Share

6. Kalau Sudah Sebangku = BFF?

Begini, ya.

Tolong apabila dirimu sedang berada di rumah seorang teman, walau si pemilik rumah telah berkata, "Anggap saja rumah sendiri. Tak usah sungkan", itu bukan berarti boleh ongkang-ongkang kaki sembarangan atau mengambil barang-barang tanpa bilang. Setidak penting apapun barang itu, tetaplah bukan hal yang benar. Sebab ini sudah masuk dalam ranah pencurian walau akan sulit untuk diperkarakan.

Tapi, inilah yang berbeda dari Selai Selena―yang katanya gadis tercantik seangkatan. Baginya ada rumus pertemanan semacam ini;

(Saling mengetahui nama + Duduk satu bangku yang sama) x Telah berkunjung ke rumah = Sahabat Sejati.

Begitulah pola pikirnya. Jadi jangan kaget apabila Selena tiba-tiba saja meminta untuk main ke rumah Rostiana walau mereka baru dekat selama satu hari, alasannya karena Selena telah menjadi teman sebangku Rostiana. Juga jangan heran saat gadis ini ingin ikut ke kamar tidur, sebab Selena merasa telah menjadi teman berbicara Rostiana sepanjang hari pertama pelajaran―padahal sebenarnya dialah yang paling banyak mengoceh. Pun tak perlu kaget mengetahui bahwa Selena telah membawa pulang salah satu buku novel Rostiana tanpa izin sebelumnya, sebab ia sedang berkunjung ke rumah 'teman'.

Aneh memang.

Tentu saja ini membuat gadis pemalu itu kelimpungan

Dasar!

Maka saat keesokan harinya Rostiana bertanya pada Selena, 

"... maaf, tapi apa kamu kemarin membawa pulang novelku. Sel?"

Dengan bangga dan riang, Selena mengangguk jujur. Mengeluarkan buku yang dimaksud, mengacungkannya di depan hidung Rostiana.

"Iya," katanya sambil tertawa, "ceritanya lumayan, lho. Tokoh cowoknya romantis sekali, aku sampai melelh dan berkhayal tentangnya, deh. Kamu belum baca sampai akhir, ya. Soalnya lembaran-lembaran bukunya masih baru."

Dan meski Selena tertawa-tawa dengan ceria, itu tak membuat Rostiana luluh. Justru cemberut. Merebut buku itu dengan agak kesal.

Berucap, "Kalau mau pinjam, bilang dulu, kan, bisa!" Nadanya agak menggumam kesal, tapi Selena tetap mencerocos seakan tak punya dosa sepanjang jam pelajaran hingga istirahat pertama. Menjabarkan isi cerita di dalam novel dengan penuh semangat. Terkadang berbisik-bisik di dekat siku Rostiana, terkadang juga akan berbicara dengan normal saat guru tak ada. 

Benar-benar membuat Rostiana tak habis pikir.

Karena seakan teman sebangkunya ini tak jua kehabisan stok pita suara. Rostiana saja yang mendengarkan sudah cukup lelah sampai-sampai  tak bisa lagi marah. Kecerewetan Selena rupanya menyerap energi Rostiana sehingga saat bel istirahat pertama terdengar, yang ingin dilakukan Rostiana adalah makan bekal buatan mamanya. Tapi, ya... itu.

"Ros, ayo kita ke kantin," ajak Selena.

Rostiana yang sudah mengeluarkan kotak bekal dan hampir membuka tutupnya, mendongak. Lalu tersenyum kecil dan menggeleng kepala pelan.

"Nggak, ah, Sel. Aku sudah bawa bekal, kok," jawabnya sambil meletakkan tutup kotak bekal yang ia buka dan meletakkannya di atas meja. Bersiap dengan sendok.

Namun alih-alih pergi, Selena justru menutup kembali kotak bekal Rostiana, membawa bekal itu dan menarik tangan si Roti menuju luar kelas. Menuju kantin.

"Hei, mau kemana, ih?!” 

"Mau ke kantin, dong,” sahut Selena, menyeretnya ke sepanjang lorong kelas, menuju anak tangga lima buah yang akan menghubungkan pada jalur menuju kantin belakang.

“Aku, kan, sudah bawa bekal. Kamu makan sendiri saja sana, ah," Rostiana agak memberontak. Melepaskan tangan dari genggaman Selena.

Sambung Selena pula, “… lagian, kamu ini seperti anak TK saja, sih, makan di kelas sendirian. Bawa bekal pula," ejek Selena.

"Biarin," balas Rostiana sengit.

Keduanya telah sampai di pintu kantin, jadi mau tak mau, Rostiana masuk juga sebab kotak bekalnya masih disandera oleh Selena. Memang sepertinya dia anak yang menyebalkan dan harus dijauhi.

Dan tepat saat itu, tiba-tiba saja, radar kepala Selena menangkap satu sosok lagi yang tak asing. Tidak bukan dan tidak lain adalah Tami. Gadis kelas 10-A yang sedang duduk di salah satu bangku panjang di pojokan kantin bersama seorang temannya juga yang berambut pendek sebahu dan dikuncir kuda. Serta merta dan memang sudah sifat Selena yang sok kenal, ia melambaikan tangan ke arah Tami.

Berseru, “Tami!”

Otomatis, semua kepala di kantin itu menoleh ke arah Selena. Terutama kepala-kepala para pejantang tanggung yang baru saja sunat dan tak lagi ingusan. Memandangi Selena dengan mata terpana dan senyum merona. Sementara beberapa mata nampak terlihat sirik dan mulai bergunjing ini-itu

Selena sendiri mengacuhkan puluhan pasang mata tersebut dan memilih langsung berjalan ke meja Tami sambil menarik—lagi-lagi—pergelangan tangan Rostiana untuk duduk di meja yang sama dengan Tami dan kawannya itu. Baru kemudian ia mengembalikan kotak bekal milik Rostiana.

“Hai,” sapa Selena pada Tami dan satu anak perempuan berkuncir kuda di sebelah Tami.

“Hai, Sel. Hai, Ros.”

Sementara anak perempuan di sebelah Tami hanya mengangguk dan tersenyum kikuk. Menelan siomay yang barusan ia kunyah dengan canggung. Jadi, Tami pun memperkenalkannya.

“Ini—”

“Sebentar, sebentar,” Selena memotong, kembali beranjak dari kursi, “Aku mau pesan makanan dulu. Kalian mau titip apa, biar sekalian kubawakan kesini.”

Alih-alih, Tami justru turut berdiri, “Aku mau tambah cilok sama minum juga, yuk.”

“Ros,” Selena menoleh ke arah teman sebangkunya, “kamu mau titip apa? Minum?”

“Erm… boleh, deh,” Rostiana mengangguk pelan.

“Oke.”

Kepergian Selena dan Tami ke kasir kantin membuat Rostiana hanya berdua saja dengan anak perempuan itu. Nah, karena dua gadis ini nampaknya sama-sama canggung dan pemalu, jadi mereka tak saling menyapa selain hanya tersenyum kecil serta anggukan kepala.

Rostiana membuka kotak bekal sementara dua bola matanya agak curi-curi pandang ke anak perempuan di hadapannya itu, agak sedikit di sebelah kanan. Penampilannya itu… ya, ampun! Kalau saja mama Rostiana ada di sini dan melihat anak perempuan ini, pasti mamanya sudah menyuruh anak perempuan itu untuk mandi, memberikan seragam yang diseterika rapih, menyisir rambutnya dan memaksa si anak perempuan untuk mengoleskan lotion di kulit.

Pasalnya, di mata Rostiana yang memang terdidik untuk rapi dan perfeksionis, anak perempuan itu terlihat sangat kumal.

Seragamnya kusut, ada bekas noda kekuningan, dan jujur saja agak bau. Sepertinya itu seragam bekas. Lalu rambutnya yang hanya sebahu itu tidak disisir, melainkan dikuncir ala kadarnya. Membuat beberapa helai mencuat kesana-kemari tak sedap dipandang. Warna rambutnya juga kemerahan di bagian ujung dan bercabang banyak. Pasti dia jarang sekali keramas. Kulitnya kecolkatan dan bersisik. Di beberapa tempat bahkan terlihat bulatan-bulatan bekas luka koreng-koreng kecil yang digaruk. Kemudian, agak menunduk ke bawah meja berpura-pura mengecek kakinya sendiri, Rostiana melihat sepatu yang dikenakan anak perempuan ini juga kondisinya tidak bagus. Robek, berdebu dan usang.

Dan sebelum batin Rostiana dipenuhi oleh komentar-komentar negatif tentang anak perempuan kumal tersebut, Selena dan Tami telah kembali dengan membawa dua nampan berisi mangkuk bakso, tiga gelas minuman, juga seplastik cilok.

“Lama, nggak?” tanya Selena, duduk di sebelah anak perempuan kumal itu.

 Pertanyaannya yang tiba-tiba agak membuat konsentrasi Rostiana menjadi buyar dan dengan sedikit gagap, menjawab;

“Ng-nggak.”

Sambar Tami, “Jelas nggak lama, lah. Orang anak-anak cowok semuanya mengalah padamu, kok.”

Selena hanya terkikik kecil.

“Habis bagaimana, ya. Aku cantik begini, jadi susah, deh,” guraunya yang dibalas dengan lemparan tisu dari Tami.

Berbeda nuansa dengan Rostiana dan si anak perempuan kumal, atmosfer yang terbangun antara Selena dan Tami seolah menunjukkan bahwa mereka telah akrab bertahun lamanya hingga tak sungkan lagi untuk saling olok.

Selanjutnya, Tami ingat bahwa ia belum memperkenal anak perempuan yang tadi bersamanya.

“Oh, iya. Kenalin, nih, teman sebangku aku di kelas. Namanya Wenisari.”

Wenisari atau anak perempuan kumal itu sekali lagi mengangguk sopan pada Selena maupun Rostiana.

Rostiana sendiri hanya tersenyum kecil, sementara Selena justru menyodorkan tangan pada Weni tanpa rasa jijik sama sekali dan berkata;

“Namaku Selai Selena. Panggil Selena saja, dan dia,” ia menunjuk ke arah Rostiana, “Roti Rostiana. Kami bisa dibilang bestfriend. Ya, kan, Ros?”

Dan Rostiana, yang sedang mengulum sendok, langsung berjengit.

Apaan, sih?!’ 

(Bersambung...)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status