Share

Bersikap Biasa

Jihan mengunci pintu kamar, dia butuh sendiri memikirkan semua yang terjadi padanya hari ini. Jihan tidak habis pikir Elvan bisa melakukan hal semenyakitkan ini padanya, seharusnya permasalahan rumah tangga dia bicarakan lebih dahulu, bukan tiba-tiba membawa wanita lain dan memperkenalkan sebagai calon madunya.

Ah, bukan calon madu. Elvan benar-benar tidak memandang dirinya sebagai istri, sebuah pilihan yang berat bagi Jihan karena Elvan akan menceraikannya demi bisa menikahi sang kekasih. Jihan meraba perutnya yang masih rata.

“Kenapa kamu harus hadir di saat Papamu berniat menduakan Mama, Sayang? Semestinya kamu jangan hadir sekarang atau tidak sekalian, semua ini begitu menyakitkan bagi Mama.” Jihan terisak semakin kencang.

Nasib buruk apa lagi ini yang menimpanya. Jihan hanya memiliki keluarga Elvan saja, dia sudah yatim piatu dan jauh dari sanak saudara. Bahkan keluarga besarnya pun seolah tidak menginginkan kehadiran dirinya, lalu langkah apa yang harus dia ambil sekarang?

Tidak mungkin dia memilih bercerai karena ada anak dalam rahimnya, selain tidak ingin anaknya nanti tidak mendapatkan kasih sayang kedua orang tua, Jihan tidak ingin kehilangan orang yang sangat dia cintai.

Jihan akui, dirinya memang manja dan belum bisa mandiri. Sebelum kedua orang tuanya meninggalkan dirinya sendiri di dunia ini, Jihan selalu mendapatkan segala apa pun yang dia mau. Begitu pun dengan Devano yang juga memanjakan Jihan selama mereka berdua menjalani hubungan hingga nyaris menikah.

Tidak pernah sekalipun Devan menolak permintaan Jihan. Seketika Jihan teringat kata-kata Elvan bila lelaki itu sudah cukup bertanggung jawab dengan dirinya dalam hal materi, mungkinkah semua itu Elvan lakukan mengikuti Devano yang selalu memberikan dan membebaskan apa pun permintaannya asal membuat dia bahagia? Atau memang Elvan yang tidak ingin Jihan selalu mendekatinya dengan alasan ini itu?

Tak jarang, Elvan selalu menawarinya untuk pergi berlibur bersama teman-temannya dengan semua akomodasi ditanggung oleh Elvan. Terkadang kepergian Jihan bisa berhari-hari bahkan minggu. Kini Jihan sadari, semua itu agar Elvan terhindar darinya.

Jihan menelungkupkan wajahnya di atas bantal, sungguh perih hatinya diperlakukan seperti ini. Bodoh sungguh bodoh karena Jihan tidak menyadari sedari awal, dia pikir pernikahannya akan seperti pepatah Jawa. Witing tresno jalaran seko kulino dimana cinta akan tumbuh karena terbiasa, tapi pepatah itu tidak berlaku bagi suaminya.

Jihan melirik jam di dinding, jarum jam sudah mengarah pukul tiga kurang. Jihan bangun dari ranjang dan menatap dirinya yang kacau dari cermin rias. Mata bengkak dan merah menghiasi wajahnya, tak ada lagi senyum ceria di sana.

“Baiklah, aku harus tetap mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku, tidak akan aku biarkan wanita itu berhasil memiliki Mas Elvan. Dia suamiku, sudah seharusnya aku yang menang bukan perempuan itu.” Jihan menghapus sisa-sisa air mata dan mulai merapikan rambutnya yang berantakan.

Jihan menuruni tangga menuju dapur, selama ini memang dia tidak pernah masak untuk Elvan. Semua tugas yang mengerjakan asisten rumah tangga. Selama menjadi istri Jihan hanya bertugas di ranjang dan menyiapkan pakaian saja untuk Elvan, selebihnya semua dihandle oleh dua orang asisten rumah tangga.

Bi Ratmi, wanita paruh baya berlari tergopoh-gopoh melihat tuan rumah memasuki dapur dan mulai menyiangi sayur, hal yang tidak pernah sekalipun dilakukan oleh Jihan sebelumnya. Bi Ratmi jelas heran, maka dari itu dia segera meminta semua peralatan itu dari tangan Jihan untuk mengambil alih pekerjaan.

“Nona sedang apa? Biar Bibi saja, Non yang melakukannya.”

“Tidak, Bi. Malam ini, Jihan pengen Mas Elvan makan buatan Jihan. Selama menikahkan, Mas Elvan belum pernah makan dari masakanku. Ini hari special karena aku positif hamil, Bi. Maka dari itu aku ingin memanjakan perut suamiku,” tolak Jihan ketika Bi Ratmi akan mengambil pisau serta bahan-bahan mentah yang akan dimasak.

“Tapi, Non? Bibi takut dimarahi oleh Tuan.”

Jihan menggeleng mantap. “Tidak akan, Bi. Tenang saja.”

Akhirnya Bi Ratmi pun pasrah dan membiarkan Jihan melakukan keinginannya. Bi Ratmi memilih menemani dan membantu membersihkan sayur serta daging ayam untuk di cuci. Jihan pun dengan lihai mengolah semua bahan makanan hingga matang.

Senyum mengembang, dalam hati dia berdoa supaya suaminya cocok dengan makanan yang dia masak pertama kali untuk suaminya. Mulai sekarang, dia akan merubah kebiasaannya bermalas-malasan dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri yang baik untuk Elvan.

“Cepatlah pulang, Mas. Kita makan bersama dan mari bicara dengan kepala dingin. Kita pecahkan permasalahan yang kita hadapi bersama,” gumam Jihan dalam hati.

Entah pergi kemana sebenarnya Elvan, hingga petang pun tak ada kabar berita dari lelaki itu. Suara adzan magrib berkumandang, sembari menunggu kedatangan Elvan, Jihan pun melaksanakan shalat Magrib lebih dahulu. Usai shalat, Jihan melepaskan segala keluh kesah atas kejadian yang menimpanya hari ini.

Kebenaran akan isi hati suaminya membuat diri merasa tidak berharga dalam rumah tangganya. Dulu dia begitu sombong memamerkan betapa cintanya sang suami sehingga tidak pernah melarang apapun yang dia inginkan, semua akan selalu dia dapat hanya dengan memanggil sebutan, Mas saja. Sekarang, kekuatan itu musnah seketika. Keberanian meminta, menuntut hilang dalam sekejap.

“Ya Allah, aku serahkan hidupku hanya pada-Mu. Jika memang Engkau menghendaki diri ini untuk mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, maka tunjukkan jalan-Mu dan bimbinglah aku. Permudahkan segala urusanku dan bantu setiap langkahku. Amin.”

Jihan melepas mukenanya dan sejenak berpikir. “Aku harus mulai mencari pekerjaan, aku tidak akan terus bergantung pada, Mas Elvan. Hari ini aku benar-benar dipermalukan. Baiklah Mas, akan aku tunjukkan kualitas diriku padamu. Aku bisa lebih mandiri dan baik dari pada wanita itu. Walau kamu bilang tidak pernah mencintaiku, aku akan mencoba mempertahankan rumah tangga ini demi anak kita. Syukur-syukur kamu sadar dan mau meninggalkan selingkuhanmu lalu kembali padaku.”

Seperti yang sudah menjadi rutinitas, Jihan akan lanjut berzikir dan membaca Al Qur,an hingga waktu menjelang Isya. Jihan memang bukan wanita berhijab lebar, tetapi wanita itu sadar jika dirinya muslim dan sebisa mungkin melaksanakan kewajiban sebagai umat muslim dengan baik.

Suara Mu’azzin kembali terdengar menandakan sudah masuk waktu shalat Isya, Jihan menutup Al Qur’an dan berdiri bersiap untuk melanjutkan shalat Isya usai suara mu’azzin berhenti. Jihan baru saja mengangkat tangannya sembari mengucap “Allahu akbar.”

Suara pintu dalam kamar terbuka, Jihan terus melanjutkan ibadahnya tanpa terganggu oleh kedatangan seseorang yang dia yakini bahwa itu pasti Elvan. Dari bayangan, Jihan bisa menebak Elvan menunggunya selesai shalat dan duduk di sisi ranjang.

Jihan menutup shalat dengan salam, karena di sampingnya ada Elvan, Jihan bersikap seolah tidak ada yang terjadi diantara mereka berdua. Jihan meraih tangan Elvan untuk dicium seperti biasa.

"Kau...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status