Pandangan Lola mulai kabur. Hingar bingar kemeriahan diskotik malam itu terdengar menjauh. Berkali-kali dia mengerjapkan mata, menjaga agar kesadarannya tetap terjaga. Tanpa terasa gelas minumannya terlepas dari genggamannya dan pecah berkeping-keping.
"Aduh! Sakit sekali!" keluh Lola seraya memejamkan mata."Lola, apa yang terjadi? Kamu tidak apa-apa?"Suara seorang wanita yang dia kenal baik mengalun di telinganya. Namun tak bisa menghalau pening yang menderanya saat ini."Pusing sekali! Kepalaku rasanya juga sangat sakit!" rintih Lola tak kuat menahan sakit."Mungkin kamu terlalu banyak minum. Tunggulah sebentar lagi ya. Temanku masih dalam perjalanan. Kamu coba sandarkan diri di sofa saja," bujuk Virginia, teman wanita Lola itu.Lola akhirnya menuruti keinginan Virginia. Dia merayap dan menyandarkan kepalanya di sofa. Berharap semuanya akan kembali normal seperti sedia kala sembari menunggu teman Virginia datang.Jika saja bukan karena bujukan Virginia yang meminta ditemani bertemu dengan teman kencan butanya, Lola tidak akan pernah mau menginjakan kaki di diskotik itu. Bau alkohol membuatnya bertambah mual. Belum lagi pakaian minim yang harus dikenakannya, membuat Lola sangat merasa tidak nyaman."Kau sudah lama menunggu?"Kali ini Lola bisa mendengar suara dalam seorang pria yang menyapa mereka. Pria itu diduga berusia jauh lebih tua dari mereka. Lola merasakan permukaan sofa di sebelahnya bergerak. Sepertinya pria itu duduk persis di sebelahnya."Ah, tidak Tuan. Kami juga baru saja sampai." Virginia menanggapi dengan santai.Terdengar suara blitz kamera, disusul dengan teguran dari pria tadi."Untuk apa kau memotretku? Bukankah sebelumnya kau sudah menyepakati jika pertemuan kita ini adalah rahasia?""Maafkan aku. Tenang saja, sudah kuhapus semuanya."Lola kini membuka mata. Dia berusaha melihat siapakah pria yang duduk di sebelahnya. Walaupun penglihatannya masih sangat kabur, tapi dia bisa menduga jika pria itu bukan pria biasa. Pakaiannya begitu formal, dengan stelan jas yang rapi. Usianya sekitaran 40 tahun."Jadi penawarannya satu juta dolar ya? Ini cek untukmu." Pria itu menyerahkan selembar cek yang langsung diterima oleh Virginia.Virginia terlihat sangat senang sampai berkali-kali memeriksa keaslian cek itu sendiri. Sementara Lola masih menerka-nerka transaksi apa yang sebenarnya sedang berlangsung di antara mereka.'Bukankah Virginia bilang jika dia akan berkencan buta hari ini? Kenapa sekarang jadi ada transaksi mencurigakan?' batin Lola bingung.Lola sangat terkejut saat pria asing tersebut terlihat mendekatinya dan memperhatikan dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki."Oke, Sudah sangat sesuai dengan permintaanku. Tapi apakah benar jika gadis ini masih suci?" tanya pria itu yang sontak langsung membuat Lola terbelalak."Tentu, Tuan. Dia masih sangat suci dan awam dalam berhubungan. Anda tidak akan menyesal membeli dia!" terang Virginia dengan penuh semangat."Tunggu! Suci? Membeli? Maksud kalian ini apa?" sergah Lola yang mulai sadar jika ada sesuatu yang tidak beres. "Kamu sudah menjualku pada pria ini, Virginia?"Virginia hanya tertawa menanggapi pertanyaan Lola. Hati Lola berdenyut nyeri, tak habis pikir dengan perlakuan Virginia terhadap dirinya. Virginia sampai hati menipunya dan pada akhirnya menjual keperawanannya pada seorang pria asing."Jangan sentuh aku!" teriak Lola.Dengan sekuat tenaga, Lola melayangkan tamparannya pada pria yang telah membelinya, membuat pria itu sejenak bergeming. Walaupun tamparannya tidak sebegitu sakit, namun cukup tak disangka olehnya. Kini Lola dicengkeram keras oleh sang pria. Tubuh Lola terlalu lemah untuk memberontak, sehingga akhirnya dia kehabisan tenaga.Dengan mudah, pria itu mengangkat tubuh Lola dan menggendongnya meninggalkan tempat itu. Yang terlihat pada penglihatan terakhir Lola adalah Virginia memberikan lambaian tangan padanya dengan wajah penuh seringai menjijikan.***Luther berhasil mendapatkan gadis yang sesuai dengan kriterianya. Dia merasa sangat senang membawa pulang Lola, seorang wanita muda berusia 23 tahun yang masih perawan tingting.Luther membaringkan Lola di kursi belakang. Gadis yang sebelumnya sempat memberontak, kini tertidur dengan damai tanpa perlawanan."Bagus, tidurlah yang nyenyak dan jangan melawan! Tuan Noah pasti akan senang dengan hadiahnya!" ucapnya puas.Luther langsung melajukan mobilnya menerjang malam menuju ke Hotel Fairmont San Francisco. Di mana dia sudah ada janji untuk bertemu dengan seorang koleganya bernama Noah Wilson. Luther akan mempersembahkan gadis ini sebagai hadiah karena Noah sudah membantunya untuk melancarkan pelaksanaan mega proyek yang sedang direncanakannya.Luther sudah sampai di Hotel Fairmont. Dia segera turun dan menggendong kembali Lola menuju ke kamar hotel yang sudah dia pesan untuk malam ini. Saat itu, Noah Wilson sang kolega sudah menunggu di kamar hotelnya. Noah sangat senang mendapati Luther datang membawakan wanita muda untuk menemani malamnya hari itu."Tuan Quinn, terima kasih banyak untuk jamuan dan hadiahnya. Aku sangat menyukainya!" ucap Noah antusias. "Langsung baringkan saja gadis itu. Gadisnya cantik sesuai seleraku."Luther langsung membaringkan Lola yang masih tak sadarkan diri. Luther segera undur diri ketika tugasnya sudah selesai. Dia biarkan tamu pentingnya untuk menikmati hadiah spesial darinya. Noah kini dipenuhi oleh hasrat. Alkohol yang kuat sudah mengambil alih pikiran dan kesadarannya.Dia sangat penasaran bagaimana rasa dari tubuh seorang gadis muda yang ada di hadapannya sekarang. Matanya menelisik setiap lekuk tubuh milik Lola dari bajunya yang telah tersingkap. Lola sangat menawan dan menggairahkan walaupun dalam kondisi tak sadar."Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini." Noah sangat bergairah sekarang. Dia juga mencoba melucuti pakaiannya.Noah pun mulai naik ke atas tempat tidurnya. Inchi demi inchi, dia berhasil menjamah tubuh cantik itu hanya untuk dirinya. Kulit berwarna eksotis yang kini mulai berkeringat menambah nilai keseksian Lola di mata pria itu. Noah benar-benar gila karena gadis satu ini.Lola mengernyit sedikit. Sentuhan asing berhasil mengaktifkan kembali seluruh indranya yang sempat tertidur. Lola perlahan membuka mata. Dia terkejut saat mendapati seorang pria tengah menggerayangi tubuhnya tanpa izin."Aaaaaarghhh!!! Lepaskan aku!" teriak Lola sekuat tenaga.Tubuh Lola bergetar. Matanya melotot melihat sosok yang ada di atas tubuhnya. Dia tak menyangka bisa bertemu lagi dengan pria kotor itu. Lola tak ingin berakhir seperti dirinya beberapa tahun yang lalu.Noah ternyata terkejut dengan terbangunnya Lola yang sangat mendadak. Tapi dia tetap menahan Lola agar tidak bisa memberontak di bawah tubuhnya."Lepaskan aku, pria bejat! Aku tak sudi disentuh olehmu!" teriak Lola lagi. Dia mencoba lebih keras melepaskan dirinya dari jegalan pria itu.Matanya mulai mencari sesuatu yang bisa digunakannya untuk melawan diri. Pupil matanya menangkap sebuah ketel listrik yang ada di nakas bagian kiri. Dengan bersusah payah, diraihnya ketel itu. Lalu Lola menghantamkannya ke kepala Noah dengan sekuat tenaga."Gadis sial!" rutuk Noah emosi.Lola tetap tak gentar. Dia berkali-kali memukul kepala Noah sampai pada akhirnya Noah berhasil ditumbangkan oleh Lola. Masih dengan langkah terseok dan tubuh yang tremor, dia langsung mencari barang miliknya sebelum akhirnya kabur dari sana."Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t