Share

2. Kalimat 'Hai, Apa Kabar' Itu Sudah Kuno

Sebagai anak gaul dari jaman Cinta dan Rangga masih berciuman di bandara, ketiga wanita ini melakukan tos dengan penuh gaya. Mengulang perilaku gaul di masa remaja.

Sulit untuk dideskripsikan, tapi kira-kira seperti ini; Mereka menumpuk telapak tangan, menggoyang-goyangkannya, lalu saling membentuk simpul dengan jari masing-masing seperti para ninja dari Konoha―tapi sepertinya salam tiga sekawan ini lebih sulit―kemudian melemparkan tangan mereka ke atas seraya menyerukan yel-yel, 

"Go Go Girls! Girls go go!" 

Sungguh tak punya malu! Sudah berumur juga. Tapi mereka tetap melakukannya dengan tawa dan riang gembira. Mengabaikan beberapa pasang mata yang semenjak tadi menonton dengan geli ke arah mereka. Bahkan anak-anak Selena langsung melipir ke cafe Joglo di dekat kolam renang dangkal. 

"Anak-anak, sini, dong. Mau kemana?" Selena melambai-lambai memanggil putra-putrinya.

"Erm, kami makan di sana saja, Mi," ujar si sulung sembari menunjuk ke arah kafe yang masih berada di kawasan restoran, "sekalian mau berenang juga."

"Eh, sini dulu. Kenalan dulu sama teman-teman Mami."

Jadi, anak-anak itu patuh dan mendekat. Menyalami Tami serta Rostiana dengan santun.

Selena bilang, "Ini Ruben, anakku yang paling sulung dan ganteng sedunia. Sudah kelas 2 SMA. Kalau yang tengah, namanya Renata. Baru lulus SMP, besok ini mau daftar SMA."

"SMA-nya mana? SMA-nya Mami dulu?" tanya Tami.

Renata menggeleng, "Rencana mau masuk SMK, sama seperti Kak Ruben, Tante."

"Nah," Selena menggosok rambut anak bungsunya yang agak gempal, "kalau anakku yang paling imut ini namanya Rachel. Masih kelas 2 SMP, tapi pacarnya banyak."

"Ih, Mami!" sanggah si bungsu malu-malu, "Kak Ruben, tuh, yang pacarnya banyak. Aku cuma satu."

Yang langsung disahut Ruben, "Enak saja!"

Pokoknya guyonan ringan macam itu, juga menjawab beberapa pertanyaan lain sebelum kemudian kabur ke kafe. Si bungsu sempat kembali ke dalam mobil untuk mengambil handuk, ganti baju dan cream sunscreen karena ia serta kedua kakaknya ingin berenang. 

Maka di gazebo itu tersisa tiga sekawan yang lama tak berjumpa. Duduk pada tiap-tiap sisi meja berbentuk persegi dan Tami memencet bel di tiang gazebo untuk memanggil pelayan yang datang tak lama kemudian. Membiarkan ketiganya memesan makanan sebelum pamit undur diri. 

Lalu kini Selena, Tami, dan Rostiana mulai saling berbincang dengan riang.

"Aah... aku kangen sekali sama kalian," Tami memajukan tubuh, merentangkan tangan dan berusaha menggapai bahu dua sahabatnya.

"Sama, ih," sahut Selena.

"Lama nggak kontak-kontakan, ya, kita," sahut Rostiana. 

Refleks, Tami dan Selena langsung menjewer serta menoyor kepala Rostiana. Memprotes.

"Hei, yang paling susah dihubungi itu siapa, hah?!" kata Selena.

"Iya! Nggak sadar diri, deh!" timpal Tami agak dongkol.

Sementara Rostiana hanya terkekeh, menjawab dengan rasional, "Ya, habis bagaimana lagi. Di gunung sinyalnya juga nggak terlalu lancar setiap hari. Gitu, deh." 

"Sekarang sibuk apa?" tanya Tami. Kini mereka telah kembali duduk dengan tenang.

"Masih nyewain villa. Bersih-bersih villa juga, dan... oh, akhir-akhir ini aku sedang belajar tanam stroberi. Kapan-kapan kalian ke tempatku, yuk. Nanti aku ajari menanam stroberi, deh."

"Dapat stroberi nggak, nih?" celetuk Selena.

"Nanti aku kasih, kalau panennya berhasil, sih. Eh, tapi kebetulan sekali, ya, kita datang sendiri-sendiri begini―"

"Hei, kamu pikir anak-anaknya Selena itu jin?" sindir Tami.

"Ya, bukan. Tapi, kan, mereka menyingkir ke kafe. Maksudku, kita jadi punya quality time kita sendiri gitu, lho. Nyaman. Aku lebih nyaman begini," sahut Rostiana. 

Tepat saat itu, troli pesanan mereka datang dan pelayan menata menu di atas meja lalu pergi dan Tami menimpali kalimat Rostiana tadi.

"Tadinya aku mau pergi diajak sama Mas Bono sama anakku juga, ke rumah Mbak Retno. Kalian ingat dia, kan? Iparku."

"Lalu kenapa nggak jadi?" tukas Selena, menyendok nasi ke piringnya. Terkikik pelan, "Lebih milih ketemu kita-kita, ya?" 

"Iya lah. Aku bisa bertemu mereka kapan saja. Orang rumahnya ipar-iparku nggak lebih dari satu jam perjalanan dan setiap bulan pasti ada perkumpulan keluarga. Nah, kalau sama kalian, kan, nggak setiap tahun bisa bertemu."

"Owh... ini anak memang paling so sweet, deh, dari dulu," ucap Rostiana, menjawil dagu Tami. 

Ujar Tami lagi dengan wajah yang agak datar, "Akhirnya Mas Bono berangkat sama Zalwa kesana."

"Ah, nanti kena masalah lagi, lho," celetuk Selena.

"Biar. Biar saja. Lama-lama aku muak dengan mereka," sahut Tami, sambil mengaduk gelas es jus dengan kasar hingga suara dentingannya terdengar tak nyaman.

Detik itu juga, setelah Tami mengatakannya suasana langsung menjadi kikuk di dalam gazebo tersebut. Tak lama, tapi sangat kentara bahkan Rostiana sampai berdehem untuk mencairkan kembali reuni tersebut dengan topik obrolan yang berbeda.

"Oh... erm, Sel―"

"Ya?" Selena langsung menoleh ke arah Rostiana.

"Rumahmu masih yang dulu itu?"

"Nggak. Sudah pindah dari lima tahun yang lalu. Ih, kalian sesekali main, dong, ke tempatku. Di sana kompleks perumahan dan orang-orangnya individualis sekali. Makanya, aku jarang kumpul dengan tetangga. Sepi sekali. Tuh, anak-anakku saja malah nggak kenal dengan tetangga belakang rumah," Selena mengedikkan kepala ke arah kolam di dekat cafe, tempat anak-anaknya berada sekarang.

Tami langsung menyela, "Ah, kalau Rosti yang tinggal di lingkunganmu pasti senang, tuh."

"Iya lah. Nggak ada yang ikut campur. Justru nyaman begitu," kata Rostiana, bangga.

Selena memutar mata, "Nyaman bagaimana? Mau minta tolong pasang gas sama tetangga sebelah saja canggung minta ampun. Akhirnya, mau tak mau, aku belajar pasang gas sendiri."

"Ruben? Dia belum bisa pasang gas?" kepala Tami agak meneleng. 

"Ruben, kan, aku juga yang ajari."

Dan mereka masih mengobrol kesana-kemari dengan mulut penuh nasi sembari menggosipkan beberapa orang di masa lalu. Seperti misalnya;

“... kalian ingat Weni, nggak? Si culun itu, lho,” kata Selena.

“Weni nggak culun,” Tami membela, sebab orang yang disebutkan dulunya adalah teman sebangku Tami, “Tapi anaknya memang kurang pintar bergaul. Bukan culun.”

“Nah, itu dia!” Selena menjetikkan jari, “Dengar-dengar sekarang dia jadi Chief Manager di perusahaan apa gitu di Korea Selatan. Hebat, ih.”

“Nggak heran, sih, kalau Weni. Dia itu pintar minta ampun. Semangat belajarnya tinggi. Cuma, ya, itu. Banyak yang nggak mau berteman sama dia hanya gara-gara tampilannya yang kuper,” kata Tami panjang lebar.

Atau saat mereka menggibah beberapa dosen maupun guru di masa sekolah;

“... duh, aku jadi ingat sama Pak Ferdi,” ujar Rostiana mengenang, “Dia dosen paling baik, deh. Waktu aku pendadaran, dia yang banyak belain aku meskipun bukan dosen pembimbingku.”

“Kalau aku, sampai sekarang, ingat sekali sama yang namanya Bu Martha. Dia galak, tapi konsisten sama ucapannya. Sampai Bu Martha wafat beberapa tahun yang lalu itu, aku dan alumni jurusan datang melayat. Memang, Bu Martha itu represetatif seorang Pengajar yang sesungguhnya,” ucap Tami.

Namun, dari sekian banyak kisah-kisah masa kuliah yang terdengar, hanya Selena yang menanggapi dengan anggukan dan senyuman sebab di antara mereka bertiga, ia adalah satu-satunya yang tak memiliki banyak kenangan di universitas.

Makanya di spontan berujar dengan senyum getir, “Enak, ya, kalian. Kalau aku bisa memutar waktu, aku juga mau melanjutkan kuliahku. Menikmati masa-masa muda dengan benar sekali lagi. Tapi, yah…”

Selai Selena mengangkat bahu.

Sedangkan Tomato Tami dan Roti Rostiana saling pandang diam-diam, menelan makanan dengan susah. Rostiana pun menggenggam tangan Selena dan meremasnya lembut.

“Hei, sudahlah. Itu, kan, sudah lama sekali. Sekarang lihat, kamu punya hidup yang lebih baik, anak-anak yang pintar dan… erm,” ia nampak berpikir, “suami yang tampan.”

Selena justru semakin tersenyum kecut.

“Tampan,” mendenguskan tawa sarkas, “Sama halnya dengan kekayaan; tampan nggak menjamin kebahagiaan. Aku dan dia selesai di tengah jalan. Bahkan dia… oh, astaga. Sudahlah lupakan. Ini bukan cerita yang menyenangkan untuk reuni kita.”

“Nggak apa-apa,” Tami menyela, “Kalau kamu memang mau cerita, ceritalah. Inilah kenapa kita reuni. Pasti ada hal yang kamu sangat ingin kamu ceirtakan pada kami sejak lama, kan.”

Rostiana mengangkat alis seolah membenarkan, masih tetap menggenggam tangan Selena yang mulai gemetaran. Setelah beberapa saat, air mata Selena mengalir dalam diam yang dengan cepat pula dihapusnya menggunakan tisu. Lantas Selena mengedikkan kepala ke arah putra-putrinya yang sedang bersenang-senang di kolam renang dangkal.

“Mereka yang menguatkanku,” katanya dengan hidung yang memerah, “Meski mereka sebenarnya bukanlah anak kandungku.”

“A-apa?”

Selena ganti menatap kedua sahabatnya. Tersenyum, tapi sendu. Terkekeh tapi sedih.

Dan dari semua yang akan terlontar, inilah awal kisah dari para Wanita Sandwich.

(Bersambung...)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status