“Pilihanku masih sama. Bahkan sampai mati pun aku tetap tidak mau menjadi kendaraan politik untukmu! SMTV bukan stasiun televisi yang bisa disetir oleh kubu mana pun.”
Zach tersenyum licik mendengar ucapan lawan bicaranya via telepon, lalu ia menarik seorang gadis ke pelukannya dengan gerakan kasar."Aku sudah berbaik hati padamu dengan menawarkan keuntungan besar. Tapi sepertinya kau tidak suka diajak komunikasi secara halus," ujar Zach sambil memandang dengan tatapan yang seakan menguliti hidup-hidup gadis cantik di dekapannya. "Jika ini menjadi hari terakhir kau bisa melihat wajah putrimu, ingatlah selalu bahwa pelakunya adalah aku.""LEPASKAN AKU!" pekik gadis itu yang mulai menitihkan air mata tanpa diperintah.“HEY! JANGAN MACAM-MACAM DENGAN EVELYN! DIA TIDAK TAHU AP—”Sambungan terputus tiba-tiba. Zach mengakhirinya secara sepihak tanpa peduli dengan ocehan Victor, laki-laki berusia lima puluh tahun yang merupakan ayah biologis Evelyn—gadis yang kini berada dalam kungkungan Zach."Kenapa kau tega melakukan ini padaku? Memangnya apa salahku?!" tanya Evelyn yang tak lagi berdaya karena kedua tangannya diikat menggunakan tali.Pria itu menatap Evelyn dengan bengis dan tanpa belas kasihan. "Sebelumnya sudah aku ingatkan pada ayahmu agar jangan terlalu angkuh, tapi dia mengabaikannya," ucapnya dengan nada tajam, lalu menambahkan, "Setelah ini dia pasti akan menyesali keputusannya.""Zachary Muller, ... kau sangat licik!" Evelyn bergumam dengan nada marah yang tertahan.Alih-alih merasa bersalah, Zach justru terkekeh sinis. "Agar bisa menang, kau perlu menjadi licik atau menjadi orang yang beruntung. Dan aku menyukai opsi pertama," bebernya.Evelyn berusaha melepaskan diri dengan meronta sekuat tenaga. Namun, tenaga Zach tentu jauh lebih besar. Ia tidak bisa melawan karena kedua tangannya diikat dengan sangat kencang. "Tolong, lepaskan aku!" pintanya memohon dengan amat sangat. Cairan bening mengalir tanpa henti dari pelupuk mata gadis berusia dua puluh dua tahun tersebut. "Minggu depan aku akan menikah dengan kekasihku. Jadi, kumohon bebaskan aku ...."Zach meraup pipi Evelyn dengan satu tangan, lalu membalas, "Tidak akan, kecuali jika ayahmu mati di hadapanku." Dan sekarang ia benar-benar terlihat seperti pembunuh berdarah dingin yang tidak memiliki hati.Detak jantung Evelyn semakin kacau. Ada amarah yang berkobar di balik rongga dadanya. "Biadab! Mana mungkin orang sepertimu bisa dipercaya menjadi seorang pemimpin? Kau sangat kejam dan manipulatif." Ia membalas tatapan Zach seperti harimau kelaparan yang sedang melirik seekor domba. "Jika 99,9% orang di negara ini mendukungmu menjadi presiden, maka aku akan menjadi bagian dari 0,1% yang tidak akan pernah memilihmu!" ucapnya dengan tegas.Lantas Zach tersenyum miring mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Evelyn. "Jika ada 99,9% orang yang mendukungku, maka seekor lalat sepertimu tidak akan berarti apa-apa bagiku."Belum sempat gadis itu menanggapi ucapan Zach, pria itu sudah lebih dulu menoleh pada salah satu pengawal yang berdiri tidak jauh darinya. "Joe, bawa gadis ini ke mansion dan kurung dia di ruang tahanan!" perintahnya seraya mendorong Evelyn dengan kasar ke arah Joe.Dengan sigap Joe menangkap tubuh mungil Evelyn, lalu menganggukkan kepala membalas ucapan ketua partai sekaligus bos mafia The Killer Panther tersebut. "Laksanakan, Tuan!""LEPASKAN! AKU TIDAK MAU MENJADI TAWANAN SI BRENGSEK ITU!" pekik Evelyn. Joe terpaksa menyeretnya karena gadis itu terus meronta minta dibebaskan.Alasan yang mendasari kenapa anak dari CEO SMTV itu diculik, yaitu karena Victor tidak mau stasiun televisinya dijadikan alat politik yang menyuarakan dukungan resmi terhadap Zachary Muller untuk menjadi presiden pada periode selanjutnya.Victor dengan tegas menyatakan bahwa SMTV merupakan stasiun televisi netral yang tidak bisa dimonopoli oleh siapa pun demi kepentingan pihak tertentu. Bahkan seluruh kabar berita yang tayang di SMTV dapat dipastikan asli tanpa ada yang direkayasa. SMTV adalah stasiun televisi paling waras, aktual, tepercaya dan anti gimmick!"Aku mau bertemu Ayah ..." ucap Evelyn sambil menangis histeris, seakan ia tidak akan bisa melihat ayahnya lagi di kemudian hari. "Kau ... dasar pria jahat!" ucapnya seraya memandang Zach dengan tatapan berapi-api.Sementara itu, Zach menarik sudut bibirnya ke samping, memperlihatkan betapa besar kendali yang ia genggam di tangannya. "Ini belum apa-apa, Nona Kecil," ejeknya tanpa belas kasihan sedikit pun.Sebelum dirinya benar-benar lenyap ditelan bibir pintu, Evelyn sempat melirik Zach dan menunjukkan ekspresi murka kepada pria berusia tiga puluh lima tahun tersebut. "AKU AKAN MEMBALAS PERBUATANMU, BRENGSEK!" umpatnya yang diselimuti dendam dan amarah.Bagi Zach, itu sama sekali bukan ancaman. Ia memandang remeh kepergian Evelyn, lalu menyentakkan jas yang melekat di tubuh proporsionalnya dengan angkuh. "Seekor lebah baru saja mengancamku ... tanpa dia sadari bahwa aku adalah sarang madunya."Kali ini Zach menoleh pada pengawal lainnya yang masih berada di dalam ruangan. "Jack, Tristan, pancing Victor untuk datang ke sini lalu sandera dia di ruang bawah tanah," ucapnya memerintah."Laksanakan, Tuan!"***Beberapa jam yang lalu, Evelyn tak sadarkan diri akibat reaksi obat bius yang disuntikkan paksa ke dalam tubuhnya. Itu semua karena dirinya tidak mau diam dan terus berteriak meminta pertolongan dari orang sekitar—meski nyatanya orang-orang itu tidak bisa mendengar suaranya karena kaca mobil telah ditutup rapat-rapat.Evelyn yang baru saja membuka kelopak mata kini hanya diam meringkuk sambil merasakan kepalanya yang masih pusing. Ia tak bisa melakukan apa-apa saat dua orang pria berbadan kekar menyeret tubuh mungilnya masuk ke dalam mobil, sebelum akhirnya ia terkurung seorang diri di sebuah ruangan pengap dan gelap—yang entah ini di mana—seperti kriminal yang sedang menjalani hukuman.CKLEK!Pandangan Evelyn beralih ke arah pintu yang baru saja dibuka, menciptakan cahaya terang menerobos masuk melalui celah pintu.Seorang pria yang mengenakan tuxedo tampak menyembulkan kepala dari balik pintu. Pantofel hitam mengetuk lantai silih berganti, menimbulkan bunyi khas di tengah sunyinya suasana.Pria itu menghampiri Evelyn dengan langkah berwibawa, lalu berjongkok di hadapan gadis tawanannya tersebut."Apa maumu?" tanya Evelyn seiring mengubah posisi menjadi duduk berselonjor. Mulai timbul perasaan takut dan was-was di benaknya.Tak ada jawaban, selain hanya tatapan misterius yang menimbulkan tanda tanya. Zach bertepuk tangan dua kali, sebelum akhirnya datang seorang wanita berpakaian seperti pelayan yang membawakan nampan berisi air putih dan kue kering."Silakan, Tuan!" ucap si pelayan seraya meletakkan nampan di atas lantai semen tempat mereka berpijak. Setelah itu, ia segera meninggalkan ruang tahanan karena diminta keluar oleh Zach."Makanlah!" Zach kembali memandang Evelyn. "Setelah itu akan kutunjukkan di mana tempat yang layak untukmu."Evelyn menggeleng, "Tidak ada satu pun tempat yang layak untukku selain kembali ke rumah dan berkumpul bersama ayahku.""Andai ayahmu mau menjadikan SMTV sebagai media pendukung untukku, maka kau tidak akan pernah berada di sini," ucap pria dengan rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus tersebut.Evelyn terbungkam. Ingin rasanya memukul wajah tampan Zach yang penuh muslihat. Akan tetapi, ada sedikit rasa takut yang membuatnya menahan diri untuk tidak gegabah."Habiskan makananmu," perintah Zach seraya menyodorkan piring berisi kue kering kepada Evelyn. Meski suaranya pelan, tapi Evelyn bisa menebak bahwa Zach sama sekali tidak ingin mendengar penolakan.Merasa belum lapar dan masih menikmati pusing di kepalanya akibat obat bius, Evelyn memilih menggelengkan kepala. Ia tak ingin memuntahkan makanan yang bahkan belum menyentuh ujung bibirnya sedikit pun.Reaksi Evelyn membuat Zach semakin geram. Tanpa banyak omong, ia memasukkan kue kering itu ke dalam mulut Evelyn secara paksa, satu per satu hingga gadis itu nyaris tersedak. "Inilah akibatnya jika kau berani membantah ucapanku!" Ia menyunggingkan senyuman miring, terlihat tipis tapi mengerikan seperti iblis.Evelyn hampir menyemburkan kue kering tersebut, tetapi Zach membekap mulutnya kuat-kuat dengan telapak tangan. "Telan, atau aku akan menamparmu?!" ancamnya.Evelyn terpaksa menelan makanannya yang lembek dan menjijikkan seperti bubur bayi. Mafia kejam itu juga memaksa dirinya untuk meneguk air putih, sehingga air dan sisa-sisa kue tersebut berceceran keluar dari mulutnya. Bahkan gadis cantik itu sampai terbatuk-batuk karena tersedak.Gadis itu hanya bisa pasrah dan membiarkan air mata menggenang di pipinya. Selama hidup di dunia, ia bahkan tidak pernah diperlakukan sekasar ini oleh kedua orangtuanya."Berhenti menangis! Sekarang ikuti aku, sebelum aku menyeretmu secara paksa!"Lagi, gadis itu menolak permintaan Zach dengan sebuah gelengan. "Tidak mau!"Zach yang sudah kehabisan stok sabar pun akhirnya menarik tangan Evelyn, menyeretnya keluar dari ruang tahanan dengan kasar.Evelyn diajak masuk ke dalam harem berisikan matras yang dihuni wanita-wanita cantik dan seksi—yang merupakan selir bagi para lelaki penggila selangkangan di mansion tersebut."CEPAT MASUK!" hardik Zach, tanpa peduli bagaimana Evelyn saat ini memandang dirinya seperti monster. Dari nada suaranya, jelas sekali pria itu tidak ingin mendengar bantahan dalam bentuk apa pun.Semua mata memandang remeh ke arah Evelyn yang melangkah malu-malu dengan penampilan kumuh dan berantakan.Sungguh, saat ini di mata mereka Evelyn tak lebih dari segenggam kotoran ayam yang tak sengaja terinjak oleh telapak kaki. Menjijikkan!"Daissy, bawa Evelyn ke tempat pemandian dan carikan sebuah gaun untuknya." Zach melirik ke arah wanita yang tampaknya berusia di atas empat puluh tahun.Wanita itu mengangguk, "Laksanakan, Tuan!"Tak berapa lama, tepatnya setelah melempar tatapan maut yang menembus ke dalam mata Evelyn, Zach meninggalkan kamar harem dan mempercayakan Evelyn kepada Daissy. Mengubah suasana yang awalnya horor dan mencekam, menjadi sedikit lebih damai.Gadis itu menyapukan pandangan ke sekitar. Merasa ruangan ini sangat asing dan aneh. "Tempat apa ini? Mereka semua terlihat seperti pelacur yang menunggu giliran untuk dijamah." Ia bertanya seraya memperhatikan para wanita yang hanya mengenakan bikini.Halo, Semuanya!Aku mau nanya, kira-kira ada gak yang masih mau baca novel ini kalau aku bikin S2?Tapi di S2 ini pemeran utamanya bukan Evelyn & Zach, melainkan karakter lain di dalam cerita ini. Nah, kalian mau aku bikin cerita lanjutan tentang perjalanan kisah siapa nih?Ada beberapa pilihan yang bisa kalian pertimbangkan—tentunya dengan konflik berbeda yang nggak kalah seru dan bikin senyum-senyum sendiri.1. Oliver2. Aldrick3. Bryan4. Fathe5. Florez6. Freya7. Atau ada request?Btw, terima kasih banyak buat yang udah baca S1—baik yang baru baca beberapa BAB atau udah sampe selesai. Semoga rezekinya selalu lancar dan berkah, biar bisa top up banyak-banyak dan ikutin terus karya-karya aku yang lain, hehehe. Luv♥️
“Apa yang kau lakukan pada adikku?!”Suara bocah laki-laki dari arah lain berhasil mengalihkan perhatian Bastian dan Freya, membuat keduanya menoleh ke sumber suara, lalu terkejut mendapati Fathe yang sedang menghampiri dengan raut marah tercetak jelas di wajahnya.“Fathe!” Freya bergumam, merasa bala bantuan sudah datang kepadanya.Di belakang Fathe, tampak Florez membuntuti dengan ekspresi khawatir.Ketika Bastian menurunkan kedua tangannya dari sisi tembok, Freya langsung memaanfaatkannya untuk berlari kecil dan bersembunyi di balik punggung Fathe.Fathe menatap tajam Bastian. Satu jarinya terangkat, menunjuk-nunjuk wajah Bastian. “Kau ... jangan sekali-sekali mengganggu adikku lagi, atau aku akan mematahkan kakimu!” ancamnya dengan suara kesal.Bastian terlihat ketakutan. “Ti–tidak, Fathe. Aku tidak berniat mengganggu Freya.” Lutut kakinya terasa lemas sekarang.“Pergi sana, sebelum aku benar-benar akan menghajar wajahmu!” gertak Fathe sambil mengangkat kepalan tangannya.Bastian y
“Kenapa harus menunggu pulang sekolah? Kau bisa mengatakannya sekarang juga. Kebetulan sedang tidak ada Fathe,” ucap Revano.“Benar juga. Ayo! Kau bisa melakukannya, Bastian." Kenzo menyemangati.Bastian diam saja. Namun, isi kepalanya tidak benar-benar diam. Dia sedang berpikir mengenai apa yang harus dilakukan saat ini.“Apa kau takut ketahuan Fathe?” tanya Revano. “Kau dan Freya bisa berteman dulu. Tidak harus langsung menjalin hubungan.”“Bukan,” bantah Bastian yang tidak terima dibilang takut. “Aku hanya khawatir Freya tidak mau berteman denganku.”Revano mengibaskan telapak tangan di depan wajah Bastian. “Tidak mungkin. Aku perhatikan, Freya itu anak yang sangat baik dan berhati lembut. Dia pasti mau berteman dengan siapa saja,” ucapnya mengompori.“Revano benar. Aku bahkan tidak sengaja pernah menabrak Freya, tetapi malah dia yang menyesal dan minta maaf,” beritahu Kenzo.Karena terus didesak oleh kedua temannya, Bastian pun merasa tertantang untuk maju mendekati gadis berpipi c
“Mami, Mami, tadi Fathe mengatakan kalau dia mau memukul orang jahat,” adu Florez yang sedang dipakaikan dasi oleh Evelyn.“Iya, Mami. Papi juga malah mendukung, bukannya menegur,” tambah Freya. Seperti biasa, dia selalu menjadi orang pertama yang selesai mengenakan seragam dibandingkan kedua kakaknya.“Bukan begitu, Mami.” Fathe yang sedang memegang rompi merah itu langsung buka suara, tidak terima atas tuduhan yang telah dilayangkan Florez dan Freya kepadanya. “Aku hanya ingin memukul orang-orang yang bersikap jahat pada mereka.”“Ih, tapi, Mami ... bukankah kita tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain? Nanti Tuhan yang akan membalasnya,” ujar Florez. “Iya, ‘kan, Mi?” tanyanya memastikan.Evelyn menghela napas sejenak. Sudah biasa baginya mendengar perdebatan atau keluh kesah putra-putrinya di pagi hari, dan itu tidak pernah membuatnya merasa kesal.“Iya, betul. Kita memang tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain, tetapi bukan berarti kita harus diam saja pada saat di
Sinar mentari menembus jendela kamar ketika Evelyn menyibak tirai gorden. Sejak pukul setengah lima pagi, dia sudah bangun untuk mandi dan menyiapkan sarapan.Ini adalah hari Senin. Ketiga anak kembarnya akan beraktivitas seperti biasa, yaitu mengikuti program prasekolah yang sudah mereka jalani sejak usia tiga tahun. Jadi, tidak heran kalau Evelyn akan lebih sibuk dibandingkan di tanggal merah.Selain mengurus anak-anak mungil itu, Evelyn juga tidak lupa dengan kewajiban sebagi istri yang harus menyiapkan segala keperluan suami yang juga akan berangkat kerja pagi ini.Masing-masing seragam sudah Evelyn letakkan dengan rapi di atas kasur, lengkap dengan dasi, topi dan kaos kaki, sedangkan beberapa pasang sepatu dia taruh di lantai.Sekarang Evelyn kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Sementara itu, di dalam toilet ....“Papi, aku ingin duduk di sana.” Freya, gadis kecil yang masih memakai baju tidur dengan rambut ikalnya yang sudah berantakan, baru saja mendongak ke arah pria ber
“Siapa yang mau sandwich?” Terdengar suara dari arah lain, dan ternyata itu adalah Alice yang baru saja datang membawakan beberapa sandwich di atas piring.“Aku mau! Aku mau!” Ketiga anak itu berseru, lalu berlari dengan riang gembira menghampiri Alice.Melihat itu, Bryan ikut berlari ke arah Alice. “Ibu, aku mau dua! Untuk Fathe, berikan yang paling kecil dan isinya sedikit saja,” ledeknya.Fathe menoleh sambil mengerucutkan bibir dengan tatapan tajam. “Dasar serakah! Nanti perutmu bisa meledak karena terlalu banyak makan,” katanya, terlihat kesal.Bryan menjawab, “Aku tahu kapan waktunya berhenti makan, tidak seperti ikan hias yang makan banyak melebihi kapasitas perutnya yang kecil.”Fathe merasa tersinggung mendengar kata ‘ikan’. Karena, sebelumnya Bryan mengatai dirinya sekecil ikan hias. “Aku tidak pernah makan terlalu banyak,” ucapnya.“Kau menganggap dirimu seperti ikan?” ledek Bryan. “Padahal aku benar-benar sedang membahas ikan hias. Apa kau tidak tahu, ikan akan makan sebany