FAZER LOGINNarana menatap Albert. Dengan nada manja dia berkata lebih dulu sebelum Albert menjawab pertanyaan Aryana, “Tidak apa-apa, kan, kalau aku memberi tahu dia tentang hubungan kita, Sayang?”
Albert menatap Narana dengan senyum lebar. Tatapan mata Albert penuh cinta. “Tidak apa-apa, Sayang. Justru bagus kalau dia tahu hubungan kita.”
Hati Aryana sakit melihat sikap Albert yang sangat berbeda kepada Narana. Ditambah kata-kata pria itu, semakin membuat hati Aryana hancur berkeping-keping.
Air mata menggenang di mata Aryana. Tanpa kata, dia meninggalkan tempat itu, menuju kamarnya. Dalam kamar, Aryana kembali menumpahkan air matanya. Dipukulinya dadanya yang terasa sesak, seolah-olah ada batu besar yang menghimpit dadanya, membuat Aryana sulit bernapas.
Narana menatap kepergian Aryana dengan senyum miring.
“Sepertinya istrimu marah pada kita,” ucap Narana, tangannya dia kalungkan ke leher Albert. Dengan sedikit mendongak dia menatap wajah tampan Albert. “Apa kamu lihat air mata yang menggenang di matanya? Kupikir sekarang dia pasti sedang menangis. Apa kamu tidak mau menenangkan istrimu itu?”
Albert memeluk pinggang Narana erat. Ditatapnya Narana penuh cinta. “Biarkan saja. Itu urusannya mau menangis atau tidak. Kita tidak perlu memikirkan dia.”
Narana tertawa pelan. “Aku tidak menyangka kamu begitu kejam, Al.”
“Jika bukan karena kamu yang memaksaku, aku tidak akan pernah mau menikahinya.”
Sebelumnya Albert menolak keras permintaan Alvonso untuk menjodohkannya dengan Aryana. Namun, Narana terus memaksanya untuk mengikuti permintaan Alvonso, sehingga tidak ada pilihan lain bagi Albert selain menuruti permintaan kekasihnya.
“Tapi kalau kamu tidak menikahinya, kakekmu tidak akan memberikan sedikit pun warisannya kepadamu. Memangnya kamu mau Arga yang mewarisi semua harta keluarga Handaryana?”
“Tentu saja tidak! Aku tidak akan membiarkan dia mendapatkan warisan kakekku sedikit pun.”
Albert tidak mengerti kenapa Alvonso memberikan syarat yang berat baginya hanya untuk mendapatkan warisan Handaryana. Padahal dia adalah cucu kandung, satu-satunya penerus keluarga Handaryana. Namun, akhir-akhir ini Alvonso tampak lebih perhatian kepada Arga, yang merupakan adik angkat Albert.
“Sebenarnya aku juga tidak rela membagimu dengan Aryana,” ucap Narana pelan. “Tapi aku juga melakukan ini demi masa depanmu, Al.”
“Aku tahu kamu memikirkan masa depanku, Sayang.” Albert mengecup bibir Narana. “Tidak salah aku menyukai dan memilihmu menjadi milikku.”
Narana tersenyum lebar. “Jadi, bagaimana? Apa kita jadi pergi?”
“Tentu!”
Albert dan Narana meninggalkan apartemen. Mereka benar-benar tidak peduli dengan Aryana.
Sementara itu, Aryana terus menangis hingga tertidur. Saat dia membuka mata, hari sudah senja. Dia segera membersihkan diri saat perutnya berbunyi. Saat keluar kamar, apartemen begitu sunyi dan temaram. Aryana berusaha mencari sakelar untuk menyalakan lampu. Seketika ruangan terang saat lampu menyala.
Aryana yang sudah sangat lapar, langsung pergi ke dapur. Tidak ada sedikit pun makanan saat Aryana membuka lemari makanan. Begitu juga dengan lemari pendingin yang hanya berisi air mineral.
Aryana menghela napas berat. Dia mengambil air minum untuk membasahi tenggorokannya sebelum kembali ke kamar mengambil dompet. Aryana meninggalkan apartemen dan mencari rumah makan atau restoran terdekat.
Baru dua meter Aryana meninggalkan gedung apartemen, tidak sengaja dia bertemu dengan Argandara yang baru saja turun dari taksi.
“Aryana, kamu mau ke mana?” tanya Argandara berjalan mendekati Aryana.
Belum sempat Aryana menjawab, perutnya lebih dulu memberikan jawaban.
Argandara yang mendengar itu tersenyum kecil. Dia pun membawa Aryana ke restoran terdekat. Aryana tidak menolak, sebab perutnya yang memang sudah sangat lapar.
“Kenapa kamu bisa ada di sini, Aryana? Di mana Kak Albert?” tanya Argandara, heran karena Aryana sendirian di sekitar apartemen Albert.
“Aku dan Mas Albert baru pindah tadi siang ke apartemen Mas Albert. Dan dia sedang keluar, katanya ada urusan penting,” jawab Aryana berbohong.
“Pindah? Kenapa pindah?” tanya Argandara penasaran. “Apa kalian sudah meminta izin pada Kakek?”
Sejak Alvonso mengangkatnya menjadi cucu angkat, Albert tidak pernah menyukainya. Bahkan Albert menganggapnya sebagai penghalang serta merebut kasih sayang Alvonso. Karena itulah—saat SMA—Argandara memilih tinggal sendiri untuk mengurangi gesekan antara dirinya dan Albert. Dia hanya sesekali pulang ke kediaman Handaryana untuk menjenguk Alvonso.
“Ya, kami sudah meminta izin dan Kakek mengizinkannya. Lagi pula kami ingin hidup mandiri, Arga. Karena itu kami ingin tinggal terpisah dengan Kakek. Kami tidak ingin selalu bergantung pada Kakek.”
Argandara mengangguk mengerti.
Suasana hening di antara mereka. Argandara yang merasa tidak nyaman dengan suasana itu, berusaha mencari obrolan ringan.
Usai makan, Aryana berniat pergi ke swalayan terdekat untuk membeli persediaan makanan. Argandara yang mengetahui itu menawarkan diri untuk menemani. Aryana yang ingat kemarahan Albert saat di hotel pun menolak tawaran Argandara. Akan tetapi, pria itu bersikeras ingin menemaninya, sehingga Aryana pasrah dan membiarkan Argandara mengikutinya.
Hari mulai gelap, Aryana berbelanja dengan cepat. Takut Albert marah saat pria itu pulang dan tidak mendapati dirinya di rumah. Melihat Aryana kesulitan membawa barang belanjaannya, Argandara pun sigap membantu Aryana membawa belanjaan wanita itu ke unit apartemen Albert.
Aryana terdiam sesampainya di unit apartemen Albert. Dia tidak tahu sandi apartemen Albert.
‘Bagaimana ini?’ pikir Aryana sedikit panik.
“Ada apa?” tanya Argandara heran dengan Aryana yang terdiam mematung.
“Aku tidak tahu sandi pintu apartemen Mas Albert,” jawab Aryana pelan, malu.
“Kalau begitu kamu tekan saja bel apartemennya. Mungkin Kak Albert sudah pulang. Lagi pula sekarang sudah malam, dia pasti sudah pulang,” ucap Argandara memberi saran.
Belum sempat Aryana menekan bel, pintu apartemen terbuka dan menampilkan sosok Albert. Raut wajah Albert datar, sorot matanya menatap tajam Aryana dan Argandara secara bergantian. Aura kemarahan terpancar jelas dari tubuh Albert.
Aroma gosong masakan menyadarkan Aryana dari pikiriannya. Bergegas Aryana pergi ke dapur dan mematikan kompor. Ikan yang dimasaknya sudah setengah gosong.“Ya Tuhan, tolong kuatkan aku menghadapi sikap Mas Albert,” monolog Aryana lirih.Karena ikan yang dimasaknya tidak layak dimakan, Aryana pun memasak ikan baru.Setelah semua hidangan tersaji di meja makan, Aryana pergi ke kamar Albert, memanggil pria itu untuk makan malam.Dari balik pintu, Aryana dapat mendengar samar-samar suara tawa Narana, sesekali terdengar suara tawa Albert. Hati Aryana semakin hancur. Sejak menikah, Albert tidak pernah tertawa saat bersamanya. Jangankan tertawa, tersenyum pun tidak. Kalaupun Albert bersikap hangat kepadanya, itu hanya di hadapan publik dan Alvonso. Saat mereka hanya berdua, Albert bersikap dingin kepadanya.Tidak ingin mendengar tawa Narana yang semakin menyakiti hatinya, Aryana memberanikan diri mengetuk pintu kamar Albert.“Mas, makan malam sudah siap,” ucap Aryana dengan sedikit keras, ta
Seharian Albert menghabiskan waktu bersama Narana, melepas rasa rindu. Seminggu tinggal di kediaman Handaryana membuat Albert tidak bisa bebas menemui Narana. Dia hanya bisa melepas rindu dengan kekasihnya melalui panggilan video.Namun, saat pulang, Albert tidak sengaja melihat Aryana dan Argandara memasuki restoran di dekat apartemennya. Dia geram, bukan karena dia cemburu, tapi karena Aryana berani mengabaikan perintahnya untuk tidak menemui Argandara.Albert sengaja menunggu kepulangan mereka. Cukup lama dia menunggu, tapi Aryana tidak kunjung pulang. Bahkan matahari pun sudah digantikan malam. Akhirnya Albert memutuskan untuk menyusul dan menyeret Aryana pulang. Namun, saat membuka pintu, dia dikejutkan dengan keduanya yang sudah berdiri di depan pintu.“Akhirnya kalian pulang juga,” ucap Albert, suaranya dingin. “Kamu, berani-beraninya keluar dengan laki-laki lain tanpa seizinku?”“Maaf, Mas.” Aryana berkata pelan, kepalanya menunduk. “Tadi aku lapar, tapi tidak ada persediaam m
Narana menatap Albert. Dengan nada manja dia berkata lebih dulu sebelum Albert menjawab pertanyaan Aryana, “Tidak apa-apa, kan, kalau aku memberi tahu dia tentang hubungan kita, Sayang?”Albert menatap Narana dengan senyum lebar. Tatapan mata Albert penuh cinta. “Tidak apa-apa, Sayang. Justru bagus kalau dia tahu hubungan kita.”Hati Aryana sakit melihat sikap Albert yang sangat berbeda kepada Narana. Ditambah kata-kata pria itu, semakin membuat hati Aryana hancur berkeping-keping.Air mata menggenang di mata Aryana. Tanpa kata, dia meninggalkan tempat itu, menuju kamarnya. Dalam kamar, Aryana kembali menumpahkan air matanya. Dipukulinya dadanya yang terasa sesak, seolah-olah ada batu besar yang menghimpit dadanya, membuat Aryana sulit bernapas.Narana menatap kepergian Aryana dengan senyum miring.“Sepertinya istrimu marah pada kita,” ucap Narana, tangannya dia kalungkan ke leher Albert. Dengan sedikit mendongak dia menatap wajah tampan Albert. “Apa kamu lihat air mata yang menggenan
Albert sangat bahagia saat Aryana memberi tahu bahwa Alvonso mengizinkan mereka tinggal di rumah sendiri. Pria itu langsung membawa Aryana meninggalkan kediaman Handaryana keesokan harinya.Albert membawa Aryana ke apartemennya. Tidak sampai dua puluh menit, mereka tiba di apartemen.“Karena kita tidak di kediaman Handaryana, kita akan tidur terpisah,” ucap Albert begitu mereka memasuki apartemen.Albert berhenti di depan kamarnya, lalu dia menunjuk ke pintu kamar yang berdampingan dengan kamarnya. “Kamu tidur di kamar itu.”Aryana menelan kembali kata-kata yang hendak dikeluarkan saat Albert memasuki kamarnya sendiri, lalu menutup pintu kamar dengan kasar. Untuk beberapa saat Aryana menatap kamar Albert dengan tatapan sayu sebelum masuk ke kamar yang akan ditempatinya.Di dalam kamar, Aryana menangis tersedu-sedu. Melampiaskan rasa sesak yang menghimpit dadanya. Kebahagiaan yang Aryana harapkan usai pernikahan hanyalah sebuah angan.Albert mengetuk pintu kamar Aryana. “Aryana, kita p
Selama tinggal di kediaman utama Handaryana, Albert memperlakukan Aryana begitu hangat. Setiap kata yang dia lontarkan begitu lembut. Tentu saja semua itu hanya Albert lakukan saat di hadapan Alvonso atau di depan publik. Namun, saat hanya ada mereka berdua, Albert kembali bersikap dingin kepada Aryana.Aryana tidak memiliki siapa-siapa lagi selain kakek neneknya dan keluarga pamannya, sehingga dia hanya memendam semua yang dialaminya seorang diri. Setiap malam, Aryana hanya bisa mengadu kepada Tuhan dengan linangan air mata.“Kakek, aku ingin mengajak Aryana pindah,” ucap Albert tiba-tiba kepada sang kakek.Alvonso menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap makanan ke mulut. Begitu juga dengan Aryana yang terkejut, sebab Albert tidak mengatakan apa-apa kepadanya.Alvonso menatap tajam Albert. “Kenapa?” tanyanya dengan suara berat, ketidaksukaan terdengar jelas pada nada bicaranya.“Aku ingin hidup mandiri bersama Aryana, Kek.”“Benarkah? Kamu ingin mengajak Aryana pindah dari
Aryana buru-buru mendekati Albert. Sebelum Aryana bisa menyentuhnya, Albert melangkah mundur, menghindari Aryana.“Mas, kamu salah paham. Aku tidak ada maksud apa-apa.” Aryana dengan cepat menjelaskan kepada Albert, agar suaminya itu tidak salah paham kepadanya. “Aku juga tidak bermaksud mempermalukan ataupun membuat masalah. Malam tadi aku lapar dan makan di luar, kebetulan aku bertemu Arga di rumah makan.”“Alasan!” Albert tidak percaya.Saat Albert terlelap di kamar kekasihnya, dia menerima pesan dari salah satu temannya yang masih menginap di hotel tempat Albert mengadakan pesta pernikahan, dan kebetulan malam tadi temannya keluar untuk mencari angin segar sekaligus makan malam, dan temannya itu tidak sengaja melihat Aryana dan Argandara makan bersama. Mereka terlihat bahagia saat makan bersama. Karena itulah Albert tidak mempercayai ucapan Aryana. Albert lebih memilih percaya dengan apa yang dikatakan oleh temannya. Albert yakin temannya tidak akan berbohong.“Aku mengatakan yang







