Share

Chapter 6. Masalah yang Belum Usai

"Kak, Na ... Lihat! Ibu-ibu yang pernah datang kesini waktu itu mengirim banyak bahan makanan dan beberapa hadiah untukku kita." Suara riang adiknya menyapa indra pendengaran Andrina ketika memasuki rumah.

Netranya melirik beberapa pepper bag yang berjajar di atas meja, sedangkan tak jauh darinya ada beberapa bahan makan lengkap yang tertata rapi di lantai.

"Lihat ini, bajunya bagus, 'kan, Kak Na? Ini salah satu kaos dan sepatu impianku. Teman-temanku banyak yang punya. Akhirnya, aku punya sepatu ini." Andhika menunjukkan pakaian dan sepatu yang tengah dia pakai.

Binar kebahagiaan tergambar jelas di wajah pemuda itu saat mendapat kedua benda incarannya.

Andrina masih tidak percaya dengan apa yang dia dilihat saat ini. Pasalnya, baru beberapa menit yang lalu dia bersitegang dengan wanita tua itu. Tapi, untuk apa sekarang dia mengirimkan semua ini. Apa ini semacam sogokan, batinnya menerka-nerka. Namun, dia bersyukur bisa melihat kebahagiaan yang tepancar dari wajah adiknya. Sudah lama, dia tidak melihat Andhika sebahagia itu.

"Kak Na, kenapa ibu itu sangat baik pada kita ya? Ini semua barang-barang mahal, pasti uangnya sangat banyak." Andhika terus saja berceloteh memuji kebaikan Mutia tanpa ia tahu jika semua ini harus dibayar mahal oleh sang kakak.

"Andai kamu tau, Dhik. Kebaikan wanita itu memiliki maksud terselubung," batin Andrina.

"Sebenarnya, kakak pernah melakukan apa untuk ibu itu? Kok sampai segitunya dia membalas kebaikan kakak," tanya Andhika yang tidak bisa menahan rasa penasarannya.

"Emmm, itu ... Itu ..." Gadis itu bingung harus menjawab apa, tidak mungkin dia jujur mengenai keadaan sebenarnya.

"Ka-kakak pernah me-menolongnya dari preman. Ya ... Menolongnya dari preman yang ingin merampoknya," kata Andrina dengan tergagap.

Dia berusaha bersikap biasa saja agar tidak menimbulkan kecurigaan pada adiknya mengenai rahasia yang ia sembunyikan.

"Preman?"

"Kamu ingat malam itu, sewaktu kakak pamit mencari obat buat bapak? Pada saat pulang, kakak tidak sengaja bertemu dengannya di gang sempit dekat pasar. Ada tiga preman yang ingin merampok ibu itu. Tanpa pikir panjang, kakak langsung berteriak minta tolong. Dan berhasil, para preman itu kabur karena takut kena amuk warga," tuturnya panjang lebar untuk melengkapi dustanya.

"Ooo, begitu. Pantas ibu ini sangat berterima kasih pada kakak. Kakak sudah menyelamatkan nyawanya."

Ada ribuan rasa bersalah di hati Andrina setelah mengatakan itu. Untuk kesekian kali, dia harus berbohong pada keluarganya. Memang benar kata pepatah, jika kita berbohong satu kali maka akan timbul kebohongan lain untuk menutupi kebohongan itu.

"Bapak mana?" Wanita itu menoleh ke sana kemari. namun, tidak menemukan keberadaan ayahnya di ruangan itu.

"Mungkin istirahat di kamar," jawab Dhika cuek sembari membuka satu per satu papper bag yang belum terjamah oleh tangannya.

"Kamu sudah pastikan bapak minum obat?"

"Su ... Astaga! Aku lupa," pekik Dhika ketika teringat akan tugasnya.

"Kamu gimana, sih? Bapak 'kan harus minum obat tepat waktu." Andrina menggeplak kesal lengan adiknya.

"Ya maaf ... Namanya juga lupa," kata Andhika merasa bersalah sembari mengusap lengannya yang terasa panas akibat tepukan tangan lembut sang kakak.

Andrina mengabaikan permintaan maaf adiknya. Gadis itu memilih berlalu menuju kamar ayahnya.

Beberapa menit kemudian terdengar lengkingan keras suara Andrina dari kamar itu. Yang membuat Andhika segera menghampiri asal suara.

"BAPAK!"

____________

"Kondisi Pak Sandi sangat mengkhawatirkan. Beliau harus dirawat secara intensif."

"Apa dirawat, Dok?!" Andrina tak dapat menutupi rasa terkejutnya. Dia masih tidak percaya mendengar penuturan dokter.

"Apa Pak Sandi pernah terlambat meminum obat?"

"Pernah, Dok," jawab Andrina sambil mengingat-ingat sesuatu.

"Sangat disayangkan. Kondisi seperti Pak Sandi tidak boleh terlambat menjalani pengobatan, karena bisa jadi bakteri yang menyerang organ beliau akan kebal terhadap obat."

Andrina menegang di tempat. Dia tidak menyangka kelalaiannya waktu itu bisa berakibat fatal untuk kondisi sang ayah.

Dua minggu yang lalu, ia sempat telat menebus obat karena kesibukannya menjadi sekretaris sangat menyita waktu, ditambah fokusnya yang terbagi dengan misinya. Dia juga lupa untuk meminta tolong Andhika untuk hal itu.

Setelah kepergian dokter, Andrina terduduk lemas di kursi tunggu yang tak jauh darinya. Seketika, rasa pening di kepala menghampiri. Uang dalam tabungannya sudah menipis setelah dibuat membayar cicilan hutang pada rentenir yang tak kunjung usai. Dia berpikir keras bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah ini.

"Permisi, Nona."

Perhatian gadis itu teralih ketika seorang suster menghampiri.

"Iya, Sus."

"Tolong, segera selesaikan administrasinya, Nona. Agar pasien segera mendapat penanganan." Seorang wanita berseragam putih menyerahkan sebuah amplop pada Andrina.

Tanpa menunggu lama, gadis itu segera membuka amplop tersebut. Matanya terbelalak ketika melihat nominal yang tertera.

"Kenapa sebanyak ini?" batinnya dengan mata meneliti rincian diatas nominal, berharap ada yang salah.

"Ditabungan hanya tersisa setengahnya. Dari mana aku bisa mendapatkan sisanya?" gumamnya dalam hati.

"Mohon disegerakan ya, Nona. Pasien harus segera di tangani," desak suster dengan nada lembutnya ketika tak mendapat respon apapun dari wanita di depannya.

Andrina memejamkan mata sejenak, kemudian menghembuskan nafas kasar.

"Baik, saya akan membayar setengahnya terlebih dulu, sisanya menyusul."

"Baik. Silahkan ke tempat administrasi untuk melakukan pembayaran."

"Baik, Sus."

Andrina segera mengikuti langkah suster itu untuk mengurus administrasi perawatan ayahnya. Persetan dengan sisa, Andrina bisa memikirkan nanti.

_______

Dia menatap nanar benda tipis di tangannya. Saldo yang tersisa hanya satu digit dengan lima angka nol di belakangnya.

"Sekarang, aku harus bagaimana? Menunggu gaji sekretaris masih lama. Masa aku harus pinjam uang lagi pada tua bangka itu. Bisa kesenangan dia, uangnya aku pinjam terus. Bisa-bisa, dia semakin getol memerasku," gumamnya dengan mondar-mandir ke sana kemari layaknya setrikaan.

Sedetik kemudian, terlintas satu nama dalam otaknya. Seseorang yang bisa membantunya keluar dari masalah ini. Nyonya Mutia.

"Kak Na, bagaimana kondisi bapak?" Andhika menghampiri dengan nafas tersengal karena dia habis berlari menuju tempat ini.

"Bapak harus dirawat. Jaga bapak! Jangan kemana-mana sebelum kakak kembali." Andrina berpesan sebelum pergi.

" Kakak mau kemana?"

"Ada urusan. Kaliau sudah selesai, Kakak akan segera kembali."

Andrina melenggang pergi begitu saja dengan ponsel yang menempel di telinga.

"Hallo, Nyonya."

"...."

"Bisa kita bertemu?"

Di seberang sana, Mutia memberitahu lokasi pertemuan mereka.

"Baik, saya segera kesana."

_______

"Aku tidak menyangka keputusanmu akan secepat ini, Andrina. Hanya berselang beberapa jam," cibir Mutia.

"Saya terpaksa demi ayah saya. Ayah saya masuk rumah sakit dan saya butuh biaya banyak, Nyonya," papar Andrina dengan menundukkan kepala.

Keberanian beberapa waktu yang lalu, seolah hilang ditelan bumi.

Mutia hanya terkekeh sinis. "Berapa yang kau minta?"

Andrina segera menyebut nominal yang ia butuhkan.

"Setelah aku mengirim uang ini ke rekeningmu. Kau harus siap menjalankan rencana kedua."

Gadis itu menghembuskan nafas kasar. "Lagi-lagi dengan syarat. Apa wanita ini tak pernah hidup susah. Suka sekali mempermainkan hidup orang miskin," batinnya kesal.

"Baik, Nyonya. Apapun yang Anda perintahkan akan saya lakukan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status