“Tolong perhatikan ibu, Hamzah! Ibu nggak mau tau, pokoknya besok motor itu harus tetap di rumah!" kekeh Bu Santi, telunjuknya mengarah kedepan, tepat menunjuk sebuah motor matic keluaran lama peninggalan satu-satunya dari sang bapak, tapi karena Hamzah rajin merawatnya motor itu masih terlihat mulus dan bagus.Si berkah sebutan untuk motor yang selalu membawanya kemana-mana dari muda hingga ia berumah tangga dan sekarang ia harus mengalah untuk melepas si berkah kepada sang ibu.Hamzah terdiam pasrah, ia tak bisa lagi mengelak dari ucapan sang ibu. Ia menyenderkan tubuhnya seraya memijat kepalanya yang pening.“Mana kuncinya? Semua surat-suratnya juga STNK, BPKB,” pinta Bu Santi seraya menengadahkan tangannya kepada Hamzah.“Mau buat apa Bu? Si Berkah jangan di jual Bu!” Hamzah melebarkan pupilnya sembari memohon dengan wajah melasnya.“Nggak, biar ibu kalau kemana-mana aman dari tilang,”balasnya.Hamzah bernafas lega mendengar penuturan sang ibu. Tak menunggu lama ia segera mengelua
“Kok habis jalan-jalan ibu nggak di kasih apa-apa?” sergah Bu Santi saat Syifa berjalan melewati ambang pintu. Mulutnya yang terbuka lebar untuk mengucapkan salam, seketika itu juga langsung terbungkam. Ia merasa bimbang harus menjawab apa, sontak tubuhnya berbalik menatap Hamzah yang menyusul langkahnya setelah memarkirkan motor di teras rumah. Syifa pikir suaminya orang yang paling tepat menjawab pertanyaan sang ibu mertua. “Hamzah, mana makanan buat ibu? Kalian pasti udah makan di luar kan?” tuntut Bu Santi seraya berdiri menengadahkan tangannya. “Hehehe ... maaf Bu, Hamzah nggak beli makanan apa-apa, kita cuman jalan aja,” sahut Hamzah dengan tergelak. Sontak ekspresi Bu Santi berubah hampa, ia melirik ke arah sang menantu yang menyunggingkan senyumnya dengan kikuk. Bu Santi menghempaskan nafasnya kasar, ia melenggangkan kakinya ke dalam kamar tanpa sepatah katapun. “Mas, kasian ibu,” ucap Syifa lirih sembari memegang lengan Hamzah. “Nggak papa Sayang, ayo masuk!” sahut H
“Santai aja Kang, ohya afwan Kang Hamzah ... ana mau ada perlu, ini teman-teman udah nunggu mau latihan gladi resik dulu,” pamitnya dengan sangat santun, menjadikan hati dan perasaan Syifa semakin hangat di buatnya.Ia membayangkan bahagianya melihat Kang Ali berada di panggung menerima penghargaan, kadar kekaguman Syifa semakin bertambah.Rasanya ia ingin kembali memutar waktu dan memilih menolak perjodohan dengan Hamzah untuk menunggu Kang Ali selesai dari studynya.Usai menutup telepon, Hamzah menghela nafas panjangnya sembari meletakkan ponsel kembali di atas nakas.“Ali bener-bener luar biasa, ya, Dek. Setelah lulus S1 dapet beasiswa S2, di usianya yang tak lagi belia dia mampu mengkhatamkan 30 juz Al Qur’an. Walaupun Ali juga sempet merendah karena baru mampu wisuda setelah S1, tapi bagi mas itu prestasi yang sangat luar biasa. Pintar, ganteng, sholeh dan akhlaknya masyaAllah,” puji Hamzah yang masih terkagum-kagum dengan sahabatnya selama di pondok itu.Syifa yang mendengarkan
Buk! Hamzah mendorong pintu itu dengan keras seiring rasa kekhawatiran yang memuncak di dadanya. Namun, perasaan itu perlahan meredup setelah melihat apa yang terjadi di dalam sana.Sang ibu sedang bermunajat seraya menengadahkan tangannya ke atas dengan busana mukenah yang berwarna putih.Terdengar helaan nafas lega dari Syifa dan Hamzah berbarengan.“Wah! Tumben ibu lagi tobat kayanya,” ucap Syifa dalam hati.“Mungkin besok nggak akan ada keributan di dalam rumah ini,” lanjutnya masih di dalam hati.“Aamiin,” gumam Syifa lirih membuat pandangan Hamzah sekejap beralih kepadanya. Sontak Syifa menyunggingkan senyuman.“Ibu lagi sholat tahajjud Mas, mungkin beliau lagi do’a khusyuk,” ujar Syifa lirih.Hamzah menganggukan kepalanya pelan, sejurus kemudian ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati, mendekat untuk memastikan keadaan sang ibu baik-baik saja.“Hamzah, tolong bantu ibu memenuhi kehidupan sehari-hari,” ungkap Bu Santi yang menoleh kepada anak laki-lakinya dengan air mata yang
Selang beberapa waktu kemudian ...Pak Guntur, orang kaya dari usahanya sebagai rentenir tapi berkedok peminjaman itu menghitung uang bernilai dari sepuluh ribu hingga lima puluhan ribu itu dengan teliti, sesekali ia menempelkan ujung telunjuk di lidah sebagai perekat untuk menghitung uang kertas yang di genggamannya.“Gimana? Pas ‘kan? Aku ini nggak akan pernah mendustaimu, Guntur! Jadi jangan macam-macam sama aku!” sergah Bu Santi sembari berkacak pinggang.“Bentar, ini lagi aku hitung, Bu Santi!” sahut Pak Guntur seraya melototkan matanya sekilas, sebagai isyarat untuk tidak mengganggu konsentrasinya barang sebentar.“Aku orangnya amanah, nggak pernah meleset, kalau udah janji pasti di tepati. Lihat! Ini Hamzah anak laki-lakiku, dia bekerja keras buat menghidupi orang tua satu-satunya.” Bu Santi menyanjung sang anak seraya menepuk lengan Hamzah yang duduk menemani Bu Santi di sampingnya. Ia berusaha meninggikan derajat keluarganya di hadapan sang rentenir itu.“Ibu, nggak perlu se
“Kita masih bisa berbakti dengan beliau kok, dalam sehari Mas wajib menengok keadaan ibu dan aku tetap membolehkan Mas untuk menjatah uang ke ibu. Tujuanku dengan kita hidup mandiri setidaknya kita bisa berfikir sendiri mau di bawa kemana kehidupan rumah tangga kita ini, kalau sekarang ... maaf, ya, Mas kita ‘kan masih apa-apa di awasi orang tua, di atur, di suruh ini-itu. Bahasa kasarnya kita masih di setir orang tua,” lanjut Syifa dengan hati-hati, sejujurnya ia takut menyinggung hati sang suami.Walau bagaimanapun perilaku buruk sang ibu, pasti anaknya tidak akan terima jika orang tuanya di katakan yang tidak enak di telinga.Hamzah masih bungkam, membuat Syifa menelan ludah dengan perasaan gusar.“Maaf, ya, Mas kalau perkataanku tadi membuat Mas nggak berkenan.” Ia beringsut untuk kembali bersiap ke sekolah.“Lalu biaya kontrakannya dari mana, Dek?” ujar Hamzah tiba-tiba, sontak Syifa kembali menoleh dengan bernafas lega.“Insyaallah gaji adek masih cukup untuk bayar kontrakan kec
“Sementara pakai sarung mas aja, ya, Dek! Buat alas tidurnya. Terus bantalnya pake tas aja.” Tanpa menunggu jawaban, Hamzah segera menyusun tempat untuk istirahat sang istri. Syifa menyunggingkan senyum, hatinya begitu miris. Namun, di sisi lain ia merasakan besarnya perjuangan dalam hidup dan itu semua membangun mental hatinya untuk lebih tangguh menghadapi segala situasi yang akan terjadi kedepannya.Kehidupan bagai roda berputar, suatu saat ia akan melewati masa-masa senang, susah atau bahkan lebih sulit dari pada sekarang.“Ya udah nggak papa, Mas.” Syifa menerima permintaan sang suami untuk tidur di atas selembar kain sarung berdua dengannya.********Keesokan harinya Syifa terbangun dengan tubuh yang terasa remuk.Ia menggeser tubuhnya perlahan sembari mengangkat tangan Hamzah yang melingkar di perutnya.Istirahat semalaman ternyata tidak mempan membuat rasa lelahnya hilang. Dengan rasa sakit dan pegal di sekujur badan, Syifa berusaha bangkit dan beranjak menuju kamar mandi.T
“Ibu butuh bantuan, cepat pulang!” perintah sang ibu terdengar ketika Hamzah berpaling dari istri beserta dua temannya itu.“Gila! Super power banget, ya, mertuamu, Syif,” ceplos Imah bola matanya melirik suami sahabatnya yang tengah menepi tak jauh dari tempatnya ketiganya berdiri.“Hust! Kalau ngomong jangan asal! Tapi, emang kaya gitu sih,” timpal Rahel menyunggingkan senyumnya kepada Syifa yang berdiri dengan gusar.Ia merasa gelisah menghadapi kedua sahabatnya itu.“Jujur aja Syif, kamu ada apa? Cerita aja! Kita ini sahabatmu! Bila perlu pasti kita bantu,” cetus Rahel di sambung dengan anggukan kepala Imah yang setuju.Merasa terpojok dan tak punya alasan untuk berkilah, akhirnya Syifa menceritakan keadaannya sekarang yang tinggal berdua bersama sang suami.“Tapi, aku merasa sangat tertantang dengan kehidupan baruku yang sekarang, kalian nggak usah khawatir. Aku baik-baik aja,” lanjut Syifa menjelaskan.“Oke, Syif. Aku ikut senang kalau kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang,”