FAZER LOGINSeharian Albert menghabiskan waktu bersama Narana, melepas rasa rindu. Seminggu tinggal di kediaman Handaryana membuat Albert tidak bisa bebas menemui Narana. Dia hanya bisa melepas rindu dengan kekasihnya melalui panggilan video.
Namun, saat pulang, Albert tidak sengaja melihat Aryana dan Argandara memasuki restoran di dekat apartemennya. Dia geram, bukan karena dia cemburu, tapi karena Aryana berani mengabaikan perintahnya untuk tidak menemui Argandara.
Albert sengaja menunggu kepulangan mereka. Cukup lama dia menunggu, tapi Aryana tidak kunjung pulang. Bahkan matahari pun sudah digantikan malam. Akhirnya Albert memutuskan untuk menyusul dan menyeret Aryana pulang. Namun, saat membuka pintu, dia dikejutkan dengan keduanya yang sudah berdiri di depan pintu.
“Akhirnya kalian pulang juga,” ucap Albert, suaranya dingin. “Kamu, berani-beraninya keluar dengan laki-laki lain tanpa seizinku?”
“Maaf, Mas.” Aryana berkata pelan, kepalanya menunduk. “Tadi aku lapar, tapi tidak ada persediaam makanan di rumah. Jadi, aku keluar untuk makan sekaligus belanja persediaan makanan. Kebetulan juga tadi aku bertemu Arga di dekat resetoran.”
Alis Albert terangkat tinggi. Sebelum Albert membuka mulut, Argandara lebih dulu berkata.
“Apa yang dikatakan Aryana benar, Kak. Tadi aku tidak sengaja bertemu dengannya di dekat restoran.”
Sorot mata Albert semakin tajam saat menatap Argandara. “Lebih baik sekarang kamu pulang. Dan terima kasih sudah mengantar istriku pulang.”
Tanpa menunggu jawaban Argandara, Albert menarik tangan Aryana dan membawanya masuk dengan kasar.
Aryana meringis kesakitan. Cengkeraman Albert sangat kuat sekali sehingga meninggalkan bekas merah di tangan Aryana.
“Mas, sakit,” rintih Aryana pelan.
Albert melepaskan cengkeramannya dengan kasar, membuat Aryana terhuyung ke belakang. Kantong belanjaan yang dibawanya jatuh, beberapa isinya keluar dari kantong belanjaan.
Albert membuka mulut untuk memaki, tapi terpaksa ditelannya karena bel rumah kembali berbunyi. Dengan kasar Albert membuka pintu.
“Ada apa lagi?!” bentak Albert penuh amarah ketika mendapati orang yang menekan bel adalah Argandara.
“Ini, belanjaan Aryana tertinggal.” Argandara mengangkat kantong belanjaan di tangannya, tidak sedikit pun terprovokasi dengan kemarahan Albert yang tiba-tiba kepadanya.
Albert meraih kantong belanjaan di tangan Argandara dengan kasar. Tanpa mengatakan apa-apa, Albert menutup pintu dengan kasar.
Argandara menghela napas pelan. Dia tidak memasukkan hati atas sikap dan kata-kata Albert yang kasar, sebab Argandara sudah sering diperlakukan seperti itu oleh Albert.
Argandara menatap pintu kamar apartemen Albert. ‘Semoga saja dia baik-baik saja,’ pikirnya sebelum berbalik dan meninggalkan apartemen Albert.
Setelah menutup pintu, Albert menatap nyalang Aryana dan melempar kantong belanjaan kepada Aryana yang baru saja memasukkan kembali barang belanjaannya yang berserakan ke kantong belanjaan.
“Bukankah sudah kukatakan untuk tidak menemui Arga?!” bentak Albert murka. “Awas saja kalau sampai ada rumor buruk beredar di luaran sana. Aku benar-benar akan memberi perhitungan padamu.”
Albert melangkah pergi. Saat melewati Aryana, dia menyenggol tubuh wanita itu sangat keras, sehingga Aryana terhuyung. Beruntung Aryana bisa menyeimbangkan diri sehingga tidak terjatuh.
Aryana menghela napas dalam dengan mata terpejam.
‘Jangan menangis, Aryana. Jangan menangis’ rapal Aryana dalam hati, menguatkan diri supaya tidak lemah. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa dadanya sakit dan sesak atas sikap dan kata-kata Albert.
Setelah beberapa lama, Aryana merasa sedikit tenang. Dia kembali mengambil barang belanjaan yang berserakan di lantai, memasukkannya ke kantong belanjaan. Lalu membawa semua barang-barang itu ke dapur, meletakkan semuanya dengan rapi di lemari makanan.
Usai merapikan semuanya, Aryana menyiapkan makan malam. Dia yakin Albert pasti belum makan. Di tengah-tengah memasak, bel rumah berbunyi. Aryana mengecilkan api kompor sebelum membuka pintu.
Sosok Narana berdiri di depan pintu saat Aryana membukanya. Narana tersenyum lebar, mengabaikan keterkejutan di wajah Aryana. “Selamat malam, Aryana,” sapanya.
“Selamat malam.”
“Boleh aku masuk?” tanya Narana karena Aryana yang tidak membuka pintu dengan lebar.
Walau penasaran kenapa Narana datang berkunjung di malam hari, di mana sebelumnya dia sudah pergi bersama Albert, tapi Aryana membukakan pintu lebih lebar. “Ya, silakan.”
Seolah-olah rumah sendiri, Narana berjalan begitu saja memasuki apartemen.
“Tunggu sebentar, ya. Saya panggilkan Mas Albert dulu,” ucap Aryana berbalik, tetapi langkahnya terhenti saat Narana membuka suara.
“Tidak perlu. Aku bisa menemuinya sendiri.”
Setelah mengatakan itu, Narana melewatinya menuju kamar Albert.
Aryana sedikit tidak suka dengan sikap Narana yang seolah-olah tidak menghargai dia sebagai istri Albert. Namun, mengingat ucapan Albert, Aryana mengenyahkan pikiran itu. Narana adalah kekasih Albert, sudah pasti wanita itu sering bermain ke apartemen Albert.
Albert membuka pintu kamarnya saat Narana mengetuknya beberapa kali. Raut wajah pria itu masih terlihat marah, meski tidak semarah tadi. Mengetahui bahwa itu Narana, Albert membawa wanita itu masuk ke kamarnya.
Aryana tentu saja terkejut dengan apa yang dilakukan Albert. Tega-teganya Albert membawa wanita lain—yang merupakan kekasihnya itu—masuk ke kamarnya di saat dirinya yang merupakan istrinya ada di rumah. Sedangkan dia yang merupakan istri sahnya tidak diizinkan pria itu masuk ke kamarnya.
‘Ya Tuhan, apa yang sudah dilakukan suamiku? Kenapa dia begitu berani membawa wanita yang bukan istrinya masuk ke kamarnya?’ pikir Aryana yang tidak mengerti kenapa Albert melakukan itu tepat di hadapannya.
Seketika, berbagai pertanyaan mengisi kepala Aryana.
Kenapa?
Kenapa Albert begitu tega menyakiti perasaannya?
Memangnya kesalahan apa yang sudah diperbuatnya terhadap pria itu?
Aroma gosong masakan menyadarkan Aryana dari pikiriannya. Bergegas Aryana pergi ke dapur dan mematikan kompor. Ikan yang dimasaknya sudah setengah gosong.“Ya Tuhan, tolong kuatkan aku menghadapi sikap Mas Albert,” monolog Aryana lirih.Karena ikan yang dimasaknya tidak layak dimakan, Aryana pun memasak ikan baru.Setelah semua hidangan tersaji di meja makan, Aryana pergi ke kamar Albert, memanggil pria itu untuk makan malam.Dari balik pintu, Aryana dapat mendengar samar-samar suara tawa Narana, sesekali terdengar suara tawa Albert. Hati Aryana semakin hancur. Sejak menikah, Albert tidak pernah tertawa saat bersamanya. Jangankan tertawa, tersenyum pun tidak. Kalaupun Albert bersikap hangat kepadanya, itu hanya di hadapan publik dan Alvonso. Saat mereka hanya berdua, Albert bersikap dingin kepadanya.Tidak ingin mendengar tawa Narana yang semakin menyakiti hatinya, Aryana memberanikan diri mengetuk pintu kamar Albert.“Mas, makan malam sudah siap,” ucap Aryana dengan sedikit keras, ta
Seharian Albert menghabiskan waktu bersama Narana, melepas rasa rindu. Seminggu tinggal di kediaman Handaryana membuat Albert tidak bisa bebas menemui Narana. Dia hanya bisa melepas rindu dengan kekasihnya melalui panggilan video.Namun, saat pulang, Albert tidak sengaja melihat Aryana dan Argandara memasuki restoran di dekat apartemennya. Dia geram, bukan karena dia cemburu, tapi karena Aryana berani mengabaikan perintahnya untuk tidak menemui Argandara.Albert sengaja menunggu kepulangan mereka. Cukup lama dia menunggu, tapi Aryana tidak kunjung pulang. Bahkan matahari pun sudah digantikan malam. Akhirnya Albert memutuskan untuk menyusul dan menyeret Aryana pulang. Namun, saat membuka pintu, dia dikejutkan dengan keduanya yang sudah berdiri di depan pintu.“Akhirnya kalian pulang juga,” ucap Albert, suaranya dingin. “Kamu, berani-beraninya keluar dengan laki-laki lain tanpa seizinku?”“Maaf, Mas.” Aryana berkata pelan, kepalanya menunduk. “Tadi aku lapar, tapi tidak ada persediaam m
Narana menatap Albert. Dengan nada manja dia berkata lebih dulu sebelum Albert menjawab pertanyaan Aryana, “Tidak apa-apa, kan, kalau aku memberi tahu dia tentang hubungan kita, Sayang?”Albert menatap Narana dengan senyum lebar. Tatapan mata Albert penuh cinta. “Tidak apa-apa, Sayang. Justru bagus kalau dia tahu hubungan kita.”Hati Aryana sakit melihat sikap Albert yang sangat berbeda kepada Narana. Ditambah kata-kata pria itu, semakin membuat hati Aryana hancur berkeping-keping.Air mata menggenang di mata Aryana. Tanpa kata, dia meninggalkan tempat itu, menuju kamarnya. Dalam kamar, Aryana kembali menumpahkan air matanya. Dipukulinya dadanya yang terasa sesak, seolah-olah ada batu besar yang menghimpit dadanya, membuat Aryana sulit bernapas.Narana menatap kepergian Aryana dengan senyum miring.“Sepertinya istrimu marah pada kita,” ucap Narana, tangannya dia kalungkan ke leher Albert. Dengan sedikit mendongak dia menatap wajah tampan Albert. “Apa kamu lihat air mata yang menggenan
Albert sangat bahagia saat Aryana memberi tahu bahwa Alvonso mengizinkan mereka tinggal di rumah sendiri. Pria itu langsung membawa Aryana meninggalkan kediaman Handaryana keesokan harinya.Albert membawa Aryana ke apartemennya. Tidak sampai dua puluh menit, mereka tiba di apartemen.“Karena kita tidak di kediaman Handaryana, kita akan tidur terpisah,” ucap Albert begitu mereka memasuki apartemen.Albert berhenti di depan kamarnya, lalu dia menunjuk ke pintu kamar yang berdampingan dengan kamarnya. “Kamu tidur di kamar itu.”Aryana menelan kembali kata-kata yang hendak dikeluarkan saat Albert memasuki kamarnya sendiri, lalu menutup pintu kamar dengan kasar. Untuk beberapa saat Aryana menatap kamar Albert dengan tatapan sayu sebelum masuk ke kamar yang akan ditempatinya.Di dalam kamar, Aryana menangis tersedu-sedu. Melampiaskan rasa sesak yang menghimpit dadanya. Kebahagiaan yang Aryana harapkan usai pernikahan hanyalah sebuah angan.Albert mengetuk pintu kamar Aryana. “Aryana, kita p
Selama tinggal di kediaman utama Handaryana, Albert memperlakukan Aryana begitu hangat. Setiap kata yang dia lontarkan begitu lembut. Tentu saja semua itu hanya Albert lakukan saat di hadapan Alvonso atau di depan publik. Namun, saat hanya ada mereka berdua, Albert kembali bersikap dingin kepada Aryana.Aryana tidak memiliki siapa-siapa lagi selain kakek neneknya dan keluarga pamannya, sehingga dia hanya memendam semua yang dialaminya seorang diri. Setiap malam, Aryana hanya bisa mengadu kepada Tuhan dengan linangan air mata.“Kakek, aku ingin mengajak Aryana pindah,” ucap Albert tiba-tiba kepada sang kakek.Alvonso menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap makanan ke mulut. Begitu juga dengan Aryana yang terkejut, sebab Albert tidak mengatakan apa-apa kepadanya.Alvonso menatap tajam Albert. “Kenapa?” tanyanya dengan suara berat, ketidaksukaan terdengar jelas pada nada bicaranya.“Aku ingin hidup mandiri bersama Aryana, Kek.”“Benarkah? Kamu ingin mengajak Aryana pindah dari
Aryana buru-buru mendekati Albert. Sebelum Aryana bisa menyentuhnya, Albert melangkah mundur, menghindari Aryana.“Mas, kamu salah paham. Aku tidak ada maksud apa-apa.” Aryana dengan cepat menjelaskan kepada Albert, agar suaminya itu tidak salah paham kepadanya. “Aku juga tidak bermaksud mempermalukan ataupun membuat masalah. Malam tadi aku lapar dan makan di luar, kebetulan aku bertemu Arga di rumah makan.”“Alasan!” Albert tidak percaya.Saat Albert terlelap di kamar kekasihnya, dia menerima pesan dari salah satu temannya yang masih menginap di hotel tempat Albert mengadakan pesta pernikahan, dan kebetulan malam tadi temannya keluar untuk mencari angin segar sekaligus makan malam, dan temannya itu tidak sengaja melihat Aryana dan Argandara makan bersama. Mereka terlihat bahagia saat makan bersama. Karena itulah Albert tidak mempercayai ucapan Aryana. Albert lebih memilih percaya dengan apa yang dikatakan oleh temannya. Albert yakin temannya tidak akan berbohong.“Aku mengatakan yang







