Share

Bab 3

Nani sudah merencanakan sebelumnya yang memang ingin menikahkan putranya Dava dengan Nara sang sekretaris. Rencana itu sudah cukup lama ia pikirkan, hanya saja belum sempat ia bicarakan dengan keduanya karena masih menunggu Hanum yang hamil. Tetapi, tadi saat mengetahui Hanum datang bulan lagi, Nani pun mengatakannya dan ia rasa saat ini adalah waktu yang sangat tepat.

"Apa maksud Ibu bilang kayak gitu?" Dahi Dava mengerut. Dengan tegas ia katakan, "Aku udah punya istri, Bu. Namanya Hanum dan aku sangat mencintai istri aku."

"Wanita mandul itu?" hina Nani terhadap sang menantu yang beruntungnya sedang tidak ada di sana. Jika ada, entah bagaimana perasaan Hanum yang selalu mendapatkan hinaan dari sang mertua.

"Hanum nggak mandul, Bu," bela Dava.

"Kalau nggak mandul, kenapa sampai sekarang belum juga hamil? Tiga tahun loh kamu menikah sama Hanum dan belum punya anak. Pernikahan macam apa tidak menghasilkan keturunan? Tujuan menikah itu punya keturunan, Dava."

Dava menggelengkan kepalanya menatap tidak percaya akan pendapat sang ibu mengenai tujuan pernikahan yaitu memiliki keturunan. Siap pun, setiap pernikahan pasti menginginkan keturunan. Tetapi, jika Tuhan belum berkehendak, apa boleh buat?

"Ibu salah kalau tujuan utama pernikahan itu untuk memiliki keturunan. Memang tidak dipungkiri di dalam pernikahan ingin memiliki keturunan, tetapi tujuan utama menikah itu semata-mata bukan karena itu, Bu. Keturunan itu rencana Allah, kalau Allah belum ngasih sedangkan kita sudah berusaha mau bagaimana lagi? Semua kembali kepada yang memiliki segalanya."

"Ya tapi kenyataannya sampai sekarang Hanum belum Hamil juga, kan? Ibu capek nungguinnya," pekik Nani sambil duduk menyamping ke arah Dava.

"Tapi aku nggak, Bu. Sampai detik ini Dava merasa bahagia menjalani rumah tangga walau belum dikaruniai seorang anak."

"Mungkin buat kamu nggak penting memiliki keturunan dalam pernikahan, tapi buat ibu itu sangat penting," tegas Nani.

"Dan, Apakah ibu yakin kalau Nara bisa memberikan aku keturunan? Bisa jadi justru Nara malah yang mandul," senyum Dava menyeringai.

"Ibu yakin bisa. Kalau kamu nggak percaya, ibu akan mengajak Nara untuk melakukan tes kesuburan."

"Ibu!" Dava sedikit meninggikan suaranya. "Ibu ngomong kayak gini, Ibu mikirin perasaan Nara nggak sih?"

Memang Nara memiliki perasaan suka kepada Dava sejak lama, dia bahkan rela jadi sekretaris Dava demi bisa dekat dengannya. Padahal dia sendiri adalah sahabat dari Hanum, tetapi Nara tidak memikirkan itu. Asal bisa dekat dengan Dava sebagai sekretaris, Nara sudah merasa senang. Namun, jika untuk menikah dengan Dava, Nara sama sekali belum pernah memikirkannya.

Tetapi apa ini? Nani tiba-tiba mengatakan ingin Dava menikahi dirinya? Tentu ada perasaan senang saat mendengar pernyataan itu, tetapi rasanya mustahil jika Dava menyetujuinya.

"Kenapa emangnya? Nara nggak akan keberatan." Setelah bicara kepada Dava, Nani bicara kepada Nara untuk yang pertama kalinya. "Nara, maaf kalau ibu udah lancang. Kamu udah denger pembicara kami. Apakah kamu mau menikah sama anak ibu, Dava?"

Nara diam, ini terlalu mengejutkan. Dia menatap ke arah Dava, lalu ke arah Nani. "Bu, Nani. Aku nggak tau harus bilang apa. Tapi ...."

Belum selesai satu kalimat diucapkan, Dava memangkasnya dengan cepat. "Cukup, Bu! Ibu selain bersalah sudah menghina Hanum, Ibu juga udah nyakitin perasaan orang lain. Permintaan macam apa ini? Nara mana mungkin bisa memenuhi permintaan Ibu."

"Diam, Dava." Suara Nani membentak. "Ibu lagi tanya sama Nara, bukan sama kamu."

"Benar kata Pak Dava, belum tentu aku bisa memberikan keturunan. Bisa jadi aku punya masalah atau apa pun itu."

Nara bicara seperti itu, karena khawatir nasibnya nanti akan sama seperti Hanum jika tidak bisa memberikan keturunan.

"Gampang, itu bisa diatur. Asal kamu mau menikah sama Dava, kita akan melakukan cek kesuburan di dokter spesialis. Gimana?" ucap Nani penuh harap.

"Kalau aku subur, lanjut ke pernikahan. Tapi kalau nggak, tidak akan ada pernikahan. Seperti itu?" Nara menambahkan untuk lebih memastikan.

"Iya, Nara. Kamu mau, kan?"

Ini adalah kesempatan emas bagi Nara, toh tidak ada ruginya melakukan cek kesuburan. Jika memang subur, itu artinya dia beruntung. Tetapi jika tidak subur, tidak ada kerugian apapun. Semua kembali seperti semula.

Setelah berpikir cukup singkat, Nara pun menyetujuinya. "Iya, Bu. Nara setuju."

Dava menatap tidak percaya, bisa-bisanya Nara menyetujui permintaan sang ibu yang menurutnya sangat konyol.

"Nara, jangan main-main. Ini sebuah pernikahan. Masa kamu mau nikah sama aku cuma untuk menghasilkan keturunan? Jangan kamu dengerin permintaan aneh ibu aku. Sekarang lebih baik kamu keluar, selesaikan pekerjaan kamu!" Dava bicara dengan tegas.

"Saya cuma mencoba membantu menyempurnakan pernikahan Bapak. Lagi pula kalau saya punya anak dari Bapak, saya akan sangat beruntung, karna anak saya berada di tangan yang tepat. Bapak baik, Hanum juga sahabat saya yang pastinya akan memperlakukan anak saya dengan baik, memiliki kehidupan yang layak."

"Justru karna Hanum sahabat kamu bagaimana kamu tega mengkhianati dia?"

"Mungkin Hanum akan marah, tapi saya akan coba membujuk dia dengan kelembutan. Mungkin awalnya sakit, tapi saya yakin Hanum akan cepat menerima kehadiran saya, Pak. Saya sahabat Hanum, saya tau persis bagaimana sifatnya. Jadi, Bapak tenang aja."

"Ya ampun, Nara baik banget. Ibu nggak nyangka kamu punya hati yang mulia seperti ini. Kamu rela mengorbankan masa depan kamu demi menyempurnakan pernikahan Dava sama Hanum." Nani bicara sambil berdiri, menghampiri Nara, lalu merangkulnya dari samping.

"Hanum sahabat aku, Bu. Pak Dava juga atasan aku yang sangat baik, aku rasa nggak ada salahnya aku menolong mereka."

Nani tersenyum bahagia, lalu ia membawa Nara ke dalam pelukannya seraya berterima kasih. "Terima kasih, Nara."

"Sama-sama, Bu."

Nani melepaskan pelukannya dan kembali bicara. "Kapan kamu bersedia melakukan tes?"

"Secepatnya. Nanti aku kasih Ibu kabar kalau aku udah siap."

"Baiklah. Ibu tunggu kabar dari kamu ya, Nak."

Nara mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Bu. Kalau begitu, aku mau melanjutkan pekerjaan lagi."

"Iya, silakan."

Setelah itu Nara pun keluar dari ruang kerja Dava, lalu pergi ke toilet untuk mengungkap perasaan gembiranya. Hal yang tidak ia lakukan di meja kerja, karena dinding pembatas antara ruang kerja Dava terbuat dari kaca yang akan tembus pandang ketika tirai dibuka.

Di dalam kamar mandi, sambil berdiri di depan wastafel, dia melompat kegirangan. "Yes, aku akan segera menjadi istri pak Dava, hal yang menurut aku mustahil, akhirnya akan segera terwujud. Tinggal satu langkah lagi yaitu melakukan tes kesuburan. Semoga aku benar-benar subur."

Sedetik kemudian, ia menatap dirinya dari pantulan cermin di depan. "Maaf ya, Num. Dari dulu aku suka sama pak Dava, tapi malah kamu yang dinikahinya. Tapi, tenang aja. Sebentar lagi aku akan hadir di tengah-tengah kalian."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status