Share

Wanita Penghibur
Wanita Penghibur
Penulis: Hitam Putih

Rayhan Bagaskara

"Astaga, apa lelaki itu benar-benar berniat menemuiku?"

Aku mau tak mau merutuk kesal saat jam sudah menunjukkan sebelas malam, tetapi Ray masih juga tak menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Aku bahkan harus ekstra sabar menghadapi beberapa lelaki yang datang merayu, sementara itu Mami Berta sebagai mucikari diam-diam mengawasi sembari sesekali melihat keluar dan memencet telepon.

"Sudahlah, Nona, lebih baik kau temani kami. Kau tau 'kan kami orang berduit juga, tak akan kukecewakan kau dengan bayaran."

Mereka masih berusaha merayu, beberapa di antara mereka bahkan berjanji akan memberikanku perhiasan bila sekali aku berbagi ranjang dengan salah satu di antara mereka, tetapi aku hanya diam, melihat keluar. Perasaan ragu itu bahkan membuatku mendadak bangkit, mendekat pada Mami Berta setelah wanita itu mengisyaratkan padaku untuk maju.

"Ray sepertinya tak akan datang, Nona. Mungkin dia harus menyelesaikan pekerjaannya."

Ia menatap padaku, menjeda sebentar.

"Kau akan menerima satu di antara mereka?"

Harus. Aku akan pulang kampung, dan dalam waktu dekat ini aku membutuhkan banyak uang, jadi kurasa ... kulirik mereka yang kemudian mengedipkan sebelah mata. Dari tatapan-tatapan nakal yang serasa menelanjangi seluruh tubuhku, jelas aku paham, tapi ....

"Nona pilih satu di antara mereka, Mami."

Setelahnya aku menghampiri mereka dan lima orang itu mendadak bangkit seperti ingin menyambut. Aku jadi mundur sambil berdecih.

"Saya pilih yang bisa bayar mahal!"

Aku menjawab tegas dan mereka sama-sama tertawa sambil menatap satu sama lain.

"Berapa permintaanmu, Nona?"

Salah satu di antara mereka langsung bertanya, seolah-olah takut memberi harga yang mungkin terlalu murah untukku. Entahlah, aku sendiri bingung, mereka jelas tahu ini bukan pertama kalinya aku bekerja sebagai wanita penghibur, sudah tentu aku juga tidak perawan lagi, tetapi cara mereka memperebutkanku seolah selalu menjadi yang paling berharga di tempat ini.

Mungkin karena Ray tidak pernah mengizinkanku bersama lelaki lain saat kerja. Rayhan Bagaskara, lelaki itu bahkan tak jarang bersikap overprotektif seolah-olah aku hanya miliknya, anehnya selama ini tak ada yang pernah berani mengalahkan Ray meski ia hanya seorang salesman biasa.

"Di atas 50 juta."

"60 juta?"

"75 juta."

"89 juta."

Mereka masih sibuk bertanding, sementara aku hanya memainkan hp sambil menunggu kesepakatan, tapi di menit-menit berikutnya masih juga tak ada yang menambahi dan aku menjadi paham. Lelaki yang mengucapkan angka 89 itu sendiri kemudian tersenyum puas dan langsung mendekat.

"Akhirnya lo jadi milik gue juga, Nona." Mata nakalnya makin liar disertai tangannya yang seperti ingin merangkul, tetapi belum apa-apa seseorang sudah tiba-tiba menarik tubuhku dari belakang lalu berujar,

"100 juta!"

Deg

Suara itu ....?

Dan tepat setelahnya aku sudah mendapati seseorang menarik tubuhku menjauh disertai seringaian kecil.

"Berani kamu pilih lelaki lain saat aku tak ada, Nona?"

***

Tidak seperti dugaan awalku bahwa semuanya akan menjadi malam-malam yang panjang. Sebelum jam dua pagi Ray bahkan sudah menyudahi pergulatan kami. Ia seperti kelelahan dan tertidur di sampingku.

"Kau mau menikah denganku?" tanyanya setelah pagi buta dia kemudian terbangun.

Aku mengucek mata, menguap lalu menjawab, "Kau ngigo, Ray?"

Ia langsung berdecih. Jelas, Ray pasti kesal dengan tanggapanku itu, tetapi ... yah itulah dia, selamanya aku bahkan tak perlu berpikir tentang jawabannya.

Maknanya tak jauh beda dengan memintaku menjadi istri kedua yang hanya Ray simpan di tempat tertentu. Menemuiku saat butuh dan ... oh ayolah, meski mungkin itu lebih terhormat dari profesiku sebagai Nona Bintang-yang masuk dalam daftar wanita penghibur, tetapi aku tak suka bila harus menyakiti perempuan lain, dan ini bukan pertama kalinya ia mengajakku.

"Biarkan istrimu menjadi lebih baik dulu, Ray, atau biarkan rumah tangga kalian berjalan apa adanya. Setiap orang bisa berubah."

"Dengan apa? Menunggu? Ah!"

Ia melepaskan rangkulanya dariku. Menarik napas berat sampai kesunyian itu menyelimuti. Aku jadi tidak enak, tetapi tak tahu bagaimana membuatnya ceria seperti tadi malam saat ia menggauliku. Untunglah nada tone dari hp-nya kemudian mengalihkan perhatian kami dengan cepat. Ray mendengkus kesal, tetapi setengah malas tetap mengangkat.

"Ya?"

Ia berhenti, wajahnya berubah semringah seketika. Siapa yang meneleponnya?

"Di rumah? Oh ya? Tunggu, aku tadi keluar sebentar."

Ia berhenti lagi, mungkin orang yang diajaknya bicara sedang berbicara.

"Tidak, tadi aku hanya hendak beli makanan saja, bosan makanan di rumah selalu bikin tidak selera. Kau mau dibawakan apa?"

Berhenti lagi, tetapi kali ini bibirnya mengulum senyum.

"Oh ya, baiklah. Tunggu aku."

Ray bangkit, lantas membiarkan tubuhnya yang telanjang itu ke kamar mandi. Dua menit kemudian keluar dan memakai pakaiannya lagi. Lelaki berkulit kuning langsat itu lantas menyambar tasnya dan segera keluar.

Oh, apa dia mau pergi begitu saja? Aku sempat ternganga dan ingin protes, tetapi tertahan tubuh Ray yang kemudian masuk lagi. Tangannya membawa segepok uang yang langsung ia beri padaku.

"Aku pergi, Sayang. Sisanya sudah ku transfer. Makasih malamnya, bye!"

Ia mencium pipiku lalu berbalik dan pergi begitu saja. Tak lebih dan tak kurang, itu saja, pipi dan uang! Tanpa sadar bibir bawahku digigit, rasanya sedikit menyebalkan. Entah sudah berapa ada kata sayang dalam dirinya, lalu siapa yang menghubunginya tadi? Ah, kenapa juga aku harus peduli.

Aku memilih ke kamar mandi dan memunguti pakaianku yang berserakan di lantai. Selalu membawa ketidaksadaran bila aku melayani seorang Rayhan Bagaskara, lelaki salesman biasa yang seharusnya berkantong pas-pasan, tetapi bayarannya entah dari mana selalu memuaskan. Lebih lagi perlakuannya itu, inilah yang mungkin membuatku lebih suka memilihnya dibandingkan yang lain.

Kulirik jam di pergelangan, angka sudah menunjukkan tiga pagi ternyata, masih ada waktu untuk istirahat. Aku kerja sekitar jam tujuh, setidaknya bisa bersantai di indekos lalu menulis sebait topeng-topeng kejujuran itu lagi. Bergegas aku bangkit dan berjalan keluar.

Aroma kopi langsung menguar begitu aku lewat. Itu pasti berasal dari kedai kopi yang berada tepat di sebelah kamar ini. Warung kecil dengan beberapa kursi yang akan tampak ramai bila malam, siapa duga bahwa itu menyimpan kelicikan sekadar menutupi keaslian pekerjaan kami?

Buru-buru aku melambai pada sopir angkot setelah di luar, masuk dan langsung duduk. Hanya ada pak sopir dan putriya, Neila. Mereka duduk di jok paling depan dan aku hanya tersenyum sebelum orang tua itu melajukan angkot. Aku tidak perlu heran mengapa angkot bisa sesepi ini, karena bahkan jelas ini bukan waktu angkot beropasi, tetapi karena suatu keperluan saja pak sopir kemudian sekalian mengizinkanku menumpang.

Keluarga pak sopir tidak memiliki kendaraan lain, sementara Neila bersekolah di tempat jauh, itulah mengapa pagi-pagi buta lelaki tua itu selalu sedia mengantar putrinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

"Lebih baik menunggu daripada telat, Neng."

Begitu cicitnya tiap kali aku bekomentar tentang waktunya yang menurutku masih terlalu pagi, aku hanya menanggapi dengan senyum, merasa tidak perlu banyak bertanya lagi. Aku merasa beruntung sekaligus karena tak perlu susah-susah mencari tumpangan.

Kupilih menyenderkan kepala pada kursi angkot lalu memejamkan mata, rasanya masih cukup melelahkan meski sudah setahun berjalan.

Dret ... getar hp mengalihkan perhatianku, kuambil. SMS dari Laila ternyata.

[Slamat pgi, Kak, jngan lupa salat subuh, ya. Sehat slalu.]

Hanya itu, tak ada lagi, kubiarkan tanpa membalasnya, hanya dudukku saja yang telah berubah posisi menjadi tegak. Tunggu saja, Lail, kakakmu sedang perjalanan pulang. Dia masih menjelma menjadi Nona Bintang, nanti kalau menjadi Rahma lagi pasti kakak balas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status