Share

KEANGKUHAN SI PENGHANCUR

“Apa kamu bilang?! Pemilik apotek?” 

Wanita itu sepertinya sudah benar-benar dikuasai kesombongan. Bahkan, penjelasan dari si Pegawai Apotek yang segamblang itu pun tak lantas bisa membuatnya tersadar. Irene justru semakin terbahak usai mendengarnya. Padahal seandainya dia mau membuka sedikit saja matanya, Irene seharusnya bisa melihat bagaimana perlakuan para pegawai apotek pada Kemala memang tak seperti sedang melayani pelanggan biasa. Namun, Irene tetaplah Irene. Dia adalah tipe manusia yang selalu memandang segala sesuatu dari luarnya saja. 

“Bu Kemala memang pemilik apotek ini, Bu. Saya tidak mengada-ada,” kata pegawai apotek itu, berusaha terus menjelaskan. 

“Sudah Mbak, biarkan saja, tidak perlu dijelaskan. Tolong paracetamol-nya, ya?” Merasa tak mungkin bisa membuat Irene diam dan menyadari kesalahannya, Kemala pun harus turun tangan meredakan emosi salah satu karyawan apotek itu. 

Dengan wajah masih bersungut dan merah padam, si pegawai apotek segera menuruti permintaan Kemala. Dia bergegas masuk dan sebentar kemudian sudah kembali dengan paracetamol di tangannya. 

“Makasih ya,” ucap Kemala setelah menerima barang pesanannya. Kemudian dia pun bergegas menuju ke bagian kasir. 

Irene, yang masih berdiri di tempatnya semula, lantas menggerakkan bola matanya mengikuti langkah Kemala. Tentu saja, bibirnya masih tersenyum dengan congkak. Walau dalam hati, dia sudah mulai menyadari ada hal aneh pada diri Kemala, tapi tentu saja tak semudah itu baginya mau mengakui kekalahan. 

“Jadi mau menebus resepnya, Bu?” Perhatiannya pada Kemala mendadak buyar dengan pertanyaan Si Pegawai Apotek. Irene langsung menoleh dan menatap tajam pegawai itu dengan sorot tajam.

Walau kini wajahnya tak lagi semarah tadi pada Irene, tapi rupanya Irene belum bisa melupakan bagaimana pegawai itu berkata dengan nada tinggi padanya.

“Jangan mimpi! Nggak sudi aku tebus resep mahalku ini di sini!” ujarnya sinis. 

Sedetik kemudian, Irene pun melenggang pergi meninggalkan tempat itu usai menyambar kertas resep di atas etalase. Langkahnya yang menghentak menuju ke pintu keluar apotek membuat beberapa orang yang sedang berada di tempat itu langsung memperhatikannya, termasuk juga Kemala. Dalam hati, Kemala bersyukur Irene akhirnya pergi juga dari tempat itu. Tapi, wajah pucat pegawai apotek yang tadi sempat membelanya membuatnya sedikit khawatir. 

“Kenapa, Mbak?” Kemala menghampiri gadis itu setelah menyelesaikan pembayarannya di kasir.  

“Itu Bu, Ma-afkan saya ya Bu. Ibu yang tadi itu akhirnya nggak jadi menebus resep obatnya. Sepertinya, dia marah dengan kata kata saya tadi,” ucapnya dengan penuh sesal. 

Kemala pun langsung mengembangkan senyumnya. “Nggak apa-apa, biarkan saja Mbak. Kita nggak perlu merasa rugi kehilangan calon pelanggan yang tidak punya sopan santun seperti itu. Ya sudah ya, aku pulang dulu. Oh ya, hari ini sepertinya aku nggak bisa masuk. Aku sudah bilang ke Pak Abi. Tolong nanti kalau bapak lupa, diingatkan. Aku ada acara sampai sore di sekolah Bia,” katanya. 

“Baik, Bu. Nanti saya sampaikan ke Pak Abi,” kata si pegawai. Kemala pun segera berlalu dari tempat itu. 

Langkahnya tenang menuju ke pintu keluar. Kesal akibat insiden beberapa saat lalu dengan Irene sepertinya perlahan sudah mulai hilang. Namun hal itu ternyata tak berlangsung lama, karena di halaman parkir dilihatnya kini satpam apotek sedang berusaha memberdirikan motor bututnya yang sepertinya baru saja ambruk.  

“Kenapa, Pak?” Sedikit tergesa, Kemala pun menghampiri si satpam. 

“Anu, Bu. Ini, tadi motor Ibu ditendang sama ibu yang bawa mobil tadi,” jelas di satpam. “Saya sudah berusaha mengejarnya, tapi si ibunya sudah terlanjur pergi,” lanjutnya, 

Kemala kembali menghela nafas panjang. Baru saja merasa tenang, hatinya sudah dibuat kesal lagi dengan ulah Irene yang benar-benar tak beretika.” Ya sudah nggak apa-apa, Pak,” katanya kemudian. 

Tapi si satpam sepertinya masih terlihat kebingungan dengan motor yang dipegangnya. itu 

“Aduh Bu, tapi ini kayaknya bengkok pegangannya. Bahaya kalau tetap dipakai. Biar saya bawa ke bengkel dulu ya, Bu. Ibu mau saya antarkan pulang?” tawarnya. 

Deg!

“Masa’ sih, Pak?” Kemala berjalan lebih mendekat. Rasanya dia tak percaya Irene setega itu merusak barang yang bukan miliknya. Tapi ternyata pegangan motor itu memang benar-benar bengkok. 

“Astaghfirullah.” 

Kemala pun memperhatikan motor keluaran lamanya itu dengan sedih. Bukannya Kemala tidak punya uang untuk membeli motor yang baru. Dia bahkan sudah berulang kali menawarkan pada Mbok Narti–asisten rumah tangganya– untuk menggunakan motor keluaran terbaru miliknya. Namun, seperti Kemala, si Mbok sudah terlanjur nyaman dengan ukurannya yang kecil dan ramping. Terlebih lagi, motor ini banyak sekali historinya. Lalu, Kemala pun kembali menghela nafas berat. 

“Ya sudah, Pak. Tolong bawakan ke bengkel deh. Kasihan Mbok Narti kalau sepeda ini rusak. Oh ya, saya jalan kaki aja pulangnya sekalian olahraga. Nggak usah diantar,” katanya kemudian. 

“Jangan Bu Kemala! Saya antar saja. Nanti Kalau Bapak tahu Bu Kemala pulang jalan kaki, saya bisa dimarahin loh,” kata si satpam.

Kemala justru tertawa. “Ah Bapak nih ada-ada aja. Mana mungkin Pak Abi marah cuma gara-gara masalah itu? Udah ya Pak, saya jalan. Nanti kalau udah jadi, tolong langsung antar ke rumah saja motornya. Oh ya, ini uangnya.” 

Kemala merogoh selembar ratusan ribu untuk diberikannya pada si satpam. “Kalau kurang bilang ya, Pak,” lanjutnya. Setelah itu, dia pun berjalan menyusuri trotoar menuju kompleks perumahannya. 

*******

“Loh Bu, kok jalan kaki? Ibu kenapa?” Mbok Narti langsung menyongsong Kemala di pintu pagar begitu melihat majikannya pulang berjalan kaki. Padahal saat itu, dia sedang sibuk menyiangi tanaman hias di halaman rumah. Sementara di teras rumah, seorang lelaki dan anak perempuan berusia sekitar 5 tahunan ikut terbengong melihat kepulangan Kemala.

“Nggak apa-apa kok. Oh iya, maaf ya Mbok, motormu rusak. Pegangannya bengkok. Jadi, aku minta tolong satpam apotek buat bawa ke bengkel.” Kemala pun nyengir saat menjelaskan itu. 

“Pegangan motornya bengkok?!” Tiba-tiba lelaki yang berada di teras tadi sudah berada di dekat Kemala dan Mbok Narti, diikuti Bia–putri semata wayang Kemala–di belakangnya. “Kamu habis jatuh dari motor, Sayang? Tapi. kamu nggak kenapa-napa, kan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status