Share

4. How These Girls Make Friends

Syarat pertama; Harus ada yang mendekat terlebih dulu. 

Itu aturan paling penting apabila ingin mengenal siapapun dan apapun secara lebih mendalam. Bahkan, konon katanya, seekor pelatih singa harus masuk ke dalam kandang singa untuk bisa memahami perasaan si raja sabana itu. Yah, berharap saja si pelatih tidak dimakan singa sebelum ia dapat memahami perasaannya.

Tapi, singkirkan dulu percontohan pada si singa. Agak tak singkron, sebabnya. Mari mengarah pada bagaimana Rostiana yang menunjukkan senyuman canggung manakala Selena, dengan seenaknya, duduk di kursi sebelah gadis pemalu itu. Tanpa permisi, tanpa ijin terlebih dahulu. 

Alasannya, "Untung kita sudah saling kenal, ya, kemarin," kata Selena riang. 

Rostiana sendiri bukannya tidak mau duduk sebangku dengan Selena, dia hanya terkejut saja karena gadis tercantik seangkatan itu langsung mencuri perhatian seluruh kelas―terutama perhatian anak laki-laki―dengan menyapa dari ambang pintu. Melambaikan tangan dengan wajah ceria.

"Oh! Rostiana, hai!"

Ransel Selena berguncang naik turun seirama langkah kakinya yang berlari kecil menuju bangku di mana Rostiana berada di baris tengah dan tanpa basa-basi, menghempaskan pantatnya di situ. Sedikit melakukan gerakan menyingkirkan rambut dari pundak.

"Untung, deh, kita kemarin sudah kenalan." Begitulah. Sekarang bisa dipahami dari mana datangnya senyum canggung Rostiana.

Nah, buntut dari perilaku Selena itulah yang mau tak mau, suka tak suka, membuat bangku mereka kini jadi pusat perhatian. Padahal Rostiana tidak suka menjadi sorotan. Kepercayaan dirinya sangat payah. Sebab kebanyakan anak laki-laki akan mendekat untuk berkenalan dengan Selai Selena. Beberapa begitu terpukau hingga tak bisa berkata-kata, sementara yang lain mencoba menarik perhatian Selena dengan melontarkan guyonan. Bahkan sampai membuat risih sepasang siswi yang duduk di bangku depan dan samping mereka berdua. Selena sendiri, karena pada dasarnya dia adalah gadis yang baik dan menyamaratakan derajat semua orang, jadi tak ada alasan baginya untuk mengusir para siswa laki-laki ini, selama mereka tak kurang ajar. Maka tentu saja hal seperti ini akan memunculkan keirian, bahkan di hari pertama.

Semacam, "Ih, apaan sih? Sok cantik."

Atau, "Dia sekelas sama kita? Yang kemarin genit sama senior-senior itu? Oh, pantes sih, ganjen anaknya."

Rostiana tak yakin apakah Selena mendengar bisik-bisik itu atau tidak di hari pertama mereka sekolah, namun dirinya sangat jelas menangkap desis ketidaksukaan yang ditujukan untuk Selena secara nyata. Hanya saja, Rostiana terlalu kikuk untuk menegur atau menoleh untuk mengetahui siapa yang berbicara seperti itu. Jadi, si pemalu ini hanya diam saja.

Untung saja, bel masuk berbunyi sepuluh menit kemudian sehingga membuat kerumunan di bangku Rostiana-Selena, memudar perlahan. Tapi tetap saja, masih ada dua atau tiga siswa laki-laki yang berusaha mengobrol dengan Selena. 

"... nanti istirahat mau ke kantin sama-sama, nggak?"

"Sel, kamu suka baca komik, nggak?"

"Selena, daripada pulangnya kamu naik ojek, mending nanti aku antar, yuk."

Pokoknya rayuan remaja labil semacam itu. Selena hanya tertawa dan membalas dengan candaan, tepat sebelum seorang guru Geografi masuk. Tapi ngomong-ngomogn soal guru, karena mungkin ini masih hari pertama, jadi tidak ada materi pelajaran pagi itu. Sang guru pria berusia dua puluhan itu lebih suka mendongeng tentang dirinya, perjalanan karier, serta rumah tangga yang baru ia jalani selama lima bulan terakhir. Yang begitu-begitu. Agak klise memang, namun ternyata bisa membangun kedekatan Pak Guru dengan para siswa baru supaya mereka tak saling segan.

Beliau juga meminta satu per satu murid untuk berdiri sebentar dan menyebutkan nama. Maka tebak, manakala Selena berdiri pun sudah disambut dengan keriuhan dari para murid lelaki yang heboh. Suitan-suitan genit juga terdengar, dan Selena hanya tersenyum mengabaikan.

Memperkenalkan diri, "Nama saya Selai Selena. Umur lima belas tahun. Asal sekolah SMP Puan Jaya Boarding School. Hobi, erm... memasak dan bikin kue-kue yang cantik."

Tepuk tangan menggema seiring duduknya Selena. Lantas, giliran berikutnya adalah Rostiana. Oh, dia agak mencelos tadi setelah Pak Guru meminta untuk memperkenalkan diri satu persatu dengan lantang. Maksudnya adalah; Tidak bisakah Pak Guru mengambil buku absen, lalu menyebut nama mereka saj dibanding harus berdiri mempertontonkan diri begini? 

Ah, benar-benar mimpi buruk.

Bagaimana pun, Rostiana tetap berdiri dengan kadar kepercayaan diri di bawah sepuluh persen. Berdehem dua kali karena Pak Guru bilang suaranya kurang keras.

"Nama saya Roti Rostiana. Umur, ehem... umur hampir lima belas tahun. Asal sekolah SMP Negeri 8."

Dia hendak duduk saat Pak Guru memberitahu bahwa ia melewati menyebutkan hobinya.

"Hobi saya, erm, menonton film." 

Sudah. 

Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada keriuhan. Kontras sekali dengan penyambutan Selena barusan. Tapi itu lebih baik bagi Rostiana. Tak apa.

Dan kegiatan belajar mengajar hari itu hanya terdiri dari tiga mata pelajaran saja yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan pembelajaran sehingga sekolah pulang lebih awal sekitar pukul sembilan atau setengah sepuluh. Seperti yang tadi-tadi, para guru hanya bercerita, melakukan sesi perkenalan diri, malah ada yang hanya menyapa sebentar lalu pergi. Mungkin beliau hendak memakan gaji buta. Tak apalah sekali-kali.

Nah, bicara soal pulang lebih awal, maka tidak ada acara istirahat. Bel sekolah langsung berbunyi lima kali tanda pulang. Semua senang, semua berbondong-bondong keluar. Dan semua juga berebut untuk mengantar Selena pulang. Berkerumun di pagar depan. 

Tepat saat itu, mata biru gelap Selena langsung menangkap siluet Rostiana yang sedang naik sepeda mini, di mana ransel gadis pemalu itu dimasukkan ke dalam keranjang depan. 

"Ros!" teriak Selena sambil membelah kerumunan, menghampiri Rostiana yang ternyata tak bersepeda sendiri. Melainkan ada siswi lain yang menggunakan sepeda juga. Itu adalah Tami, tentunya. Salah satu dari ketua barisan saat ospek yang menjemput Rostiana di UKS.

Disapa begitu, membuat Rostiana langsung kikuk. Pasalnya, siswa pria yang tadinya mengerumuni Selena, serta merta menggerutu dengan berkata;

"Oh, ada temannya."

"Yah, pulang sama temannya, ya."

Keluhan semacam itu.

Apalagi Selena benar-benar berkata, "Pulang bareng, ya."

"Erm..." Rostiana menjawab dengan ragu-ragu. 

"Oke."

Alih-alih, justru Tami yang menjawab dengan mantap. Ia bahkan menepuk-nepuk jok belakang sepedanya supaya Selena duduk di situ. Terlihat bahwa Tami memang ingin menyelamatkan Primadona satu ini dari kerumunan para remaja jantan yang agak beringas di gerbang sekolah tersebut.

"Terima kasih," tukas si cantik seraya duduk dalam posisi menyamping dan bertanya apakah tubuhnya terlalu berat untuk Tami. Untung saja, Tami berkata tidak.

"Rumahmu di mana?" 

"Di Dusun Berlian Mulya. Tahu, kan, yang dekat stasiun itu."

"Oh, lewat jembatan, kan, berarti?" tebak Tami.

"Iya, iya."

"Berarti kita bertiga satu jalur."

Mata indah Selena langsung melebar senang, "Rumahmu juga di Berlian Mulya?"

"Nggak, sih. Tapi, kurasa kita masih satu desa. Ayo, berangkat. Keburu siang, nanti panas."

Jadi, dua sepeda itu berjalan menyisiri jalanan di pinggiran kota yang masih terdapat sawah dan sungai dangkal. Tami begitu menyenangkan untuk menjadi teman bicara serta menanggapi ocehan Selena dengan baik. Alih-alih, Rostiana hanya sesekali tersenyum dan memilih untuk mendengarkan saja.

"O iya," celetuk Selena, menjulurkan leher melewati lengan Tami, "Kita belum berkenalan."

"Namamu Selena, kan? Kalau aku Tami. Tomato Tami. Kelas 10-A."

"Wah, 10-A katanya terkenal dengan anak-anak yang pintar, ya. Pantas saja," puji Selena takjub.

Tami terkekeh. Ia pun ganti bertanya sambil menunjuk Rostiana dan Selena secara bergantian, "Kalian satu SMP? Atau?"

Buru-buru, Rostiana menggelengkan kepala.

"Baru kenal saat di UKS kemarin, kok."

Tami membulatkan bibir. Sementara Selena menimpali juga.

"Dan ternyata satu kelas. Untunglah, ya, Ros, ya. Aku nggak kenal siapa-siapa soalnya. Jadi gitu, deh. Kalau kalian, sudah kenal lama?"

"Belum, kok. Baru saat ospek kemarin," jawab Tami. 

 Seratus meter setelah mereka melewati jembatan, Rostiana pamit. Rumahnya sudah nyaris di depan mata sana. Yang bercat merah muda.

"Sampai besok, ya," gadis itu melambaikan tangan dan sudah akan berbelok ke halaman rumahnya tatkala Selena agak berseru; 

"Kalau gitu, kita main ke rumahmu sekalian, ya." 

Rostiana langsung mengerem sepeda. Menoleh ke arah Tami dan Selena yang sudah berhenti di belakangnya. Keduanya tersenyum lebar.

Bertanya lagi, setengah memaksa, "Boleh, kan?"

Rostiana langsung mengerutkan dahi.

(Bersambung...)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status