"Dek, tolong keluarkan semua baju kotorku dari dalam tas, ya. Aku buru-buru, nih. Sudah ditunggu bos di kantor." Teriak Mas Naufal ketika baru saja sampai dari dinas luar kota dan langsung pergi ke kantor.
Aku yang masih memotong sayuran di dapur lantas menghampirinya yang telah berlalu meninggalkan rumah sebelum aku menyapanya. Segera kuambil tas kerja yang tergeletak di lantai dan mengeluarkan baju-baju kotor miliknya untuk segera kucuci.
Plukk
Sebuah benda kecil jatuh saat aku tengah mengeluarkan semua isi yang ada di tas Mas Naufal. Kemudian aku lantas memungutnya dan melihat benda apa yang telah aku jatuhkan.
Bagai dihujam pisau tajam ketika aku melihat sebuah buku nikah dengan wajah suamiku terpampang jelas di dalamnya. Senyum manisnya mengembang sempurna bersama wanita yang juga tak kalah manis dengannya.
Dalam buku nikah yang kutemukan tersebut tertulis sebuah nama Atha Hafidz Alfarezy dengan Kirani Cahya Dewi.
Namun, bukankah nama suamiku adalah Ghibran Naufal Rizal. Tapi kenapa wajahnya sangat mirip? Dan kenapa pula buku nikah ini bisa ada di dalam tas kerja Mas Naufal?
Kepalaku sedikit pening ketika melihat benda yang tengah kupegang ini. Aku menghirup aroma parfum yang ditinggalkan oleh Mas Naufal beberapa saat yang lalu ketika ia singgah di rumah untuk menurunkan baju kotornya.
Dengan segala upaya aku menjernihkan pikiranku lagi. Barangkali hanya wajahnya saja yang mirip, buku ini tidak mungkin milik Mas Naufal.
Tapi kalau buku ini bukan miliknya, kenapa bisa ada di dalam tasnya? Bukankah itu adalah sebuah kejadian yang sangat aneh?
Tanpa pikir panjang, aku lantas menghubungi Vina, sekertaris Mas Naufal di kantor. Satu kali panggilan, dua kali, hingga tiga kali Vina tak juga menjawab teleponku. Hingga akhirnya aku geram dan membanting buku itu kasar. Sebenarnya semua ini ada apa? Kenapa seperti ada sebuah sandiwara di sini?
Untuk keempat kalinya aku mencoba menghubungi Vina hingga akhirnya ia mengangkat teleponku. Aku memilih untuk terus terang padanya agar tak ada kesalahpahaman ketika aku bertanya lebih tentang Mas Naufal.
"Vin, Pak Naufal sudah sampai di kantor?" tanyaku basa basi.
"Em ... Belum, Bu."
Aku mengernyitkan dahi. Bukankah ini sudah lewat setengah jam sejak kepergian Mas Naufal, kenapa ia belum juga sampai di kantor? Katanya ia sedang buru-buru karena sudah ditunggu oleh bosnya.
"Belum? Ia mengatakan kalau sedang buru-buru karena ditunggu bosnya, bahkan tak sempat masuk ke dalam rumah setelah pulang dari dinas luar kotanya,"
"Dinas, Bu? Bukankah dua bulan ini Pak Naufal tidak ada dinas luar?
Duarrr
Bagai disambar petir ketika Vina mengatakan hal itu. Satu persatu puing-puing kebohongan mulai kutemukan. Aku yang terlalu mempercayai Mas Naufal ini tiba-tiba saja menaruh curiga yang sangat tinggi padanya.
"Bahkan Pak Naufal tengah mengambil cuti selama satu minggu ini, Bu," lanjut Vina membuat dadaku semakin bergemuruh. Kebohongan apa lagi ini?
"Benarkah semua yang kamu katakan, Vina? Tolong jangan katakan kalau aku sudah meneleponmu pagi ini ketika ia datang nanti,"
"Pak Naufal mungkin tidak akan datang, Bu. Cutinya masih seminggu lagi. Kemungkinan minggu depan baru akan masuk kerja," jawabnya.
"Maaf, Bu. Apa Pak Naufal tidak memberitahu anda?"
Kedua kakiku serasa tak bertulang, ketika Vina mengatakan beberapa hal yang membuatku begitu terkejut. Mungkinkah aku terlalu bodoh, hingga sama sekali tak tahu kalau suamiku telah berbohong padaku. Bahkan aku selalu mendoakannya ketika usai solat sebagau bukti baktiku padanya. Akupun juga rela meninggalkan profesi yang sangat diharapkan oleh kedua orang tuaku untuk menikah dengannya, yaitu sebuah perawat dalam rumah sakit ternama di kota ini.
"Oh, yasudah. Terimakasih, Vin." Aku menekan tombol merah pada layar ponsel dan tidak berniat untuk menjawab pertanyaanya yang terakhir.
Sepertinya ada sesuatu yang Mas Naufal sembunyikan dariku. Dan aku harus tahu sekarang juga, sebelum semuanya terlambat dan akan membuatku semakin sakit lagi.
Untuk kedua kalinya aku membaca surat nikah itu, memandangi kedua foto yang terpasang di halaman delannya. Sepertinya gadis ini umurnya masih jauh di bawahku, terlihat wajah segar dan imutnya. Sangat beda denganku yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa.
***
"Zi, lihat! Sepertinya aku mengenali mobil itu," ucap Aira dengan menunjuk sebuah mobil Honda Jazz abu-abu di seberang jalan. Tepatnya di depan sebuah penjual martabak manis. Membuatku memicingkan mata agar dapat melihatnya dengan jelas.
"Sepertinya aku juga mengenalinya, Ra."
"Lihat ... Itu lihat. Itu Mas Naufal!" Teriak Aira dari dalam mobil dan membuatku harus membungkam mulutnya.
Usai kepergian Mas Naufal, aku lantas menghubungi Aira dan mengajaknya bertemu untuk mendengar segala keluh kesahku. Ia pun juga mengajakku untuk mencari kemana Mas Naufal pergi, dengan melacak sinyal GPS yang ada di ponsel Mas Naufal.
Mobil kami terhenti ketika Aira melihat seseorang yang sangat mirip dengan Mas Naufal di ujung jalan sana. Ia begitu mirip dengan Mas Naufal, hanya saja kini ia telah memakai kaos polo biru dan celana pendek selutut. Sangat beda jauh dengan penampilannya waktu meninggalkan rumah tanpa menengokku terlebih dahulu.
"Kamu salah lihat kali, Ra. Mas Naufal tadi pakai setelan kemeja dan celana hitam,"
"Tapi lihat saja, ia begitu mirip dengan suamimu. Mana mungkin ada orang yang sangat mirip tanpa adanya ikatan darah?"
Mulutku menganga ketika laki-laki yang menyerupai Mas Naufal itu membukakan pintu mobil sebelah kiri, dan turunlah seorang wanita yang wajahnya sangat tidak asing untukku.
Dia ... Dia adalah orang yang sama dengan foto pada buku nikah yang aku temukan pagi tadi. Aira menepuk pundakku keras ketika aku menganga tak percaya.
Jika saja Mas Naufal benar-benar mengkhianatiku, itu semua karena apa? Aku dengan tinggi seratus enam puluh sentimeter, berat badan enam puluh lima kilogram, kulit yang sangat putih dan mulus, serta hijab kekinian yang selalu bertengger di kepalaku. Aku juga telah membantu perekonomian keluarga dengan cara jualan online dari rumah.
Tapi kenapa Mas Naufal masih tega mengkhianatiku jika saja semua itu memang benar adanya?
"Zi, menunduk! Orang yang mirip suamimu itu melihat kemari." Bentak Aira membuyarkan lamunanku.
Dengan dada berdegup kencang aku lantas mengikuti instruksi Aira untuk menunduk agar lelaki itu tak mengenali kami. Namun bagaimana dengan buku nikah yang aku temukan tadi pagi? Benarkah bahwa lelaki yang tengah memesan martabak manis itu adalah suamiku? Atau orang lain yang hanya kebetulan mirip?
"Selamat pagi, Bu. Ini saya ingin mengantarkan paket," ucap seorang kurir ketika aku tengah membersihkan rumput di halaman.Bak di sambar petir ketika aku membuka paket itu dan menemukan sebuah tagihan angsuran rumah sebesar lima juta rupiah. Untuk membayar angsuran rumah yang berada di Jalan Pegangsaan No 49. Bukankah ini alamat rumah yang sama seperti yang tertera pada buku nikah itu, dan juga alamat yang sama ketika aku mengikuti dua insan yang sedang aku curigai itu."Dek, paket dari siapa?" tanya Mas Naufal mengagetkanku yang masih menganga tak percaya dengan semua ini.Jadi, memang benar, bahwa Atha Hafidz Alfarezy dan Ghibran Naufal Rizal adalah orang yang sama? Tapi mengapa semuanya bisa ia sembunyikan serapi ini?"Oh ... Tidak. Itu tadi paket Shop**ku, Mas.""Kamu pesan apa memangnya?""Pesan lipstik baru, Mas," jawabku sekenanya agar ia tak curiga.Aku lantas memilih masuk ke dalam rumah melalui pintu samping untuk menghindarinya yang masih berdiri mematung di depan pintu se
"Mas, jangan sampai Mbak Zia tau kalau kamu telah memalsukan data-data agar bisa menikahiku secara negara. Ingat, bapak akan membunuhku hidup-hidup jika tau aku menikah dengan suami orang." Aira menyikut lenganku yang tengah menyeruput minuman di meja seberang Mas Naufal dan Kirani.Aku tertegun mendengarnya, berarti memang tak salah lagi kalau Mas Naufal dengan sengaja menduakanku dengan wanita itu.Aku dan Aira sengaja menunggu lumayan lama setelah bertanya-tanya pada Ibu Mar. Berharap kami akan mendapat satu petunjuk lagi setelah itu. Dengan tetap pada penyamaran seperti sebelumnya, kami mengikuti Mas Naufal dan Kirani yang masuk ke dalam restoran cepat saji. Lalu duduk pada sebuah bangku yang tak jauh dari mereka.Syukurlah aku memiliki sahabat yang sangat baik seperti Aira. Ia tak segan menemaniku meluruskan masalah pelik ini. Bahkan ia juga bersedia menyamar untuk mencari bukti yang kuat agar aku bisa membalas perbuatan Mas Naufal."Besok kita berangkat jam berapa, Mas?" tanya K
Sinar mentari terlihat mulai meninggi, Mas Nufal telah tertidur pulas di atas ranjang. Sepertinya ia sudah merasa sedikit baikan, terakhir ia pergi ke kamar mandi satu jam yang lalu. Saat ini jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas siang, itu artinya jadwal penerbangan sudah lewat dua jam.Aku tersenyum miring, usahaku menggagalkan rencananya berhasil meski harus membuatnya sakit terlebih dahulu. Nada dering pendek terdengar dari ponsel Mas Naufal yang tergeletak di atas meja. Aku mengendap dan mengambil ponselnya secara perlahan. Biasanya ponselnya tak pernah diberi sandi penguncian.Dan benar saja, ponselnya bisa ku buka hanya dengan satu usapan jari. Tertera ada limabelas panggilan masuk dan dua puluh tiga pesan singkat yang masuk ke dalam aplikasi hijaunya. Aku menggelengkan kepala, sungguh rekan kerja Mas Naufal yang bernama Kiran ini sungguh protectif. Padahal sebelumnya Mas Naufal telah memberitahu kalau tidak bisa pergi karena sedang sakit. Aku terkekeh mengingat kekonyo
Semalaman ini Mas Naufal memilih tidur di depan televisi. Hingga adzan subuh terdengar ia tak masuk ke dalam kamar dan menyusulku yang tengah tidur sendirian. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Selepas kerja kemarin sore, ia tak banyak bicara dan memilih langsung istirahat di depan televisi dari pada di kamar.Nada dering pendek pada ponselku tiba-tiba berbunyi ketika aku selesai menunaikan kewajiban dua rakaat. Sepagi ini dan Aira sudah mengirimkan pesan padaku.[Rencanamu berhasil. Kemarin siang mereka berdua telah di usir dari perumahan itu, dan sekarang madumu tengah menginap di hotel melati]Aku tersenyum puas. Akhirnya aku menang satu langkah dari mereka. Mas Naufal pikir aku sebodoh itu? Hingga tak dapat mencium kebohongannya.Jadi karena hal ini, Mas Naufal terlihat sangat tidak bersemangat selepas pulang kerja. Bahkan ia juga tak menyusulku untuk tidur di kamar. Mungkin ia memikirkan nasib gundiknya itu. Aku terkekeh pelan lalu berjalan untuk membangunkan Mas Naufal yang masi
Aku tersenyum licik. Membayangkan apa yang akan Mas Naufal lakukan tanpa dompet dan seluruh kartu kreditnya ini.Sepertinya malam ini aku bisa tidur nyenyak, karena telah menang telak dari Mas Naufal. Ia tak akan bisa berkutik tanpa dompet dan seluruh isinya. Kecuali jika gundiknya itu yang membayar semua tagihan hotel. Aku menyeringai.Baru saja aku ingin memejamkan mataku, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu depan pelan. Aku menajamkan pendengaranku, jika itu Mas Naufal ia akan langsung masuk ke dalam rumah karena satu kunci rumah telah di bawanya. Lalu, itu siapa?Aku turun dari atas ranjang dan berjalan mengendap untuk melihat siapa yang telah mengetuk pintu rumahku selarut ini. Kulirik jam yang tertempel di dinding. Pukul sepuluh malam.Jantungku hampir saja keluar dari tempatnya, ketika aku melihat sosok suami idamanku tengah berdiri dengan gundiknya. Kuacungi jempol pada kedua manusia itu. Berani sekali Mas Naufal membawa wanita jalang itu ke rumah kami.Aku meng
"Mas, kita makan malam di luar yuk. Udah lama banget kita nggak dinner romantis," ucapku saat kami bertiga duduk santai di ruang tamu.Terlihat lewat ekor mataku Kirani membolak-balikkan majalah yang sedang ia pegang. Sedang Mas Naufal terlihat gugup tak menatapku. Aku memang sengaja melakukan hal ini, karena ingin melihat reaksi Kirani saat aku bermesraan dengan Mas Naufal.Biar saja, dia harus tahu jika rumah tanggaku dengan Mas Naufal memang sangat indah dan romantis. Tak seharusnya dia datang dan merusak segalanya. Jika dia benar-benar wanita yang baik, seharusnya dia tidak akan bersama lelaki yang telah beristri.Lagipula apa dia tidak bisa berfikir, kita sama-sama seorang wania. Seandainya saja dia ada di posisiku, apakah mentalnya akan tetap aman?"Kemana, Dek?""Terserah, restorannya kamu yang pilih. Tapi yang romantis ya," ucapku lagi dengan melirik sekilas pada Kirani yang mulai gusar."Lalu Kirani?""Lho ... Memang kenapa? Dia kan bisa di rumah sendiri, lagian perumahan kit
"Mas, ini bukannya dompetmu?" Teriakku dari depan rumah ketika akan berangkat ke kantor.Sepagi ini dan aku sudah sangat bersemangat memainkan sandiwara dengannya. Biarkan saja, siapa suruh dia juga bersandiwara seburuk ini denganku. Seharusnya dia memikirkan hal ini sampai berulang kali, tidak justru semakin memperkeruh keadaan dengan membawa wanita itu masuk ke dalam rumah.Dengan tergopoh-gopoh Mas Naufal berlari menghampiriku yang sedang berdiri tepat di depan pagar rumah. Ia terkejut ketika melihat dompet hitamnya tergeletak di atas ubin, lalu secepat kilat ia langas mengambilnya dan berteriak dengan gembira."Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya barang yang aku cari ketemu juga," teriak Mas Naufal terdengar sangat girang.Sejujurnya saja aku ingin sekali tertawa saat ini juga. Hanya saja aku tidak ingin membuatnya curiga.Kebahagiaannya luntur ketika melihat semua isinya telah hilang. Tak hilang seluruhnya, melainkan hanya tinggal satu kartu ATM dan kartu identitasnya. Aku tersenyu
Darahku seakan mendidih begitu mengetahui akal busuk yang akan mereka jalankan nanti malam. Tak hanya itu, aku juga sangat marah karena Mas Naufal menjadi bak kerbau yang dicucuk hidungnya. Dia sangat patuh dan selalu menuruti apa yang dikatakan oleh Kirani. Apa dia sama sekali tidak memikirkan perasaanku? Atau setidaknya menganggapku ada?Mungkin memang benar apa kata orang. Cinta itu buta. Namun apapun itu aku sangat bersyukur karena rasa cintaku pada Mas Naufal tak sedalam itu. Bukan aku tak cinta, hanya saja aku selalu memiliki batasan ketika mencintai seseorang. Aku memang mencintainya, tapi aku tidak pernah melibatkan hidupku untuk kebodohanku.Malam ini aku telah mempersiapkan semuanya, aku sengaja meletakkan dompetku di atas nakas samping tempat tidurku, lalu berpura-pura tidur lebih awal agar Mas Naufal bisa menjalankan rencananya dengan baik. Biarlah aku mengikuti permainan ini, asal pada akhirnya akulah pemenangnya.Meskipun sampai saat ini aku masih sedikit tak percaya den