Share

BAB 5

Zach berdecih remeh. "Aku bukan menyelamatkanmu, tapi menyelamatkan adikku dari gadis sampah sepertimu. Mana mungkin seorang kakak tega melihat adiknya menjamah perempuan sejelek dan sekurus dirimu?" ejeknya.

"Bajingan ...." Evelyn melotot geram. Entah sudah berapa kali ia dihina dan dipermainkan oleh Zach—padahal pertemuan mereka belum sampai satu minggu.

Sejenak pria berperawakan tinggi itu memperhatikan wajah Evelyn. Ia melihat ada setitik darah yang keluar dari dagu gadis manis tersebut. Refleks Zach mengangkat tangan dan mengusap luka kecil itu pelan-pelan. Darahnya tampak kering dan membeku. "Apa yang sudah Oliver lakukan padamu?" Kali ini ia memandang serius wajah Evelyn.

Sontak Evelyn menyingkirkan tangan Zach dari dagunya, lalu berkata, "Jangan pedulikan aku."

Zach mengerling sembari terkekeh gusar. Ia bertolak pinggang, mengembuskan napas panjang karena tidak menyangka akan menerima reaksi seburuk itu dari Evelyn. "Padahal aku berniat mengobati lukamu dan sedikit berbaik hati dengan meringankan penderitaan yang kau rasakan. Tapi melihat sikapmu yang dingin dan angkuh seperti ini, aku justru ingin membiarkanmu membusuk di ruang tahanan tanpa makanan dan minuman."

Evelyn menyunggingkan senyuman miring. "Kalau begitu buatlah aku membusuk sekarang juga. Mungkin cara itu bisa menuntunku lebih cepat bertemu dengan malaikat maut." Alih-alih mengharap ampunan, ia malah menantang Zach dengan berani.

Zach mengerutkan dahi. Bunyi gemeretak dari gesekan giginya terdengar samar-samar. Jelas ia sedang marah dan kesal menghadapi Evelyn. Namun, itu sama sekali bukan ancaman yang bisa membuat Evelyn tunduk dan menyerah.

Manik mata Zach bergulir melirik Daissy. "Bawa dia ke harem, tapi jangan biarkan satu orang pun memilihnya sebagai teman tidur."

"Laksanakan, Tuan!" Daissy mengangguk hormat, bahkan nyaris membungkuk.

Daissy mengajak Evelyn menuju kamar para wanita simpanan yang hanya dimanfaatkan tubuhnya saja—termasuk oleh para pria yang sudah memiliki istri, bahkan istri mereka juga mengetahuinya. Di keluarga Muller, ini bukan menjadi hal yang tabu, melainkan sudah menjadi kebiasaan.

"Alex, panggilkan dokter secepatnya untuk Evelyn. Berikan perawatan yang layak untuk gadis itu," ucap Zach kepada salah satu anak buahnya.

***

Evelyn baru saja diperiksa oleh pakar kesehatan yang memang dipekerjakan untuk merawat selir-selir ataupun para pelayan yang membutuhkan penanganan khusus.

Tapi setelah diperiksa, Evelyn dinyatakan baik-baik saja dan tidak ada luka serius selain hanya bagian dagu yang mengeluarkan secuil darah. Dagu Evelyn dibalut dengan plester usai diberi sedikit alkohol. Berlebihan sekali, bukan? Padahal Evelyn yakin sekali bahwa lukanya akan sembuh besok dan tidak meninggalkan bekas walau hanya satu millimeter saja.

Setelah dokter pergi meninggalkan harem, Evelyn diminta untuk berbaring di atas matras baru yang disiapkan khusus untuknya.

"Tidurlah! Kau perlu istirahat untuk mengembalikan energi yang telah terkuras," titah Daissy seraya memijat pelan telapak kaki Evelyn.

"Aku baik-baik saja, Daissy. Kenapa aku diperlakukan seperti orang yang mau mati besok?" hardik Evelyn. Ia bersikukuh ingin beranjak dari matras, tetapi Daissy menahan tubuhnya agar tetap berbaring.

"Tuan Zach meminta agar aku dan Dr. James memberikan perawatan yang layak untukmu. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan ini. Kau seharusnya senang karena Tuan Zach tidak menyuruh seseorang untuk menggantung dirimu di atas perapian."

"Kau selalu bicara seolah aku adalah gadis yang paling beruntung karena tidak mati di tangan laki-laki biadab itu." Evelyn berdecih remeh.

Hey! Padahal yang barusan bicara adalah Evelyn, tapi kenapa malah Daissy dan para wanita simpanan itu yang bergidik ngeri?

Bahkan tidak ada Zach di sini. Sekalipun ada, Evelyn bersumpah tidak akan menarik kembali kata-katanya. Bila perlu, ia akan menoyor kepala sang mafia arogan tersebut dengan sangat keras.

"Jangan tatap aku seperti itu. Ayolah! Aku bukan pisang," ejek Evelyn, seolah semua orang di ruangan ini adalah monyet kelaparan yang memandangnya seperti makanan favorit.

PLETAK!

Tanpa pikir panjang Daissy melejitkan satu jitakan mulus pada dahi Evelyn, sehingga gadis itu meringis dibuatnya. "Jaga ucapanmu!" Ia menasihati.

Evelyn memutar bola mata dengan malas. "Di mana toilet? Aku ingin buang air kecil." Kali ini ia mengubah posisi menjadi duduk dengan kedua kaki diluruskan ke depan.

"Ada di sebelah kanan," balas Daissy sambil menunjuk satu arah di ujung ruangan. "Itu toilet khusus para selir, tapi kau boleh memakainya."

"Tidak, terima kasih. Aku mau toilet lain yang ada di luar harem," pinta Evelyn. Sebetulnya ia memiliki rencana untuk kabur dari tempat ini, meskipun perjuangannya pasti akan sangat melelahkan dan sulit karena diawasi oleh para penjaga mansion.

"Masuk ke toilet di ujung sana, atau tidak sama sekali!" Daissy bicara dengan nada tegas sambil melotot gusar. Ia pun bangkit dari kursi berbahan kayu jati yang didudukinya, lalu mengatakan, "Tetap di harem dan jangan berusaha kabur! Pintu akan aku kunci dari luar. Jika kau berpikir bisa kabur dari sini, maka buang jauh-jauh mimpimu itu sebelum kau menelan kecewa sendirian. Dan asal kau tahu, ini bukan pertama kalinya aku berhadapan dengan gadis sepertimu yang melakukan segala cara untuk bisa bebas dari mansion."

Kalimat yang meluncur dari pita suara Daissy membuat Evelyn mengepalkan kedua tangan. Memandang kepergian Daissy dengan napas memburu karena kesal. "Sial!" Ia mengumpat pelan.

***

Evelyn baru saja mencuci tangan di bawah air yang mengalir dari keran. Kemudian, menatap cermin selebar dinding yang memantulkan bayangan dirinya, meletakkan kedua tangan pada sisi wastafel.

"Lihatlah! Betapa rendah dan hinanya aku sekarang." Gadis itu bergumam seorang diri, memperhatikan penampilannya yang dipaksa memakai gaun seksi seperti kekurangan bahan.

Dalam kesendirian, wajah lembut Lady Stewart dan Victor Smith muncul begitu saja di dalam isi kepalanya. Menyadarkan betapa saat ini Evelyn sangat merindukan kedua orangtuanya.

"Ibu ... jemput aku." Ia bergumam, melirih. Bayangan wanita yang telah melahirkan dirinya ke dunia—yang sejak tiga tahun lalu meninggal dunia akibat tumor ganas yang menggerogoti tubuh kurusnya—mendadak berkelebat di pikiran Evelyn. Membuatnya semakin terluka dan merasa kesepian. "Ibu, kumohon bawa aku pergi sekarang juga. Lebih baik aku mati bersamamu daripada harus terjebak di tempat mengerikan ini."

Terkurung di mansion mewah dan megah nyatanya tidak membuat Evelyn bahagia dan bangga. Ia justru terkekang. Tertekan. Mati rasanya jauh lebih baik dibandingkan harus terpenjara di tempat yang dihuni oleh para iblis yang bersembunyi di balik tubuh manusia.

"Ayah, putrimu sangat takut berada di sini. Aku tersiksa, sepi dan sendiri."

Setitik cairan bening lolos dari pelupuk mata Evelyn tanpa diperintah. Hatinya mencelos. Ia tidak tahu bahwa rasanya akan sesakit ini jika jauh dari orang-orang tersayang.

Padahal Evelyn akan melangsungkan pernikahan dengan tunangannya minggu depan. Akan tetapi, ia malah terjerembab di tempat ini tanpa tahu bagaimana cara untuk keluar. Terlebih lagi, ponselnya disita oleh anak buah Zach, sehingga ia tidak bisa menghubungi tunangannya atau siapa pun yang bisa ia mintai pertolongan.

"Kukira kau perempuan tangguh yang tak terkalahkan. Rupanya kau hanya berpura-pura kuat. Faktanya, kesepian bisa melemahkanmu."

Komen (3)
goodnovel comment avatar
APStory
Diam2 perhatian yaa...
goodnovel comment avatar
Haniubay
duh Zack nguping tuh...aku tau perhatianmu terhadap Evelyn itu ada artinya zack
goodnovel comment avatar
Reny yunita
aish malang skali si evelyn ... smoga ada keajaiban yg menolongmu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status