Hana memastikan lagi perlengkapan suaminya yang akan dibawa ke Singapura. Dia mulai dari setelan pakaian kerja Andhika hingga benda lainnya, sebagai pelengkap penampilan pria itu. Di saat dia sedang sibuk memeriksa kembali perlengkapan suaminya, Hana merasakan sepasang lengan kekar melingkari pinggangnya. Selain merasakan sentuhan di pinggangnya, Hana juga merasakan kecupan di leher jenjangnya.“Sudah lengkap semua?” bisik si pemilik lengan kekar itu.“Su-sudah, Mas. Kita berangkat sekarang?”“Sebentar lagi. Tunggu Bagus datang menjemput,” sahut Andhika, yang tetap tak mengangkat kepalanya dari leher Hana. Membuat hembusan napas pria itu mengenai area leher dan sekitarnya, hingga dalam sekejap tubuhnya meremang.“Omong-omong, tamu bulanannya sudah pergi belum? Jadi biar sekalian bisa unboxing di Singapura.” Andhika menatap Hana dengan kerlingan mata yang membuat jantung Hana bertalu-talu.“Belum lah, Mas. Baru juga tiga hari. Bisanya dia pergi setelah satu minggu bertamu di tempatku,”
Hana menuruti kata-kata suaminya. Dia membuka pesan dari Mutia. Dia melirik Andhika yang masih menatap ke arahnya. Pelan-pelan Hana mulai membaca pesan tersebut. Dia juga sekaligus berpikir untuk mencari alasan pada Andhika, apabila pria itu tanya tentang pesan dari Mutia.[Kamu mau ikut audisi itu sudah minta ijin sama suami kamu? Saranku sebaiknya ijin dulu, Han. Biar enak kamu jalani audisi itu. Jangan sembunyi-sembunyi, ya. Kalau dia tahu pasti akan marah dan kalian pasti akan bertengkar. Itu saja saran dariku.]Hana menghela napas setelah membaca pesan tersebut. Dia kemudian mengirimkan pesan balasan untuk Mutia.[Mbak, sekarang Mas Dhika sedang ada di dekatku. Nanti setelah ini kalau aku sendirian, aku akan telepon kamu. Aku akan ceritakan kenapa aku merahasiakan hal ini dari Mas Dhika. Jadi tunggu aku telepon ya, Mbak.]Setelah pesan terkirim, Hana menaruh benda pipih itu ke dalam tas. Lalu merangkul lengan sang suami sebagai kode, kalau mereka harus segera pergi dari tempat it
“Kalau aku hamil, tentunya Mas Dhika akan bertanggung jawab dengan anaknya dong. Aku yakin kalau dia nggak akan lepas tangan, Mbak,” sahut Hana tenang. Meskipun dalam hatinya dia belum tahu juga, bagaimana reaksi Andhika nanti andaikan dirinya hamil.“Yakin begitu, Han? Andaikan Pak Andhika nggak mau bertanggung jawab, bagaimana? Ini kemungkinan terburuknya ya, Han. Meskipun aku berharap Pak Andhika bisa lebih bijaksana nanti,” ucap Mutia lirih.“Iya, semoga saja. Setelah beberapa hari tinggal bersama dengannya, aku yakin kalau dia bisa bersikap bijaksana nantinya. Tapi, andaikan nanti kemungkinan terburuknya dia nggak mau tahu soal anak, aku akan membesarkan anakku seorang diri. Makanya aku berusaha agar bisa bergabung dengan agensi model di sini. Sekarang Mbak Mutia sudah paham kan maksudku ini?” sahut Hana.“Iya, aku sudah paham. Aku juga berjanji akan menutup rapat-rapat rahasia kamu ini, Han. Pokoknya rahasia kamu aman bersamaku. Nggak akan ada yang tahu tentang hal ini, termasuk
Pria yang mengaku bernama David, membantu Hana bangkit dari lantai. Pria itu tersenyum, menyebabkan dua cekungan tampak di kedua pipinya. Menambah manis senyuman pria itu.“Terima kasih.” Hana berucap sambil mengibaskan tangan kanan di pakaiannya, berharap debu yang menempel di pakaiannya ketika dia terjatuh di lantai segera hilang.“Sama-sama,” sahut David. Dia lalu mengulurkan tangannya pada Hana seraya berucap, “Kenalkan, namaku David.”Hana menoleh dan tersenyum seraya menerima uluran tangan David. “Hana.”“Hm, sebuah nama yang bagus. Sama seperti wajahnya,” puji David yang untuk ke sekian kalinya tersenyum pada Hana. “Kamu sepertinya bukan dari negara ini. Dari aksen bicara kamu, sepertinya kamu dari Indonesia, benar?”Hana mengulum senyuman dan menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Benar, saya kemari hendak mengikuti audisi di lantai lima.”“Oh, begitu rupanya. Apa kamu di Indonesia juga seorang model?” tanya David serius.“Iya, saya seorang model pendatang baru di Indonesia.
Hana memberhentikan taksi yang kebetulan lewat di depan gedung tempat dia melakukan audisi. Dia segera menyebutkan alamat yang akan dituju, yaitu pusat perbelanjaan tempat dia diantar oleh suaminya tadi pagi.Setibanya di depan pusat perbelanjaan itu, Hana bergegas turun dan melesat masuk ke dalam gedung lalu mulai berbelanja. Ponselnya berdering kala dia sedang mencoba high heels berwarna coklat susu.“Pas banget Mas Dhika telepon di saat aku sudah ada di sini,” gumam Hana, yang langsung mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo, Mas,” sapa Hana ceria.“Halo, Han. Kamu masih ada di sana?” sahut Andhika.“Masih dong, Mas. Aku masih betah pilih-pilih sepatu,” sahut Hana beralasan. Dia lalu melirik high heels yang kini melekat di kakinya.“Ok, nanti aku jemput dan kita makan siang bareng kayak biasa. Aku tutup dulu teleponnya,” kata Andhika, yang lantas menutup sambungan teleponnya.Hana menarik napas lega ketika sambungan teleponnya telah berakhir. Dia kembali mematut di depan cermi
Hana akhirnya membuka juga kedua bibirnya, dan pasrah saat Andhika menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Dia tak peduli kalau saat ini ada beberapa pasang mata yang memperhatikan mereka berdua. Saat ini Hana hanya ingin menikmati perhatian yang Andhika berikan. Mumpung pria itu belum berubah sikap yang membuat Hana sebal.“Nah, habis juga kan makannya, Han.” Andhika mengulum senyuman ketika dilihatnya Hana tersipu.“Iya, malu juga tahu, Mas. Aku lirik ke kiri dan kanan, mereka pada menonton kita. Si Bagus juga ikutan menonton sambil senyam senyum sendiri. Kamu sih pakai acara suapi segala,” sahut Hana pura-pura merajuk. Padahal itu hanya akal-akalan Hana saja untuk menutupi rasa gugupnya.“Biar saja mereka menonton. Mereka pasti iri melihat kita. Kalau yang perempuan, pasti iri karena nggak disuapi oleh suaminya. Nah kalau yang lelaki, iri juga dengan sikapku yang gerak cepat perhatian sama kamu, sedangkan mereka nggak bisa melakukan itu pada istri mereka. Terus kalau si Bagus, dia pa
Andhika melepaskan tangan Hana dari genggamannya, ketika punggung tangan istrinya itu sudah dilapisi salep dengan sempurna. Setelahnya, dia menatap tajam wajah Hana.“Kamu ini memang keras kepala! Disuruh menurut sama suami saja susah.” Andhika lalu menyerahkan benda mungil yang dia pegang pada Hana, kemudian melangkah ke arah balkon kamar hotel dan duduk di sana.“Ck, ngambek lagi deh. Tukang ngambek juga ternyata. Menyuruh aku menurut, tapi statusku hanya satu tahun saja jadi istrinya. Dasar lelaki egois,” gerutu Hana.Hana melangkah ke arah nakas dan meletakkan salep di sana. Kemudian dia melangkah ke balkon, menyusul sang suami dan duduk di sebelahnya.“Mas, maaf kalau kata-kataku tadi bikin kamu marah. Tapi, seharusnya kamu paham dong. Aku sudah menjadi seorang fotomodel ketika kita bertemu. Profesiku itu juga yang menyebabkan kita ini menikah, walaupun hanya satu tahun saja. Jadi jangan paksa aku untuk meninggalkan pekerjaanku itu. Mas kan tahu kalau aku ini tulang punggung kelu
“Maaf, Tania. Aku hanya ingin makan malam berdua dengan istriku. Kamu tahu kan kalau kami baru saja menikah. Jadi kami ingin menikmati waktu berdua saja,” sahut Andhika tenang. Dia tetap menggenggam tangan Hana dengan cukup erat.Tania yang kecewa dengan penolakan Andhika, tak langsung putus asa dan tak ingin segera pergi dari tempat itu. Dia melirik Bagus yang berdiri tak jauh dari mereka.“Dia kayaknya ikutan ke kabin untuk makan malam, iya? Kenapa aku nggak boleh? Kalau kamu mau berdua sama istri kamu, silakan. Aku mau sama dia saja. Kalian pasti satu kabin, bukan?” ucap Tania dengan seringai licik terbit dari bibirnya.Andhika lalu menatap Bagus dengan tatapan penuh arti.“Gus, bagaimana? Kamu pesan untuk berapa orang di makan malam ini?” tanya Adhika datar.Bagus yang paham dengan tatapan mata Andhika, dan juga intonasi suara bosnya itu langsung paham kalau Andhika tak menyukai Tania ada di antara mereka. Sebagai asisten pribadinya yang sudah bekerja cukup lama dengan Andhika, me