Share

Kerisauan Hati

Wajah wanita yang tidak asing, yang sedari tadi terbayang-bayang di kepalaku. Wanita yang menolong anakku Jesen dan membuat Jesen tertawa bahagia. Wanita yang senyumannya membuat hatiku tergelitik, sekarang dia berdiri tepat di hadapanku. Mata kami bertemu dan dia terlihat sedikit bingung dan malu.

Deg...

Aku hanya bisa terpaku ditempat, entah aku harus bersikap seperti apa kepadanya. Menganggap seperti tidak mengenalnya, membuat hatiku tidak tenang. Namun jika aku berlagak mengenalnya, pasti akan terasa lebih canggung. Kami baru bertemu dan kenal tadi siang, itu pun hanya sebentar. Apakah aku punya hak untuk berbicara dengannya? Aku harus bersikap seperti apa dengan kondisi seperti ini?

Aku melihatnya menuangkan minuman kepada salah satu temanku. Perasaanku menjadi tidak nyaman dan membuat emosiku mendidih. Tanpa sadar aku mencengkeram lengannya dan menariknya keluar dari bar itu. Entah apa yang ada difikiranku saat ini, yang pasti aku hanya mengikuti refleks badanku. Apakah aku marah karena dia menuangkan minuman? Tapi kenapa aku harus marah? Atau aku marah karena pekerjaan dia yang seperti ini? Aku masih berharap jika dia disini hanya untuk sesekali refreshing sepertiku.

Setelah keluar dari bar, aku melepaskan cengkeraman tanganku dan berbalik menghadapnya. Aku lihat dari sudut mataku, tangan yang baru saja aku cengkeram memerah. Itu membuatku sedikit bersalah kepadanya."Kenapa aku begitu kasar kepadanya?" rutukku dalam hati.

"Kenapa kamu ada disini?" tanyaku memberanikan diri.

"Saya bekerja disini, apa anda tidak melihatnya?" jawabnya santai yang membuatku terpancing emosi.

"Jadi kamu bekerja disini? Oh aku mengerti. Aku tidak menyangka kamu orang yang seperti itu. Aku hanya ingin bilang jangan pernah kamu berurusan lagi dengan anakku." kataku yang tersulut emosi.

"Maksud anda apa ya? Lagipula bagaimana saya bisa berurusan dengan anak anda lagi? Saya hanya bertemu karena menolongnya untuk mencari papa yang tidak menjaganya." jawabnya sarkas.

"Aku menjaganya, Jesen pergi ketika aku sedang menerima telepon sebentar. Nanti walaupun kamu tidak sengaja bertemu lagi dengan Jesen, anggap saja kamu tidak mengenalnya." teriakku.

Aku pun bingung kenapa aku berkata kasar seperti itu. Tapi mulutku tak bisa dikontrol, entah perasaan apa yang merasukiku hingga bisa bersikap seperti ini.

"Huh, alasan. apakah anda sudah minta maaf kepada anak anda atas kelalaian anda? Saya rasa belum, pasti anda lebih mementingkan ego anda dan menganggap diri anda tidak bersalah sama sekali. Lagipula Memang saya kenapa? Kenapa saya harus sampai berpura-pura tidak mengenali Jesen?" tanyanya kesal.

"Dengan pekerjaanmu ini, kamu akan membawa dampak buruk untuk anakku, jadi jangan pernah muncul dihadapannya lagi!" kataku sambil merutuki diri sendiri.

Dia pasti marah terhadapku, terlihat dati tatapan mata dan bibirnya yang tadi siang menyinggungkan senyuman kini terlihat mengerucut menahan amarah. Bagaimana dia tidak marah dengan kata-kataku yang seperti melecehkannya?

"Maaf ya tuan, saya memang pelacur. Tapi saya juga tidak akan mengajarkan hal buruk kepada anak kecil. Lagi pula siapa anda sampai saya harus mendengar penghinaan ini? Jangan menghakimi saya kalau anda tidak mengenal siapa saya, dan jika tidak paham dengan kehidupan yang sudah saya jalani. Saya juga dengan senang hati menganggap saya tidak mengenal saya, karena memang nyatanya kita hanya tidak sengaja bertemu sekali. Jadi saya mohon anda juga anggap tidak kenal dengan saya dan jangan menghina saya lagi!" teriaknya kesal melampiaskan semua amarahnya dan pergi meninggalkanku.

Seperti tertohok oleh kata-katanya, akupun hanya bisa berdiri mematung di depan pintu bar itu. Pikiranku berkecamuk mencerna semua kejadian ini, masih tidak habis pikir dengan tindakanku yang baru saja kulalukan. Hatiku sangat nyeri, seperti merasakan rasa sakit yang dia rasakan. Akupun mencoba menenangkan diri dan memikirkan apa yang akan aku lakukan selanjutnya.

Entah kenapa dadaku terasa seperti diremas, dan didalam kepalaku seperti ada siaran ulang yang menayangkan kejadian seharian ini yang membuat tenagaku sangat terkuras. Rasa bersalah juga membuatku masih merutuki diri sendiri, dengan kebodohan yang aku lakukan tadi.

Aku berjalan kembali menuju meja di bar tadi, aku tidak melihat Daisy duduk disana yang membuatku merasa sedikit lega kalau dia pergi. Sampai saat ini, aku masih tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi kepadanya. Namun tidak beberapa lama, terlihat Daisy yang kembali ketempat duduk kami. Aku melihat, dia memilih tempat duduk yang berada paling jauh dari tempatku. Tatapan mataku yang tajam mengarah padanya, namun aku tidak bertindak apa pun ketika dia kembali menuangkan minuman kepada teman-temanku.

Wajahnya sedikit terlihat pucat walaupun dia menutupinya dengan riasan. Rasa bersalah langsung menghampiriku seketika. Badannya yang kecil terlihat sangat rapuh, walaupun dia berusaha bersikap tenang. Aku pun membulatkan tekad untuk meminta maaf kepadanya, tapi aku bingung harus bagaimana menyampaikannya.

Ketika jam menunjukkan hampir jam dua belas malam, terlihat Daisy meninggalkan tempat duduknya. Akupun mengikutinya dari belakang, dan melihat cara berjalannya sedikit sempoyongan yang membuatku menjadi khawatir. Sesampainya di luar hotel, aku melihat dia hampir terjatuh. Aku dengan sigap meraih tubuhnya sebelum terjatuh, aku melihat dia kaget. Tanpa berkata apapun aku meraih tangannya dan menariknya dengan lembut untuk mengikutiku menuju tempat parkir.

"Masuklah!" pintaku dengan nada lembut.

"Anda mau membawa saya kemana?" tanyanya dengan ekspresi bingung.

"Sudah masuklah!" jawabku lagi sambil menarik tangannya lembut agar masuk kedalam mobil.

"Berikan aku nomor atasanmu." pintaku ketika kami berdua sudah duduk di dalam mobil, sambil menyodorkan handphoneku kehadapannya.

"Atasan saya? Maksud anda Mami?" tanyanya terlihat semakin bingung.

"Entahlah, mungkin itu." jawabku ragu

"Buat apa anda membutuhkan nomor Mami?"

"Nanti kamu akan tahu, bisa minta tolong berikan?"tanyaku sambil tersenyum.

Dia pun mengetikkan sederet angka di layar ponselku dan menyerahkannya kembali kepadaku dan menapku dengan ekspresi yang benar-benar butuh penjelasan. Aku paham dengan maksud tatapannya itu, namun aku tidak menghiraukannya. Kemudian aku menghubungi nomor yang diberikannya tadi.

"Halo, saya akan membawa Daisy selama tiga hari, saya akan membayar mahal, sekretaris saya akan mengurusnya." ucapku kepada seseorang di ujung telepon sana.

Akupun penutup sambungan telepon itu sebelum orang itu membalas ucapanku. Aku bersikap seperti sudah mendapatkan persetujuan. Kemudian aku menghubungi Andre, aku menyuruhnya untuk mengurus semuanya di bar tadi. Andre yang sudah lama menjadi asisten dan sekretaris kepercayaanku, langsung menyanggupi tanpa bertanya apapun.

"Anda akan membawa saya kemana? Apa maksud telepon anda tadi?" tanya Daisy dengan sedikit berteriak.

"Kamu sudah dengar kan tadi, tiga hari ini kamu milikku." ucapku lembut dengan sedikit menyunggingkan senyuman terbaikku.

"M-maksud anda? Saya tidak mau, tolong turunkan saya. Saya mohon saya lelah, biarkan saya pulang." teriaknya sambil berusaha membuka pintu mobil.

Aku mulai menepikan mobil, setelah mobil berhenti dia berusaha untuk membuka pintu kembali. Aku memang sengaja masih mengunci pintu mobil, agar dia tidak keluar. Aku menundukkan kepala, dan menyenderkannya di atas setir mobil. Akupun kembali membulatkan tekad untuk meinta maaf, namun sedikit takut dengan reaksinya. Biar bagaimanapun tadi aku memang sangat keterlaluan.

"maaf." hanya kata itu yang dapat meluncur dari mulutku.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status