Share

Uang Bulanan

Bab 4

Riri yang membaca situasi sudah tak mengenakkan segera menghindar. Dia berlari kecil menjauhi tempat itu, sehingga luput dari amukan Arnando. Meski tidak hafal dengan lika-liku rumah ini, tetapi tanpa sadar Riri berjalan melewati pintu samping yang terhubung dengan kamar pribadi Leo.

"Kenapa kamu meninggalkanku sendirian? Memangnya kamu pikir menghadapi orang tuamu itu mudah?" protes Riri. Dia yang dengan segera bisa menemukan kamar Leo, membuka pintunya yang memang sudah tidak terkunci. Riri melangkah masuk dengan wajah masam.

Leo yang tengah berbaring segera bangkit, spontan menepuk-nepuk kasur di sisinya. 

"Duduk dulu, Ri. Aku tahu itu bukan hal yang mudah, tapi kamu baik-baik saja, bukan? Kamu nggak diapa-apain sama mereka, kan?"

Gadis itu menggeleng. "Tapi aku harus berdebat habis-habisan dengan mereka. Itu pun aku tidak yakin bisa membuat mereka berpikir dan memberikan restu pada rencana pernikahan kita," ungkapnya.

"Dengan restu atau tidak, pernikahan kita tetap akan berlangsung. Aku sudah mempersiapkannya dengan matang. Asisten pribadiku sudah mengurus, jadi kamu tinggal terima beres," ujar lelaki itu panjang lebar. Dia kembali merangkul Riri yang kini tengah duduk di sampingnya.

"Tidak ada pernikahan tanpa restu, Mas. Tolong pikirkan kembali rencanamu. Sebenarnya aku merasa berat jika terus-menerus dipaksa berakting seperti ini. Kita bukan cuma membohongi keluargamu, tapi juga keluargaku." Gadis itu mengingatkan. Di sisa waktunya, Riri berharap akan ada keajaiban yang bisa merubah keputusan lelaki itu. Bagaimanapun, dia masih merasa berat untuk menjalani pernikahan dengan Leo. Tidak pernah terbayang di benaknya jika dia harus menikah kontrak dengan seseorang. Meskipun batasnya tidak tercantum di perjanjian, tetapi Riri merasa sudah mempermainkan pernikahan. 

"Ini tidak benar!" Batinnya terus mengingatkan.

"Itu berlaku buat orang lain. Sedangkan kita menikah dengan sebuah perjanjian. Adanya restu atau tidak, itu tidak jadi masalah. Kamu masih ingat dengan tugasmu, bukan?" ucap Leo santai. 

Riri menghembuskan nafasnya dalam-dalam. "Aku mengerti, Mas. Ya sudahlah. Terserah kamu saja, yang penting kamu tidak lupakan janjimu...."

"Jangan khawatir. Kita ini saling menguntungkan, jadi kamu pun akan mendapatkan keuntungan dariku." Leo menatap kalung yang dikenakan Riri. Kalung pemberiannya itu masih saja melingkar di leher gadis itu. Kalung yang sengaja dibelinya dadakan di sebuah toko perhiasan. Harganya memang tidak terlalu fantastis, meski bagi ukuran Riri kalung itu sangat mahal. Waktu itu dia tidak terpikir untuk membawa Riri saat membeli perhiasan. Leo sengaja memilih kalung supaya ia tidak salah ukuran. Yang terpenting ia melamar Riri di hadapan ibunya. Selebihnya, apa pedulinya? Toh itu hanya akting!

Seminggu kemudian Riri dan Leo fitting baju pengantin. Walaupun ini hanya pernikahan pura-pura dan akan dilangsungkan secara sederhana dan tertutup, tapi tetap saja gaun pengantin menjadi prioritas Leo. Dia ingin memberikan kesan bahwa pernikahan ini nyata, bukan hanya pernikahan di atas kertas. Tentu saja ini demi meyakinkan kedua orang tuanya dan juga keluarga Riri, bahwa dia benar-benar serius dengan gadis pilihannya.

"Gimana perasaanmu sekarang, Ri? Apakah kamu masih tertekan?" tanya Leo tanpa menoleh pada gadis di sampingnya.

"Mas sudah bilang untuk jangan bawa perasaan dalam soal ini.  Jadi seharusnya aku tidak punya perasaan sama sekali. Soal insiden kemarin di rumah orang tua Mas, aku juga tidak ambil hati kok. Aku hanya menyayangkan tindakan mereka yang sama sekali tidak elegan. Menolak boleh menolak, tapi kan bisa dengan cara yang lebih bagus," sahut Riri datar, nyaris tanpa emosi. 

Mereka kini tengah dalam perjalanan menuju apartemen sepulangnya dari butik tempat fitting baju pengantin.

"Kerja bagus, Ri. Abaikan semua yang kulakukan, karena kamu tahu, itu cuma akting." Pria itu mengacungkan jempol sembari terus mengawasi jalanan di depannya. 

"Ya, aku hanya menuruti apa kamu inginkan. Bukankah itu sudah tugasku?" Riri memaksakan diri untuk tersenyum

"Kamu masih bisa mengurungkan niatmu, Mas. Masih ada waktu untuk membatalkan  semuanya dan sebagai gantinya, aku bisa membantumu untuk mencarikan wanita yang bisa benar-benar menjadi istrimu, bukan istri pura-pura...."

Namun Leo justru menggeleng. "Tekadku sudah bulat, Ri. Kita harus menikah tiga hari lagi. Dilan sudah mengurus dan kita tinggal terima beres. Tidak mungkin semuanya kita batalkan atau rahasia kita yang akan terbongkar." Leo meletakkan jari telunjuk di lehernya.

Riri menghela nafas. 

"Aku hanya kasihan sama kamu, Mas. Kamu sudah keluar uang banyak hanya untuk bersandiwara dihadapan kedua orang tuamu. Seharusnya kamu tidak perlu berkorban sebesar itu. Apakah mencari pasangan bagimu sedemikian sulit?" usik Riri. Leo sudah berkali-kali menceritakan soal orang tuanya yang selalu memaksa dengan menyodorkan gadis-gadis untuk dijodohkan. Namun entah kenapa sejauh ini dia merasa alasan Leo belum bisa dicerna oleh akalnya.

"Kamu akan mengerti nanti, Ri. Kamu itu gadis dan teman yang baik. Sudah pasti kamu akan lebih mudah memahamiku. Jika di suatu saat aku menjatuhkan pilihan kepada seorang wanita, aku pasti akan meminta pendapatmu." Lelaki itu mengerem mobilnya secara mendadak dan menepikannya di pinggir jalan. Dia mengusap wajah gadis itu dan membelai rambutnya. 

"Kamu itu orang yang paling bisa dipercaya dari sekian banyak orang yang aku kenal. Sudahlah. Jangan berpikir macam-macam ya."

Jika sedang membujuk dirinya, Riri merasa perlakuan Leo begitu manis. Namun sekali lagi, itu hanya akting! Riri harus sadar bahwa Leo melakukannya karena ada maunya. 

Gadis itu memijat kepalanya setelah Leo meregangkan tubuh mereka. Mobil kembali meluncur menuju apartemen yang tidak berapa jauh lagi dari tempat mereka singgah barusan.

Leo mengantar Riri sampai ke apartemen, bahkan dia pun turut masuk ke dalam. Riri tidak bisa mencegah, karena bagaimanapun apartemen ini adalah milik Leo. Dia hanya numpang tinggal selama dirinya masih diperlukan oleh laki-laki itu. 

Lelaki yang tengah duduk di sofa itu melambaikan tangan, menyuruhnya untuk mendekat. 

Riri menurut. Dia duduk di samping lelaki itu.

"Maaf Ri, aku belum menanyakan kepadamu soal uang bulanan. Jadi berapa yang kamu minta?" Kali ini ia benar-benar serius.

"Uang bulanan?" Riri baru teringat bahwa Leo pernah menjanjikan uang bulanan dan bahkan kartu saktinya kini sudah berada padanya.

"Aku tidak tahu, Mas." Raut wajah gadis itu seketika memerah. Dia merasa seperti seorang calon istri beneran yang ditanya soal nafkah oleh calon suaminya.

"Sebut saja, Ri. Aku akan memenuhinya untukmu. Jangan sungkan padaku," desak Leo.

"Aku malu, Mas. Mas sudah membiayai operasi ibu dan aku pikir itu sudah lebih dari cukup. Meski sebenarnya masih berat bagiku untuk terus menerus berakting, tapi aku akan membalas jasa Mas itu dengan menjadi istri pura-pura Mas Leo." Suara lirih Riri terasa begitu menggemaskan bagi Leo.

"Kamu jangan gitu dong! Hubungan kita ini kan saling menguntungkan. Dengan menikahimu, aku bisa terbebas dari jeratan wanita-wanita materialistis itu. Aku juga terbebas dari desakan orang tua soal jodoh. Aku tetap merasa diuntungkan, Ri," ucap Leo kembali membujuk.

"Terserah Mas saja, berapa yang Mas anggap pantas untuk memberiku, aku akan menerimanya." Seulas senyum tersungging di bibirnya, senyum yang teramat manis dan tulus.

Hati Leo seketika berdesir melihat senyum semanis itu. Belum pernah ia menyaksikan senyum manis dan tulus, kecuali mungkin senyum dari Zakia. Tanpa sadar dia mengusap kepala gadis itu membelai-belai rambutnya yang tergerai.

"Gimana kalau 30 juta sebulan? Kalau kurang, kamu bisa bilang, Ri, biar aku tambahin," usul Leo akhirnya.

"30 juta? Itu banyak sekali, Mas. Gajiku sebagai baby sister tidak ada apa-apanya." Riri langsung ternganga dan tak bisa membayangkan jika uang 30 juta itu setiap bulan masuk ke dalam rekeningnya.

"Itu bukan gaji, Ri. Itu hanya uang jajan buat kamu." Leo balas tersenyum. Dia bangkit sembari meraih tangan gadis itu, mengajaknya turut pula berdiri.

"Aku pamit ya, Ri. Jaga diri kamu baik-baik. Tiga hari lagi kita akan tinggal bersama di sini." Meski diucapkan dengan nada datar oleh Leo, tetapi di telinga Riri, ucapan seperti itu terdengar begitu menggoda.

Cup!

Entah apa yang berada di otak Leo, sehingga ia mendaratkan kecupan di kening gadis itu yang membuat Riri tanpa sadar memejamkan matanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status