Share

Hari pertama memulai kesepakatan

Judul: Wanita lain dalam hatiku (Maafkan aku, istriku)

***

Cukup lama aku dan Resti berada di panti asuhan. Semua yang ada di sini bersikap sangat ramah. Aku merasa nyaman.

Setelah itu, aku dan Resti menuju pulang ke rumah. 

Dalam perjalanan Resti memintaku untuk berhenti.

"Bang, kita makan di sana saja yuk! Kalau Resti memasak, nanti Abang menunggu lama," ucapnya dengan lembut.

"Baik, Dek."

Aku menepikan mobilku. Selama ini tak pernah istriku meminta diajak makan di luar. Sesekali tak apalah aku menuruti keinginannya.

Toh dalam sebulan lagi aku akan mendapat izin darinya untuk menikahi Susi, wanita yang sangat aku cinta.

Kami duduk di meja paling sudut. Restoran ini cukup mewah dan memberikan suasana tenang. Setiap meja berjarak cukup jauh dari meja yang lain. 

Entah kenapa, aku merasa salah tingkah. 

"Dek, tumben makan spageti," ucapku sambil mengerutkan dahi.

"Resti suka spageti dari dulu, Bang."

"Oya? Tapi Abang tak pernah melihatmu makan spageti selama tiga tahun bersama."

Tersenyum Resti dengan sangat manis. Tak ada celah dalam fisik istriku. Dia sempurna, hanya cintaku begitu setia pada Susi.

"Resti memang tidak pernah membuatnya di rumah, Bang. Resti juga tidak pernah memesannya ataupun membelinya tanpa sepengetahuan Abang. Makanya hari ini Resti mau makan ini di hadapan Abang," paparnya.

Entah terbuat dari apa hati wanita yang mendampingiku selama tiga tahun ini. Setiap kata yang terucap dari bibirnya, terdengar begitu lembut dan syahdu.

"Adek boleh makan apa saja yang Adek suka. Tak perlu menunggu persetujuan Abang. Semua yang Adek lakukan, Abang tak akan mempermasalahkan."

"Makasih, Bang."

.

Setelah selesai makan, kami pun langsung pulang.

Kini aku bersantai di lantai dua. Duduk aku di teras sambil memainkan ponselku.

Suntuk juga, karena sekarang aku tak boleh bertemu Susi dulu.

Tak tahan rasanya menanggung kerinduan ini. Akhirnya aku menghubungi Susi.

Panggilanku berdering dan dijawab dengan cepat.

"Hallo, sayang! Bagaimana hari ini? Menyenangkan tanpa aku?" tanya Susi dengan suara menggoda.

"Ah, sayang. Mas sangat tersiksa sehari saja tak berjumpa denganmu."

Sungguh itu bukanlah rayuan gombal. 

"Ha-ha ... sabar, Mas! Sebulan memang terasa panjang ketika kita sedang menunggunya. Namun, bukankah kita bisa bertemu diam-diam," ujar Susi.

"Tidak, Susi. Kita sudah berjanji pada Resti. Maka kita tak boleh mengingkarinya."

"Terserah, Mas saja! Kalau rindu jangan merengek padaku. Malas aku mendengarnya."

Tut! Tut! Tut!

Panggilan ditutup oleh Susi. Sepertinya dia merajuk.

Tak tenang hatiku, jika Susi marah begini. Akan tetapi aku pantang mengingkari janjiku.

"Bang," lirih Resti.

Aku berlonjak karena terkejut. Resti tiba-tiba berada di belakangku. 

Apa ia mendengar percakapanku dan Susi?

Tetapi bukankah memang Resti sudah tahu semuanya, jadi aku tak perlu khawatir lagi.

Namun, entah kenapa perasaanku jadi tak enak, dan merasa tak pantas. Bagaimana pun juga, aku tak pernah memperlihatkan kemesraanku dengan Susi di hadapannya.

"Kenapa, Dek?" tanyaku sembari mengatur nafas.

"Gapapa, Bang. Adek minta ditemani nonton film horor dong," ujarnya dengan lembut dan terdengar manja.

Tak biasanya istriku bersikap begini. Aku tahu, Resti memang suka menonton film horor Malaysia. Katanya terlihat seperti nyata, apa lagi setiap dialog dengan roh halus menggunakan bahasa Arab. 

"Tumben minta ditemani? Biasanya Adek berani nonton sendirian di kamar."

"Sesekali, Bang."

Aku mengangguk, tak mampu berkata tidak. Karena ia pun meminta dengan begitu tulus.

.

Di dalam kamar.

Film mulai diputar olehnya. Aku tegang, karena memang tak suka menonton begini. 

Saat ada hantu yang menyeramkan, aku sontak menutup mata di pelukan Resti.

"Ya Allah," lirihku dengan terkejut.

Tanganku melingkar di pinggang Resti. Wajahku terbenam di dadanya. Aku sungguh takut.

Eh, bukan takut, tapi terkejut.

"Bang, kalau tidak berani menontonnya, biar kita stop saja," ucap Resti sambil mengusap kepalaku.

Aku yang sadar sedang berada di pelukannya, langsung menarik tubuhku untuk menjauh.

Kenapa hari ini terasa berbeda, jantungku berdebar-debar sangat kencang. 

Mungkin saat ini wajahku sudah memerah.

Resti tersenyum seperti biasa. Aku semakin salah tingkah.

Lalu tiba-tiba ponselku berdering.

Panggilan dari Susi menyadarkan tatapan antara aku dan Resti.

Resti menoleh ke arah ponselku, tertera panggilan dari Susi.

Ia tetap tersenyum dan tak menampakkan ketidak sukaannya.

"Dek, Abang angkat dulu ya," ucapku sambil melangkah keluar.

.

Di luar kamar.

"Hey, sayang! Sudah berhenti marahnya?" tanyaku pada Susi.

"Mas, aku sakit perut. Kepalaku juga sakit. Tolong aku, Mas. Antarkan aku ke rumah sakit."

Panik aku mendengar ungkapan Susi, tanpa berpikir panjang, aku langsung meraih kunci mobil yang tadi aku letakkan di kamar.

Sambungan telepon sudah aku tutup setelah berkata akan ke sana.

Resti tampak bingung melihatku yang cemas dan tergesa-gesa.

"Mau ke mana, Bang?" tanya Resti.

Tak aku jawab, setelah mengambil kunci mobil. Aku langsung berlari keluar dan melaju dengan cepat.

Lima belas menit berjalan, aku sampai di depan Apartemen milik Susi.

Bersambung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
susi gak bener aj diperjuangin
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
W mah yakin dia nipu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status