Share

Tetap Ingin Menikah

“Mas, sudah pulang?” Elvan mengangguk dan menyambut tangan Jihan untuk dicium.

“Ada yang ingin aku bicarakan padamu,” ucap Elvan datar.

Jihan tersenyum menanggapi perkataan Elvan. “Kita makan dulu, yuk! Mungkin masakanku sudah dingin sejak tadi, aku akan memanaskan dulu.” Jihan tidak mempedulikan wajah protes dari Elvan, dia terus melangkah keluar walau air mata kembali mengalir.

Elvan menarik nafas kasar melihat sikap Jihan yang seperti tidak terjadi apa-apa, tak berapa lama keningnya berkerut. “Apa dia bilang? Masak? Ck.” Elvan berdecih tidak percaya.

Selama ini, tak sekalipun Jihan mau berkutat dengan alat-alat dapur. Yang perempuan itu tahu hanya bersenang-senang, nuntut ini itu, juga bersikap sangat manja tanpa tahu tempat. Jihan sudah seperti anak kecil yang lecet sedikit saja langsung merengek. Wanita itu tidak bisa bekerja keras, tidak bisa susah walau sedikit saja.

Ternyata seperti itulah gambaran Jihan di mata Elvan, tanpa lelaki itu tahu bahwa Jihan pun  bisa mandiri. Terbukti selama ini Elvan tidak mengenali sang istri, Jihan memiliki usaha bisnis jual beli perhiasan meski tidak membuka toko. Sudah beberapa bulan terakhir uang bulanan dari Elvan, Jihan kumpulkan dan membuka usaha jual beli perhiasan. Memang belum banyak yang dia jual, hanya baru beberapa jenis saja sesuai yang dipesan temannya.

Tentu Elvan tidak tahu karena lelaki itu tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Jihan selama ini. Dirinya sudah tertutup mata dan hatinya karena wanita bernama Cristal sehingga membuat lelaki itu buta akan istri sendiri.

Elvan melangkah menuju ruang makan yang hanya dibatasi oleh tembok setengah sebagai pembatas antara dapur dan ruang makan. Dari meja makan, Elvan mengamati sang istri yang dengan cekatan memegang semua alat dapur. “Apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui?” lirih Elvan pada dirinya sendiri.

Bersamaan dengan itu, Jihan menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa suaminya sudah berada di ruang makan. Benar, Elvan ternyata sudah ada di belakangnya dan menatapnya dengan tatapan penuh arti. Jihan melempar senyum paling manis yang dia punya, hal itu membuat Elvan tertegun sejenak. Elvan memang tidak pernah memperhatikan wajah Jihan, sering kali mereka berkomunikasi dengan Elvan yang cuek tanpa mau memandang wajah wanita berstatus istri tersebut.

Jika dia ingin melakukan kewajiban memberi nafkah batin, setiap itu pula lampu kamar selalu dimatikan membuat Elvan tidak tahu seperti apa perubahan raut wajah Jihan yang kecewa dengan perbuatannya.

  Kembali Jihan berkutat dengan beberapa piring dan mangkuk untuk dibawa ke meja makan. “Silahkan, Mas. Semoga kamu suka dengan masakanku.” Elvan menerima piring dari tangan Jihan.

“Terima kasih.” Wanita itu mengangguk.

 Jihan mengamati Elvan yang tengah mencoba masakannya. “Bagaimana, Mas? Enak?”

“Lumayan untuk orang yang baru belajar masak sepertimu.” Jihan tidak mengambil hati perkataan Elvan, dia sangat menghargai kejujuran Elvan termasuk niatnya untuk menikah lagi.

Sedikit bahagia mendengar komentar dari Elvan tentang masakannya, Jihan pun turut mengambil nasi dan lauk pauk yang terhidang. Satu suapan masuk, Jihan tersenyum lebar.

“Lumayan, benar apa katamu, Mas.” Jihan menatap Elvan yang sedari tadi fokus pada makanan.

Elvan mendongak sebentar kemudian lanjut makan makanan buatan Jihan. Beberapa menit berselang, keduanya sudah selesai dengan kegiatan mengisi perut masing-masing. “Aku ingin membicarakan masalah yang terjadi di rumah, Mama.” Jihan mengangguk.

“Aku bersihkan dulu alat-alat bekas makan kita.”

“Tidak perlu, biarkan Bibi saja yang membereskan semuanya. Sekarang ayo kita ke ruang kerjaku,” ajak Elvan.

“Baiklah, tunggu sebentar, aku akan membawanya ke wastafel,” bantah Jihan lagi membuat Elvan geram.

“Bisa tidak kamu tidak membuang-buang waktukku, hah? Aku bilang ingin bicara padamu, jadi lebih baik sekarang kamu ikut aku ke ruang kerjaku,” bentak Elvan membuat Jihan berjingkat kaget.

Memegang dada kuat, Jihan tak putus beristigfar. “Iya, Mas.” Elvan pergi lebih dulu meninggalkan Jihan di belakang.

Jihan menarik nafas dalam, baru kali ini dia mendapat bentakan dari suaminya selama mereka menjalani pernikahan sejak dua tahun yang lalu. Kejuta apa lagi ini? Di rumah mertuanya, Elvan dengan tega menghina dirinya. Sekarang di rumah sendiri, lelaki itu membentaknya dengan keras. Ternyata bergitu besar pengaruh Cristal pada kepribadian Elvan, sekarang.

Berat rasanya kaki Jihan menyusul langkah Elvan menuju ruang kerja lelaki itu. Dia lelah jika harus membahas tentang pernikahan kedua suaminya. Jihan yakin, pasti Elvan akan kembali menegaskan untuk tetap menikahi Cristal. Padahal jika di telisik secara fisik, Jihan jauh di atas Cristal. Tubuhnya yang tinggi semampai dengan kulit putih tulang, hidung mancung, serta bibir tipis yang tentunya menggoda, nyatanya tak membuat Elvan menjatuhkan hati dan cinta untuknya.

“Duduklah,” pinta Elvan dingin.

Jihan duduk di kursi yang berhadapan dengan Elvan. Sejenak suasana hening, belum ada satu diantara keduanya yang mulai membuka percakapan. Elvan meraup wajah kasar lalu memandang lekat Jihan yang menunduk memainkan kain kemeja paling bawah.

“Aku rasa kamu sudah pasti bisa menebak apa yang ingin aku bicarakan padamu, di sini.” Jihan mengangguk saja, dirinya tak berani mendongak walau sekedar menatapi ekspresi pria di depannya itu.

“Jadi, aku tetap pada keputusanku untuk menikahi Cristal. Jika kamu keberatan untuk dimadu dan meminta cerai, aku akan senang hati mengabulkannya. Aku harap kamu tidak egois dengan ingin memisahkan aku dari kekasih hatiku.”

Nyes

Hati wanita mana yang tidak sakit ketika melihat dan mendengar sendiri jika sang suami mengakui wanita lain sebagai kekasih hatinya. Lalu dia? Bagaimana nasib dia dan calon anaknya? Setega itukah Elvan tidak memikirkan dirinya dan anak yang ada dalam perutnya, sekarang?

“Mas, tapi aku sedang hamil anak kamu. Apa kamu tidak kasihan terhadap kami? Apa kamu mau anakmu tumbuh tanpa kasih sayang lengkap dari kedua orang tuanya? Aku juga tetap tidak mau dimadu, Mas. Aku teguh pada pendirianku, sebaiknya kamu tinggalkan wanita itu dan kembali padaku. Kembali pada anak istrimu yang sudah menjadi tanggung jawabmu di dunia dan akhirat kelak.”

“Aku tidak peduli. Aku bisa mendapatkan keturunan dari Cristal.”

“Mas!” Pekik Jihan tidak habis pikir. Sungguh terluka hati Jihan mendapati suaminya tidak menginginkan anak yang dia kandung.

“Apa kamu begitu membenciku?” Tanya Jihan lirih.

Wajah yang tadi berapi-api seketika melunak. Elvan menatap manik mata Jihan yang sudah berkaca-kaca. “Tidak, aku tidak membencimu. Hanya saja, aku ingin mendapatkan kebahagiaanku sendiri. Sudah cukup aku rasa membuat semua orang tersenyum dan bahagia di atas penderitaanku. Kini tidak lagi, dengan segala kerendahan hatiku, aku minta padamu untuk menyetujui pernikahan keduaku. Jika kamu tetap ingin bertahan, maka aku akan bersikap adil dan membuka hatiku untukmu juga. Namun jika kamu ingin berpisah dariku, tolong beri pengertian pada kedua orang tuaku lebih dahulu dan meyakinkan mereka agar mau menerima Cristal sebagai penggantimu.”

“Tapi Papa dan Mama menolak keras dan memperingatkanmu, mereka akan membuangmu jika tetap menikahi Cristal. Kamu akan dicoret dari daftar ahli waris mereka, Mas. Sebaiknya….”

“Aku tidak peduli, aku rela menjadi gelandangan asal bisa hidup bersama dengan Cristal. Aku hanya ingin menikah dan hidup bahagia dengan Cristal meski aku harus tinggal di kolong jembatan sekalipun, aku tidak masalah.” Elvan memotong kalimat Jihan.

Cairan bening langsung menurun bebas dari pelupuk mata Jihan. “Sebesar itukah cintamu padanya, Mas? Jawab jujur, apa secuil pun tidak ada namaku di hatimu, Mas?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status