แชร์

Wanita Penggoda
Wanita Penggoda
ผู้แต่ง: Syatizha

Gunung Kawi

ผู้เขียน: Syatizha
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-09-23 14:38:22

Memiliki paras yang cantik dan fisik nyaris sempurna tidak lantas membuatku bahagia.

Namaku Wulandari, anak pertama dari empat bersaudara. Aku adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Keluarga yang kerap kali dihina dan tak jarang mendapat perlakuan rendah orang-orang sekitar, hanya karena tidak memiliki harta berlimpah dan banyak hutang.

Bapak yang kupanggil Abah bekerja serabutan. Itu pun kalau sedang mau. Lebih sering berpangku tangan, mengandalkan Ambu yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian di rumah Pak Lurah.

“Abah mau bertani. Tidak mau bekerja!” tukas Abah saat Ambu mulai menyuruhnya mencari nafkah.

“Abah, kalau bertani mah harus punya sawah. Memangnya kita punya sawah?” sahut Ambu kesal.

Istri mana yang tidak kesal, melihat suami setiap pagi kerjanya duduk di balai sembari minum kopi dan merokok.

“Sudahlah, masih pagi sudah ribut. Malu atuh sama tetangga Ambuuu ....”

“Yang kudu malu itu Abaaaah

... jadi suami tidak ada tanggung jawabnya!”

Adu mulut itu hampir tiap hari terjadi. Aku dan adik-adik sudah tidak terlalu mempedulikan.

Selesai memandikan Ujang dan Asep, aku bergegas mengambil pakaian mereka. Memakaikannya satu persatu. Sedangkan Jaka adik pertamaku, menginap di rumah temannya. Usia Jaka sudah empat belas tahun, dia hanya tamatan SD. Ujang masih berumur tiga tahun, sedangkan Asep lima tahun. Aku sendiri baru tamat SMA setahun lalu, itu pun dibiayai pemerintah karena termasuk siswa yang cerdas.

“Neng ... Neng Wulaaan ....”

“Iya, Ambu?”

“Ini, uang tiga puluh ribu untuk membeli beras sama telur.” Suara Ambu setengah berbisik.

“Jangan sampai ketahuan sama Abah. Kalau Abah sampai tahu, nanti malah dibeliin kopi sama rokok.”

Aku mengangguk, lalu menyimpan uang pemberian ibu.

***

Tak lama setelah Ambu pergi ke rumah Pak Lurah, aku pun ke warung untuk membeli pesanan Ambu.

“Mau hutang lagi, Lan?” tanya Teh Mirna pemilik warung sembako dengan ketus. Ibu-ibu yang sedang berbelanja di warung menoleh ke arahku.

“Enggak. Wulan bawa uang. Teh, Wulan mau beli telur seperapat sama beras satu liter.”

“Mana coba uangnya?”

Wajar, kalau Teh Mirna tidak percaya karena hutang keluargaku sudah berlembar-lembar di buku catatan hutang milik Teh Mirna. Aku memperlihatkan dua lembar uang kertas ke hadapannya.

“Lan, kamu ‘kan lulusan SMA. Kenapa tidak kerja di kota saja? Kalau kamu kerja pasti bisa bantu-bantu keuangan keluargamu kamu,” celetuk Teh Zulfa, tiba-tiba sudah berada di sampingku.

“Benar sekali! Apalagi kamu punya badan bagus, wajah cantik. Pasti sangat mudah mendapat pekerjaan.” Giliran Teh Yati ikut berbicara. Aku masih enggan menanggapi.

“Jadi artis dangdut saja atuh, Lan ... Ikut sama si Kang Heri. Kalau mau, nanti teh Zulfa yang bicara.”

“Nih, belanjaannya. Telur delapan ribu, beras sepuluh ribu. Jadi, delapan belas ribu,” ujar Teh Mirna dengan suara yang jauh dari kata ramah. Aku menyerahkan uang berwarna hijau.

“Ya ampun, Wulaaan ... kalau diajak ngobrol, tanggapi dong! Malah diam saja! Kamu tuli?” Protes Teh Yati. Aku menghela napas kasar. Berusaha tetap sabar.

“Si Wulan itu pemalas. Percuma cantik juga kalau malas! Makanya sampai sekarang masih jomblo! Cantik juga percuma, ditinggal kawin terus sama pacarnya. Ya iyalah, orang si Wulan pemalas,” cetus pemilik warung, menyerahkan kembalian dua ribu rupiah.

“Kalau Wulan kerja, Ujang sama Asep siapa yang jaga?”

Akhirnya aku buka suara. Sebenarnya ingin sekali kusumpal mulut-mulut mereka.

‘Tunggu saja, suatu saat nanti aku pasti jadi orang kaya. Banyak uang!’ Tekadku dalam hati.

“Alasan! Jangan jadikan kedua adikmu sebagai alasan, Lan! Bilang saja kalau kamu itu malas! Nih, Lan ... Harusnya kamu itu bekerja! Membantu perekonomian keluarga kamu! Supaya keluarga kamu itu tidak pinjam uang terus! Tidak berhutang terus! Dasar, orang miskin!”

Mendengar ucapan Teh Marni, darahku mendidih. Rasanya sakit sekali keluarga dihina seperti ini. Bukan malas, aku hanya khawatir dengan kedua adikku yang masih kecil. Akan tetapi, perkataan mereka tidak sepenuhnya salah. Keluargaku memang terkenal sering berhutang.

Setelah mengambil uang kembalian dua ribu, aku memilih pergi meninggalkan mereka yang masih saja membicarakan dan menghina keluargaku.

***

Pekerjaan yang Ambu lakukan hanya diberi upah tiga puluh ribu perhari. Kalau ditambah dengan menyetrika, bisa diberi delapan puluh ribu. Tetapi, itu pun hanya kadang-kadang saja menyetrikanya.

Aku tidak seperti gadis desa lain. Keseharianku hanya dirumah menjaga adik-adik. Sudah malas juga bergaul dengan anak-anak sebaya di desa ini.

“Mendingan aku, Lan. Walaupun tidak secantik kamu, tetapi sudah punya pacar.”

Mumun menyombongkan diri pada saat kami berkumpul untuk merayakan acara perlombaan tujuh belas Agustus tahun lalu.

“Kasihan kamu, Lan ... Punya wajah cantik tidak berguna! Sekalinya punya tunangan, malah ditikung sahabat sendiri. Tetapi, wajar si Cecep lebih memilih si Minah. Minah kan orang tuanya punya sawah banyak. Lah kamu? Cuma punya banyak hutang. Hahahaha.”

Perkataan teman-temanku yang mengejek terdengar kembali.

Usia belasan tahun gadis di desaku sudah menikah. Sebenarnya dua bulan lalu, ada juragan tanah dari kecamatan lain yang ingin melamar. Akan tetapi, Ambu menolak karena laki-laki yang seumuran Abah itu telah memiliki istri.

“Jangan, Neng. Walaupun dia kaya raya, kalau punya istri lebih baik ditolak. Neng juga pernah merasakan, rasanya dikhianati pacar. Sakit ‘kan? Apalagi dikhianati suami?”

Ucapan Ambu selalu aku ingat. Ambu sangat melarangku agar tidak boleh dinikahi oleh lelaki yang telah memiliki istri.

“Kamu memang harus menikah dengan laki-laki yang kaya raya. Tetapi, jangan yang masih memiliki istri. Ambu lebih baik punya mantu duda, tampan, dan mapan. Heheheh ....” Canda Ambu pada suatu malam. Saat itu, aku hanya meringis mendengar keinginan Ambu. Apa mungkin ada duda yang kaya raya, tampan dan mapan mau menikahi gadis desa sepertiku? Ah, entahlah!

***

Seperti malam-malam sebelumnya, mataku enggan terpejam. Keinginan menjadi orang kaya raya semakin kuat. Di dalam keluarga, aku adalah anak pertama. Tidak boleh hanya berdiam diri. Sudah menjadi tugasku mengangkat harkat dan martabat keluarga.

“Pokoknya aku harus menjadi orang kaya. Sudah cukup mereka menghina keluargaku.”

Tiba-tiba aku teringat obrolan Kang Sukri dan Kang Dandi di pos ronda.

“Cuma bertapa seminggu di gunung Kawi, balik dari sana, si Mardun jadi banyak uang. Mendadak jadi orang kaya raya! Sekarang saja, sawahnya sudah lima hektar! Edan!”

Apakah aku juga harus ke sana? Harus bertapa di Gunung Kawi untuk melakukan pesugihan? Semakin lama, aku tidak sanggup mengahadapi ocehan orang-orang desa. Mungkin benar, aku harus mencari pekerjaan di Ibu kota atau kalau tidak ... Mau tidak mau, aku harus nekat ke Gunung Kawi.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Wanita Penggoda   Kembali ke Profesi Awal

    Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi

  • Wanita Penggoda   Ingat Mantan

    Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me

  • Wanita Penggoda   Gak Ngerti

    Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa

  • Wanita Penggoda   Keceplosan

    “Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A

  • Wanita Penggoda   Obat

    “Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili

  • Wanita Penggoda   Cewek Bujang Lapuk

    Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status