Share

Bukan perempuan sempurna

Sudah sehari Alex pergi meninggalkan Helena bersama dengan Marisa setelah 4 bulan pernikahan mereka.

Helena baru saja keluar dari kamarnya ketika suara seorang pelayan menyambutnya.

"Selamat pagi, Nyonya. Nyonya besar pesan agar Anda menemuinya di ballkon samping," beritahu pelayan.

"Baiklah. Dan tolong bawa teh untukku ke sana," perintah Helena.

Pelayan itu hanya mengangguk. Ia adalah pelayan baru di rumah besar itu dan ia tidak pernah mendengar ucapan kasar dari Helena yang katanya suka bicara keras.

Helena tidak tahu apalagi yang diinginkan oleh ibu mertuanya. Kemarin, Marisa sudah menyuruhnya menyiapkan makan siang yang seharusnya bisa dilakukan oleh pelayan dengan alasan agar Helena mengerti tugas istri yang sebenarnya.

"Pagi, Mah," sapa Helena.

"Pagi. Sudah sarapan?" tanya Marisa.

"Belum. Aku tadi minta pelayan membawa teh ke sini," beritahu Helena.

Marisa mengangkat wajahnya dan ia menatap Helena cukup lama seolah baru mengenalnya.

"Apa yang sudah kau ketahui tentang Alex?" tanya Marisa.

"Tentang Alex?"

"Benar. Apa yang kau ketahui tentang dia," jawab Marisa tajam.

"Aku mengenal Alex sebagai pria yang baik dan ia juga tidak pernah memandang orang dengan picik," sahut Helena.

"Picik?" Marisa menatap Helena bengis.

"Benar. Alex tidak suka dengan orang yang picik dan menilai orang lain dengan kaca matanya sendiri," jelas Helena.

"Lalu, apakah aku perempuan yang mengandalkan kaca mataku sendiri?" decak Marisa.

Helena tersenyum lalu menggeleng, "Alex tahu bagaimana dia menilai seseorang sedangkan aku ... aku hanya bisa melihat yang ada di depanku saja."

"Dan?"

"Aku melihat Mama sebagai perempuan yang baik," jawab Helena tenang.

"Ternyata kau jujur saat mengatakan bahwa kau tidak ahli menilai orang," dengus Marisa.

Dari sudut matanya ia melihat pelayan membawa nampan yang diatasnya ada cangkir dan sebuah piring berisi kudapan.

"Aku tidak ingin mendengar kau mengadu pada Alex karena tidak dikasih makan. Sekarang makanlah karena nanti ada tamu," ujar Marisa.

"Tamu?" Helena mengerutkan keningnya.

Biasanya tamu akan datang setelah ada pemberitahuan sehari sebelumnya dan tidak pernah ada tamu yang datang mendadak. Ia sudah melihat jadwal kegiatan di rumah tersebut.

"Siapa yang akan datang?"

"Destiana. Dia adalah adik kelasnya Alex saat kuliah," beritahu Marisa bangga.

"Oh."

Marisa yang mendengar jawaban Helena yang berupa satu kata menjadi tersinggung.

"Kau tahu siapa Destiana?Dia adalah putri seorang diplomat dan bukan perempuan sembarangan," decak Marisa ketus.

"Aku tidak kenal dan tidak ada hubungannya denganku. Alex tidak ada di rumah, berarti dia datang sebagai tamu Mama," balas Helena.

"Kau adalah istrinya Alex, sudah pasti harus menjamunya," perintah Marisa.

"Aku akan menemuinya tetapi tidak wajib menjamunya,"balas Helena.

Setelah memberikan jawabannya Helena pergi meninggalkan Marisa dengan membawa cangkir berisi teh yang belum sempat ia minum.

"Helena! Kau tahu aku bisa melaporkan tindakanmu ini pada Alex!"ancam Marisa.

"Mama bisa melaporkan apa pun pada Alex. Aku yakin Alex bukan suami yang hanya bisa mendengar tanpa melihat," jawab Helena.

Helena tidak percaya suaminya akan menerima bulat-bulat semua aduan meskipun berasal dari ibunya sendiri.

Helena mulai bosan. Sebelumnya ia berharap menikah dengan Alex yang mempunyai ibu perhatian membuatnya bahagia. Nyatanya ia merasa seperti hidup di dalam penjara.

Tanpa mengindahkan teguran Marisa, Helena pergi keluar rumah. Keinginannya sekarang adalah mencari hiburan yang kemungkinan sulit ia peroleh.

Bagaimana ia bisa mendapatkan hiburan sementara ia tahu segala gerak geriknya diawasi oleh pengawal yang selalu mengikuti kemanapun ia pergi.

Marisa biasanya tinggal di pulau pribadi yang dimiliki Alex tetapi, sejak Alex menikah perempuan itu justru memilih tinggal di rumah yang berada di pusat kota.

Helena berjalan keluar dan melihat mobilnya tidak ada. Dengan suara sedikit lebih keras, ia memanggil pelayan. “Dimana mobilku?”

“Maafkan saya, Nyonya. Mobil Nyonya baru saja dibawa ke bengkel,” jawab pelayan dengan wajah menunduk.

“Ke bengkel? Setahuku mobil tersebut tidak ada masalah,” katanya curiga.

“Tahu apa kamu soal mesin mobil?”

Helena berbalik hanya untuk menghadapi Marisa yang melipat tangannya di depan dadanya.

“Aku memang tidak mengerti, Mah. Tapi ….”

“Seharusnya kau bersyukur kami peduli,” balas Marisa.

“Sekarang masuk ke dalam, Destiana sebentar lagi sampai,” perintah Marisa membuat Helena tidak berkutik.

Helena jengkel karena tindakan Marisa. Bukan saja Marisa yang berbuat seenaknya tetapi juga barisan pelayan yang tidak pernah melakukan apa pun yang ia perintahkan.

Kenapa Destiana begitu istimewa? Siapa dia? Helena tidak percaya bahwa perempuan itu hanya adik kelasnya Alex saja. Helena curiga bahwa Marisa tidak menerimanya sebagai menantu karena Destiana.

“Hidup seperti ini bukan yang aku inginkan. Sebaiknya aku minta kerjaan pada Alex saat ia pulang nanti,” ucap Helena dalam hati.

Seperti yang dikatakan Marisa tentang Destiana. Wanita itu terlihat sempurna bahkan saat ia duduk sekalipun.

Setiap tutur kata yang keluar dari mulutnya seolah sudah disusun dengan sempurna sampai Helena berpikir bahwa Destiana bukan manusia melainkan robot.

“Jadi, berapa lama kau ada di sini?” tanya Marisa sambil melirik Helena.

“Pekerjaan papa saat ini lebih santai jadi mungkin sedikit lebih lama,” beritahu Destiana.

“Lebih santai? Bukankah papamu seolah diplomat?” tanya Marisa cepat.

“Benar. Tetapi, seorang diplomat pun memiliki waktu untuk bersantai. Sejujurnya, aku tidak mau papa terlalu lelah bekerja,” jawab Destiana tersenyum.

Helena ikut tersenyum. Ia sempat melihat perubahan di wajah Destiana dan berpikir bahwa wanita itu tidak sempurna seperti yang sempat ia pikirkan.

“Apa yang kau perhatikan. Ada yang aneh di wajahku?” tanya Destiana karena mata Helena tidak berkedip menatapnya.

“Aku berpikir apakah benar ada warna merah di pipimu atau tidak,” jawab Helena.

“Warna merah? Maksudmu ada noda di wajahku?”

Tanpa menunggu jawaban dari Helena, Destiana langsung bangun dari duduknya menuju cermin besar yang terpasang di dinding dekat ruang makan.

Tidak ada noda sedikitpun di wajahnya membuat ia sadar bahwa Helena hanya menggodanya. Kesal dan berbagai macam perasaan marah menguasai hati Destiana membuatnya berniat kembali ke ruang duduk.

Tetapi, ia menghentikan langkah kakinya saat telinganya mendengar teguran yang diberikan Marisa pada Helena.

Senyum puas tidak dapat ia sembunyikan. Ia tidak mengira Marisa masih berpihak padanya walaupun Alex sudah menolaknya.

“Apa yang kau lakukan! Kenapa tidak tutup mulutmu saja,” tegur Marisa jengkel.

“Aku hanya kecewa saja,” jawab Helena santai.

“Kecewa? Apa yang bikin kau kecewa!” Omel Marisa.

“Sebelumnya aku berpikir Destiana adalah perempuan yang sempurna. Tetapi, begitu mama bertanya alasan papanya santai, dia terlihat panic,” sahut Helena.

“Bukan urusanmu!”

“Memang bukan. Karena itulah aku kecewa karena Destiana tidak sempurna seperti yang aku pikirkan. Apa Mama tidak curiga dengan niatnya datang ke rumah ini?” cetus Helena.

“Aku kenal Destiana lebih lama daripada aku mengenalmu. Destiana adalah adik kelas Alex dan asal kau tahu, kampus mereka adalah kampus paling terkenal,” sahut Marisa.

“Aku tahu karena aku juga kuliah disana. Hanya saja Destiana sudah keluar saat aku mulai kuliah,” balas Helena tanpa beban.

Apakah Marisa berpikir Alex akan meminangnya kalau pria itu tidak tahu pendidikannya? Alex mungkin mencintainya tetapi ia juga pria yang menginginkan pendidikan istrinya seimbang dengan yang ia miliki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status