"Maaf, mengganggu." Spontan Rahman melepaskan genggamannya, bersamaan dengan masuknya pria bersneli putih ke ruangan ini. "Oh, nggak pa-pa. Silahkan masuk, Dokter?" Sapa Rahman ramah, meski sedikit tergagap. Dokter itu mengangguk sopan, lalu melangkah mendekat ke ranjang di mana Adinda terbaring. "Permisi, Pak, Bu." Aku dan Rahman kompak menepi, memberi ruangan untuk dokter muda itu memeriksa anakku. Ada yang aneh menurutku, biasanya dokter kalau visit selalu ditemani perawat, tapi Dokter Rey, kok, sendiri? Ada yang nggak beres ini. "Kondisi pasien sudah stabil ini, tinggal masa pemulihan. Tadi pasien ada mengeluh apa gitu?" Tanya Rey, matanya menatap ke arahku. Karena aku baru datang, jelas aku tidak tahu kondisi Dinda saat bangun tadi. "Tidak ada Dokter, tadi anak saya hanya mengeluh haus dan lapar, tapi baru tiga sendok dia bilang sudah kenyang."Anakku? Sejak kapan Dinda jadi anaknya Rahman. Ngaco banget. "Obatnya sudah diminumkan?" Tanya Rey lagi. "Sudah Dokter, sudah
"Aku tahu, kamu membenciku. Tapi kamu harus tahu, sampai saat ini aku masih mencintaimu." Kali ini ku beranikan diri menatap langsung ke dalam matanya. Mencari jawaban apakah ucapan Rey jujur atau hanya kebohongan untuk menjeratku kembali. Sayangnya di sana hanya ada tatapan melas penuh harap. "Ijinkan aku menebus kesalahanku, Mey."Menebus kesalahan? Menebus yang bagaimana? "Ini di rumah sakit, saya harap anda bisa menjaga sikap Dokter Reynaldi," ucapku formal. "Mey, kumohon....""Anda bisa mendapat masalah atau bahkan mungkin sanksi, karena telah mengganggu ketenangan keluarga pasien.""Mey ....""Ingat perjuangan Anda untuk sampai pada posisi ini! Jangan sampai semua sia-sia karena anda mendapat teguran dari atasan." Setelah berkata aku meninggalkan Rey, yang aku tidak tahu bagaimana ekspresinya. Aku mengangkat sebelah tanganku, pertanda aku tidak ingin diganggu, ketika Rey kembali memanggil. * * * * * * * * * * *"Nggak bisa, Mi. Kan, aku sudah ngomong sama Mami kemarin," jaw
Akhirnya Dinda diijinkan pulang hari ini, setelah menjalani perawatan selama seminggu. Lega rasanya bisa kembali menjalani aktivitas seperti biasa, tinggal di rumah sakit membuatku tersiksa. Capek ngurus Dinda yang rewel dan manjanya berkali-kali lipat sejak dirawat, belum lagi harus menghadapi Rey yang tak bosan mengajakku balikan. "Aku sudah menikah, Rey. Nggak mungkin aku balikan sama kamu, apalagi sampai menikah." Sengaja aku berbohong, agar laki-laki yang menitipkan Dinda di rahim ku itu berhenti mengejarku. "Dia bukan suamimu, aku tahu itu. Di KTPmu tertulis kamu masih lajang, itu artinya kamu belum pernah menikah dengan siapapun. Betul begitu, kan, Mey?" Ah, aku lupa. Kalau Rey ini punya otak yang cerdasnya di atas rata-rata. Jelas dia dengan mudah mengetahui statusku, dia bisa minta datanya pada administrasi rumah sakit ini, kan? "Kami hanya menikah siri." Meski sudah ketahuan bohong, aku tidak mau menyerah begitu saja. "Aku kenal kamu, Mey. Dari bahasa tubuh kalian bisa
"Kamu punya hubungan apa dengan dokter itu sebelumnya, Mey?" Tanya Rahman ketika kami dalam perjalanan pulang. Akhirnya aku memilih diantar Rahman, daripada Rey. Selain merasa tak enak kalau menolak, aku merasa lebih nyaman bersama Rahman. Meski sempat terjadi sedikit ketegangan tadi, akhirnya Rey mengalah dan membiarkan kami pulang bersama Rahman. "Kenapa kamu nanya begitu?" Terdengar Rahman menghela nafas panjang. "Aku laki-laki, Mey. Aku tahu arti tatapannya padamu. Lagipula mana ada dokter yang ngotot pengen nganter pasiennya, kalau nggak ada apa-apanya. Jujur, Mey! Punya hubungan apa kalian di masa lalu?"Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. "Mey? Apa kalian punya hubungan di masa lalu?" Desaknya. Kembali aku terdiam, bukan ingin menutupi fakta yang sebenarnya. Membicarakan Rey sama dengan membuka luka lama. Mati-matian aku berusaha melupakan Rey, males aku kalau harus membahasnya lagi. "Apa dia ayah biologis, Dinda?" Sontak menoleh ke arah Rahman. "Man, please .... A
Melihat uminya sudah menunggu, Rahman memintaku segera turun, tak lupa dia membangunkan Dinda yang tertidur. Begitu turun, Rahman langsung menghampiri sang Umi meraih tangannya dan menciumnya takzim. Tapi ketika aku yang mendekat dan hendak melakukan hal yang sama, Umi Farida langsung menghindar. "Mi." Rahman hendak mengajukan protes atas sikap uminya, tapi wanita itu keburu memotongnya. "Pulang!" Tegasnya tanpa ekspresi. Wanita berkerudung lebar itu menatap dingin pada Rahman. Seolah menegaskan kalau dia sedang tidak ingin dibantah atau didebat. "Iya, Mi. Sebentar, aku bantu Mey menurunkan barang-barangnya dulu." Rahman nampak begitu patuh pada sang Ibu. "Umi tunggu di rumah!" Wanita itu berlalu begitu saja tanpa melihatku sama sekali, seolah aku ini mahluk tak kasat mata. Atau aku ini hanya seonggok sampah yang tak berharga di matanya? Hingga untuk sekedar dilihat pun dia merasa tak perlu, apa lagi menyapa layaknya manusia. Aku tersenyum getir melihat sikap ibunya Rahman pada
"Tahun depan aku lulus, Mey. Aku resmi jadi dokter spesialis anak. Lega rasanya, setelah bertahun-tahun berjuang akhirnya bisa mewujudkan semua mimpiku." Rey berkata sambil meletakkan cangkir teh, yang baru saja dia sesap isinya. Kubiarkan ayah biologis Dinda ini, menceritakan suka dukanya selama menekuni dunia kedokteran. Biasanya kalau dia datang, aku lebih memilih menghindar, sibuk dengan kegiatanku sendiri. Sementara dia asik menghabiskan waktu dengan Dinda, entah menemani Dinda belajar, main, atau sekedar ngobrol. Aku memang membiarkan dia dekat dengan Dinda, meski belum mengijinkan dia mengatakan siapa dirinya sebenarnya. Hampir setiap hari, Rey datang ke rumahku untuk menemui anaknya sebulan terakhir ini, sejak Dinda pulang dari rumah sakit dulu. Karena aku memutuskan hanya menerima job di siang hari, demi bisa menemani Dinda, maka setiap kesini Rey sering bertemu denganku. Pasti dalam benak kalian bertanya, kenapa aku masih mela*cur? Padahal aku sudah berjanji pada Rahman
"Karma itu nyata, aku sudah membuktikannya." Suara Rey terdengar serak. "Maksudmu apa?" Jelas aku penasaran dengan ucapan Rey, karena dia tiba-tiba diam dan justru terisak. "Kamu tahu, keluargaku berantakan sejak Papa dan Mama bercerai. Sesuai kesepakatan mereka berdua, aku ikut Mama sementara Shela ikut Papa." Ya, aku ingat Rey pernah cerita kalau orang tuanya sudah bercerai dan dia tinggal bersama mamanya. Itulah yang menjadi alasan kenapa Rey jadi anak bengal, bersikap seenaknya, suka bolos suka tawuran. Itu bentuk protes dia kepada kedua orang tuanya, karena memilih berpisah tanpa memikirkan nasib anak-anaknya. Rey lebih banyak di luar daripada pulang ke rumah. Dia bilang, "Pulang juga percuma, Mama nggak di rumah. Dia pasti sibuk kerja, mana sempat ngurusin anaknya ini.""Setelah tahu aku menghamilimu, Mama kena serangan jantung dan meninggal. Mungkin Mama merasa sudah gagal menjadi Ibu, sudah gagal mendidikku. Papa sangat murka karena mempermalukan orang tua, dengan kelakuank
"Apa harus berpindah keyakinan, demi bisa menikah denganmu?" Aku terhenyak mendengar ucapan, Rey. Dia rela pindah agama demi menikahiku? Atas dasar apa? Cinta yang begitu besar, atau ingin menebus rasa bersalah? Ucapan Rey memang terdengar indah, seolah aku adalah wanita yang sangat dia cintai hingga rela melakukan apa saja, bahkan kalau harus mengganti keyakinan. Sayangnya semua itu tak cukup membuatku luluh kemudian menerima tawaran Rey. Luka yang Rey tinggalkan, masih membekas hingga sekarang. "Nggak perlu, Rey. Kamu nggak perlu melakukan apapun, apalagi sampai pindah agama. Kita jalani hidup kita masing-masing, tak perlu menjadi suami istri kalau hanya untuk menjadi orang tua Dinda."Keputusanku sudah bulat, untuk meninggalkan kota ini dengan segala kehidupan yang sudah kujalani. Aku hidup dengan suasana baru, dengan orang-orang baru. Aku ingin melupakan semua masa lalu kelam yang pernah kulalui. Rey adalah bagian dari masa lalu, aku tidak ingin membawanya dalam rencanaku. Cuku