Ia membanting secarik kertas ke lantai, makanan yang awalnya mengunggah selera itu kini tak membuatnya terbuai untuk menikmati.Tanpa berlama-lama lagi sebelum seluruh barang dalam ruangan sepetak ini hancur karena ulahnya yang semakin naik pitam, Hamzah segera menancap gas untuk pergi ke rumah sang ibu.“Tumben kamu pagi-pagi makan disini, biasanya Syifa membuatkan sarapan telor balado kesukaanmu,” ujar Bu Santi sembari menyuguhi sarapan berupa nasi goreng dan telor dadar.Hamzah bergeming, tatapannya kosong menatap dinding tanpa berkedip sedikitpun.“Hamzah!” Sang ibu mengguncang bahunya membuat Hamzah terbangun dari lamunan panjang yang tak bertepi itu.“Oh iya, Bu,” sahut Hamzah sekenanya. Sang ibu menatapnya tajam dari ujung kepala hingga kaki membuat dirinya tak nyaman, seketika itu juga Hamzah berusaha mengontrol diri agar terlihat normal walaupun hatinya tengah hancur berantakan. Bagaimana kalau Syifa mengadu semua hal yang terjadi dengan saudaranya di sana? Apa dia akan tet
“Dari gelagat tubuhmu serta ekspresi jelekmu itu, pak lik jadi tau kalau kamu lagi tertimpa masalah,” sambung Paman Aris.“Pak Lik ... jangan mengejekku begitu! Bibi Laras baru aja berhenti mengoceh, sekarang malah Pak Lik penggantinya,” protes Syifa merajuk kesal sembari mengerucutkan bibirnya.“Lah emang kenyataannya begitu kok! Bibi miris banget liat kamu sekarang. Kamu yang dulu cantik, berisi, putih. Sekarang? Coba kamu ngaca baik-baik! Bibi sampe nggak ngenal kamu pas baru dateng,” timpal Bibi Laras menimbrung seraya membawa bolu kukus di atas piring besar.“Tuh ‘kan Pak Lik ... itu bibinya.” Syifa mengadu layaknya anak kecil.Paman Aris merupakan pengganti abahnya. Namun perannya bukan hanya mengasuh sejak kecil, ia membimbing serta memberikan kasih sayang sepenuhnya kepada Syifa.Bahkan Paman Aris dan Bibi Laras sudah menganggap Syifa seperti anaknya sendiri saat keduanya belum juga dikarunia keturunan.Hingga akhirnya kehadiran Lala menambah kebahagiaan keluarga ini setelah b
Usai menempuh perjalanan satu jam menuju pusat kota Bandung itu, sesuai keinginan sang ibu, Hamzah menghentikan laju motornya di depan gerbang sebuah rumah besar berlantai dua.Nuansa putih gading mewarnai setiap sudut rumah itu, dilengkapi halaman yang dipenuhi bunga-bunga layaknya taman di tengah kota.Seorang wanita muda berwajah putih dan ayu menyambut keduanya di depan pintu.Hamzah juga melihat dua anak kecil laki-laki dan perempuan dengan usia perkiraan 6-7 tahun bergelayut di kedua tangan wanita itu.“Hai Nenek, Om! Ayo salam, Sayang!” pinta wanita yang mengenakan rok selutut dengan setelan baju pendek itu kepada dua anak kecil seraya melambaikan tangan untuk mencontohkannya.“Hallo Harun, Hana apa kabar Sayang?” sapa Bu Santi sembari mengelus pipi mulus mereka."Bunda ...!" Kedua anak itu mengangguk pelan, dengan malu ia kembali dan bersembunyi di belakang tubuh wanita yang di panggil bunda itu."Nggak papa Sayang, nggak perlu malu!" bujuknya dengan lembut sembari mengusap pu
Hamzah menghela nafas panjang, lalu menghempaskannya dengan kasar.Ia merasa terjepit di situasi yang rumit, andai waktu bisa di putar pasti ia akan menolak mengantar sang ibu ke tempat ini.Bukan karena Hamzah tak senang mendapat pekerjaan yang selama ini ia cari kesana-kemari, apalagi pekerjaan sopir pribadi yang lebih di katakan layak baginya dari pada seorang serabutan yang di panggil orang jika membutuhkan tenaganya.Namun, ia tidak suka cara mendapatkan pekerjaan ini yang dinilai tidak sesuai ekspetasi dan kemauannya. Apalagi sang ibu melambungkan dirinya seolah memiliki banyak kebaikan yang nyatanya nol besar jika di buktikan.Hamzah merasa tau diri tidak memiliki keahlian istimewa apapun, ijazah sekolah hanya tamat SMA, mondok pun hanya setengah-setengah. Ia hanya merasa beruntung mendapatkan Syifa setelah mengadu ingin menikah dengan pak yai kala itu.“Baik, saya setuju,” tutur Hamzah dengan datar tanpa menatap wajah wanita yang di ajaknya bicara.“Oke, Mas Hamzah mulai beso
“Liat nih Bu-ibu mobilnya besar, namanya Xpander,” cetus Bu Santi sembari mengelus mobil hitam yang terparkir di depan rumahnya.Ia menggiring ibu-ibu tetangga usai berbelanja di warung Bu Minah.“Wah, sekarang Hamzah hebat, ya, Bu Santi! Jadi sopir pribadi, pasti penghasilannya banyak tuh,” sahut Bu Mira tetangga sebelah kanan rumah Hamzah. “Jelaslah, majikannya cantik, royal lagi. Mobil udah kaya punya Hamzah sendiri, bisa di bawa kemana aja, semuanya bebas setelah tugas nganterin anak-anaknya si Jamilah. Sekarang nih aku merasa bahagia dan tenang hidupnya, melihat anak udah bahagia, punya motor dua, kendaraan mobil yang berasa milik sendiri,” balas Bu Santi dengan senyum bangga.“Mujur banget nasib Hamzah, semoga aja makin berkah rezekinya setelah nikah sama menantumu Syifa,” timpal Bu Ratna tetangga yang berada di sebelah kiri rumahnya.“Ohya, dimana menantumu Syifa? Kok jarang kesini semenjak tinggal di kontrakan sendiri?” tanya Bu Mira dengan ekspresi penasaran.“Jangan di tany
Selang beberapa waktu kemudian ...Syifa menatap jam di pergelangan tangannya dengan gusar, sudah lewat tiga puluh menit tapi mereka tak kunjung keluar. Beringsut ia melangkahkan kaki dengan perlahan. Syifa mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, akan tetapi ia kembali menarik diri. Bimbang, ragu dan tak enak hati jika kehadirannya mengganggu kebersamaan mereka.Syifa menghembuskan nafasnya pasrah.Ia sadar tak selamanya sang paman akan selalu di sampingnya, ia sudah memiliki keluarga dan kehidupan baru yang ia punya. Dirinya hanya seorang keponakan yang menumpang hidup sejak kecil hingga sekarang. Sesaat Syifa melirik ke arah jendela, terlihat rintik-rintik hujan itu telah berhenti. Langkahnya mendekat, lalu menatap di luar sana yang terbentang pemandangan sawah yang hijau.Dulu ia sering bermimpi ingin memanen padi di sawah bersama suami dan anak-anaknya, dalam pikiran yang terbatas ia berkhayal sekonyol itu.Tanpa sadar ia terkekeh sendiri mengingat impiannya dulu. Namun, s
“Hey! Kenapa? Kok ngomong sendiri?” sergah Paman Aris tiba-tiba, membuat tubuh Syifa tersentak dan ponsel dalam genggaman tangannya hampir saja terjatuh.“Astaghfirullahal adzim Paklik, ngagetin aku aja,” balas Syifa dengan ekspresi terkejut.“Hehehe, loh ini ada pisang goreng sama teh manis! Hmmm ... tapi udah dingin,” ucapnya setelah mencicipi teh yang telah dingin sedari tadi.“Hmmm ... ini udah dari tadi, Paklik. Niatnya mau ngeteh sama makan pisang goreng bareng, tapi Paman sama Bibi kayanya lagi sibuk, jadi ini nganggur deh,” ungkap Syifa seraya menunjuk teh dan pisang goreng yang tergeletak itu.“Oh, itu Bibi sama Lala mau tidur. Maaf, ya, kamu jadi repot begini tapi malah nggak sesuai harapan,” ujar Paman Aris dengan sungkan.“Nggak papa Paman,” balas Syifa tersenyum simpul.“Ya udah paman makan aja, udah dingin juga nggak papa.” Paman Aris mengambil satu pisang goreng, lalu memakannya.Kemudian Syifa ikut duduk bersamanya dengan melakukan hal yang sama.“Kalau di makan kaya g
Sang bibi berjalan mendekat saat Lala sudah keluar dari kamarnya.Syifa meneguhkan tubuhnya dengan pikiran yang di penuhi tanda tanya.“Kamu jaga diri baik-baik, ya, disana!” Sejurus kemudian sang bibi memeluk tubuhnya erat.“Kalau ada apa-apa cerita sama paman dan bibi. Kami ini keluargamu, orang tuamu,” lanjutnya dengan suara terisak. Ia teringat ucapan dari sang suami yang menceritakan bahwa keponakannya telah menyiapkan teh hangat serta pisang goreng untuk berkumpul dengan keluarga, tapi semua itu tidak terlaksana karena dirinya, sang suami dan Lala sibuk bercanda di kamar hingga terlelap bersama saat lusa.“Insyaallah Bi, do’akan Syifa selalu.” Tenggorokan Syifa tercekat karena terbawa suasana.“He’em! Sudah selesai salam perpisahannya?” Paman Aris berdehem di depan pintu yang membuat kedua wanita yang tengah berpelukan itu tersentak kaget sembari melepas pelukan, sesekali keduanya mengusap air mata yang tak terasa menetes begitu saja.“Lihat Hamzah! Istrimu kaya anak mau di kir