Share

Wanita Kampungan itu Ternyata Calon Istri Bos
Wanita Kampungan itu Ternyata Calon Istri Bos
Author: Reinee

PENAMPILAN SEDERHANA PEMILIK APOTEK

"Hei! Gimana sih? Motor butut kok parkir di sini?!”  teriak perempuan di dalam mobil dengan nada angkuh 

Kemala yang baru saja memarkirkan motor di sudut kosong untuk membeli vitamin anaknya, sontak terkejut.

“Maaf, Mbak. Saya nggak lihat tadi,” katanya penuh sesal, meski dia tak salah.

Kesehariannya melayani pelanggan dengan baik selama ini, membuat Kemala terbiasa untuk meminta maaf terlebih dulu sebelum menanyakan apa yang menjadi keluhan mereka. Dan, Kemala yakin bahwa wanita di depannya kali ini pun juga seorang calon pelanggan apotek miliknya.

“Tahu diri dong, motor butut tuh parkirnya jangan di sini. Agak jauh-jauh sana! Menuh-menuhin tempat aja. Untung, tadi aku nggak sampai nyenggol motor bututmu itu. Bisa-bisa lecet nih mobil baruku," ucap wanita itu lagi dengan nada semakin kasar.

Mendengar semprotan di siang bolong seperti itu, Kemala mengerutkan kening–bingung. Mau tak mau, wanita berumur 30 tahun itu pun memperhatikan wajah si wanita dengan seksama. Matanya segera membulat sempurna saat tiba-tiba pikirannya teringat pada sesuatu. 

“Bukankah ini Irene?’ batin Kemala. 

Tentu, Kemala tak akan pernah bisa lupa dengan rupa wanita yang telah menjadi selingkuhan mantan suaminya itu. Meski sudah beberapa tahun berlalu dan Kemala merasa sudah bisa melupakan sakit hatinya, sesekali dia masih bisa merasakan sesak di dada jika teringat kembali akan peristiwa itu. 

Tak ingin berurusan dengannya, Kemala pun memutuskan untuk segera masuk ke dalam apotek. Namun rupanya, Irene yang sedang dikuasai emosi tak rela membiarkannya pergi begitu saja. Saat Kemala baru beberapa langkah menuju pintu apotek, wanita angkuh itu langsung menyusulnya. Sepertinya, Irene semakin marah karena merasa diabaikan. 

"Hei, mau ke mana kamu?! Enak aja main nyelonong!" teriak wanita itu dengan lantang. 

Di sisi lain, Kemala yang masih berusaha mengendalikan diri untuk tak meladeni, terus saja berlalu. Bahkan, kali ini semakin mempercepat langkahnya. Tak disangka, Irene pun mengejar langkah cepat Kemala menuju pintu apotek. Wanita tak tahu malu itu langsung mencekal bahu Kemala untuk kemudian ditarik menghadap ke arahnya. Kemala yang tak menyangka akan diperlakukan seperti itu masih berusaha tetap tenang. Bagaimanapun juga, dia tak ingin menimbulkan keributan di tempat itu. 

"Maaf Mbak, saya sedang buru-buru membeli obat untuk anak saya," kata Kemala–berharap Irene jadi merasa bersalah dan kemudian mengurungkan niat untuk bertikai dengannya. 

Namun, bukannya minta maaf telah mengganggu privasi orang, Irene justru tampak tersinggung dengan cara Kemala menghindar darinya. Dipandanginya Kemala dengan tatapan tajam. Bahkan, setengah melotot dengan bola mata memerah. Hanya saja, itu tak berlangsung lama karena Irene segera menyadari ada sesuatu yang tak asing pada wanita di depannya. 

Kini Irene rupanya juga telah menyadari bahwa wanita yang sedang mengenakan daster rumahan sedikit lusuh di depannya itu adalah mantan istri dari suaminya. Senyum Irene pun mulai mengembang seiring dengan ingatan akan kejadian demi kejadian di masa lalunya.

"Kamu itu ... Kemala, kan?" 

Kemala sedikit kaget–tak menyangka bahwa Irene pun ternyata masih mengenalinya. Namun kesadaran sedang berada di tempat umum, membuatnya tak ingin berkonflik dengan wanita itu. Untuk itulah, Kemala memilih tak menjawab pertanyaan konyol Irene dan bergegas pergi ke dalam apotek dan langsung menuju ke seorang pegawai yang dilihatnya tak sedang melayani pelanggan. 

“Mbak, tolong vitamin seperti biasa, ya?” ucapnya pada pada seorang pegawai apotek. 

Gadis dua puluh tahunan dengan seragam setelan rok dan kemeja warna soft ungu lengkap dengan jilbabnya itu lantas tersenyum ramah dan kemudian menganggukkan kepala. “Baik, Bu.” 

Kemala terlihat mengeluarkan beberapa lembar puluhan ribu dari dalam saku dasternya sesaat setelah si pegawai masuk untuk mengambilkan pesanannya. Meski ini adalah apotek miliknya, dia terbiasa “membayar” barang yang dikonsumsi agar alur kas usahanya tetap terjaga. Hanya saja, Kemala kembali dikejutkan dengan sesuatu yang menyenggol kasar bahunya. 

Kemala tak menyangka bahwa ternyata Irene sepertinya masih begitu penasaran dengan perjumpaan mereka hari itu. Terbukti, wanita itu kini telah ikut berdiri di sebelahnya dan berdiri bersandar dengan angkuhnya di etalase apotek. Yang lebih membuat kesal, Irene terlihat memandangnya dengan tatapan sinis dari ujung kepala hingga kaki. 

“Ngomong-ngomong, apa kabar kamu Kemala?” tanyanya dengan bibir tersenyum mengejek. 

Kemala tahu, kalimat bernada seperti itu biasa diucapkan oleh orang yang ingin memancing emosi seseorang yang sedang diajaknya bicara. 

Dengan tarikan nafas panjang, Kemala berharap dirinya masih akan tetap bisa mengendalikan diri. “Alhamdulillah baik.” 

Irene malah terkikik mendengar jawaban itu. Entah apa maksudnya, tapi Kemala tak sedikitpun ingin meladeni semua hal provokatif yang keluar dari mulut wanita itu. 

“Perasaan … kamu tuh makin lecek aja deh sekarang. Memangnya, nggak perawatan gitu? Atau jangan-jangan, udah nggak ada yang mau nafkahin kamu ya setelah Mas Keenan nggak ada? Duuh … kasihan bener,” ocehnya makin menjadi-jadi. 

Kemala bahkan harus menghela nafas panjang berulang kali untuk tetap tak terpancing dengan kata-kata Irene. Dia sama sekali belum berniat untuk mengatakan apapun pada wanita itu. Justru, ingin rasanya Kemala cepat pergi saja dari apotek agar bisa segera menghindari Irene. Beruntung, si pegawai apotek datang sebelum Irene memprotes karena Kemala tak meresponnya sedikitpun.

“Ini vitaminnya, Bu,” kata pegawai tadi, hingga membuat Kemala langsung menyibukkan diri–memeriksa barang-barang yang diserahkan padanya itu. 

“Oh iya, masih kurang satu lagi Mbak. Paracetamol ya, yang seperti biasa,” pintanya pada pegawai apotek setelah menyadari bahwa pesanannya ternyata belum lengkap. 

“Baik. Maaf, tunggu sebentar saya ambilkan ya, Bu.” Pegawai apotek itu pun bermaksud hendak berlalu kembali ke dalam. Namun, Irene tiba-tiba berteriak padanya. 

“Hei, tunggu! Aku duluan dong!” Irene menyodorkan secarik kertas dengan tulisan tangan dokter di atas etalase. Si pegawai pun mengamati benda tipis itu sebentar–baru kemudian memberikan respon.

“Tunggu sebentar ya, Bu. Antri dulu,” katanya dengan ramah. Setelah itu, dia bermaksud melanjutkan langkahnya lagi ke dalam. Namun lagi-lagi Irene berteriak padanya. 

“Jangan gitu dong! Dia kan udah tadi. Gantian lah! Nih resepku!” Kembali Irene memegang secarik kertas di depannya, lalu mendorongnya ke depan. 

“Iya Bu, tapi maaf antri dulu, ya? Saya ambilkan dulu paracetamol untuk Bu Kemala,” kata si pegawai apotek itu lagi. 

Mendengar itu, Irene langsung mencebik karena merasa dinomor-duakan. Seketika, dia pun terbahak. “Halah … abaikan aja dia kenapa, sih? Lagian, dia beli apaan memangnya? Palingan cuma obat cacing, kan? Atau kalau enggak, obat batuk atau obat masuk angin. Biasa kan gitu penyakit orang kismin.”

Lagi-lagi, Kemala harus menarik nafas panjang mendengar ocehan Irene.

Mungkin, jika saat ini tak sedang berada di tempat umum, dia akan marah juga dengan ejekan demi ejekan Irene. Tapi, Kemala tetap berusaha bersabar. Sayangnya, sementara Kemala terus berusaha mengendalikan diri, si pegawai justru terlihat tidak terima dengan perlakuan Irene padanya. 

“Bu, mohon maaf. Tolong dijaga bicaranya. Kami melayani semua pelanggan di sini dengan perlakuan baik dan sama. Jadi, mohon jangan bicara yang menyinggung perasaan satu sama lain,” katanya. 

Irene kembali terkekeh. Kali ini, bahkan lebih keras dari sebelumnya. “Apaan sih kamu ini, Mbak? Memangnya dia beli habis berapa? Coba dong kamu lihat dulu berapa yang akan aku bayar di apotek ini! Bandingin tuh sama punya dia! Berapa sih yang bisa dibeli orang miskin kayak dia, hah?” 

Irene lantas melirik tas plastik di tangan Kemala dengan pandangan mencibir. Kemala sampai memalingkan muka melihat itu. Dia berusaha untuk tak melihat wajah nyinyir Irene yang pasti hanya akan membuatnya tak bisa mengendalikan diri lagi. Namun lagi-lagi, justru pegawai apotek itu yang bicara. Kali ini bahkan dengan nada sedikit tinggi. 

“Tolong yang sopan ya, Bu! Bu Kemala ini pemilik apotek di sini. Anda sudah sangat keterlaluan!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status