“Kita sudah sampai, Qiana.”
Hening. Qiana hanya diam dengan kepala tertunduk. Manik matanya menatap ke arahcincin yang melingkar di jari manisnya. Wajahnya tampak datar, tetapi jelas dari sorot mata terdapat kesedihan. Bagaimana tidak, secara mendadak Qiana kini sudah berstatus sebagai istri James. Dua jam yang lalu dirinya diminta menikah sirih hanya untuk menutupi kehamilannya. Mengenai cinta, papanya bahkan tidak peduli sama sekali. Apalagi pesta, tidak ada pesta apa pun untuk itu, membuat air matanya tanpa sadar mengalir.
“Mulai sekarang kita akan tinggal di sini,” ucap James kembali.
Qiana yang mendengar pun menarik napas dalam dan membuang perlahan. Jemarinya mengusap pelan air mata yang sempat melewati pelupuk. Kepalanya mulai mendongak, menatap ke arah rumah mewah di depannya.Qiana membuka pintu dan keluar, mengabaikan James yang masih menunggunya. Kakinya terus melangkah dan masuk, mengamati sekitar. Semua yang ada di sana adalah barang mewah. James seorang pebisnis sukses. Jadi, hal semacam ini tidak asing baginya.
“Dimana kamarku?” tanya Qiana dan menghentikan langkah.
“Kamar kita ada di lantai dua, Qiana,” jawab James.
Kita? Qiana menelan saliva pelan dan menatap ke arah James berada. “Bisa kita tidur di kamar yang terpisah?” tanya Qiana setengah meragu. Dia takut kalau James akan marah
dengannya.
“Kenapa?” James menatap dalam.
Qiana kembali diam, sesekali menggigit bibir bagian bawah. Dia sendiri tidak tahu kenapa, tetapi ada perasaan belum siap untuk menerima James sebagai suaminya
“Qiana, kita sudah menikah. Jadi, kita harus tidur bersama,” ucap James tenang.
“Tap....” Qiana menghentikan ucapan saat panggilan masuk terdengar.
James membuang napas kasar dan mengambil ponsel di saku celana. Dia menatap layar yang menunjukkan nomor tidak dikenal masuk. Dengan tenang, dia melepaskan dekapan dan berkata, “Aku angkat telpon dulu.”
Qiana hanya bergumam pelan dan membiarkan James menjauh. Dia hanya mengamati wajah yang mulai sedikit berubah. Beberapa detik yang lalu, James tersenyum manis di hadapannya. Suaranya juga lembut, tetapi sekarang pria itu tampak kesal dan serius. Hingga James kembali memasukkan ponsel dan melangkah ke arahnya.
“Qiana, aku harus pergi sebentar. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kamu ke kamar dulu saja. Aku sudah siapkan semuanya di sana,” ucap James.
Qiana lagi-lagi mengangguk, membuat James dengan cepat melangkah ke arah pintu. Tapi di dalam hati, Qiana cukup bertanya-tanya, pekerjaan apa yang harus diselesaikan malam-malam?
***
James membelokkan mobil, memasuki pelataran sebuah rumah mewah. Dia segera turun dan menutup pintu dengan kasar. Wajahnya tampak dingin dengan rahang mengeras. Kakinya pun melangkah lebar, membuat anak buah yang berjaga di pintu hanya menundukkan kepala dan menutup mulut rapat. Di sana, tidak ada yang berani menyinggung James.
“James, akhirnya kamu pulang.”
James yang melihat seorang wanita tengah menuruni tangga pun hanya diam. Manik matanya menatap tajam. Mulutnya bahkan hanya tertutup rapat dan mengamati setiap gerak-gerik wanita di hadapannya.
“James, aku kira kamu gak akan datang ke sini,” ucap wanita yang sama saat berada di hadapan James. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh pipi James.
Namun, saat itu juga James menghindar. Dia berkata, “Sebenarnya apa maumu, Deolinda? Kenapa kamu selalu memaksaku untuk datang ke sini dan melibatkan Mama di dalamnya?”
“Aku hanya merindukanmu dan mau kamu ke sini, James. Sudah lama kamu tidak menemuiku,” jawab Deolinda sembari mendekati James.
“Tapi aku gak mau ke sini. Jadi, berhenti menyuruhku untuk ke sini dan jangan manfaatkan mamaku untuk kepentinganmu sendiri, Deolinda. Kalau kamu melakukannya lagi, aku pastikan kamu akan menyesal,” ucap James dengan sinis. Dia segera melangkahkan kaki dan menuju ke arah tangga.
Namun, saat itu Deolinda meraih pergelangan tangan James, membuat pria tersebut berhenti di sebelahnya. Dengan tenang, Deolinda mengalihkan pandangan, menatap James yang menunjukkan rasa jijik dengannya.
“Tapi jangan lupa juga, James. Aku itu istrimu dan aku berhak meminta perhatianmu,” ucap Deolinda dengan penuh penekanan.
“Bayi dalam kandunganmu baik-baik saja, Qiana. Dia juga sehat dan tumbuh dengan baik.”Qiana yang mendengar ucapan sang dokter pun tersenyum lebar. Dia merasa bahagia dengan kabar yang diterimanya. Harapannya supaya yang anak tumbuh di rahimnya dengan baik pun seakan terwujud. Dia yang bahagia membuat bayi dalam kandungannya bisa berkembang dengan cukup baik.“Aku akan berikan resep obat buat kamu,” ucap sang dokter kembali.Qiana hanya menganggukkan kepala. Bibirnya masih tersenyum lebar, menatap ke arah gambar janin di depannya. Sudah terbentuk kepala dan bagian tubuh yang lain. Beratnya juga sudah tampak. Terlihat di sana bayinya mulai bergerak, membuat Qiana yang begitu menantikan semakin tidak sabar. Padahal dia tahu setelah ini dia akan berpisah dengan James.Namun, Qiana seakan tidak peduli sama sekali. Dia tetap mengharapkan anaknya segera lahir. Rasanya tidak sabar untuk menggendong bocah mungil yang saat ini hanya bisa melihatnya melalui monitor USG. Hingga sang dokter membe
Qiana mengenakan dress panjang semata kaki dan mengatur rambutnya. Dia menatap beberapa kali, takut kalau sampai ada yang salah dengan penampilannya. Make up tipis membuatnya tampak semakin menawan. Entah kenapa, Qiana merasa kalau setelah kehamilan ini, dia terasa jauh lebih cantik dari sebelumnya.Qiana mulai melangkahkan kaki setelah merasa sudah puas dengan penampilannya. Dia menuju ke arah pintu dan keluar. Kakinya menuruni satu per satu anak tangga. Sebelah tangannya memegang pembatas tangga, takut kalau dia kenapa-kenapa. Perutnya sudah lebih besar dari sebelumnya, tetapi masih bisa untuk melihat kakinya melangkah. Hingga Qiana yang sudah sampai di bawah pun segera menuju ke arah pintu depan.“Qiana, kamu mau kemana?” tanya Siska dengan tatapan lekat.Qiana pun berhenti dan menjawab, “Aku mau periksa kandungan, Ma. Hari ini memang sudah jadwalnya.”“Loh, kok gak bilang sama James,” ucap Siska.Qiana yang ditanya pun diam. Dia memang sengaja tidak mengatakan hal ini dengan James
“Diminum dulu, Jessica.”Jessica yang mendengar hal itu pun terdiam. Dia menatap ke arah Qiana dan Emily yang ada di depannya. Ada perasaan canggung saat melihat keduanya yang sudah menolong dirinya. Padahal jelas kalau dia sudah berbuat buruk dengan Qiana. Hingga dia menelan saliva pelan dan mengambil gelas di depannya. Jessica mulai meneguk pelan, berusaha menghilangkan ketakutan dan perasaan canggung yang tiba-tiba muncul.“Bagaimana kamu bisa berurusan dengan mereka, Jes? Kamu memiliki masalah atau memiliki hutang?” tanya Emily.Jessica baru saja selesai menghabiskan minuman yang ditawarkan Emily. Dia mulai meletakkan gelas di meja dan balik bertanya, “Bukannya itu orang suruhan kalian?” Sebenarnya Jessica tahu kalau tidak mungkin mereka menyuruh orang untuk menyakitinya, tetapi Jessica sudah terlanjur malu. Dia enggan mengakui kesalahannya yang sudah berbuat jahat dengan Qiana. Mendengar itu, emosi Emily pun langsung meningkat. Dengan tegas dia berkata, “Jaga omonganmu, Jessica.
Qiana membuang napas lirih. Pagi ini dia memilih berjalan-jalan di taman yang jauh dari rumahnya. Tidak lupa Qiana mengenakan masker, takut kalau ada yang mengenali dirinya. Dia takut kalau kejadian beberapa hari yang lalu membuat banyak orang mengenal dirinya. Ditambah dengan perutnya sudah sedikit lebih membesar, membuat Qiana mau tidak mau harus lebih giat dalam melakukan aktivitas. Padahal kalau dulu dia hanya akan berbaring cantik dan tidak melakukan apa pun.Qiana yang sudah berjalan beberapa putaran pun membuang napas lirih. Dia memilih untuk duduk di tanah dan menyelonjorkan kedua kaki. Manik matanya menatap sekitar. Ada beberapa ibu hamil juga yang tengah berjalan-jalan seperti dirinya. Bedanya, mereka ditemani suami. Sedangkan Qiana harus berjalan-jalan sendiri. Ada rasa iri setiap kali melihat pasangan yang begitu bahagia. Qiana juga menginginkan hal yang sama.Namun, Qiana harus cukup sadar diri. Dia tidak mungkin mendapatkan hal semacam itu. Kalau sampai dia mendapatkanny
Hening. Alvan dan James hanya diam. Keduanya duduk saling berhadapan, tetapi tidak ada yang membuka suara sama sekali. Keduanya seperti tengah asyik menikmati pikiran masing-masing. Hingga Alvan yang tidak sabar menunggu pun membuang napas lirih. Dia mendongakkan kepala, menatap ke arah James dan bertanya, “Kenapa kamu kesini, James?”James yang awalnya dia pun langsung mendongak. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk diam. Dia juga tidak takut dengan Alvan. Hanya saja, sejak tadi dia diam tengah memikirkan kalimat yang pas untuk melarang Alvan selain karena Qiana adalah istrinya. Dia ingin membuat Alvan takut dan menurut dengannya.“Tidak biasanya kamu datang ke rumahku,” imbuh Alvan karena tidak juga mendapat jawaban.James membuang napas lirih dan berkata, “Aku kesini karena aku melihat kamu bersama dengan Qiana beberapa hari yang lalu, Alvan.”Mendengar itu, Alvan terdiam sejenak. Dia merasa bahagia karena James yang ternyata terpancing dengan rencananya. Dia yakin, James pasti ten
Alvan melangkah pelan, keluar dari mobil dan memasang wajah datar. Sorot matanya menunjukkan keseriusan. Tidak ada senyum yang terlintas di bibirnya. Bahkan beberapa sapaan dari karyawan tidak dibalasnya sama sekali. Hari ini mood-nya tidaklah baik, membuat Alvan tidak mau bersikap ramah dengan siapa pun.Alvan terus melangkahkan kaki, menuju ke arah lift yang akan membawa ke ruangannya. Mulutnya masih bungkam. Padahal biasanya dia masih mau menyapa para karyawan yang bersikap baik dengannya. Hingga pintu lift terbuka, membuat Alvan kembali melanjutkan langkah.Alvan segera memasuki ruangan, sesekali menatap ke arah sang sekretaris yang belum datang. Padahal sudah siang, tetapi sekretarisnya malah tidak berniat untuk bekerja sama sekali. Bahkan dia yang merupakan atasan malah jauh lebih dulu sampai di kantor. Hingga Alvan memasuki ruangan dan siap melangkah ke arah meja kerja.Namun, niatnya terhenti karena manik matanya melihat seseorang yang cukup dikenalnya. Menyadari kesabarannya