ini selalu berbinar seketika mengeluarkan tangisnya.Bersambung
***|Kalau kamu masih juga nungguin Helen di rumah, aku akan bilang ke semua orang kalau aku juga istrimu, Mas|Hancur sudah persendianku. Mas Andra dengan wanita yang bernama Anita itu ternyata sudah menikah?Tapi kapan?Apa sebegitu sibuknya aku selama ini sampai-sampai tidak mengendus perselingkuhan suamiku sehingga hampir menghasilkan seorang anak?Kuraup udara dengan rakus. Berusaha mengeluarkan semua sesak yang berdesakan di dalam dada. Sekarang bukan waktunya untuk menangis, Helen! Ada masa depan yang harus kamu perjuangkan dan jika Mas Andra memang ingin lepas dari ikatan pernikahan suci ini, maka dia harus kembali menjadi Andra yang dulu. Bel di depan rumah berbunyi, aku yakin sekali jika Hazel yang datang menemuiku pagi ini. Selain tanggap, dia juga cekatan selama membantuku mengurus perusahaan yang Papa tinggalkan. Apalagi saat Mama tiriku berusaha merebut harta yang Papa tinggalkan, Hazel berusaha keras agar harta Papa tidak jatuh ke tangan mereka. Tiba-tiba air mata men
***"Dew-- Dewi anak Mama Fiona?"Hazel mengangguk lemah. Entah mengapa aku membenci sikapnya yang terkesan mengasihaniku. Aku yakin, di dalam lubuk hatinya pasti merasa puas karena aku sudah salah memilih lelaki dan menolak perjodohan dengannya dulu."Ba-- Bagaimana bisa, Hazel? Dewi dan Mas Andra tidak saling kenal," kilahku. Berharap apa yang Hazel katakan adalah sebuah kesalahan."Banyak hal yang tidak kamu tau, Len. Kamu terlalu sibuk dengan butik dan ya ... terlalu menikmati gombalan Andra, mungkin." Kulihat Hazel menyandarkan punggungnya di sofa. "Terlalu banyak kesalahan yang Andra buat, keluarlah dari zona nyamanmu. Sudah saatnya kamu mengurus semua peninggalan Papamu dengan baik, Len. Hentikan kebucinan yang benar-benar merugikanmu. Andra adalah laki-laki brengsek yang tidak pantas mendapat cinta dari wanita sepertimu. Aku ....""Cukup!" selaku cepat. "Kamu boleh kembali ke kantor, aku ada urusan sebentar lagi.""Len ... setelah kuberitahu apa yang Andra lakukan dengan adik
***Aku melangkah mundur dengan perlahan. Meskipun ingin sekali melabrak mereka sekarang juga, tapi aku tidak mau penghianatan yang Mas Andra berikan hanya berujung pada perceraian semata. Aku akan membalaskan dendam Mama dan Papa jika memang wanita yang menggoda suamiku adalah Dewi. Akan kupastikan jika balas dendam yang kuberikan tidak akan bisa dia lupakan. "Kok balik lagi, Mbak?"Bu Jihan yang masih menggendong cucunya melihatku dengan mengernyit. Aku terkekeh, lalu menarik tangan tetangga yang terkenal ramah itu untuk bersembunyi di balik mobil."Boleh saya minta tolong, Bu?"Bu Jihan nampak mengerjapkan mata lalu mengangguk samar. "Kalau saya bisa, insyaallah saya bantu, Mbak Helen."Aku menceritakan tentang wanita hamil di rumah Mertuanya, nampak wajah Bu Jihan begitu terkejut, lalu kembali menguasai diri karena terlihat jelas dari senyum yang dia paksakan."Mungkin adik ipar Pak Andra, Mbak. Kenapa tidak langsung masuk saja untuk memastikan."Aku mematung. Kugigit bibir denga
***Hazel berbicara panjang lebar dengan klien sementara aku lebih banyak diam menyimak. Jujur, setelah lama tidak mengurus Perusahaan Papa rasanya aku kembali kikuk jika harus berhadapan dengan orang-orang penting ini."Mulai besok kembali bekerja di kantor, cari alasan agar Andra tidak curiga. Satu klien bisa kita atasi, tapi entah ada berapa banyak orang yang Andra hubungi, kamu harus bisa menghentikan sebelum semakin jauh dia bertindak."Aku mengangguk. Setelah pertemuan di Cafe Cempaka aku segera membawa mobil pulang ke rumah. Rasanya lelah sekali, jiwa dan raga."Darimana kamu, Len? Sakit bukannya tidur malah kelayapan!"Aku berjingkat. Untuk pertama kalinya melihat Mas Andra menggerutu di depanku. "Kenapa memangnya? Kamu khawatir?" sindirku. "Helena, sini, Sayang. Andra bilang kamu sakit, Mama datang membawa sup ayam, makan selagi masih hangat."Aku hanya mengangguk. Jika dulu aku akan luluh dan merasa disayangi dengan sikap mereka, maka tidak dengan saat ini. Muak sekali meli
*** "Mau kemana, Len, kenapa rapi sekali?" Aku berjingkat mendengar suara Mama, pasalnya tadi malam dia sudah keluar diantar Mas Andra setelah mencaci makiku di belakang. Tapi pagi ini dia tiba-tiba sudah berada di dapur. "Lena?" "Ah, ehm ... ada urusan di kantor, Ma," sahutku cepat. "Apa Mas Andra sudah berangkat?" Mama Desinta mengangguk. Dia membawa sepiring nasi goreng dan satu gelas susu hangat di atas meja makan. Tanpa menghiraukan sarapan yang sudah Mama buat, aku segera berbalik hendak pergi ke kantor secepatnya, jangan sampai Mas Andra tahu jika aku sudah membatalkan semua pengajuan pinjaman yang sudah dia rencanakan. "Helena, makan dulu, Nak. Kamu baru pulih!" teriak Mama dari arah dapur. Aku berjalan semakin cepat menuju kamar, menyambar kunci mobil dan tas yang sudah berisi banyak bukti siapa sebenarnya Anita. Aku tidak akan memaafkan kalian! Setelah merebut Papa dari Mama, sekarang anaknya pula ingin merebut Mas Andra dariku. Apa mereka pikir aku akan selemah Mama beg
***"Jaga bicaramu, Len. Aku suamimu, tidak seharusnya kamu mempermalukan suami sendiri di depan umum," kata Mas Andra tegas. "Lihat, gara-gara suara kamu para staf sampai terganggu, sekarang ayo kita pergi!"Mas Andra menarik tanganku kasar. Kulihat senyuman tipis tergurat di bibir Anita. Oh ya, apa dia pikir aku selemah itu akan menangisi tamparan suamiku? Tentu tidak!"Lepaskan!" "Tolong jangan buat keributan di kantorku, Len. Aku tidak mau sampai harga diriku rusak gara-gara kamu yang terbakar cemburu!"Aku tertawa lantang. Saat Mas Andra menoleh ke arahku dengan setengah tercengang, disaat itulah aku melepaskan cekalan tangannya. Lihat, anak pelakor itu bahkan mengintil di belakang kami."Kamu sadar apa yang kamu katakan, Mas?"Wajah suamiku memerah. Mungkin dia merasa terhina. Ah, bukankah dia dan selingkuhnya memang hina. Kurang baik apa aku selama ini, sehingga dia berani mengkhianati ikatan suci sebuah pernikahan?"Ini Perusahaan Papaku, Mas. Mana ada kantor milikmu," jelask
*** "Sayang, sudah hentikan! Kamu hanya salah paham dan tersulut cemburu buta." "Cemburu buta?" kataku meniru ucapan Mas Andra. "Ha ... ha ... yang benar saja, Mas. Aku tidak akan menaruh rasa cemburu pada wanita murahan sepertinya! Bahkan jika dia mau ambil kamu, silahkan! Tapi jangan harap bisa mengambil harta orang tuaku sepeserpun!" Kulihat Mas Andra menggelengkank epalanya samar, dan saat itu pula Anita berlalu tanpa berani membalas hinaan yang keluar dari mulutku. Ayolah, Anita ... sakit hati atas ucapanku tidak sesakit kamu merebut suamiku bukan? Kamu dan Mamamu yang jalang itu sudah menghancurkan keluargaku. Aku merasakan tangan Mas Andra menggenggam jemariku. Bisa kulihat kedua mata Anita melotot melihat aksi laki-laki yang dia cintai memelas di depanku saat ini. "Pergilah, Nit! Jangan bikin suasana tambah runyam!" Aku membuang muka. Menepis tangan Mas Andra dan mulai berjalan hendak memasuki ruangan. "Kamu kenapa sih, Len? Kenapa tiba-tiba datang dan mau atur Perusaha
*** "A-- apa maksudmu, Len? Kumpulan pelakor siapa?" Aku tertawa getir. Ibu dan Anak sama saja, pintar bersandiwara. Jelas-jelas di dalam rumah ini ada Mama Fiona dan Anita, tapi dia bersikap seolah-olah tidak tahu menahu tentang apa maksud dari ucapanku. "Len, duduk, Sayang! Kita bicarakan baik-baik! Mama dengar dari Anita kalau kamu salah paham dengan Andra, iya?" Aku berdecih. "Tidak ada yang namanya salah paham. Sudahlah, Ma, aku lelah! Aku cuma mau bilang kalau besok rumah ini harus dikosongkan!" "Lalu kami semua akan tinggal dimana, Helena?" "Kami?" Mama nampak gelagapan. Dia berkali-kali mengerjapkan mata dan berusaha menggenggam jemariku. "Iya, kami. Mama dan Kamila. Apa kami akan kamu bawa tinggal di rumahmu, Nak?" Aku tertawa terbahak-bahak. Menatap satu per satu wajah di dalam rumah ini yang sangat aku benci. Mereka ... tega-teganya mereka membuat hidupku hancur setelah apa yang aku berikan selama ini. "Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri di depan Mama. "Aku bawa Mam