Share

Sang Penyelamat

“Aach, sakit!” ucap Ellena saat dia merasakan perih di pergelangan tangannya.

Ellena yang tadinya ingin mengakhiri hidupnya lewat pisau tipis itu, jadi mengurungkan niatnya karena ya mendengar dering telepon yang cukup nyaring, sehingga merusak konsentrasinya. Sebenarnya Ellena juga tidak yakin dengan tindakannya itu, tapi dia hanya berusaha nekat saja karena merasa hidupnya sudah hancur.

“Ibu,” ucap Ellena ketika dia melihat nama ibunya di layar ponsel.

Ellena mengambil tisu untuk membungkus goresan luka yang baru saja dia torehkan di pergelangan tangannya. Dia juga meminum air dulu, agar suaranya tidak terlalu serak.

“Halo, Bu,” sapa Ellena mencoba bersikap biasa saja agar ibunya tidak curiga kepadanya.

“Ell, maaf Ibu ganggu kamu pagi-pagi gini. Tapi kamu lagi sibuk nggak, Ell?” tanya Sari ingin memastikan keadaan putrinya.

“Enggak kok Bu, Ellena nggak lagi sibuk. Emang ada apa Bu, kok kayaknya penting banget.”

“Anu Ell, ini soal uang sekolah adik kamu. Surat tagihan dari sekolah udah dateng, kira-kira uangnya ada nggak ya, Ell?” Sari merasa tidak enak pada putrinya karena terus saja merepotkan kehidupan putri sulungnya.

“Ya ampun Bu, Ellena lupa transfer, Bu. Uangnya udah ada kok, bentar lagi Ellena transfer ya. Ibu nggak usah khawatir ... kan Ellena udah janji bakal transfer minggu ini,” jawab Ellena mencoba untuk menenangkan ibunya.

“Oh gitu, syukurlah kalau emang uangnya udah ada. Ya udah Ell, kalo gitu aja kamu kerja dulu ya. Nanti atasan kamu marah kalau terima telepon lama-lama.”

“Iya Bu, nanti Ellena kabari kalau Ellena udah transfer uangnya ya.” Ellena ingin memastikan ibunya tidak khawatir lagi.

Ellena melepaskan nafas berat setelah dia mengakhiri panggilan telepon dengan sang ibu. Dia baru ingat kalau dirinya adalah tumpuan bagi keluarga kecilnya yang sangat bergantung pada penghasilannya di kota.

Ellena tidak bisa membayangkan bagaimana nasib ibu dan adik kecilnya, ketika nanti mereka mendengar kalau dirinya mengakhiri hidupnya sendiri. Mungkin setelah mati pun, hidup Ellena tidak akan merasa tenang.

Sejak kematian ayahnya 3 tahun lalu, Ellena harus membantu perekonomian keluarganya. Dia siap menanggung biaya sekolah adiknya hingga lulus SMA dari hasil kerjanya. Setidaknya Ellena ingin adiknya memiliki tingkat pendidikan yang cukup untuk modal bekerja nanti.

“Tapi gimana kalau aku hamil ya? Pasti nanti Ibu bakal nanya aku hamil anak siapa. Aku harus cari cara. Pasti ada obat buat cegah kehamilan. Ya, aku harus beli obat itu.” Semangat hidup Ellena kembali.

Ellena kembali mencoba untuk menyadarkan dirinya sendiri kalau hidupnya ini bukan hanya miliknya. Ada ibu dan adiknya di kampung yang sangat mengharapkan Ellena bisa menyisihkan sebagian gajinya untuk mereka.

Ellena segera berlari ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Dia ingin membersihkan luka yang baru saja dia torehkan sendiri itu, agar tidak terinfeksi. Setelah memberikan obat luka, Ellena memlester lukanya tersebut agar tetap steril.

Ellena hari ini memang sengaja untuk tidak berangkat ke kantor, karena keadaan emosinya masih belum stabil. Dia tidak ingin pekerjaan kantornya akan salah semua karena pikirannya sedang sangat berantakan.

Ellena masuk ke dalam sebuah apotek yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah kosnya. Dia segera menemui penjaga apotek untuk menanyakan obat yang dia cari.

“Siang Mbak, mau cari obat apa?” tanya penjaga Apotek itu.

Ellena mencondongkan tubuhnya ke depan agar lebih dekat dengan si pelayan, “Mbak, ada nggak obat buat mencegah kehamilan?” tanya Ellena sedikit berbisik.

“Obat pencegah kehamilan?” Pandangan penjaga apotek itu mulai berubah pada Ellena.

“Iya ... buat temen saya.” Ellena sedikit berbohong.

“Tunggu sebentar ya, Mbak. Saya ambilkan dulu.” Penjaga apotek itu masuk ke dalam ruang obat.

Ellena menunggu obat yang dia inginkan. Setelah dapat, dia segera membayarnya dan meninggalkan apotek itu.

“Moga aja obat ini ampuh. Paling gak, aku harus cegah dari awal,” ucap Ellena sambil meremas obat yang sudah ada ditangannya itu.

***

Pagi ini Ellena memutuskan untuk kembali bekerja. Dia tidak ingin membunuh kariernya sendiri, yang sudah dia bangun selama beberapa tahun ini jadi hancur begitu saja. Apalagi saat ini dia sedang dalam masa promosi untuk kenaikan jabatan.

Ellena melihat ada Lisa yang baru saja masuk ke lobby kantor. Wanita cantik itu segera melambaikan tangannya pada salah satu teman baiknya di kantor itu.

“Katanya kemarin kamu nggak masuk kantor ya? Kamu sakit, Lis?” tanya Ellena pada Lisa.

“Iya, aku agak nggak enak badan kemarin? Kepalaku sakit banget, soalnya kemarin habis nemenin Pak Sean ke pesta relasinya sampai malam,” jawab Lisa bercerita.

Mendengar nama Sean disebut, Ellena kembali terluka. Tapi, kali ini dia sudah bertekad untuk melupakan semuanya. Apa pun risikonya, Ellena akan menanggungnya sendiri.

“Kamu pergi sama Pak Sean?” tanya Ellena sambil mengukir senyum.

“Iya, nggak tahu gimana ceritanya tiba-tiba aku udah nginep di hotel aja. Pas bangun, kepalaku sakit banget ... jadi mendingan aku nggak masuk. Eh, kamu mau kopi biasanya, Ell?” tanya Lisa ketika mereka sudah ada di dalam Coffee Shop.

“Iya, aku mau yang biasanya aja,” jawab Ellena sambil tersenyum canggung.

‘Kalau malam itu Pak Sean pergi sama Lisa, kok di kamar itu aku nggak ngelihat Lisa ya. Trus Lisa tidur di kamar mana?’ ucap Ellena dalam hati sambil melihat ke arah Lisa.

Setelah mendapatkan kopinya, dua orang wanita itu segera pergi meninggalkan coffee shop untuk naik ke ruang kerja mereka masing-masing. Ellena dan Lisa berdiri di depan lift, yang akan mengantarkan mereka naik ke gedung perkantoran yang tinggi itu.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Lisa yang membuat Ellena langsung menoleh.

‘Pak Sean. Mati aku! Dia inget aku gak ya?’ ucap Ellena dalam hati yang kaget melihat kehadiran Sean di belakangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status