"Anjani! Tunggu Anjani!" pekik ibunya Mas Rendy sambil berlari ke arahku. "Makin ngelunjak, ya, kamu! Maksudnya apa kamu menjual rumah ini?!"
"Ini rumahku. Suka-suka aku mau menjualnya atau tidak," jawabku dengan wajah ketus. Ya, aku memutuskan menjual rumah yang sekarang aku tempati. Selain ingin jauh dari Mas Rendy, aku sudah tak nyaman tinggal di sini karena pernah dipergunakan untuk berzina. Mana mau aku terkena sialnya. "Enak aja kamu jual! Kembalikan dulu uangku!" Aku menatap ibunya Mas Rendy tajam. "Nggak mau! Uangku udah habis buat bayar hutang-hutang Mas Rendy." "Itu namanya enak di kamu susah di ibu. Hutang itu kan untuk makan dan keperluan Chika. Wajarlah kamu yang membayarnya. Apa gunanya kamu kerja jauh-jauh sampe luar negeri kalo bukan untuk Chika." Hari masih terlalu pagi. Namun, emosi ini sudah naik gara-gara ibunya Mas Rendy. Entah kapan ucapannya tidak membuatku sakit hati. "Bu, Mas Rendy itu ayahnya Chika. Seharusnya dia yang menafkahi Chika. Jadi anggap saja uang Ibu itu sebagai ganti nafkah Chika yang selama ini diabaikan Mas Rendy. Lagipula, dulu aku sudah mengganti uang Ibu. Coba Ibu tanya ke Mas Rendy, ke mana uang itu pergi. Kenapa tidak sampai di tangan Ibu." Ibunya Mas Rendy bergeming. Wanita yang kini berusia lima puluh lima tahun itu seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. "Lebih baik Ibu pulang. Jangan menuntut apa-apa di sini. Jangan buat kesabaranku habis. Jangan buat aku memperpanjang masalah tentang Chika ke polisi." Mendengar ucapanku, ibunya Mas Rendy kaget. Wajahnya seketika berubah. Aku yakin, dia tak ingin berurusan dengan pihak berwenang meski sepantasnya dia dihukum sekarang. Ya, seperti yang telah aku duga sebelumnya. Chika tidak diurus dengan baik oleh Mas Rendy dan neneknya. Bahkan, Chika selalu mendapat tekanan dari mereka. Salah sedikit saja, Chika akan dihukum dengan hukuman yang tidak sesuai dengan kesalahannya. Soal makan, Chika juga teraniaya. Dia sering kelaparan karena tak ada yang memasakkan makanan untuknya. Chika juga tidak pernah dibelikan baju baru meski hari lebaran. Bocah itu hanya dibelikan baju bekas di pasar. Dan ... dia akan diminta berbohong padaku perihal itu. Parahnya, Mas Rendy malah membelikan Dea, anaknya Mbak Mira yang bungsu pakaian dan juga mainan. Kejam! Semua itu aku ketahui dari Chika sendiri. Bocah itu akhirnya mau jujur setelah aku tanya berulangkali. Miris. Pasti. Dan ... hal itu membuatku semakin dendam pada Mas Rendy dan ibunya. Apa yang terjadi membuatku merasa bersalah. Ya, harusnya aku bisa lebih peka sebagai ibu ketika melihat tubuh kurus Chika ketika bicara lewat video call. Namun, semua tak guna disesali. Terpenting kini, Chika sudah ada dalam pengawasanku. *** "Terima kasih banyak, ya, Pak, Buk. Semoga betah tinggal di sini," kataku pada pembeli rumahku. Kami saling berjabat tangan dan mengumbar senyum. Alhamdulillah, rumah penuh kenangan pahit ini akhirnya terjual dengan cepat. Allah sudah mempermudah urusanku. Semoga setelah ini aku dan Chika bisa memulai kehidupan baru yang lebih baik. "Bunda ... terus sekarang kita tinggal di mana? Rumahnya, kan udah Bunda jual." Chika bertanya dengan wajah polos khas anak-anak. "Sebelum kita beli rumah yang baru, sementara kita tinggal di kos-kosan dulu. Nanti kalo dah nemu rumah yang pas, baru kita pindah ke rumah baru kita, ya." "Terus ayah gimana, Bunda? Ayah nggak ikut kita pindah?" Aku menghela napas panjang. Chika masih anak-anak. Dia tidak tahu masalah orang dewasa. Namun, aku harus menjawab jujur jika bundanya ini sudah tidak bisa tinggal bersama ayahnya lagi. "Maaf, ya, Nak. Tapi bunda nggak bisa ajak ayah kamu ikut. Bunda ...." Ada sesak yang tiba-tiba menjalari dada ini. Membuat lidahku kelu tak mampu melanjutkan ucapan. "Karena Tante Mira, ya, Bunda? Aku tau, kok. Tante Mira memang jahat. Dia rebut ayah dari aku dan Bunda." Chika berkata dengan nada emosi. Matanya tampak berkaca-kaca karena benda bening mulai merembes dari sudut netranya.. Aku langsung memeluk tubuh Chika. Mendekapnya penuh kasih sayang. Berharap beban derita yang selama ini dia tanggung bisa sedikit berkurang. "Maafin bunda, Nak. Kalau saja bunda nggak ninggalin kamu, mungkin semua itu tidak akan kamu rasakan." Chika akhirnya menangis sesenggukan. Bocah delapan tahun itu menumpahkan semua sakit yang menderanya dalam dekapanku. "Anjani!" Seseorang yang tak asing terdengar memanggil. "Mana uang hasil penjualan rumah? Aku minta bagian!" Mas Rendy memang tidak punya adab. Pria itu juga tidak punya rasa malu. Bisa-bisanya dia minta bagian hasil penjualan rumah. Padahal satu rupiah pun, tak ada uangnya keluar untuk membeli rumah ini. Dasar pria sampah! Melihat ayahnya datang, Chika semakin erat memelukku. Matanya berbicara bahwa dia trauma pada pria itu. "Ternyata keputusanku bercerai dari kamu nggak salah, ya, Mas. Tapi aku menyesal kenapa baru sekarang aku tahu semua kebusukan kamu." "Hah! Jangan banyak omong! Cepat mana bagianku! Jangan serakah kamu!" "Hei, laki-laki nggak tau diri! Jangan mimpi aku akan kasi kamu bagian penjualan rumah ini. Rumah ini murni terbeli dari hasil kerja kerasku! Harusnya kamu malu minta bagian!" "Kamu jangan lupa! Kamu bisa ke luar negeri karena siapa? Karena aku! Aku yang waktu itu mengurus keberangkatan kamu. Aku juga yang selama ini merawat dan membersihkan rumah ini. Itu semua tidak gratis!" Mas Rendy sangat-sangat membuatku muak. Bisa-bisanya dia mengungkit hal seperti itu. Rumah kotor dan berdebu katanya dirawat? Ya, Tuhan ... kenapa setelah semuanya terlambat baru aku sadar kalau dia tidak pantas dijadikan suami. "Dengar, ya, Mas! Satu rupiah pun aku nggak akan kasi kamu. Aku mohon jangan ganggu aku dan Chika lagi. Urus aja Mira dan anak-anaknya yang lebih kamu sayangi ketimbang Chika, anak kandungmu sendiri." Aku menarik koper dan memimpin tangan Chika. Namun, di luar dugaan, tiba-tiba Mas Rendy menarik paksa tangan Chika. Akibatnya tangan bocah itu terlepas dari genggamanku. "Bunda!" pekik Chika. Tangannya berusaha menggapaiku. "Mau kamu apakan Chika!? Lepaskan Chika!" Aku membentak Mas Rendy penuh emosi. "Jangan sampai aku berteriak. Jangan mentang-mentang waktu itu aku sabar nggak berteriak manggil warga, sekarang kamu jadi besar kepala!" "Aku mau bawa Chika. Dia nggak boleh ikut kamu!" "Nggak mau! Chika nggak mau! Bunda tolong!" Chika terus meronta-ronta ingin melepaskan diri dari cengkeraman tangan Mas Rendy. "Mau kamu buat sengsara lagi si Chika! Cukup, ya, Mas jangan buat aku muak!" Aku memukul kepala Mas Rendy dengan tas tangan milikku yang lumayan berat. Setelah itu meraih tubuh Chika dari cengkeramannya. Puas sekali rasanya melihat Mas Rendy kesakitan. Dia pikir aku wanita lemah yang tak berani melawannya. "Kurang aj*r kamu, Anjani! Awas kamu!" "Sudah aku bilang jangan ganggu aku dan Chika. Sampai bertemu lagi di pengadilan." Aku bergegas meninggalkan Mas Rendy yang masih terbungkuk kesakitan. Dulu pria itu pernah mengalami kecelakaan kerja. Bagian kepalanya cedera cukup parah. Mungkin sebab itu jika terpukul sedikit saja nyeri yang ditimbulkan luar biasa. "Nah ... ini dia orang yang saya cari-cari. Kamu Anjani istrinya Rendy, kan?" Bersambung ....Wanita Lain di Ranjang Suamiku (9)Ungkapan hati Pak Harris membuat darahku berdesir. Ternyata dia adalah pria buaya sama seperti Mas Rendy. Dia itu sudah menikah, eh bisa-bisanya bicara seperti itu padaku."Saya harus pergi. Terima kasih atas bantuan Anda pada putri saya." Aku berdiri. Sudah tak tahan lagi berlama-lama di tempat ini."Anjani." Pak Harris meraih pergelangan tanganku. "Saya belum selesai bicara," sambungnya tanpa ada rasa bersalah. Matanya menatapku lekat seolah-olah mencegahku jangan pergi.Aku mengibaskan tangannya. "Jangan sentuh saya!""Ma-maaf," kata Pak Harris. Kini dia menunduk. Mungkin merasa segan karena refleks memegang tangan ini tadi.Aku tak lagi menoleh ke Pak Harris. Aku segera masuk ke dalam kafe untuk mengajak Chika pergi. Niat hati mau mencari rumah, eh malah bertemu buaya cap sampah."Anjani! Tolong dengarkan saya. Saya nggak maksud untuk mempermainkan kamu. Saya—""Saya sibuk banyak urusan!" Dengan terpaksa aku melihat ke arah Pak Harris yang ternya
Wanita Lain di Ranjang Suamiku (8)Mendapat pertanyaan seperti itu dari pria berjas hitam tadi, seketika membuatku menunduk malu. Dasar ceroboh! Bisa-bisanya aku melihat orang tanpa berkedip."Kamu belum menjawab pertanyaan saya, lho. Kenapa tadi ngelihatin saya begitu?"Aku mendongakkan kepala, kembali melihat orang berwajah tampan di hadapan. Dan ... akhirnya ingatan ini bekerja dengan sempurna. Sekarang, aku sudah ingat siapa dia."Maaf, saya cuma refleks karena kaget. Maaf kalau Anda tidak nyaman."Pria itu mengangguk, kemudian tanpa aku duga dia menarik kursi kosong dan duduk di sampingku. "Masa iya cuma refleks? Saya, nggak percaya."Entah kenapa, tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Rasanya canggung sekali berada satu meja dengan Pak Harris. Ya, nama pria itu adalah Harris. Bos tempatku bekerja sebelum menjadi TKW sekaligus pemilik sanggraloka terbesar di kota ini.Aku tidak tahu kenapa kami bisa bertemu di sini. Namun, aku yakin tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua ya
Wanita Lain di Ranjang Suamiku (7)"Pak Wahyu? Ada apa, ya sepertinya ada yang penting?" tanyaku pada Pak Wahyu. Beliau adalah pemilik toko bangunan di desa kami."Begini Anjani, saya ke sini mau nagih hutang sama kamu. Kata Bu Ida, mertuamu, kamu mau bayar hutangmu hari ini."Penuturan Pak Wahyu sontak membuatku kaget. Kenapa lagi-lagi aku dihadapkan dengan utang tidak jelas? Pasti ini ulah Mas Rendy dan ibunya lagi. Dasar keluarga sampah cuma bisa membuatku susah."Hutang apa, ya, Pak? Saya merasa nggak pernah punya utang ke Bapak?""Memang bukan kamu yang berhutang ke toko saya, Anjani. Tapi nama kamu yang dipakai Rendy dalam catatan bon saya."Astaghfirullah! Mas Rendy benar-benar jahat! Tega sekali dia menjadikan diri ini tumbal demi bisa berhutang. Aku jadi penasaran, bahan bangunan apa yang diambil dari toko Pak Wahyu? Sementara tak satu pun dari bagian rumah berubah. Termasuk beranda yang katanya waktu itu direnovasi."Begini, Pak Wahyu. Saya benar-benar tidak tahu perihal ini
"Anjani! Tunggu Anjani!" pekik ibunya Mas Rendy sambil berlari ke arahku. "Makin ngelunjak, ya, kamu! Maksudnya apa kamu menjual rumah ini?!""Ini rumahku. Suka-suka aku mau menjualnya atau tidak," jawabku dengan wajah ketus.Ya, aku memutuskan menjual rumah yang sekarang aku tempati. Selain ingin jauh dari Mas Rendy, aku sudah tak nyaman tinggal di sini karena pernah dipergunakan untuk berzina. Mana mau aku terkena sialnya."Enak aja kamu jual! Kembalikan dulu uangku!"Aku menatap ibunya Mas Rendy tajam. "Nggak mau! Uangku udah habis buat bayar hutang-hutang Mas Rendy.""Itu namanya enak di kamu susah di ibu. Hutang itu kan untuk makan dan keperluan Chika. Wajarlah kamu yang membayarnya. Apa gunanya kamu kerja jauh-jauh sampe luar negeri kalo bukan untuk Chika."Hari masih terlalu pagi. Namun, emosi ini sudah naik gara-gara ibunya Mas Rendy. Entah kapan ucapannya tidak membuatku sakit hati."Bu, Mas Rendy itu ayahnya Chika. Seharusnya dia yang menafkahi Chika. Jadi anggap saja uang I
Aku menatap geram wajah Mas Rendy. Aku sangat yakin dialah biang semua masalah. Dia harus tanggung jawab karena sudah membuat kacau balau hidupku."Ke mana semua uang yang aku kirim ke kamu, Mas? Apa benar yang Ibu bilang?"Mas Rendy gelagapan. Dia seperti tengah berpikir keras untuk memberikan jawaban yang terbaik."Jawab!" seruku lantang. Aku benar-benar kehilangan kesabaran dan akal sehat sekarang. Siapa yang tak marah jika dibohongi, dibodohi dan diselingkuhi oleh suami sendiri?"Jangan teriak-teriak, Anjani! Nggak malu kamu sama tetangga?""Ibu diam! Jangan ikut campur!"Aku bahkan kehilangan rasa hormat dan sopan santun pada orang tua. Toh, dia juga tidak pernah memperlakukan diri ini layaknya menantu. Selama ini, ibunya Mas Rendy hanya melihat kekurangan dan kesalahanku saja."Istrimu memang keterlaluan, Ren. Ibu yang ngurus Chika, tapi dia sama sekali tidak menghormati ibu." Ibu menangis. Dia pikir aku peduli?Drama! Aku muak dengan semua ini. Ya Allah ... ampuni hamba, tapi h
"Kurang aj*r sekali kamu mengusir anakku!" teriak orang itu lagi sambil terus mempercepat langkahnya agar cepat sampai di dekatku. "Mentang-mentang sekarang udah kaya, udah bisa beli ini itu. Sombongnya selangit!"Hati ini bertambah sakit mendengar ucapan ibu mertuaku. Bisa-bisanya marah-marah padahal belum tahu masalah sebenar. Seharusnya cari tahu dulu karena apa aku mengusir anak tercintanya itu."Bunda ...," teriak Chika sembari menghambur ke pelukanku. "Bunda udah pulang? Chika kangen Bunda." Chika berkata sambil terus memelukku. Ya, Allah, putriku ternyata sudah besar. Ada rasa bersalah dalam dada karena tidak bisa hadir dalam tiap pertumbuhannya.Kuciumi Chika dengan air mata berlinangan. Sesak sekali dada ini mengingat kebahagiaan kami sudah tak bisa seperti dulu lagi setelah ini. Chika pasti yang akan menjadi korban atas apa yang terjadi."Bunda kenapa nangis?""Bunda bahagia, Nak. Bunda senang akhirnya bisa meluk kamu. Maaf, ya bunda baru pulang sekarang," jawabku dengan air