Nani sudah merencanakan sebelumnya yang memang ingin menikahkan putranya Dava dengan Nara sang sekretaris. Rencana itu sudah cukup lama ia pikirkan, hanya saja belum sempat ia bicarakan dengan keduanya karena masih menunggu Hanum yang hamil. Tetapi, tadi saat mengetahui Hanum datang bulan lagi, Nani pun mengatakannya dan ia rasa saat ini adalah waktu yang sangat tepat.
"Apa maksud Ibu bilang kayak gitu?" Dahi Dava mengerut. Dengan tegas ia katakan, "Aku udah punya istri, Bu. Namanya Hanum dan aku sangat mencintai istri aku."
"Wanita mandul itu?" hina Nani terhadap sang menantu yang beruntungnya sedang tidak ada di sana. Jika ada, entah bagaimana perasaan Hanum yang selalu mendapatkan hinaan dari sang mertua.
"Hanum nggak mandul, Bu," bela Dava.
"Kalau nggak mandul, kenapa sampai sekarang belum juga hamil? Tiga tahun loh kamu menikah sama Hanum dan belum punya anak. Pernikahan macam apa tidak menghasilkan keturunan? Tujuan menikah itu punya keturunan, Dava."
Dava menggelengkan kepalanya menatap tidak percaya akan pendapat sang ibu mengenai tujuan pernikahan yaitu memiliki keturunan. Siap pun, setiap pernikahan pasti menginginkan keturunan. Tetapi, jika Tuhan belum berkehendak, apa boleh buat?
"Ibu salah kalau tujuan utama pernikahan itu untuk memiliki keturunan. Memang tidak dipungkiri di dalam pernikahan ingin memiliki keturunan, tetapi tujuan utama menikah itu semata-mata bukan karena itu, Bu. Keturunan itu rencana Allah, kalau Allah belum ngasih sedangkan kita sudah berusaha mau bagaimana lagi? Semua kembali kepada yang memiliki segalanya."
"Ya tapi kenyataannya sampai sekarang Hanum belum Hamil juga, kan? Ibu capek nungguinnya," pekik Nani sambil duduk menyamping ke arah Dava.
"Tapi aku nggak, Bu. Sampai detik ini Dava merasa bahagia menjalani rumah tangga walau belum dikaruniai seorang anak."
"Mungkin buat kamu nggak penting memiliki keturunan dalam pernikahan, tapi buat ibu itu sangat penting," tegas Nani.
"Dan, Apakah ibu yakin kalau Nara bisa memberikan aku keturunan? Bisa jadi justru Nara malah yang mandul," senyum Dava menyeringai.
"Ibu yakin bisa. Kalau kamu nggak percaya, ibu akan mengajak Nara untuk melakukan tes kesuburan."
"Ibu!" Dava sedikit meninggikan suaranya. "Ibu ngomong kayak gini, Ibu mikirin perasaan Nara nggak sih?"
Memang Nara memiliki perasaan suka kepada Dava sejak lama, dia bahkan rela jadi sekretaris Dava demi bisa dekat dengannya. Padahal dia sendiri adalah sahabat dari Hanum, tetapi Nara tidak memikirkan itu. Asal bisa dekat dengan Dava sebagai sekretaris, Nara sudah merasa senang. Namun, jika untuk menikah dengan Dava, Nara sama sekali belum pernah memikirkannya.
Tetapi apa ini? Nani tiba-tiba mengatakan ingin Dava menikahi dirinya? Tentu ada perasaan senang saat mendengar pernyataan itu, tetapi rasanya mustahil jika Dava menyetujuinya.
"Kenapa emangnya? Nara nggak akan keberatan." Setelah bicara kepada Dava, Nani bicara kepada Nara untuk yang pertama kalinya. "Nara, maaf kalau ibu udah lancang. Kamu udah denger pembicara kami. Apakah kamu mau menikah sama anak ibu, Dava?"
Nara diam, ini terlalu mengejutkan. Dia menatap ke arah Dava, lalu ke arah Nani. "Bu, Nani. Aku nggak tau harus bilang apa. Tapi ...."
Belum selesai satu kalimat diucapkan, Dava memangkasnya dengan cepat. "Cukup, Bu! Ibu selain bersalah sudah menghina Hanum, Ibu juga udah nyakitin perasaan orang lain. Permintaan macam apa ini? Nara mana mungkin bisa memenuhi permintaan Ibu."
"Diam, Dava." Suara Nani membentak. "Ibu lagi tanya sama Nara, bukan sama kamu."
"Benar kata Pak Dava, belum tentu aku bisa memberikan keturunan. Bisa jadi aku punya masalah atau apa pun itu."
Nara bicara seperti itu, karena khawatir nasibnya nanti akan sama seperti Hanum jika tidak bisa memberikan keturunan.
"Gampang, itu bisa diatur. Asal kamu mau menikah sama Dava, kita akan melakukan cek kesuburan di dokter spesialis. Gimana?" ucap Nani penuh harap.
"Kalau aku subur, lanjut ke pernikahan. Tapi kalau nggak, tidak akan ada pernikahan. Seperti itu?" Nara menambahkan untuk lebih memastikan.
"Iya, Nara. Kamu mau, kan?"
Ini adalah kesempatan emas bagi Nara, toh tidak ada ruginya melakukan cek kesuburan. Jika memang subur, itu artinya dia beruntung. Tetapi jika tidak subur, tidak ada kerugian apapun. Semua kembali seperti semula.
Setelah berpikir cukup singkat, Nara pun menyetujuinya. "Iya, Bu. Nara setuju."
Dava menatap tidak percaya, bisa-bisanya Nara menyetujui permintaan sang ibu yang menurutnya sangat konyol.
"Nara, jangan main-main. Ini sebuah pernikahan. Masa kamu mau nikah sama aku cuma untuk menghasilkan keturunan? Jangan kamu dengerin permintaan aneh ibu aku. Sekarang lebih baik kamu keluar, selesaikan pekerjaan kamu!" Dava bicara dengan tegas.
"Saya cuma mencoba membantu menyempurnakan pernikahan Bapak. Lagi pula kalau saya punya anak dari Bapak, saya akan sangat beruntung, karna anak saya berada di tangan yang tepat. Bapak baik, Hanum juga sahabat saya yang pastinya akan memperlakukan anak saya dengan baik, memiliki kehidupan yang layak."
"Justru karna Hanum sahabat kamu bagaimana kamu tega mengkhianati dia?"
"Mungkin Hanum akan marah, tapi saya akan coba membujuk dia dengan kelembutan. Mungkin awalnya sakit, tapi saya yakin Hanum akan cepat menerima kehadiran saya, Pak. Saya sahabat Hanum, saya tau persis bagaimana sifatnya. Jadi, Bapak tenang aja."
"Ya ampun, Nara baik banget. Ibu nggak nyangka kamu punya hati yang mulia seperti ini. Kamu rela mengorbankan masa depan kamu demi menyempurnakan pernikahan Dava sama Hanum." Nani bicara sambil berdiri, menghampiri Nara, lalu merangkulnya dari samping.
"Hanum sahabat aku, Bu. Pak Dava juga atasan aku yang sangat baik, aku rasa nggak ada salahnya aku menolong mereka."
Nani tersenyum bahagia, lalu ia membawa Nara ke dalam pelukannya seraya berterima kasih. "Terima kasih, Nara."
"Sama-sama, Bu."
Nani melepaskan pelukannya dan kembali bicara. "Kapan kamu bersedia melakukan tes?"
"Secepatnya. Nanti aku kasih Ibu kabar kalau aku udah siap."
"Baiklah. Ibu tunggu kabar dari kamu ya, Nak."
Nara mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Bu. Kalau begitu, aku mau melanjutkan pekerjaan lagi."
"Iya, silakan."
Setelah itu Nara pun keluar dari ruang kerja Dava, lalu pergi ke toilet untuk mengungkap perasaan gembiranya. Hal yang tidak ia lakukan di meja kerja, karena dinding pembatas antara ruang kerja Dava terbuat dari kaca yang akan tembus pandang ketika tirai dibuka.
Di dalam kamar mandi, sambil berdiri di depan wastafel, dia melompat kegirangan. "Yes, aku akan segera menjadi istri pak Dava, hal yang menurut aku mustahil, akhirnya akan segera terwujud. Tinggal satu langkah lagi yaitu melakukan tes kesuburan. Semoga aku benar-benar subur."
Sedetik kemudian, ia menatap dirinya dari pantulan cermin di depan. "Maaf ya, Num. Dari dulu aku suka sama pak Dava, tapi malah kamu yang dinikahinya. Tapi, tenang aja. Sebentar lagi aku akan hadir di tengah-tengah kalian."
Setelah Nara pergi, perdebatan masih saja terjadi antara Dava dengan sang ibu. Dava terus menolak untuk menikahi Nara, sedangkan Nani terus memaksanya."Ibu ini apa-apaan? Kenapa ibu minta Nara nikah sama aku, pake acara tes kesuburan segala. Ibu mikirin perasaan kita nggak sih?""Dava, apa ibu nggak salah denger kamu bilang gitu sama ibu? Kamu minta ibu mengerti perasaan kamu. Kamu sendiri apa mengerti perasaan ibu? Ibu pengen cucu dari kamu, Dava. Keturunan dari darah daging kamu.""Tapi aku maunya Hanum yang mengandung, Bu. Bukan perempuan lain. Coba ibu bayangkan gimana perasaan Hanum saat tau Ibu memaksa aku menikah sama Nara, yang mana Nara sendiri sahabat Hanum. Ibu bisa bayangkan bagaimana sakitnya dia?""Ibu tau ini sakit, tapi Hanum juga harus tau diri. Tiga tahun ibu menunggu keturunan dari kalian, tapi mana? Nggak ada, kan?""Ibu sabar dong, Bu. Kami juga lagi berusaha." Dava coba bicara dengan lembut."Kenapa sih kamu itu nggak paham-paham? Kurang sabar apa ibu nunggu sel
Malam hari. Dava yang baru saja sampai di rumah, masuk ke dalam langsung mencari keberadaan Hanum. Dia melihat sang istri sedang berada di dapur, berkutat dengan masakannya yang entah sedang membuat apa.Dava meletakkan tas kerjanya di atas sofa, berjalan menuju dapur sambil melepaskan kancing lengan, lalu menggulung bagian lengannya sampai sikut. Dalam hati ia berkata, "Ya Allah. Berilah kepercayaan kepada kami untuk memiliki keturunan, hamba tidak tega kalau harus mengikuti keinginan ibu hamba. Kami hidup berkecukupan, kami sangat menyukai anak-anak, usia kami sudah cukup matang, apakah itu semua belum cukup, Ya Allah?"Terus ia bergumam. Berjalan menaiki dua anak tangga sebagai pembatas antar ruang keluarga dengan ruang makan. menghampiri istri tercinta, memeluknya dari belakang secara tiba-tiba, hal itu sontak membuat Hanum terkejut."Mas Dava, ngagetin aja deh. Untung adonannya nggak jatuh." Hanum bicara seraya melihat wajah wajah Dava dari samping."Namanya juga kejutan." Setel
"Ibu ini apa-apaan sih, Bu?" pekik Heru selaku ayah dari Dava. Pasalnya Heru juga kurang setuju atas ide sang istri yang ingin menikahkan lagi putranya dengan wanita lain, hanya karena ingin segera memiliki cucu dari dari darah daging putranya."Ayah, di dalam agama, poligami itu diperbolehkan. Apa lagi ini Hanum punya kekurangan. Dia nggak bisa hamil. Alasan ibu kuat ingin menikahkan Dava sama Nara." Nani yang saat ini duduk sofa panjang, bicara sambil membelakangi Heru karena sebal. Sejak tadi sang suami terus saja menentang pendapatnya."Ayah tau, Bu. Tapi coba Ibu pikirkan lagi bagaimana perasaan Hanum, pasti sakit. Kalau Ibu ada di posisi Hanum, apa Ibu mau membagi aku dengan wanita lain?" seru Heru."Ya nggak maulah, tapi cukup tau diri aja nggak bisa ngasih keturunan, kok.""Bukan nggak bisa, Bu. Tapi belum. Lebih tempatnya Allah belum ngasih keturunan." Dava yang baru datang pun langsung menyahuti statement tentang istrinya yang selalu dikatakan tidak bisa memberikan keturunan
Setelah mendapatkan penanganan khusus dari rumah sakit, Dava pun memutuskan untuk pulang dan meninggalkan sang ibu di rumah sakit dengan ditemani oleh Laras juga Heru.Dava menarik napas panjang ketika berada di depan pintu kamarnya untuk menenangkan diri, lalu membuka pintu secara perlahan, masuk ke dalam tanpa menghidupkan lampu utama.Terlihat sang istri tengah tertidur pulas di atas ranjang, ia pun memilih berbaring di sebelahnya, memeluk Hanum dari belakang.Merasakan kehadiran seseorang, Hanum pun membuka matanya, lalu bertanya, "Mas Dava, kamu udah pulang?""Iya," jawab Dava singkat."Maaf aku tidur duluan. Tadi habis minum obat anti nyeri, tapi malah ngantuk banget," ucap Hanum sambil mengusap punggung tangan Dava yang melingkar di perutnya."Nggak apa-apa, Sayang. Seharusnya aku yang minta maaf karna pulang terlambat.""Nggak masalah. Yang penting kamu pulang dalam keadaan utuh, sehat, dan baik-baik aja." Hanum bicara sambil tersenyum tulus."Kamu nggak marah?" tanya Dava lagi
Dava mempersilahkan Nara duduk di kursi di depannya seraya menutup laptop. Setelah Nara duduk, Dava mulai bicara dengan raut wajah penuh keseriusan. "Aku sangat mencintai istri aku, Nara." "Saya tau, Pak. Hanum sahabat saya sejak dulu, dia selalu menceritakan kepada saya juga Gina betapa Anda sangat mencintainya dan betapa Hanum juga sangat mencintai Anda, hingga akhirnya kalian menikah dan hidup bahagia sampai sekarang," terang Nara sambil tersenyum mengingat akan masa itu. Saat mereka masih sangat dekat, tidak seperti sekarang yang seperti memiliki jarak semenjak Nara diisukan menyukai Dava."Tapi Nara, kebahagiaan kita terancam punah. Hanum akan menderita jika aku menikahi kamu." Sudah bisa dibayangkan bagaimana kehidupan rumah tangganya bersama Hanum akan seperti apa jika dirinya menikahi Nara. Hanum pasti akan menderita."Loh kenapa?" Dahi Nara mengerut. "Aku datang untuk membantu melengkapi kekurangan rumah tangga Bapak loh, Pak.""Kami tidak pernah merasa kekurangan, Nara. Kam
"Kenapa kamu nggak bilang kalau ibu dirawat?" tanya Hanum masih berdiri di depan pintu."Itu ...." Dava melihat ke arah sang ibu, lalu menjawab pertanyaan Hanum. "Aku nggak mau buat kamu khawatir.""Harusnya kamu bilang, Mas. Biar aku bisa ikut jaga ibu."Belum sempat Dava bicara, Nani menyahutinya. "Kamu itu ke sini mau mengintrogasi Dava atau mau menjenguk ibu?""Maaf, Bu. Hanum nggak bermaksud seperti itu.""Ya udahlah nggak usah tanya panjang lebar. Kamu bawa apa?" tanya Nani.Hanum mengangkat jinjingan yang ia bawa. "Makanan kesukaan Ibu." Dia bicara sambil tersenyum."Ya udah bawa ke sini!"Hanum berjalan menghampiri Heru lebih dulu untuk bersalaman. Dava, Laras, lalu Nani. Hatinya bertanya-tanya sendiri saat melihat ada Nara di sana dan anehnya lagi mereka berdua terlihat sangat akrab, ibu terlihat begitu ramah. Hanum bisa menilai demikian, karena saat ia datang, Nani bersama Nara sedang mengobrol saling
Hari berlalu, saat ini Hanum sedang mengobrol di ruang keluarga bersama Gina, sahabat Hanum yang sengaja ingin datang berkunjung setelah cukup lama tidak bertemu.Sedang asik mengobrol, ponselnya berdering. Notifikasi pesan masuk, lalu Hanum pun mengambil handphone dari atas meja, melihat nama Mas Dava tertera jelas pada layar handphonenya. Dia membuka pesan tersebut yang berisi, "Hanum, kamu di rumah?""Iya, Mas. Ada apa?" balas Hanum. Sambil menunggu, ia kembali mengobrol bersama Gina. Membicarakan pekerjaan yang sedang Gina geluti saat ini.Tidak lama setelah itu, dering ponsel kembali terdengar. Ada balasan dari Dava, kembali Hanum membaca isinya. "Aku mau minta tolong dong. Tolong siapin beberapa baju, karna malam ini aku mau pergi ke luar kota.""Iya, Mas. Tapi kok mendadak?" balas Hanum lagi.Bukan hanya Hanum, Gina pun memiliki panggilan masuk dari seseorang. "Num, gue angkat telpon dulu, ya.""Oh iya." Hanum mempersilakan.Gina berdiri, berjalan ke arah pintu akses menuju tam
Hanum: Kamu ke mana aja, Mas? Kenapa nomernya baru aktif?Balasan yang Hanum kirim kepada sang suami yang sejak pergi tugas tidak ada kabar selama beberapa hari. Lama tidak mendapatkan balasan, Hanum pun memutuskan menghubungi Dava dalam sambungan telepon, tetapi tidak ada yang menjawab, hingga akhirnya ia pun memutuskan kembali mengirim pesan.Hanum: Kenapa nggak diangkat?Dava: Maaf, Sayang. Di sini susah sinyal, mau ganti kartu juga tanggung banget cuma satu Minggu di sini. Kamu apa kabar?Hanum: Aku nggak bisa bilang kabar aku baik, karena pada kenyataannya sekarang aku lagi nangis, aku takut kamu kenapa-kenapa. Kamu tau, selama kamu nggak ada kabar, selama itu juga aku nggak bisa tidur.Pada kalimat terakhir Hanum menyisipkan emoticon menangis.Dava: Jangan nangis dong, nanti aku ikut nangis di sini. Kamu sabar sebentar ya, Sayang. Aku pasti pulang."Hanum: Iya, Mas. Tapi kapan kamu pulang?Dava: Kemungkina