Aku menatap geram wajah Mas Rendy. Aku sangat yakin dialah biang semua masalah. Dia harus tanggung jawab karena sudah membuat kacau balau hidupku.
"Ke mana semua uang yang aku kirim ke kamu, Mas? Apa benar yang Ibu bilang?" Mas Rendy gelagapan. Dia seperti tengah berpikir keras untuk memberikan jawaban yang terbaik. "Jawab!" seruku lantang. Aku benar-benar kehilangan kesabaran dan akal sehat sekarang. Siapa yang tak marah jika dibohongi, dibodohi dan diselingkuhi oleh suami sendiri? "Jangan teriak-teriak, Anjani! Nggak malu kamu sama tetangga?" "Ibu diam! Jangan ikut campur!" Aku bahkan kehilangan rasa hormat dan sopan santun pada orang tua. Toh, dia juga tidak pernah memperlakukan diri ini layaknya menantu. Selama ini, ibunya Mas Rendy hanya melihat kekurangan dan kesalahanku saja. "Istrimu memang keterlaluan, Ren. Ibu yang ngurus Chika, tapi dia sama sekali tidak menghormati ibu." Ibu menangis. Dia pikir aku peduli? Drama! Aku muak dengan semua ini. Ya Allah ... ampuni hamba, tapi hamba sudah tidak bisa bertoleransi dengan sikap buruk ibu mertua. "Ngurus Chika jangan disangkutpautkan, Bu. Kalau memang Ibu minta bayaran lebih, nanti aku kasi." "Sombong! Kamu pikir aku ini orang lain? Aku neneknya." "Sadar pun Ibu neneknya. Tapi kenapa dari tadi ngungkit itu terus? Pun seharusnya Chika itu sehat, gendut. Tapi kenyataannya, dia kurus, lusuh dan biaya sekolahnya nggak terpenuhi. Padahal, tiap bulan aku udah kirim uang ke rekening Mas Rendy. Dan kalo ditukarkan ke rupiah, nilainya lima belas juta. Sepuluh juta untuk Mas Rendy dan Chika. Lima juta untuk Ibu. Tapi kenapa Mas Rendy sampai minjam uang sama orang? Apa masih kurang uang segitu?" Ibu dan Mas Rendy terdiam. Mereka tak berani lagi untuk berkata-kata. Mereka pikir aku akan diam setelah tahu kezaliman yang mereka perbuat? Oh, no! "Atau jangan-jangan, uangnya kamu kasiin ke Mira? Benar, kan, Mas! Jawab aku!" Mendengar namanya disebut, Mbak Mira terlihat resah. Wajahnya jelas menggambarkan ketakutan dan kegundahan. "Iya, kan, Mira! Benar, kan Mira?!" Kini aku menuntut jawaban pada Mbak Mira. Wanita ja*ang itu benar-benar kurang aj*r. Diam-diam dia telah menghancurkan hidupku. "Anjani, sudah, ya. Tahan emosi kamu. Aku nggak mungkin kasi uang itu ke Mbak Mira. Kebutuhan sekarang, kan serba mahal. Jadi—" "Jadi kamu nafkahi si Mira pakai uangku. Begitu, kan?! Nggak perlu kamu jelaskan lagi, Mas. Semakin kamu menjelaskan, semakin nampak semua kebohongan kamu. Lebih baik kamu pergi sekarang. Bawa ibu kamu dan juga selingkuhanmu!" "Anjani, aku—" "Udahlah, Ren. Biarkan saja Anjani. Ibu yakin setelah ini dia akan menyesal. Dia itu terlalu terbawa emosi dan nggak mau mendengar penjelasan kamu. Untuk apa kamu mempertahankan istri seperti dia? Toh, dari dulu ibu nggak suka sama dia. Kamu aja yang ngeyel mau nikah sama dia." Kata-kata ibu mertua bagaikan katana tak kasat mata. Karena mampu melukai hati ini tanpa aba-aba. Tega sekali. Sial, air mata ini kembali jatuh. Sudah berulang kali aku menyekanya. Namun, benda itu dengan kurang aj*arnya terus mengalir. "Pokoknya secepatnya kamu harus mengganti uangku yang kamu pakai untuk beli tanah dan rumah ini. Kalau nggak, aku dan Rendy akan laporkan kamu ke polisi!" Ibu mertuaku berlalu pergi. Diikuti oleh Mas Rendy dengan langkah gontai. Sementara Mbak Mira juga ngeloyor pergi. Nasibnya masih mujur, karena aku tak jadi mengaraknya keliling kampung dan meneriakinya pelakor. Ya, Allah, sungguh ini tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Pernikahan yang mati-matian aku pertahankan akhirnya kandas di tengah jalan. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Berbagai cerita telah aku dan Mas Rendy ukir bersama. Namun kini, semua hanya tinggal kenangan yang teramat menyakitkan untuk diingat. Rasa benci pada Mas Rendy telah memenuhi rongga dada ini. Namun, aku tak munafik. Pada kenyataannya, rasa cinta ini masih ada untuknya. Karena, bagaimanapun kami adalah sepasang suami istri yang disatukan dengan cinta. Maka tidak mudah bagiku untuk langsung melupakannya. Setelah semua orang pergi, aku menutup pintu rumah dengan hati berantakan. Semua yang terjadi berbanding terbalik dengan yang aku khayalkan. Kini, aku kembali menangis. Tergugu dalam kesendirian. "Bunda ...." Panggilan dari Chika membuatku kaget. Aku buru-buru menyeka air mata ini. Putriku tak boleh tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Bunda masih nangis? Sebenarnya Bunda kenapa? Tadi aku dengar Bunda berantem sama ayah dan nenek. Bunda dimarahin mereka, ya?" Aku menggeleng cepat. Sebisa mungkin aku menahan air mata yang kembali hendak luruh. Kenyataannya hati ini sangat sakit sekarang dan aku tak cukup kuat untuk berpura-pura bahagia. Dengan lembut Chika mengusap air mataku. Tangannya yang sangat kurus terlihat menggigil. Entah derita apa yang selama ini dia tanggung. Aku bersumpah akan membuat perhitungan pada ibu mertua dan Mas Rendy jika benar mereka sudah menyia-nyiakan Chika selama ini. "Bunda ... jangan nangis," ucap Chika dengan nada bergetar. Air matanya kini mengalir bebas di wajahnya yang tirus. "Aku nggak mau Bunda sedih seperti yang aku rasain. Bunda harus bahagia." Ya, Rabb ... apa maksud ucapan Chika? *** Langit mendung mengiringi perjalananku menuju pengadilan agama pagi ini. Alam seolah-olah tahu hatiku sedang dipenuhi kelabu. Keputusanku bercerai dengan Mas Rendy sudah bulat. Pria itu tidak perlu lagi diberikan kesempatan. Terlalu banyak luka yang dia berikan padaku. Jadi lebih baik, pernikahan kami diakhiri saja. Setelah urusanku usai di pengadilan agama, aku berniat menjual semua perhiasan yang aku miliki. Aku memilih mengalah membayar ulang uang ibunya Mas Rendy daripada manusia serakah itu memperpanjang masalah. Aku ingin hidup tenang tanpa bayang-bayang mereka. Toh, uang bisa dicari lagi. Yang penting, mentalku sehat agar Chika bahagia bersamaku. Setelah kejadian semalam, Chika belum mau bercerita banyak padaku. Padahal, aku ingin tahu bagaimana perlakuan ayah dan neneknya ketika diri ini tak ada di sampingnya. "Eh, Anjani ... kapan pulang?" Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Aku baru saja tiba di toko perhiasan. "Eh, Bu Mia. Baru kemarin, Bu. Bu Mia apa kabar?" "Alhamdulillah, saya baik. Sukses, ya sekarang. Mainnya aja ke toko emas." "Alhamdulillah," jawabku. Sejujurnya aku malas menanggapi. Karena ujung-ujungnya tetanggaku akan komentar panjang lebar. Hanya buang waktu meladeninya. "Jangan alhamdulilah aja, Anjani. Bayar, hutang suami kamu. Udah mau setahun, lho nggak lunas-lunas." Utang? Utang apa lagi? Kenapa Mas Rendy menciptakan segudang utang dan kenapa dibebankan padaku? Sumpah, aku kaget mendengar ucapan Bu Mia. "Hutang apa, ya, Bu? Saya beneran nggak tau?" "Ya, sembako lah. Apa lagi? Rendy sering banget ambil sembako di warung saya. Kadang telor, mie, sarden, roti. Katanya si Chika belum makan. Kamu nggak ada ngirim uang. Sementara gaji dia habis buat keperluan sekolah Chika. Karena kasihan, ya saya kasi. Eh, malah nggak dibayar-bayar. Nah, mumpung ketemu kamu, tolonglah dilunasi. Masa beli emas bisa, bayar hutang nggak bisa." Astaghfirullah. Kebenaran apa ini, ya, Allah? Inilah jawaban kenapa Chika badannya kurus. Awas kamu Mas Rendy! Tunggu pembalasanku! Bersambung ....Wanita Lain di Ranjang Suamiku (9)Ungkapan hati Pak Harris membuat darahku berdesir. Ternyata dia adalah pria buaya sama seperti Mas Rendy. Dia itu sudah menikah, eh bisa-bisanya bicara seperti itu padaku."Saya harus pergi. Terima kasih atas bantuan Anda pada putri saya." Aku berdiri. Sudah tak tahan lagi berlama-lama di tempat ini."Anjani." Pak Harris meraih pergelangan tanganku. "Saya belum selesai bicara," sambungnya tanpa ada rasa bersalah. Matanya menatapku lekat seolah-olah mencegahku jangan pergi.Aku mengibaskan tangannya. "Jangan sentuh saya!""Ma-maaf," kata Pak Harris. Kini dia menunduk. Mungkin merasa segan karena refleks memegang tangan ini tadi.Aku tak lagi menoleh ke Pak Harris. Aku segera masuk ke dalam kafe untuk mengajak Chika pergi. Niat hati mau mencari rumah, eh malah bertemu buaya cap sampah."Anjani! Tolong dengarkan saya. Saya nggak maksud untuk mempermainkan kamu. Saya—""Saya sibuk banyak urusan!" Dengan terpaksa aku melihat ke arah Pak Harris yang ternya
Wanita Lain di Ranjang Suamiku (8)Mendapat pertanyaan seperti itu dari pria berjas hitam tadi, seketika membuatku menunduk malu. Dasar ceroboh! Bisa-bisanya aku melihat orang tanpa berkedip."Kamu belum menjawab pertanyaan saya, lho. Kenapa tadi ngelihatin saya begitu?"Aku mendongakkan kepala, kembali melihat orang berwajah tampan di hadapan. Dan ... akhirnya ingatan ini bekerja dengan sempurna. Sekarang, aku sudah ingat siapa dia."Maaf, saya cuma refleks karena kaget. Maaf kalau Anda tidak nyaman."Pria itu mengangguk, kemudian tanpa aku duga dia menarik kursi kosong dan duduk di sampingku. "Masa iya cuma refleks? Saya, nggak percaya."Entah kenapa, tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Rasanya canggung sekali berada satu meja dengan Pak Harris. Ya, nama pria itu adalah Harris. Bos tempatku bekerja sebelum menjadi TKW sekaligus pemilik sanggraloka terbesar di kota ini.Aku tidak tahu kenapa kami bisa bertemu di sini. Namun, aku yakin tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua ya
Wanita Lain di Ranjang Suamiku (7)"Pak Wahyu? Ada apa, ya sepertinya ada yang penting?" tanyaku pada Pak Wahyu. Beliau adalah pemilik toko bangunan di desa kami."Begini Anjani, saya ke sini mau nagih hutang sama kamu. Kata Bu Ida, mertuamu, kamu mau bayar hutangmu hari ini."Penuturan Pak Wahyu sontak membuatku kaget. Kenapa lagi-lagi aku dihadapkan dengan utang tidak jelas? Pasti ini ulah Mas Rendy dan ibunya lagi. Dasar keluarga sampah cuma bisa membuatku susah."Hutang apa, ya, Pak? Saya merasa nggak pernah punya utang ke Bapak?""Memang bukan kamu yang berhutang ke toko saya, Anjani. Tapi nama kamu yang dipakai Rendy dalam catatan bon saya."Astaghfirullah! Mas Rendy benar-benar jahat! Tega sekali dia menjadikan diri ini tumbal demi bisa berhutang. Aku jadi penasaran, bahan bangunan apa yang diambil dari toko Pak Wahyu? Sementara tak satu pun dari bagian rumah berubah. Termasuk beranda yang katanya waktu itu direnovasi."Begini, Pak Wahyu. Saya benar-benar tidak tahu perihal ini
"Anjani! Tunggu Anjani!" pekik ibunya Mas Rendy sambil berlari ke arahku. "Makin ngelunjak, ya, kamu! Maksudnya apa kamu menjual rumah ini?!""Ini rumahku. Suka-suka aku mau menjualnya atau tidak," jawabku dengan wajah ketus.Ya, aku memutuskan menjual rumah yang sekarang aku tempati. Selain ingin jauh dari Mas Rendy, aku sudah tak nyaman tinggal di sini karena pernah dipergunakan untuk berzina. Mana mau aku terkena sialnya."Enak aja kamu jual! Kembalikan dulu uangku!"Aku menatap ibunya Mas Rendy tajam. "Nggak mau! Uangku udah habis buat bayar hutang-hutang Mas Rendy.""Itu namanya enak di kamu susah di ibu. Hutang itu kan untuk makan dan keperluan Chika. Wajarlah kamu yang membayarnya. Apa gunanya kamu kerja jauh-jauh sampe luar negeri kalo bukan untuk Chika."Hari masih terlalu pagi. Namun, emosi ini sudah naik gara-gara ibunya Mas Rendy. Entah kapan ucapannya tidak membuatku sakit hati."Bu, Mas Rendy itu ayahnya Chika. Seharusnya dia yang menafkahi Chika. Jadi anggap saja uang I
Aku menatap geram wajah Mas Rendy. Aku sangat yakin dialah biang semua masalah. Dia harus tanggung jawab karena sudah membuat kacau balau hidupku."Ke mana semua uang yang aku kirim ke kamu, Mas? Apa benar yang Ibu bilang?"Mas Rendy gelagapan. Dia seperti tengah berpikir keras untuk memberikan jawaban yang terbaik."Jawab!" seruku lantang. Aku benar-benar kehilangan kesabaran dan akal sehat sekarang. Siapa yang tak marah jika dibohongi, dibodohi dan diselingkuhi oleh suami sendiri?"Jangan teriak-teriak, Anjani! Nggak malu kamu sama tetangga?""Ibu diam! Jangan ikut campur!"Aku bahkan kehilangan rasa hormat dan sopan santun pada orang tua. Toh, dia juga tidak pernah memperlakukan diri ini layaknya menantu. Selama ini, ibunya Mas Rendy hanya melihat kekurangan dan kesalahanku saja."Istrimu memang keterlaluan, Ren. Ibu yang ngurus Chika, tapi dia sama sekali tidak menghormati ibu." Ibu menangis. Dia pikir aku peduli?Drama! Aku muak dengan semua ini. Ya Allah ... ampuni hamba, tapi h
"Kurang aj*r sekali kamu mengusir anakku!" teriak orang itu lagi sambil terus mempercepat langkahnya agar cepat sampai di dekatku. "Mentang-mentang sekarang udah kaya, udah bisa beli ini itu. Sombongnya selangit!"Hati ini bertambah sakit mendengar ucapan ibu mertuaku. Bisa-bisanya marah-marah padahal belum tahu masalah sebenar. Seharusnya cari tahu dulu karena apa aku mengusir anak tercintanya itu."Bunda ...," teriak Chika sembari menghambur ke pelukanku. "Bunda udah pulang? Chika kangen Bunda." Chika berkata sambil terus memelukku. Ya, Allah, putriku ternyata sudah besar. Ada rasa bersalah dalam dada karena tidak bisa hadir dalam tiap pertumbuhannya.Kuciumi Chika dengan air mata berlinangan. Sesak sekali dada ini mengingat kebahagiaan kami sudah tak bisa seperti dulu lagi setelah ini. Chika pasti yang akan menjadi korban atas apa yang terjadi."Bunda kenapa nangis?""Bunda bahagia, Nak. Bunda senang akhirnya bisa meluk kamu. Maaf, ya bunda baru pulang sekarang," jawabku dengan air