Pada hari Sabtu sore terlihat keramaian di sebuah hotel bintang lima. Lelaki dan wanita berpakaian formal berkumpul di sebuah hall besar. Nathaniel Wayne selaku Presiden Direktur Wayne Group mengadakan gathering dengan perusahaan XYZ yang baru saja diambil alih, semacam acara perpisahan dengan bos lama dan perkenalan dengan bos baru.
Angeline tampak cantik memakai atasan blouse turtle neck hitam dan celana berwarna senada. Warna hitam menonjolkan bahunya yang seputih pualam. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai lurus. Sebuah wrist wallet hitam melingkar di pergelangan tangan kiri. Nathan yang berhasil membujuk Angeline tetap berdekatan tidak dapat melepas pandangan dari tubuhnya. "Sudah melihat sugar daddy-mu?" goda Nathan. Angeline melotot keki, "Bukan sugar daddy! Pak Bondan sudah seperti ayah angkat bagi saya!" Nathan terkekeh, "Whatever. Jangan menangis kalau melihat kenyataan." Angeline membuang muka. Dia kesal setengah mati karena harus tetap duduk di sebelah lelaki gila ini sementara semua orang saling sapa dan mengobrol akrab. Seorang lelaki paruh baya bertubuh gemuk menghampiri Nathan. Wajah Angeline berubah cerah melihat Bondan, bos lamanya di XYZ. Nathan memperhatikan diam-diam. "Selamat Pak Nathaniel. Anda berhasil mendapatkan Angeline. Dia sekretaris yang terbaik." Bondan mengulurkan tangan pada Nathan. "Ya. Dia memang yang terbaik." Nathan menjabat tangan Bondan. "Pesta yang meriah. Terima kasih sudah mengadakan acara ini. Saya sendiri masih sulit percaya bahwa XYZ sudah tidak berada di bawah pimpinan saya. Semoga dapat berkembang bersama Anda." Bondan tersenyum lebar. Matanya melirik Angeline. "Aku ke belakang sebentar." Nathan meletakkan tangan di bahu Angeline dan berbisik begitu dekat di telinganya. Kalau tidak ingat mereka sedang berada di tengah pesta ingin rasanya Angeline menampar lelaki itu. Tidak paham batasan ruang pribadi sama sekali! "Saya permisi sebentar. Kalian mengobrollah dulu," pamit Nathan pada Bondan. "Baik. Saya akan menjaga Angeline," gurau Bondan. Sepeninggal Nathan, Bondan duduk di sebelah Angeline. Senyum lebar tidak meninggalkan wajah lelaki paruh baya itu. Dia mencondongkan tubuh begitu dekat ke arah Angeline. "Bagaimana bos barumu, Angel? Dia baik terhadapmu?" tanya Bondan. "Masih bisa saya hadapi, Pak. Rencana Anda berikutnya bagaimana? Apakah menikmati masa pensiun?" Angeline membiarkan Bondan menggenggam tangannya. "Jika iya, maukah kamu ikut bersamaku?" Bondan menatap penuh arti. Angeline mengejapkan mata, "Maksudnya?" "Karena sekarang kita sudah tidak terhalang status atasan dan karyawan, kita bisa membawa hubungan ini ke arah yang sedikit berbeda." Tangan Bondan bergerak naik ke lengan Angeline dan tampaknya tidak akan berhenti. "Pak, saya tidak salah dengar, kan?" Angeline bergeser menjauhi Bondan. "Tentu tidak. Kamu gadis yang pintar, pasti mengerti maksudku. Atau, jangan-jangan Nathan sudah mengklaim dirimu?" Bondan meletakkan tangan di bahu Angeline yang terbuka. "Ya, sekarang saya mengerti." Angeline menepis tangan lelaki itu dengan kasar kemudian berdiri, "Permisi." "Mau ke mana, Angeline? Meskipun sudah berusia begini tapi aku tidak kalah dengan Nathan. Kita bisa langsung check in di sini kalau kamu mau." Bondan menyusulnya berdiri. Perut Angeline terasa mual. Saat ini yang ingin dia lakukan hanyalah berada sejauh mungkin dari Bondan, sebelum dia memukuli lelaki yang sempat dianggap ayahnya itu. "Pak, saya masih menghormati Anda sebagai orang yang lebih tua. Harap jangan kurang ajar," tegas Angeline. "Cih, si Nathan itu pasti sudah memberikan sesuatu untukmu. Kalau tidak mana mungkin kamu menolak saya?" Bondan memegang pergelangan tangan Angeline. "Lepas." Hanya sepatah kata yang keluar dari mulut Angeline. Dia sudah bersiap untuk menghajar orang. "Tidak usah jual mahal. Saya tahu, wanita lain di mulut lain di hati. Seperti apa Nathan memperlakukanmu di tempat tidur? Saya bisa melakukan lebih." Waktu seolah berhenti. Angeline mengangkat tangan, tapi seseorang menahannya. Entah dari mana Nathan sudah berdiri di antara dirinya dan Bondan. Lengannya merangkul Angeline seolah melindunginya dari Bondan. "Perlu saya ingatkan, mencari masalah dengan asisten pribadi saya sama saja mencari masalah dengan saya." Nathan menatap tajam Bondan yang langsung gemetar ketakutan. "Maaf, maaf ...." Bondan segera melesat pergi menghilang di tengah kerumunan. Angeline melepaskan diri dari rangkulan Nathan dan berjalan cepat-cepat ke restroom. Jantungnya berdebar kencang dengan berbagai emosi berkecamuk dalam hati. Dia menyembunyikan diri di dalam toilet karena tidak ingin melihat wajah Nathan yang merasa diri paling benar. Rasanya lama juga Angeline duduk di toilet. Suara langkah kaki silih berganti masuk dan keluar dari restroom hingga akhirnya sepi. Angeline menyandarkan kepala di lutut. "Angel?" Sebuah suara memanggilnya lembut. Angeline terkesiap. Nathan menyusul ke restroom. Dia diam tak bergerak, berharap lelaki itu membiarkannya meratap seorang diri. "Angel, keluarlah," pinta Nathan. Dia sudah berdiri di depan pintu toilet tempat Angeline bersembunyi. Tidak ada jawaban. "Baiklah. Menyingkir dari belakang pintu." Adegan berikutnya hampir bisa ditebak. Nathan menendang pintu sampai terlepas dari engselnya. Untung Angeline bisa menahan jatuhnya pintu sehingga tidak membentur kepala. "Anda gila ya?? Sudah menerobos masuk ke restroom wanita masih harus merusak properti??" Angeline menyandarkan daun pintu ke dinding dan melangkah keluar. "Aku tidak suka melihat wanita meratap sendirian. Ikut aku." Nathan mengulurkan tangan. "Tidak perlu! Saya mau pulang!" Angeline menepis tangan Nathan. "Angel, pesta belum usai, tugasmu belum selesai." Nathan menangkap lengan Angeline dan menariknya mendekat. Gerakannya yang mendadak membuat wanita itu kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke dada Nathan. Spontan Nathan memeluknya. Mereka bertatapan dalam jarak begitu dekat. Wajah Angeline merona oleh kehangatan Nathan yang mendadak menyergapnya. Wajah cantik yang merona itu membuat Nathan tidak berkedip. "Kamu cantik sekali," bisik Nathan. Dia menunduk hingga bibir mereka nyaris bertemu. Angeline terbelalak. Nathan memegang bagian belakang lehernya sehingga Angeline tidak dapat berpaling. Sekejap mata dia merasakan bibir Nathan menekan bibirnya. Tidak disangka bibir lelaki yang berwajah menyeramkan itu terasa begitu lembut. Bunyi tamparan bergema dalam restroom. Wajah Nathan tersentak ke samping, tapi dia tampak puas karena berhasil mencium Angeline. "Brengsek! Kalian lelaki sama saja!" Angeline menghambur keluar. Nathan terkekeh, "Termasuk pacarmu yang payah itu, Sayang ... Tunggu saja, akan kubongkar topengnya." Pesta masih ramai. Angeline tidak mempedulikan banyak orang dan berlari sampai lobby hotel. "Angeline!" Mendengar seseorang memanggil namanya Angeline menambah kecepatan. Instingnya mengatakan bahwa orang yang mengejarnya semakin dekat. Pintu utama sudah di depan mata, dia tidak boleh menyerah. Mendadak kakinya terangkat dari lantai. "Sial!" maki Angeline. "Kita pulang." Nathan memanggul Angeline di bahunya. "Turunin! Aku bisa jalan sendiri!" Angeline tidak ingin menjadi tontonan maka dia tidak memberontak dengan heboh. "Tidak. Sebagai seorang wanita larimu cukup cepat. Aku tidak mau kejar-kejaran dalam hotel," ujar Nathan. Angeline mengerang kesal. Nathan mendorong Angeline masuk ke mobil, kemudian dia segera menyusul masuk dan mengunci pintu. Angeline duduk menempel di pintu. Dia menolak untuk melihat lelaki di sebelahnya. "Bagaimana pertemuan terakhir dengan sugar daddy-mu?" ejek Nathan. "Tidak tahu!" Nathan tertawa. Dia sudah menduga Angeline akan marah karena merasa dikhianati oleh Bondan. "Lebih baik aku daripada lelaki tua itu, kan?" pancing Nathan. "Mati saja kau!" maki Angeline. "Kalau aku mati siapa yang menggajimu?" Nathan beringsut mendekat. Angeline yang merasakan pergerakan itu menoleh sengit, "Jangan bergerak!" "Hmm ... Sepertinya tadi kamu membalas ciumanku," goda Nathan. "Kata siapa?" Wajah Angeline merah padam mengingat insiden singkat di dalam restroom. "Wajahmu mengatakan dengan jelas, Sayang." Nathan mengulurkan tangan untuk menyentuh rambut Angeline. "Jangan pegang-pegang! Buka pintunya, Brengsek! Aku mau keluar!" Angeline menepis tangan Nathan. "Are you sure?" Nathan tersenyum. Meskipun ruang gerak sangat terbatas Angeline masih berusaha memberikan perlawanan sengit. Sayangnya Nathan mampu melumpuhkan setiap serangan sambil berhati-hati supaya tidak mencederai Angeline. Beberapa saat kemudian Angeline terpojok. Wanita itu berakhir di pangkuan Nathan dengan kedua tangan terkunci di punggung. Tubuh mereka berhadapan tanpa jarak dan hidung mereka nyaris bersentuhan. "Aku ingin menciummu, Angeline ...," lirih Nathan. Angeline meronta saat Nathan mendekatkan wajah. Nathan memegang kedua tangan wanita itu dengan satu tangan. Perlahan dia menyusupkan tangan di belakang leher Angeline, mencegahnya untuk berpaling. "Tidak mau! Lepas!" Angeline tidak menyerah begitu saja. "Berhenti melawan. Aku hanya minta sebuah ciuman," bujuk Nathan. "Aku bukan wanita yang bisa kau permainkan! Lepaskan aku, Brengsek!" Nathan menatap sepasang mata indah di hadapannya yang mulai berkaca-kaca. Sebersit rasa iba timbul di hatinya, sebuah rasa yang biasanya tidak pernah dia rasakan terhadap wanita. Namun, sudah sejauh ini Nathan tidak akan mundur. Dia mencium bibir mungil Angeline yang telah mengisi mimpinya selama satu minggu terakhir. "Ah ... Sial," maki Nathan saat Angeline menggigit bibirnya dengan keras. Angeline terengah, "Lelaki bajingan!" Nathan tersenyum. Dia senang karena berhasil dua kali mencium Angeline. Nathan menjilat setitik darah di bibir yang diakibatkan oleh gigitan wanita itu. "Ternyata wanita yang dapat melawan lebih menarik. Aku menyukaimu, Angel. Aku tidak akan membiarkanmu lepas lagi," bisik Nathan."Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar