Share

Wanita Pemilik Gairah Liar
Wanita Pemilik Gairah Liar
Author: Pelita Abadi

Tidak Sabar

"Sayang, kamu di mana? Aku sudah gak sabar untuk diresmikan jadi pasangan hidupmu," rengek Rebeka dengan manjanya.

"Iya, Sayang. Ini sudah mau berangkat ke sana," jawab lelaki yang begitu memabukkan hati Rebeka.

"Aku video call, ya?" Tanpa menunggu persetujuan lawan bicaranya, Rebeka segera menyentuh layar benda pipih yang ada di tangannya, mengubah panggilan biasa menjadi panggilan Video.

Tidak berselang lama, hanya dalam hitungan detik, di layar ponsel Rebeka sudah terlihat wajah pria yang begitu gagahnya. Wajah yang selalu membuat rindu membara di hati Rebeka. Senyuman manis Rebeka pun secara otomatis menyambut sambungan video call itu.

"Ayang," rengek Rebeka dengan air muka yang begitu menggemaskan.

"Kamu makin cantik bak bidadari. Aku juga sudah tidak sabar ingin menjadikanmu milikku seutuhnya," balas Zidan yang membuat hati Rebeka kian berbunga-bunga.

"Aku memang bidadari, Sayang. Bidadari di hatimu," ujar Rebeka dengan begitu percaya diri.

"Kalau itu sudah pasti," jawab Zidan dengan tawa serempak mereka berdua.

Zidan adalah seorang karyawan di perusahaan tekstil milik orang tua Rebeka. Dia termasuk salah satu orang kepercayaan papa Rebeka. Karena melihat kepribadian Zidan yang sangat baik, papa Rebeka mencoba mendekatkan anaknya dengan Zidan. Ternyata usahanya untuk mendekatkan Zidan dan Rebeka tidak butuh proses lama. Keduanya bisa dekat lebih cepat, bahkan bisa menjalani hari-hari seperti yang diharapkan papa Rebeka. Hingga sampailah pada hari ini mereka berdua akan melangsungkan pernikahan tanpa paksaan.

"Ayang, cepat ke sini. Keluargamu sudah siap semua, 'kan?" tanya Rebeka yang sudah tidak sabar menanti kehadiran calon suaminya.

"Sudah siap semua. Tadinya udah mau berangkat, tapi karena kamu nelpon aku, akhirnya aku angkat dulu teleponnya," jawab Zidan yang memang sebelum Rebeka menelponnya, dia sudah siap untuk berangkat ke rumah Rebeka.

Mendengar penjesalan Zidan yang terganggu untuk datang kerumahnya, karena harus mengangkat telepon terlebih dahuli, Rebeka menarik nafas dengan seulas sesalnya. Andai tadi dia bersabar sedikit saja, mungkin Zidan sudah hampir sampai

kerumahnya.

"Kalau tahu begitu, gak bakal aku telpon kamu biar cepatan datang kesini," sesal Rebeka yang mengetahui kalau telepon dari dia membuat Zidan menunda keberangkatannya.

"Ya, sudah. Aku akhiri panggilan teleponnya. Kamu hati-hati di jalan menuju ke sini, ya. Bukan kamu yang nyetir mobil, 'kan?" Rebeka kembali melayangkan pertanyaan dengan menyematkan kekhawatirannya pada Zidan.

"Bukan aku yang nyetir. Nanti mobilnya akan dibawa sama pamanku. Hari ini aku adalah raja, semua jadi spesial. Tenagaku disimpan dulu, tidak digunakan sama sekali. Biar nanti malam bisa strong," ujar Zidan yang sudah bisa ditangkap oleh Rebeka kemana arah pembicaraannya.

"Ya, sudah. Bye … bye, Sayang." Rebeka mengakhiri panggilan teleponnya dengan Zidan.

Rasa bahagia bergemuruh di hati Rebeka. Senyum bahagia selalu menghiasinya. Rasa tidak sabar menunggu calon suaminya sedikit terobati mendengar kabar kalau Zidan sudah mau berangkat untuk menjadikan dirinya sebagai pendamping hidup yang utuh.

"Re, tamu undangannya sudah pada datang. Sebaiknya kamu turun dulu buat menyambut para tamu agar tidak kecewa karena lama menunggu. Soalnya calon lakimu belum juga datang," tiba-tiba suara dari arah belakang Rebeka mengagetkannya yang sedang membayangkan bagaimana indahnya hidup setelah dinikahi Zidan.

"Eh, Kakak kapan masuk ke sini?" Tanya Rebeka memutar posisinya.

"Barusan. Ayo, turun! Sambut tamunya dulu, dari pada tamu pada kecewa dan memutuskan untuk pulang," ujar Alina.

Alina adalah kakak satu-satunya Rebeka. Mereka berdua selalu menjalani suka dan duka bersama. Selalu menyayangi satu sama lainnya. Saling melengkapi dan saling mengayomi, sehingga banyak yang mengira mereka kembar identik. Selain wajah yang mirip, mereka berdua juga tidak pernah berselisih paham selama ini.

"Ayo, turun," ujar Alina kembali karena Rebeka masih betah berdiri dihadapannya.

"Iya, Kak," jawab Rebeka tanpa bantah.

"Kakak bilang tamunya sudah pada datang? Apakah tamunya banyak?" Tanya Rebeka yang mengekor di belakang Alina.

"Hu'um," kebiasaan Alina saat ditanya pasti menjawab seadanya dan menggunakan jawaban singkat tanpa embel-embel.

"Kok bisa sampai banyak, Kak? 'Kan resepsinya minggu besok. Bukankah tamu yang ramai itu pas resepsi?" tanya Rebeka kembali. Pasalnya dia tidak merasa menyebar undangan untuk hari pernikahannya dengan Zidan. Kecuali pada teman-teman dekatnya saja.

"Karena ini pernikahan pertama kali anak mama dan papa, mana mungkin mereka tidak akan memberitahu rekan-rekan mereka. Mama mengundang teman-teman sosialitanya, sedangkan papa mengundang rekan kerjanya," jelas Alina tentang tamu yang sudah berdatangan.

"Owh, aku kira tamunya hanya teman-teman aku saja. 'Kan mama dan papa tidak memberitahuku tentang ini," celoteh Rebeka yang masih setia mengikuti langkah kakaknya dari belakang.

Alina fokus berjalan tanpa menggubris lagi ucapan adiknya. Karena dibanding Rebeka yang cerewet, Alina memang pendiam dan tidak banyak bicara. Dia mengabaikan ucapan Rebeka karena memang tidak terlalu penting juga.

"Kak," panggil Rebeka setelah mereka diam beberapa saat.

"Hmm," jawab Alina singkat.

"Kakak beneran tidak apa-apa, aku nikah duluan?" tanya Rebeka yang berhasil membuat langkah kaki Alina berhenti tiba-tiba.

Alina memutar posisinya menghadap kebelakang. Dia menatap Rebeka begitu intens. Alina memandangi Rebeka sejenak sebelum meraih lengan adiknya. Dia menepuk-nepuk pelan lengan wanita yang memakai gaun pengantin di hadapannya itu.

"Menurutmu?" tanyanya yang membuat Rebeka mengernyitkan dahi dan menggeleng pelan.

"Jika kakak keberatan kamu nikah duluan, sudah pasti dari awal tidak kakak izinkan kamu menikah hari ini," imbuhnya.

Seketika Rebeka terharu dan bahagia mendengar penjelasan Alina. Dia memeluk erat Alina menumpahkan perasaan yang bergejolak memenuhi segumpal rasa di hatinya.

"Jangan kau teteskan air matamu, Gadis Cengeng!" Segera Alina mengurai pelukan Rebeka yang memeluknya erat.

"Dasar cengeng! Sewa MUA untuk make over kamu tidaklah murah. Jangan teteskan air matamu untuk merusaknya." Alina kembali melangkahkan kaki untuk menuruni anak tangga pertama yang menghubungkan lantai dua dengan lantai satu di rumah mewah milik orang tua mereka.

"Begini kalau punya Kakak yang super dingin. Tidak ada manis-manisnya. Seharusnya kasih kelembutan pada aku yang lagi terharu, ini malah pake bahas jasa make over yang mahal." Omel Rebeka yang berdiri tanpa ikut menuruni anak tangga.

Karena mendengar omelan Rebeka yang berjarak darinya, Alina menghentikan langkah kaki menuruni anak tangga, dia menoleh ke arah Rebeka yang memasang wajah cemberut.

"Kenapa berdiri di situ?"

"Kakak mau aku mati? Gaunku buntutnya panjang begini, ditambah beratnya yang menguras tenaga. Kalau aku jatuh dan guling-guling ke bawah, lalu mati ditempat bagaimana?" protes Rebeka yang terkesan manja.

"Kalau aku mau kamu mati, sudah dari kecil aku bunuh." Balas Alina yang kembali menaiki tangga untuk menjemput adiknya.

Alina menggandeng Rebeka untuk menuruni tangga menuju lantai bawah rumah mereka. Tidak lupa buntut gaun pengantin yang dipakai Rebeka juga dia bantu memeganginya agar Rebeka nyaman saat menuruni tangga.

"Ini terakhir kalinya kamu manja-manjaan sama aku. Biasakan untuk mandiri, jangan manja lagi. Karena sebentar lagi kamu akan menjadi istri orang. Beberapa saat lagi kamu akan dibawa keluar dari rumah ini dan akan jauh dari aku. Kalau kamu tidak mandiri dan selalu manja seperti ini, nanti ketika dirumah suamimu dan jauh dari aku, kamu akan canggung tanpa aku!" pesan Alina yang secara tidak langsung meminta Rebeka tidak lagi bergantung padanya.

"Kalau aku butuh sesuatu dari Kakak, tinggal telepon saja. Sekarang bukan zaman zembut yang serba terbatas, Kak. Sudah ada ponsel untuk membuatmu repot mengurusiku" jawab Rebeka ngeyel.

"Terserah, tetapi semuanya akan berubah setelah ini. Yang penting kamu harus mandiri. Kamu tidak boleh cengeng lagi, tidak boleh selalu bergantung pada aku." Alina menghentikan langkahnya dan memeluk erat Rebeka.

"Kamu akan menjadi istri orang. Setelah ini kita tidak akan dekat lagi seperti sebelumnya. Kamu harus menjadi wanita kuat walau tidak ada aku didekatmu. Pokoknya doaku yang terbaik untukmu. Aku yakin, setelah ini kamu akan lebih dewasa, bisa menjalani kehidupanmu sendiri." Ujar Alina setengah berbisik dengan pelukannya yang makin erat pada Rebeka.

"Kakak … kok aku merasa ini seperti isyarat yang akan memisahkan kita untuk selama-lamanya," rasa tidak karuan menyelimuti Rebeka. Apalagi baru kali ini dia menemukan Alina terisak dalam tangisnya.

Rebeka menangkap ada aura yang tidak biasa dari kata-kata yang keluar dari mulut Alina. Dia seakan tidak akan lagi bersama kakaknya setelah ini. Jarak seakan telah membentang jauh untuk memisahkan mereka.

"Kakak sayang kamu, Re. Walau kita bukanlah saudara kandung, tapi kamu adalah adik tersayang kakak sampai kapan pun!" Alina makin terisak mengungkapkan rasa sayangnya pada Rebeka.

Begemuruh dengan amukan batin yang langsung meronta ketika kalimat yang dilontarkan Alina. Rebeka gemetar dengan keringat dungin mengurur. Dia mencoba mengeja dalam hatinya tentang apa yang disampaikan Alina baru saja.

"A–apa? Kita bu–bukan saudara kandung? Maksud Kakak apa?" Rebeka mengurai pelukan mereka dengan sejuta pertanyaan langsung menyerbu memori di kepalanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status