“Apa mama dan opa baik-baik saja? Kenapa mereka tidak dibawa ke rumah sakit?” tanya Luna yang baru ngeh tentang keadaan mertuanya itu, sungguh bukannya Luna melupakan dua keluarga suaminya itu, tapi masalah yang menderanya akhir-akhir ini membuat otaknya penuh sesak.
“Mereka baik-baik saja, kemarin papa juga sudah menghubungi dokter keluarga, dan dokter hanya menyarankan mereka untuk tenang dan beristirahat.”Luna mendongak tak menatap mata sang suami, mencari kebenaran di sana, dan saat kebenaran itu dia dapatkan,Luna bisa menarik napas lega, berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan bukan.Malam ini kedua insan itu tidur dengan saling berpelukan erat seolah mereka sudah tak bertemu bertahun-tahun lamanya, tidur lelap yang sangat mereka butuhkan untuk menghadapi hari esok yang penuh dengan aral rintangan yang menghadang.Pukul enam pagi baik Luna maupun Laksa sudah berpakaian rapi, tentu saja Laksa akan berangkat kerja, akan tetapi sebeluLuna mengeratkan rangkulannya di lengan sang ayah. Dia perlu pegangan agar tidak terjatuh karena gugup, dadanya berdebar sangat kencang, sampai dia takut sewaktu-waktu akan jatuh ke tanah. Pesta malam ini begitu meriah, lampu-lampu yang tertata apik menambah semarak suasana. Ini bukan kali pertama Luna menemani sang ayah ke sebuah pesta, tapi ini pertama kalinya Luna akan bertemu lagi dengan Laksamana Sanjaya. Laki-laki yang sangat dikaguminya dan selalu menghiasi setiap mimpi-mimpi indahnya.Luna ingat sekali saat sang ayah memberikan selembar foto padanya.Dia menatap foto itu dengan tak percaya. Luna mencubit lengannya sekedar meyakinkan diri, bahwa ini semua nyata. Rasanya dia ingin tertawa bahagia saat dirasakannya sakit di lengannya. Ini memang nyata dan matanya masih cukup normal untuk mengenali foto laki-laki tampan yang menjadi bunga-bunga tidurnya, yang membuatnya seolah terbang ke awan meski hanya melihat kelebat bayangnya. “Bagaimana, Nak, apa kamu mau? Ayah tidak ak
"Wanita murahan! Rendahan! Apa yang kamu lakukan padaku!" Luna hanya bisa menatap wajah laki-laki yang dikaguminya itu dengan mata terbelalak.Laksa baru saja terbangun dari tidurnya, dan memandang Luna penuh kebencian saat melihat kondisi mereka berdua. Luna tak tahu apa yang sedang terjadi, Laksa yang memperkosanya, dan sekarang laki-laki itu malah meneriakinya seolah Luna hanya seekor anjing yang tak punya perasaan.Tapi Luna terlalu takut untuk membuka suara, seumur hidup dia belum pernah mendapatkan bentakan sekasar itu. Luna bergeming, tubuhnya menggigil oleh semua rasa yang hinggap dalam tubuhnya, dia bahkan berharap saat ini Tuhan mencabut nyawanya saja.Dengan memegang erat selimut yang menyelubungi tubuh polosnya, dia duduk meringkuk dipojokan dengan menyedihkan. Sedangkan laki-laki di depannya masih meneriakkan sumpah serapah. Luna terlonjak saat suara bantingan pintu memenuhi ruangan. Sungguh Luna tak mengerti apa yang terjadi bukankah seharusnya dia yang marah, dia ya
Luna keluar dari kamar mandi dengan memakai kaos Laksa dan gaunya yang sudah sobek dibeberapa bagian, dia tak punya pilihan lain selain menerima sedikit kebaikan laki-laki itu. Ayahnya masih setia menunggunya dengan wajah menunduk. Duduk di atas ranjang. Sejanak Luna ragu untuk menghampiri ayahnya. Tapi sang ayah segera menoleh padanya membuat Luna tak punya pilihan lain selain mendekat. “Kita pulang.” Luna hanya bisa mengikuti langkah kaki ayahnya, percuma juga mengatakan kebenarannya sekarang, ayahnya sudah terlanjur kecewa. Pesta sudah berakhir beberapa jam yang lalu meninggalkan kekacauan di sana-sini termasuk pada Luna. Beberapa orang sedang sibuk membereskan semuanya, tapi kesibukan itu berhenti oleh teriakan seorang laki-laki yang membahana. Luna hanya bisa mengeratkan genggaman tangannya satu sama lain, dia terlalu malu untuk menggandeng ayahnya setelah apa yang terjadi. “Siapkan mobil cepat!” teriak suara itu entah ditujukan pada siapa. Tapi tak lama keluar Ayah Laksa y
Pagi harinya Luna bangun dengan badan yang seperti remuk, setelah pembicaraan penuh emosi dengan sang ayah, Luna memilih mengistirahatkan dirinya, meski matanya berkhianat tak mau terpejam, sampai menjelang subuh. Praktis dia hanya bisa tidur sekitar dua jam saja. Kepalanya terasa berat tapi di pagi hari banyak hal yang harus dia lakukan, hidup berdua saja dengan sang ayah tanpa ibu membuat Luna terbiasa mengambil semua pekerjaan rumah. Luna menatap ke arah cermin, wajahnya begitu pucat dan matanya sembab efek dari menangis tadi malam. Sekarang dia bukan lagi Luna yang sama seperti kemarin, seorang gadis perawan dengan aktifitas monoton antara rumah, sanggar dan kantor saja. Luna memang pernah mengeluhkan kemonotonan hidupnya, tapi sepertinya sekarang Tuhan terlalu cepat mengabulkan semua keinginannya. Hidupnya yang tenang berubah seratus delapan puluh derajat, bahkan mungkin lebih seru dari sinetron yang sering ditonton ibu-ibu tetangganya. Kadang Tuhan memang punya cara sendiri
“Anda tak perlu khawatir saya tidak akan menuntut apapun dari anda, silahkan nikmati hidup anda.” Luna tak peduli dengan kata-kata kasar yang dia ucapkan, bahkan beberapa orang juga ikut menatapnya antara takjub dan juga mencemooh. Mungkin seumur hidup Laksa belum ada orang yang berani terang-terangan mendebatnya di depan umum seperti Luna. Luna memang sosok yang ceria dan manja, tapi dia juga didik dengan keras oleh ayahnya untuk tidak mudah patah oleh cobaan hidup yang menerjangnya. Dan mulai hari ini pasti akan ada banyak cemoohan dan hinaan untuknya, Luna mempercepat langkahnya, matanya sudah mulai berembun, dia tidak akan sudi terlihat lemah di hadapan orang-orang itu. Luna menarik napas lega saat dia sudah menginjakkan kakinya di halaman hotel, masih ramai orang lalu lalang memang tapi setidaknya di sini tidak ada yang memandangnya dengan hina seperti di dalam. Untuk terakhir kalinya Luna menatap bangunan megah hotel milik keluarga Sanjaya ini dengan tatapan hampa, tempat i
Luna masih memandang ponselnya yang menggelap, ayahnya adalah orang yang sangat mendukungnya selama ini, Bahkan saat Luna ingin melarikan diri ke rumah neneknya, ayahnya tidak mengatakan keberatan sedikitpun. Tapi kenapa sekarang sang ayah tiba-tiba memintanya pulang. Luna mengacak rambutnya sebal, apa keluarga itu mengancam ayahnya? Bukankah mereka tidak dirugikan sama sekali, seharusnya di sini Lunalah yang berhak marah pada mereka. Luna diperkosa, tapi dialah yang dituduh menjadi dalang dari semua itu belum puas Laksa melakukan hal itu dia juga menghina Luna dan ayahnya, dan laki-laki itu juga tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, kurang apalagi, tidakkah mereka terlalu serakah dan belum puas juga menghancurkannya.Sebenarnya apa salah Luna di sini? Dia hanya mencintai seseorang dan kebetulan orang tua mereka menjodohkan, Luna dan ayahnya juga tidak memaksa jika Laksa tak mau, bagaimanapun Luna masih punya harga diri. Luna selalu merasa malu dengan dirinya sendiri kenapa
Luna bangun karena dering ponselnya yang sangat mengganggu, sejenak dia mengumpulkan nyawanya yang masih melayang di awang-awang, lalu mengucek mata yang masih seperti ketumpahan lem super. Dilihatnya jam di nakas masih menunjukkan pukul setengah lima pagi, rajin sekali peneleponnya ini, barulah dia meraih ponselnya yang dari tadi terus menjerit. “Ayah,” gumamnya pelan. “Kata nenek kamu jadi pulang hari ini? apa perlu ayah jemput?” ayahnya ini bagaimana kemarin suruh pulang buru-buru sekarang malah harus suruh tunggu dia menjemput. “Luna pulang sendiri saja, Yah.” “Kamu baik-baik saja kan, Nak, ayah minta maaf kemarin ponsel ayah habis baterai.” Huftt ternyata tebakan neneknya benar hati Luna sedikit lega, bayangannya ala sinetron trailer kemarin tak terjadi. “Seharusnya Luna yang bertanya begitu,” jawab Luna sedikit merajuk. Luna bisa membayangkan sang ayah yang akan tersenyum lembut mendengar protesnya. “Ayah minta maaf ya, Nak, sudah membuat p
Luna meninggalkan Vano yang masih mengoceh di belakang, teman seperjalannya itu terasa sangat menyebalkan, meski Luna akuiVano begitu baik dan sabar menerima sikap ketus dan juteknya yang terlanjur malu dan kesal karena ulah ajaib kakak beradik itu. Mereka sudah sampai di stasiun Malang kota baru, sialnya lagi Luna lupa mencharge ponselnya di kereta. Tadi di rumah nenek dia sibuk mengupas bawang dan melupakan sejenak eksistensi ponselnya, sekarang dikereta dia terlalu pusing degan omonganVano jadi lupa lagi. Dengan memanggung tas ransel yang tidak terlalu berat mata Luna jelalatan mencari dimana kira-kira dia bisa mengisi daya ponselnya. “Kamu kehilangan dompet?” tanyaVano yang tiba-tiba sudah berdiri dengan manis di sampingnya. “Kak Vano tidak langsung pergi?” “Aku menunggu jemputan temanku, kamu sudah di jemput atau bareng aku saja, lumayankan hemat ongkos.” Ayahnya pasti akan marah kalau tahu lebih memilih naik ojek dari pada menghubunginya. “Aku me
“Apa mama dan opa baik-baik saja? Kenapa mereka tidak dibawa ke rumah sakit?” tanya Luna yang baru ngeh tentang keadaan mertuanya itu, sungguh bukannya Luna melupakan dua keluarga suaminya itu, tapi masalah yang menderanya akhir-akhir ini membuat otaknya penuh sesak. “Mereka baik-baik saja, kemarin papa juga sudah menghubungi dokter keluarga, dan dokter hanya menyarankan mereka untuk tenang dan beristirahat.” Luna mendongak tak menatap mata sang suami, mencari kebenaran di sana, dan saat kebenaran itu dia dapatkan,Luna bisa menarik napas lega, berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan bukan. Malam ini kedua insan itu tidur dengan saling berpelukan erat seolah mereka sudah tak bertemu bertahun-tahun lamanya, tidur lelap yang sangat mereka butuhkan untuk menghadapi hari esok yang penuh dengan aral rintangan yang menghadang. Pukul enam pagi baik Luna maupun Laksa sudah berpakaian rapi, tentu saja Laksa akan berangkat kerja, akan tetapi sebelu
Luna merasakan usapan tangan di pipinya, dia memandang pemilik tangan itu.“Jangan menangis, aku tidak ingin melihat air matamu,” kata Laksa dengan lembut. Ternyata dia menangis, Luna bahkan tak menyadari itu semua, pikirannya terlalu kalut sampai dia tak bisa merasakan apapun. Luna berusaha tersenyum, meski siapapun tahu kalau senyum itu terpaksa bertengger di wajahnya sekedar supaya tidak menjadi tambahan beban untuk suaminya “Semuanya akan baik-baik saja, aku tidak tahu apa yang sudah kamu dengar, tapi percayalah semuanya akan teratasi dengan baik, Kemarin aku bekerja keras bersama opa dan papa juga Dirga untuk membongkar semuanya,” kata Laksa lebih kepada untuk meyakinkan dirinya sendiri dari pada sang istri. Pandangan laki-laki itu sedikit menerawang, masalah kali ini memang cukup rumit untuknya, hotel yang dipimpinnya bisa saja dianggap melakukan kelalaian pajak yang harusnya dibayar oleh semua warga negara yang baik, meski
"Kemana semua orang?" "Mereka ada, mungkin sedang beristirahat di kamar."Luna menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul delapan malam, waktu makan malam memang baru saja terlewat, biasanya keluarga ini masih sibuk mondar-mandir melakukan beberapa hal, tapi sekarang tak ada satu pun yang muncul bahkan para asisten rumah tangga juga tak kelihatan batang hidungnya. "Sudah nyaman?" tanya Laksa saat membantu Luna bersandar pada beberapa bantal yang telah disusun oleh suaminya itu."Iya, terima kasih, Kak."Laksa tersenyum dan berniat akan meninggalkan kamar tapi cepat-cepat Luna mencegahnya."Kakak mau kemana? Kenapa dari tadi menghindar terus, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Raya sampai mengamuk seperti orang gila begitu, kakak tidak berjanji aneh-anehkan padanya?""Istriku sayang, lancar banget ngomelnya kayak kenek metromini," kata Laksa yang terdengar geli dengan omelan sang istri. "Kenapa tidak di
Beberapa kali Luna melirik pada suaminya yang sedang serius untuk mengemudikan mobil yang mereka tumpangi untuk keluar dari halaman parkir rumah sakit ini. "Jangan lirik-lirik terus nanti kamu tambah cinta sama aku." Luna langsung cemberut, Suaminya ini memang sangat suka membuatnya penasaran, apa susah coba langsung bicara di rumah sakit tadi, bukannya tidak ada orang lain selain mereka di sana, kenapa harus nanti sampai di rumah coba. "Jangan cemberut juga, nanti kalau ada yang lihat dikira aku nggak kasih kamu makanan, padahal tadi aku sudah bawakan makanan kesukaanmu." Luna hanya bisa mencebik dengan kesal, lihatlah Laksa terlihat begitu santai menanggapi kemarahan. Hah! Jangan bilang suaminya ini sedang mengumpulkan alasan untuk membohonginya. "Kakak sedang menyusun kata untuk mencari alasan ya." Laksa langsung menyemburkan tawanya begitu mendengar kalimat sang istri.
"Luna sudah diperbolehkan pulang, tepatnya karena dia tidak tenang ada di rumah sakit ini." jarang-jarang bukan Vira mau berbaik hati memberi penjelasan untuk orang lain, meski hatinya geram bukan main.Laksa memandang sahabat istrinya yang menampakkan wajah tidak bersahabat padanya, bukan hal yang aneh memang sejak awal memang sahabat istrinya ini terlalu protektif pada istrinya, satu hal yang tidak tahu harus dia syukuri atau tidak. "Terima kasih sudah menjaga Luna." "Tidak perlu, aku memang harus menjaganya apalagi di sini dia sendirian menghadapi nenek lampir," Vira segera menghadap Luna, memandang sahabatnya itu yang terdiam tak tahu harus berbuat apa."Kamu mau aku antar pulang atau bersama suamimu?" "Lebih baik dia pulang bersamaku saja," bukan Luna yang menjawab tapi Laksa.Vira mendelik pada Laksa seolah ingin berkata kalau dia tidak bertanya pada Laksa, dan tentu saja itu membuat Laksa mati gaya. Dasar sahabat istri
“Aku sudah diperbolehkan dokter pulang.” Begitu pesan yang dikirim Luna untuk suaminya, dan pesan itu sudah dia kirim lebih dari satu jam yang lalu, tapi nasibnya sama dengan pesan-pesan Luna yang lain pada suaminya, tetap saja centang dua abu-abu itu tak berubah menjadi biru. Luna menggigit bibirnya dengan resah, bunyi gemericik air dari kamar mandi masih terdengar, tentu saja Vira yang ada di sana, dia sampai tak enak hati pada Luna yang harus menemaninya dari tadi siang. Meski Vira bilang bahwa dia tidak masalah menemani Luna sampai malam. Tapi tetap saja, dia tidak enak hati, Vira pasti juga punya keperluan lain yang harus dia lakukan. Sanggar memang berada di bawah kendali Vira sepenuhnya, sedangkan kakaknya hanya memantau saja. Ayahnya juga sedang banyak pekerjaan dan Luna tidak tega untuk menghubunginya, jadi dia hanya mengatakan supaya sang ayah istirahat di rumah saja. Orang yang seharusnya bertanggung jawab menjaganya malah tidak ad
“Bisa dibilang begitu, kalau saja bukan dia sendiri yang menjebak kami.” “Eh? Dia pelakunya.” “Memang aku nggak pernah bilang ya?” tanya Luna polos, memang seingatnya dia belum memberi tahu Vira, dia bercerita sekarang karena kesal dengan Raya yang terus saja membuat ulah, lagipula dia tak sudi kalau orang mengira dialah yang menjadi orang ketiga rusaknya hubungan Raya dan Laksa, dia nggak ngerebut kok, bahkan Luna sudah berusaha menjauh waktu itu.Vira hanya menggeleng, dan memajukan tubuhnya dengan wajah sangat kepo. Dasar Vira. Luna lalu menceritakan semua yang dia ketahui tentang Raya dan juga hubungannya dengan sang suami yang kandas karena Laksa yang berkeinginan untuk tetap bersama Luna, tapi tidak disangka, Laksa malah melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Raya berselingkuh dengan banyak laki-laki.“Wow...” komentar Vira sambil memandang Luna dengan tatapan mata membulat, wajah cantik dan dari keluarga terpandang memang
“Kenapa tidak ada adegan saling menjambak?” Luna menoleh pada Vira yang masih saja melipat tangannya dengan tenang menatap kepergian Raya. “Kamu kecewa?” Vira mengangkat bahu dengan acuh, gadis itu lalu melangkah menghampiri kursi roda Luna dan meminta sahabatnya itu untuk duduk kembali di atas kursi roda. “Mau jalan saja atau duduk di kursi roda.” Luna mengerucutkan bibirnya dengan kesal, lalu duduk di atas kursi roda, dia tidak ingin terlalu memaksakan diri dan berakibat fatal, meski emosi masih menguasai dirinya. Laksa sedang dalam masalah.Luna sedikit kecewa dengan suaminya yang tidak mengatakan padanya, tapi Raya yang notabene mantan kekasih suaminya malah tahu terlebih dahulu, juga kalimat Raya tadi yang menurutnya sangat ambigu. “Apa wanita itu dirawat di sini karena sakit jiwa?” Luna menoleh pada Vira dengan kening berkerut. “Kenapa kamu berpikir begitu?” tanya Luna heran.
"Aku di sini saja," kata Vira sambil tersenyum semanis racun. "Tidak tahu diri," desis Raya gusar. "Kamu yakin, tidak akan muntah atau ikut marah-marah," goda Luna pada sahabatnya itu."Tenang saja aku akan duduk manis di sini sebagai penonton." Raya bertambah geram mendengar perkataan Vira yang terdengar sangat meremehkannya. "Kampungan." Vira hanya mengangkat alis, dan memandang Luna."Jadi apa yang kamu inginkan, aku tidak tahu kalau kamu sangat sibuk mengurusi urusan kami." "Jaga bicaramu, kamulah yang harusnya tahu diri, kamu hany benalu di hidup Laksa.""Kalau maksudmu itu karena aku tidak bekerja dan hanya mengandalkan hidup pada suami itu benar, tapi kenapa kamu yang marah, suamiku sendiri baik-baik saja, bahkan dia memaksaku untuk membeli apapun yang aku pinta." Luna bukan orang yang sombong memang, tapi menghadapi orang seperti Raya, yang sombong luar biasa, rasanya sah-sah saja menyombo