Share

3. Biasanya, Pertemanan Selalu Bermula Seperti Ini; 'Perkenalkan, Nama Saya...'

Jika diingat-ingat lagi, itu sudah belasan tahun yang lalu. Mungkin nyaris dua puluh tahun berlalu. Saat mereka masih setinggi dua tumpuk kursi, masih berkulit kencang seperti karet gelang, dan masih berbau asam apabila terlalu lama berada di bawah terik matahari. 

Yakni saat kegiatan yang disebut ospek.

Ditandai dengan para murid baru yang dipaksa berdandan macam badut tolol dengan pernak-pernik gila―yang bahkan orang gila pun tidak sebegitunya―yang masih canggung antara satu dengan yang lain, yang masih takut-takut serta sungkan pada senior sok galak, serta kerap melongok-longok untuk mencari teman yang telah dikenal. 

Berkelompok masing-masing.

Tapi, tidak dengan tiga gadis itu. Tiga.

Yang pertama cukup cantik. Sangat cantik, malah. Membuat beberapa senior berkelamin jantan kerap melirik-lirik pada gadis ini. Beberapa malah nekat mendekat dan memberi perhatian lebih. Seperti misalnya;

"Dik, kamu nggak usah ikut sit up. Berdiri di sana saja," sambil menunjuk ke bawah pohon kersen yang cukup rindang.

Atau, "Dik, kalau kamu nanti disuruh minta tanda tangan sama Kakak Pembina, panggil aku saja, ya. Namaku Yoseph."

Dan ada juga yang begini, "Dik, kamu capek? Mau minum? Mau istirahat? Mau kugendong?"

Dasar buaya sejak dini!

Tapi, tidak heran juga sebab ia memang yang tercantik di angkatannya. Namanya pun mudah dihafal dan sesuai dengan keelokan parasnya.

"Selai Selena," ucap gadis itu saat ditanya perkara nama. Tersenyum dan mengedarkan mata dengan ramah pada teman-teman baru di sekolah Putih Abu-Abu. 

"Usia lima belas tahun. Lahir di Westminster, Inggris. Tapi, saat umur dua tahun, aku sudah dibawa pindah ke Indonesia. Terima kasih." 

Perkenalan selesai, dan itu menjelaskan mengapa ia memiliki kecantikan di luar batas Asia-Amerika. Gen gandanya merupakan salah satu yang cukup unggul. Bulu mata lentik, rambut halus di kedua lengan, mata biru gelap, dan sedikit bintik di area hidung membuat Selai Selena terlihat kontras dibanding yang lain. Bahkan kedipan matanya mampu membuat percikan-percikan karismatik yang menghantam para anak-anak lelaki muda di dekatnya.

Fakta ini tak bohong, sungguh, hanya sedikit melebih-lebihkan.

Nah, selesai dengan yang satu, maka beralih pada yang lain. 

Itu adalah gadis berkuncir ekor kuda yang gemar mematuhi aturan. Pokoknya, aturan seaneh apapun, ia mampu mematuhinya dan melaksanakan dengan benar. Jika tak percaya; Kemarin siang, seorang senior membentar-bentak satu barisan yang mana dirinya berada di barisan itu juga. Si senior marah-marah seperti ini;

"... kalau kalian tidak mau diatur, silahkan angkat kaki dari sekolah ini! Sana!"

Berlebihan sekali. Padahal Kepala Sekolah saja tidak sebegitunya. Kadang memang di luar nalar kegiatan ospek ini. Maka lanjut si senior dengan dandanan super menor, "Sebagai hukumannya, sekarang kalian cari batu bundar dengan diameter tiga sentimeter. Kumpulkan sebanyak-banyaknya dan, ingat, harus sama ukurannya! Paham?!" senior menor itu berteriak hingga otot lehernya menonjol mengerikan.

Semua menjawab, 'Paham', tentu saja. Tapi, hanya satu-dua anak yang berhasil mendapatkan batu bundar berdiameter tiga senti dengan ukuran yang serupa dalam jumlah lebih dari lima. Maka salah satunya adalah;

"Tomato Tami, Kak," ia menjawab saat si senior bertanya namanya. Setengah takjub, setengah kesal karena hanya siswi ini yang berhasil mengumpulkan tujuh belas batu yang dimaksud.

Tomato Tami juga terlihat memiliki aura kepemimpinan yang nyata. Tampak jelas saat dirinya menjadi salah satu dari tujuh orang murid baru yang ditunjuk untuk memimpin barisan yang mana setiap barisan terdiri dari tiga puluh murid. Ia juga tak ragu memberitahu senior apabila ada anggota barisan yang terlihat tak sehat atau kesulitan. Hebatnya pula, Tomato Tami satu-satu perempuan di antara enam laki-laki. Walau sedikit terlihat canggung, tapi ia pandai membawa diri. Begitulah Tomato Tami.

Ngomong-ngomong soal anggota yang tak sehat di barisan Tami―yang sedang dibahas itu―adalah gadis bertubuh kecil dengan senyuman ringkih dan kulit agak pucat. Dia berlari paling lama, berjalan paling lama, mudah berkeringat dingin, dan gampang sekali menangis apabila seorang senior memarahinya. Jadi, jangan heran jika di hari ketiga tersiar kabar bahwa seorang anak perempuan di barisan Tami jatuh pingsan.

"Bawa ke UKS. Bawa ke UKS," kata senior dengan gesper kulit, memerintahkan Tami. 

Dibantu dua anak laki-laki, Tami mengantarkan anggota barisannya dan menunggu hingga siswi itu siuman. Mengerjap kebingungan dan minum teh hangat dengan enggan.

"... tiana," bisiknya tanpa tenaga.

"Siapa?" Tami mendekatkan telinga karena tak mendengar satu angka pun yang disuarakan siswi tersebut. 

Jadi siswi lemah itu berdehem untuk mengecek ketersediaan pita suaranya, lalu berkata lagi, "Roti Rostiana."

Tami mengangguk-angguk, mengusap dahi Roti Rostiana yang basah tanpa jijik.

Bertanya, "Masih pusing? Yang sakit bagian mana?" 

Berkedip dua kali, lalu Rostiana menunjuk kepalanya seolah berucap, 'Kepalaku pusing'. Si ketua barisan itu pun paham lalu memberikan sekerat roti basah dan tablet parasetamol pada gadis pemalu ini, sebelum kemudian beranjak dan berucap, "Aku tinggal dulu, ya. Nanti aku akan izinkan ke kakak-kakak senior. Kamu di sini saja, istirahat. Nanti pulang, aku akan jemput kamu di sini lagi, oke, Rostiana?"

Roti Rostiana mengangguk seraya dengan lirih menyahut, "Iya. Terima kasih, erm..."

"Tami. Tomato Tami. Tapi, panggil Tami saja."

Dan karena pada dasarnya Rostiana adalah anak yang baik, pemalu nan penurut sehingga meski dia sudah merasa lebih baik tiga jam berikutnya, Rostiana tidak juga beranjak pergi dari ranjang UKS. Hanya mengedarkan pandangan dan diam selama berjam-jam.

Terdengar membosankan.

Tapi kemudian, saat dia pikir bahwa Tami sudah datang untuk menjemput seperti janjinya tiga jam yang lalu. Alih-alih, yang datang adalah gadis tercantik seangkatan. Di antar oleh dua orang senior laki-laki yang cengar-cengir sembari berujar begini;

"Nah, sekarang kamu istirahat dulu. Kasihan, sampai kulitnya memerah begitu."

"Iya. Ini minum dulu," senior denga sebuah jerawat di hidung, menyodorkan botol mineral, "Nanti kalau sudah agak baikan, baru keluar. Tenang saja, ya, Dik. Tuh, ada temannya."

Seorang senior lelaki dengan rambut gaya superman, mengedikkan kepala ke arah Rostiana yang masih tergeletak di ranjang dengan malu-malu. Refleks, Rostiana pun memberi anggukan pelan pada dua senior tersebut yang kemudian pergi meninggalkan ruang UKS.

Selai Selena berceletuk, "Benar-benar panas sekali, ya, di luar. Sampai mau mati rasanya."

"I-iya," jawab Rostiana lirih.

Tangan Selena langsung terjulur ke arah Rostiana sambil tersenyum manis.

"Namaku Selena. Kamu?"

"Rostiana," lirih sekali suaranya, seperti juga jabatan tangannya yang lemah.

"Siapa? Maaf, aku nggak dengar."

"Ros-Rostiana."

"Ya ampun," Selena terkekeh, "jangan malu-malu begitu. Santai saja, aku tidak galak, kok. Tuh, yang galak ada di luar. Mana menor-menor pula dandanannya. Iyuh..." 

Rostiana hanya bisa tersenyum kikuk. 

"Oh iya, kamu kelas apa?" tanya Selena. Bangkit dan duduk di tepi ranjang, menghadap Rostiana.

"Erm, 10-C."

"Wah! Sama, dong. Aku juga 10-C. Tapi, kok barisan kita beda, ya?"

Gadis pemalu itu hanya menggelengkan kepala dengan ragu-ragu. Kemudian untuk beberapa waktu lamanya, Rostiana hanya mendengarkan Selena mengoceh panjang lebar tentang banyak hal.

Benar-benar tentang banyak hal, seperti; Kukunya yang tidak bisa memanjang seperti gadis lainnya, kekesalannya pada beberapa senior perempuan yang semena-mena, kegugupannya soal tahun ajaran baru di SMA. Pokoknya, segala hal mengenai kehidupan di sekolah baru, diluapkan secara cuma-cuma oleh Selena. 

"... apa kamu punya teman yang dari SMP dulu di sini?" Selena melipat kaki. Bersila.

"Ada, sih. Tapi, kami tidak begitu akrab. Maksudku, aku dan mereka beda kelas, jadi, yah... aku tidak terlalu dekat. Kalau kamu?"

Selena menggelengkan kepala dengan mantap.

"Aku dulu sekolah di asrama perempuan di kota sebelah. Makanya, saat aku pindah kesini, aku tak punya teman yang kukenal. Begitulah."

Rostiana mengangguk-angguk, "Kamu banyak pindah rumah, ya?"

"Maksudny―oh itu," Selena terkikik sendiri, "Iya. Aku sering pindah-pindah, nih. Jadi temanku sedikit, deh..."

Saat itu juga, kalimat Selena terpotong karena Tami sudah datang. Benar-benar menepati janjinya untuk menjemput Rostiana, bahkan membawakan ranselnya juga. Kehadiran Tami membuat Rostiana merasa sangat lega, entah kenapa, walau mereka benar-benar baru berkenalan hari ini. Tapi, rasanya sudah akrab saja. Apalagi perlakuan Tami pada Rostiana juga sangat baik.

Seperti, "Kamu bisa jalan, Ros? Masih pusing? Mau kuantar pulang saja?" 

Tami benar-benar baik sekali.

Maka sebelum keduanya pergi, Rostiana pamit terlebih dulu dengan Selena karena semenjak tadi sudah menjadi teman mengobrol―meskipun secara harfiah hanya Selena saja yang mengoceh macam bebek kurang pakan. Tapi Rostiana tetap pamit dan berterima kasih.

"Aku pulang dulu, ya, Selena. Sampai bertemu besok di kelas."

"Iya," jawab Selena, balas melambaikan tangan.

Tami hanya ikut-ikutan mengangguk walau tak berkata apapun. Lalu keduanya pergi. Meninggalkan Selena sendiri. Sempat, Selena menangkap percakapan lirih dari keduanya yang terdengar seperti ini;

"Apa dia temanmu, Ros?"

"Ya. Dia teman sekelasku besok."

Dan kalimat sederhana itu membuat Selena tersenyum kecil, sebab seseorang yang baru saja saling  bertukar nama dengannya, telah sudi menganggap dirinya sebagai 'teman'.

'Sampai bertemu di kelas besok juga, teman.'

(Bersambung ...)

Lumi Er

Hai, untuk beberapa bab ke depan akan diisi perkenalan tokoh-tokoh utama. Jadi, selamat membaca (^-^)

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status