"Astaga, apa lelaki itu benar-benar berniat menemuiku?"
Aku mau tak mau merutuk kesal saat jam sudah menunjukkan sebelas malam, tetapi Ray masih juga tak menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Aku bahkan harus ekstra sabar menghadapi beberapa lelaki yang datang merayu, sementara itu Mami Berta sebagai mucikari diam-diam mengawasi sembari sesekali melihat keluar dan memencet telepon."Sudahlah, Nona, lebih baik kau temani kami. Kau tau 'kan kami orang berduit juga, tak akan kukecewakan kau dengan bayaran."Mereka masih berusaha merayu, beberapa di antara mereka bahkan berjanji akan memberikanku perhiasan bila sekali aku berbagi ranjang dengan salah satu di antara mereka, tetapi aku hanya diam, melihat keluar. Perasaan ragu itu bahkan membuatku mendadak bangkit, mendekat pada Mami Berta setelah wanita itu mengisyaratkan padaku untuk maju."Ray sepertinya tak akan datang, Nona. Mungkin dia harus menyelesaikan pekerjaannya."Ia menatap padaku, menjeda sebentar."Kau akan menerima satu di antara mereka?"Harus. Aku akan pulang kampung, dan dalam waktu dekat ini aku membutuhkan banyak uang, jadi kurasa ... kulirik mereka yang kemudian mengedipkan sebelah mata. Dari tatapan-tatapan nakal yang serasa menelanjangi seluruh tubuhku, jelas aku paham, tapi ...."Nona pilih satu di antara mereka, Mami."Setelahnya aku menghampiri mereka dan lima orang itu mendadak bangkit seperti ingin menyambut. Aku jadi mundur sambil berdecih."Saya pilih yang bisa bayar mahal!"Aku menjawab tegas dan mereka sama-sama tertawa sambil menatap satu sama lain."Berapa permintaanmu, Nona?"Salah satu di antara mereka langsung bertanya, seolah-olah takut memberi harga yang mungkin terlalu murah untukku. Entahlah, aku sendiri bingung, mereka jelas tahu ini bukan pertama kalinya aku bekerja sebagai wanita penghibur, sudah tentu aku juga tidak perawan lagi, tetapi cara mereka memperebutkanku seolah selalu menjadi yang paling berharga di tempat ini.Mungkin karena Ray tidak pernah mengizinkanku bersama lelaki lain saat kerja. Rayhan Bagaskara, lelaki itu bahkan tak jarang bersikap overprotektif seolah-olah aku hanya miliknya, anehnya selama ini tak ada yang pernah berani mengalahkan Ray meski ia hanya seorang salesman biasa."Di atas 50 juta.""60 juta?""75 juta.""89 juta."Mereka masih sibuk bertanding, sementara aku hanya memainkan hp sambil menunggu kesepakatan, tapi di menit-menit berikutnya masih juga tak ada yang menambahi dan aku menjadi paham. Lelaki yang mengucapkan angka 89 itu sendiri kemudian tersenyum puas dan langsung mendekat."Akhirnya lo jadi milik gue juga, Nona." Mata nakalnya makin liar disertai tangannya yang seperti ingin merangkul, tetapi belum apa-apa seseorang sudah tiba-tiba menarik tubuhku dari belakang lalu berujar,"100 juta!"DegSuara itu ....?Dan tepat setelahnya aku sudah mendapati seseorang menarik tubuhku menjauh disertai seringaian kecil."Berani kamu pilih lelaki lain saat aku tak ada, Nona?"***Tidak seperti dugaan awalku bahwa semuanya akan menjadi malam-malam yang panjang. Sebelum jam dua pagi Ray bahkan sudah menyudahi pergulatan kami. Ia seperti kelelahan dan tertidur di sampingku."Kau mau menikah denganku?" tanyanya setelah pagi buta dia kemudian terbangun.Aku mengucek mata, menguap lalu menjawab, "Kau ngigo, Ray?"Ia langsung berdecih. Jelas, Ray pasti kesal dengan tanggapanku itu, tetapi ... yah itulah dia, selamanya aku bahkan tak perlu berpikir tentang jawabannya.Maknanya tak jauh beda dengan memintaku menjadi istri kedua yang hanya Ray simpan di tempat tertentu. Menemuiku saat butuh dan ... oh ayolah, meski mungkin itu lebih terhormat dari profesiku sebagai Nona Bintang-yang masuk dalam daftar wanita penghibur, tetapi aku tak suka bila harus menyakiti perempuan lain, dan ini bukan pertama kalinya ia mengajakku."Biarkan istrimu menjadi lebih baik dulu, Ray, atau biarkan rumah tangga kalian berjalan apa adanya. Setiap orang bisa berubah.""Dengan apa? Menunggu? Ah!"Ia melepaskan rangkulanya dariku. Menarik napas berat sampai kesunyian itu menyelimuti. Aku jadi tidak enak, tetapi tak tahu bagaimana membuatnya ceria seperti tadi malam saat ia menggauliku. Untunglah nada tone dari hp-nya kemudian mengalihkan perhatian kami dengan cepat. Ray mendengkus kesal, tetapi setengah malas tetap mengangkat."Ya?"Ia berhenti, wajahnya berubah semringah seketika. Siapa yang meneleponnya?"Di rumah? Oh ya? Tunggu, aku tadi keluar sebentar."Ia berhenti lagi, mungkin orang yang diajaknya bicara sedang berbicara."Tidak, tadi aku hanya hendak beli makanan saja, bosan makanan di rumah selalu bikin tidak selera. Kau mau dibawakan apa?"Berhenti lagi, tetapi kali ini bibirnya mengulum senyum."Oh ya, baiklah. Tunggu aku."Ray bangkit, lantas membiarkan tubuhnya yang telanjang itu ke kamar mandi. Dua menit kemudian keluar dan memakai pakaiannya lagi. Lelaki berkulit kuning langsat itu lantas menyambar tasnya dan segera keluar.Oh, apa dia mau pergi begitu saja? Aku sempat ternganga dan ingin protes, tetapi tertahan tubuh Ray yang kemudian masuk lagi. Tangannya membawa segepok uang yang langsung ia beri padaku."Aku pergi, Sayang. Sisanya sudah ku transfer. Makasih malamnya, bye!"Ia mencium pipiku lalu berbalik dan pergi begitu saja. Tak lebih dan tak kurang, itu saja, pipi dan uang! Tanpa sadar bibir bawahku digigit, rasanya sedikit menyebalkan. Entah sudah berapa ada kata sayang dalam dirinya, lalu siapa yang menghubunginya tadi? Ah, kenapa juga aku harus peduli.Aku memilih ke kamar mandi dan memunguti pakaianku yang berserakan di lantai. Selalu membawa ketidaksadaran bila aku melayani seorang Rayhan Bagaskara, lelaki salesman biasa yang seharusnya berkantong pas-pasan, tetapi bayarannya entah dari mana selalu memuaskan. Lebih lagi perlakuannya itu, inilah yang mungkin membuatku lebih suka memilihnya dibandingkan yang lain.Kulirik jam di pergelangan, angka sudah menunjukkan tiga pagi ternyata, masih ada waktu untuk istirahat. Aku kerja sekitar jam tujuh, setidaknya bisa bersantai di indekos lalu menulis sebait topeng-topeng kejujuran itu lagi. Bergegas aku bangkit dan berjalan keluar.Aroma kopi langsung menguar begitu aku lewat. Itu pasti berasal dari kedai kopi yang berada tepat di sebelah kamar ini. Warung kecil dengan beberapa kursi yang akan tampak ramai bila malam, siapa duga bahwa itu menyimpan kelicikan sekadar menutupi keaslian pekerjaan kami?Buru-buru aku melambai pada sopir angkot setelah di luar, masuk dan langsung duduk. Hanya ada pak sopir dan putriya, Neila. Mereka duduk di jok paling depan dan aku hanya tersenyum sebelum orang tua itu melajukan angkot. Aku tidak perlu heran mengapa angkot bisa sesepi ini, karena bahkan jelas ini bukan waktu angkot beropasi, tetapi karena suatu keperluan saja pak sopir kemudian sekalian mengizinkanku menumpang.Keluarga pak sopir tidak memiliki kendaraan lain, sementara Neila bersekolah di tempat jauh, itulah mengapa pagi-pagi buta lelaki tua itu selalu sedia mengantar putrinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar."Lebih baik menunggu daripada telat, Neng."Begitu cicitnya tiap kali aku bekomentar tentang waktunya yang menurutku masih terlalu pagi, aku hanya menanggapi dengan senyum, merasa tidak perlu banyak bertanya lagi. Aku merasa beruntung sekaligus karena tak perlu susah-susah mencari tumpangan.Kupilih menyenderkan kepala pada kursi angkot lalu memejamkan mata, rasanya masih cukup melelahkan meski sudah setahun berjalan.Dret ... getar hp mengalihkan perhatianku, kuambil. SMS dari Laila ternyata.[Slamat pgi, Kak, jngan lupa salat subuh, ya. Sehat slalu.]Hanya itu, tak ada lagi, kubiarkan tanpa membalasnya, hanya dudukku saja yang telah berubah posisi menjadi tegak. Tunggu saja, Lail, kakakmu sedang perjalanan pulang. Dia masih menjelma menjadi Nona Bintang, nanti kalau menjadi Rahma lagi pasti kakak balas.Apa Gana menjebakku? Apa dia yang mencampur obat bius pada jus yang aku minum? Kalau memang benar kenapa Gana bisa seberani itu?Aku tahu sekali siapa Gana, Mami Berta menjadikan Gana orang kepercayaan bukan tanpa alasan. Gana tidak pernah melanggar aturan yang ditetapkan Mami Berta, dan tidak menggangguku adalah aturan yang sejak dulu Mami buat untuk Gana, apalagi Gana juga selalu menujukkan tidak pernah mau berurusan dengan keluarga Bagaskara. Tetapi sekarang? Apa dan kenapa?[Kamu sudah pulang, Rahma?] Itu dari nomor asing, aku baru membacanya setelah naik grab. Nomor itu ternyata bukan sekali itu mengirimiku pesan tapi juga semalam? Sekitar jam 21:40, dan hanya berisi kamu kenapa lama di dalam, Ra? Saat melihat di foto profilnya, dia ternyata ... Ravan?Astagfirullah, apa yang sebenarnya sudah Rav ketahui selama ini? Jelas sekali bohong kalau dia tidak tau apa-apa, kehadiran Rav tiba-tiba tadi malam sudah cukup membuktikan itu, ditambah lagi
"Gue pikir lo gak bakal ke sini lagi, Nona. Apa jadi Nyonya Bagaskara masih buat lo belum cukup uang? Atau karena lo kangen gue?"Gana mendekat, merangkul pinggangku, lalu meminta ditambahkan minuman, dua botol minuman sudah dibawa salah satu pelayan, bersamaan dengan Cha dan Pak Andro yang baru saja keluar. Dua orang itu anehnya bersikap seolah tak mengenaliku, Pak Andro terlihat lebih fokus pada Cha yang mabuk."Gue mau lo bantu gue!" Aku sedikit berkelit, mengeluarkan hp lalu menujukkan pada Gana. Gana melirik sekilas lalu langsung mengangkat tangan."Gue gak bisa!" Tubuh Gana bahkan pindah lalu duduk berhadapan denganku."Gan, lo udah menguasai jual beli di dark web maupun situs-situs gelap lainnya. Lo gak mungkin gak bisa.""Kalau lo tau situs-situs itu lo seharusnya bisa belanja sendiri, Nona! Gak perlu minta tolong gue! "Konyol! Selama jadi Nona Bintang aku tak pernah tahu urusan hal-hal seperti itu. Sekalipun p
Ray tidak berbicara denganku lagi. Setelah pertengkaran kami siang tadi, dia lebih banyak diam, atau lebih tepatnya hanya mendiamkanku? Astaga, padahal seharusnya aku yang lebih berhak marah. "Kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik, jangan saling diam. Hidup berumah tangga itu sudah pasti ada cobaannya."Ibu sampai setengah memperingati, mungkin karena selama di meja makan Ray bersikap tak kalah menyebalkan dibanding aku yang lebih banyak diam. Chayra sendiri sampai menghubungiku berkali-kali. Entah dari mana dia tahu, tapi dia kadang terkesan cerewet.[Teteh dan Kak Ray baik-baik saja, 'kan? Jangan marah sama Kak Ray, Teh. Kak Ray gak salah][Arkan memang suami Cha, Arlis yang bohong. Kalau saja Teteh marah karena salah paham]Sok tahu! Aku bahkan tidak mempermasalahkan dramanya itu, tetapi Cha? Sikap dan penjelasannya itu yang seolah ingin menunjukkan semuanya justru membuatku ada yang tidak beres. Bukankah sesuatu yang ditunjukkan l
“Ramha?”Pak Andro menyebut namaku tapi yang dilihat kemudian adalah Ray, ia bahkan setelahnya berpaling pada Ibu.“Kau di sini sedang apa, Rahma?” Pertanyaannya terkesan wajar, tetapi aku merasa itu lebih sebagai peringatan, lebih lagi setelah melihat tatapan nakalnya.“Bapak mengenal putri saya? Maaf, bapak siapa ya?” Ibu maju satu langkah, mendekat pada pak Andro. Wajah Ibu terlihat kebingungan, Ibu Rana dan Cha sendiri terlihat tak kalah kebingungan, hanya Ray yang seperti membeku dan mematung.“Apa bapak mengenal anak saya?” Ibu sampai bertanya sekali lagi, Pak Andro melihat padanya, senyumnya menyeringai, ia mendekat padaku.“Mengenal? Tentu, tentu saja saya mengenal, bahkan saya sangat mengenal putri anda. Dia–”“Diam!”Ray tiba-tiba mendorong tubuh Pak Andro, menarik lenganku lalu cepat-cepat membawa aku dan Ibu pergi.***flashback Lelaki itu bermata sipit dengan hidung
"Apa ini, Lek? Apa?"Ibu seperti tak percaya, ia menunjuk foto-foto di hadapan kami, foto saat aku menjadi Nona Bintang, foto saat aku bekerja di toko baju, foto saat aku didandani, foto saat Nona Bintang berhadapan dengan banyak lelaki di club dan--"Itu nggak benar Bu, itu nggak benar, jangan percaya!"Aku buru-buru mengambil foto-foto itu, hendak membuangnya tetapi ibu lebih dulu menahan, Matanya kilat menatapku. Jelas sekali ada kemarahan di mata ibu, tetapi sekaligus ada kepedihan di sana. Aku sampai berpaling, tidak berani sekadar bersipandang dengan Ibu."Kalau tidak benar, kenapa bisa ada foto-foto ini. Kenapa? Apa yang sebenarnya Rara sembunyikan dari ibu?”"Tidak ada, Bu, tidak ada yang Rara sembunyikan. Itu pasti editan, ibu jangan percaya. Jangan percaya!"Aku menggeleng cepat, berusaha menyakinkan, tetapi yang ada perasaanku semakin cemas, aku bahkan masih tidak berani sekadar menatap ibu."Kalau memang edit
"Kalian bertengkar? Kenapa? Ada apa?"Ibu bertanya pelan setelah duduk di sampingku. Ini sudah jam 9 malam, seharusnya sudah waktunya istirahat tetapi kegaduhan kami tadi sepertinya sudah cukup menyita perhatian banyak orang termasuk ibu. Aku bahkan seperti melihat lagi tatapan orang-orang yang menatap kami tadi saat berciuman, mungkin bukan sesuatu yang salah karena kami sudah memiliki ikatan suami istri, tapi tidak dengan di depan banyak orang, apalagi aku terbiasa hidup di desa dengan aturan-aturan yang masih terlalu tabu untuk hal-hal seperti itu. rasa-rasanya itu tak lebih dari dilemparkan kotoran ke wajahku. "Kami tidak kenapa-kenapa, Bu, kami hanya sedang salah paham saja, kami sudah baikan." Aku seolah tidak mau membahas lebih lanjut, Ibu menatap sekilas tetapi setelahnya dia mengeluarkan hp dari saku bajunya. Hp android dengan casing warna tosca dan gambar kucing, hp itu ..."Ini hp Rara!" Aku merebut hp itu cepat, Ibu sempat mendelik s