Se connecterRain dan Monika menikmati angin malam di roof top, tempat kesukaan mereka dari masa remaja hingga berakhirnya hubungan mereka disebabkan Rain menikahi Marina yang dijodohkan Bu Dewi. Semua kembali mengalir diingatan mereka.
"Jadi bagaimana rencana ke depannya, Rain?" Monika bermaksud merajut kembali hubungan mereka yang sempat berjalan tidak mulus. "Saat ini aku ingin fokus pada Erlangga." Tanggapan Rain begitu singkat. Ia tidak mau terburu-buru mengambil keputusan. "Bagaimana denganku, Rain?" Tuntut Monika yang merasa tidak dianggap lagi. "Aku perlu meyakinkan nenek agar menerimamu lagi seperti dulu, dan itu sulit." Rain memberi pengertian dengan sabar. Ia juga tidak ingin terkesan memberi harapan. "Kapan, Rain? Aku sudah menunggu begitu lama," Monika memaksa. "Jangan berharap secepatnya, banyak hal yang perlu dipikirkan ulang, Mon." Rain mencoba menjelaskan lagi, sebenarnya seandainya Monika tidak terlalu putus asa dan pesimis bisa saja hubungan mereka bertahan hingga sekarang karena Rain masih berusaha menentang kemauan keluarganya demi Monika tapi waktu itu Monika justru berkata, 'Sepertinya kita memang tidak jodoh, Rain. Nikahi saja wanita itu,' Rain merasa usahanya sia-sia saat itu dan akhirnya menyerah pada keadaan dan menikahi Marina. "Aku akan percaya padamu sekali lagi, Rain. Lagi pula kau sudah punya penerus sekarang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi oleh keluargamu walaupun aku mandul," Monika akhirnya sedikit mengalah. "Dalam hal ini aku memang perlu berterima kasih pada Marina. Dia bisa memberikan apa yang tidak bisa aku berikan. Mungkin sudah saatnya dia menyerahkan apa yang harusnya menjadi milikku karena itu dia pergi," lanjutnya lagi dengan penuh percaya diri, berpikir Rain pasti akan memperjuangkannya lagi seperti dulu, sementara Rain diam saja. Tidak bisa dipungkiri, walaupun ia tidak mencintai Marina, rasa bersalah karena sering mengabaikan wanita itu tetap ada. Selanjutnya obrolan mereka menjadi lebih ringan dan santai hingga malam mulai semakin larut. Monika masih tahu aturan jadi ia pamit pulang. Rain mengantar hingga ke depan di mana mobil yang menjemput Monika terparkir. Monika berjalan meninggalkan Rain tapi tiba-tiba berbalik lagi untuk memeluk Rain. "Rain, aku masih mencintaimu," ucapnya di telinga Rain. Rain tidak menjawab tapi mendengar itu membuat dadanya bergemuruh seperti dulu. "Kamu masih saja diam padahal kau juga sama 'kan?" tanya Monika dengan manja. "Seperti yang kamu tahu." Rain tersenyum. "Kalau begitu, aku pergi sekarang." Monika kembali melangkah ke arah mobilnya. "Oke." Rain melambaikan tangan. "Kasihan Bu Marina, bahkan pusaranya belum mengering tapi suaminya sudah bersama dengan wanita lain." ucap Rena dengan lirih, disambut anggukan oleh Dania. Lagi-lagi mereka mengintip dari tempat yang tidak terlihat dari lantai atas, mereka buru-buru bubar begitu Rain kembali masuk ke dalam rumah. Rain mengetuk kamar putranya yang ada Dania dan Rena di dalamnya, Rena bisa tinggal lebih lama karena keadaan ibunya sudah membaik. Dania segera membuka pintu. "Apakah Erlangga sudah tidur?" tanya Rain sambil melihat ke dalam kamar. Dania sengaja menepi untuk memberinya ruang sambil berkata, "Sudah, Pak. Tadi ditidurkan oleh Mba Rena." Rain berlalu ke kamarnya tanpa bicara lagi, sementara Dania hendak menutup pintu tapi Rena buru-buru mencegah karena ia harus pulang ke rumah ibunya, ia tiba-tiba mendapat lesan ibunya kritis lagi. Dania.hanya bisa mendoakannya. Malam semakin larut, Erlangga tiba-tiba menangis, membuat Dania terbangun untuk memberinya ASI, Erlangga pun tidur kembali, tapi beberapa saat kemudian bayi itu kembali menangis, tangisannya malah lebih kencang dari sebelumnya. "Kenapa lagi, Sayang? Bukannya sudah kenyang?" Dania mengeluarkannya dari crib bed lalu meninabobokannya di pelukan tapi bayi yang hampir genap satu bulan itu tidak juga tenang. Suara ketukan terdengar dari luar kamar, Dania tau itu pasti Rain, ia buru-buru meletakkan Erlangga lalu mengambil outer dan jilbab. "Ada apa dengan Erlangga? Cepat buka pintunya!" seru Rain, ia menjadi panik mendengar Erlangga semakin menangis saat Dania meletakkannya. Dania menggendong kembali Erlangga lalu buru-buru membuka pintu, sambil membalas, "Iya, Pak." "Ada apa? Kenapa dia menangis seperti itu?" Rain tidak dapat menyembunyikan rasa khawatirnya, Dania yang merupakan ibu muda juga tidak bisa memberikan jawaban pasti. "Saya tidak tau, tiba-tiba saja menangis padahal tidurnya nyenyak." Dania terus menggoyang-goyangkan Erlangga di pelukannya. "Biar aku yang gendong," Rain mengulurkan tangan untuk mengambil putranya. Dania bersiap terlebih dahulu agar sebisa mungkin tidak bersentuhan. Rain masuk ke kamar sementara Dania menunggu di luar. Sudah berlalu beberapa menit tapi Erlangga belum juga tenang. Rain dan Dania juga sudah terlihat begitu lelah. Pada akhirnya mereka bekerja sama mengurus Erlangga di dalam kamar.Rain menarik diri setelah melakukannya dan suasana menjadi sangat sepi bahkan suara nafas pun tidak terdengar. Rain memainkan jari-jarinya untuk menahan gejolak yang menyerang. Tapi setelah ia berpikir, untuk apa menahannya, Dania adalah istrinya. Ia tiba-tiba menoleh pada Dania dan berkata, "Aku sangat sadar, ucapanku tentang kamu bukan tipeku salah besar, setiap kali kamu berada di dekatku aku selalu tidak bisa menahan diri, Dania. Karena itu..." Rain merasa tidak perlu menjelaskan lebih banyak, ia mendekatkan wajahnya untuk mencium Dania kemudian berhenti sebentar lalu berkata lagi, "Aku mengunci pintu dulu, jangan menjawab jika ada yang memanggil." Rain berdiri menuju pintu lalu menguncinya, setelah itu ia menarik Dania berdiri lalu membawanya ke pangkuan. Dania hanya bisa terbengong-bengong dengan kelakuan Rain tapi ia tidak bisa menolak entah kenapa. Dari lubuk hati yang terdalam malah menyukainya. Dania mengikuti permainan Rain, ia bahkan inisiatif membuka kancing keme
Rain memotong kue coklat berbentuk persegi panjang itu dengan pisau kue plastik, ia lalu mengambil untuk dirinya sendiri lalu memakannya. "Ini enak," ucapnya. "Juan pernah bilang, aku pasti sudah kenyang memakan kue buatan istriku, faktanya aku bahkan tidak tau kalau istriku bisa membuat kue. Saat itu aku merasa kesal pada diriku sendiri, kenapa aku harus tau dari orang lain, padahal aku tinggal dengannya setiap hari." "Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan, Mas?" "Sepertinya ini adalah tempat dan waktu yang tepat untuk membahas bagaimana hubungan kita setelah Erlangga tidak membutuhkanmu," Dania diam, ia merasa takut mendengarnya, tapi ia juga penasaran dan butuh kepastian. "Erlangga mungkin tidak membutuhkanmu, tapi aku butuh," ucap Rain sambil menatap Dania, ia kemudian melanjutkan, "Aku membutuhkan alarm hidupku yang setiap hari mengingatkanku sholat, aku butuh peranmu di pagi hari untuk menyiapkan sarapan untukku, tanpa aku sadari kehadiranmu itu penting di rum
"Ini buat, Mas." Dania menyerahkan gable box berisi kue pada Rain. "Apa ini?" Rain menerima dengan penasaran. "Hadiah yang aku janjikan waktu itu," "Oh iya, aku kira kamu sudah melupakannya," ucap Rain sambil meletakkan kue itu di atas console box mobil. Tingkahnya begitu canggung. "Terimakasih," lanjutnya, kemudian ia menyalakan mesin mobil lalu melesat pergi meninggalkan halaman toko. "Aku mendengar pembicaraanmu dengan Pak Juan, Mas," ucap Dania tiba-tiba, membuat fokus Rain terpecah. "Aku hanya_" Ucapan Rain menggantung karena Dania memotong dengan tegas, "Karena aku sudah jujur, aku ingin membahasnya, Mas. Aku ingin tau bagaimana hubungan kita setelah Erlangga tidak membutuhkan aku lagi? Aku sudah siap apapun jawabanmu," ucap Dania begitu tegas. Sampai Rain bingung harus menjawab apa, pada akhirnya ia hanya bisa berkata, "Nanti kita bicarakan di waktu dan tempat yang lebih baik." Rain mencengkram setir mobil dengan kuat, ia menyesal telah berbicara sembara
Hari-hari berlalu begitu saja, semua orang memilih kesibukannya masing-masing, Dania dengan pekerjaannya sebagai baker, Rain dengan perusahaannya, Fahri dengan bisnisnya, Monika dengan dunia permodelannya, Erlangga yang juga terus bertumbuh semakin pintar lucu dan menggemaskan. Sudah satu pekan Dania dan Fahri bekerja di tempat yang sama, Dania seperti menutup diri tapi masih sopan sebagai karyawan, sedang Fahri tampaknya mengerti sehingga ia juga menempatkan diri sebagai atasan, tidak ada interaksi yang akrab, hanya berbicara seperlunya saja. Justru yang mengherankan adalah Rain, ia selalu datang menjemput Dania bahkan sebelum waktunya Dania pulang dengan alasan ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Juan sebelum Juan meninggalkan kota, padahal masih ada waktu satu bulan lagi. "Hai, Bro." Sapa Juan ketika melihat Rain datang, ia sedang sibuk dengan laptopnya, ia sedang merancang ruangan untuk cafe di toko itu, kebetulan pekarangan masih sangat luas, jadi terbesit ide unt
Dania menurut saja saat ditarik oleh Rain, ia masih pusing memikirkan semuanya. Ia tidak bisa percaya, ternyata keponakan yang dimaksud Juan adalah Fahri. Berarti pemilik toko roti dan cake itu juga Fahri. Kenapa semua tempat terasa menjadi milik Fahri, sebelumnya mereka bertemu di restoran milik Fahri juga dan sekarang di toko kue. Ia tiba-tiba teringat nama toko kue, apa Mufah itu singkatan dari Muhammad Fahri? "Kamu senang bekerja di tempat itu?" Tanya Rain ketika mereka sudah berada di dalam mobil. "Awalnya aku senang tapi sekarang kurasa tidak lagi, entah kenapa semua orang bisa saling berhubungan," "Dulu Juan teman kuliah kami," ucap Rain. "Kami?" Dania bertanya. "Teman Monika dan Aku," jelas Rain membuat Dania manggut-manggut. "Kamu benar-benar tidak tau kalau toko itu milik Fahri?" Tanya Rain terdengar menyelidik. "Aku tidak tau," jawab Dania dengan mata menerawang. "Dia tau kalau kamu bekerja di sana?" tanya Rain lagi, hanya disambut gelengan oleh Dania.
Siang akan segera berganti, artinya sebentar lagi Dania pulang, mengingat ia akan dijemput Rain membuat suasana hatinya senang, tapi ketika sadar tentang Monika ia menjadi diam. Di tengah sibuknya mengurus hati, ia kaget melihat Juan dan menjadi penasaran saat Juan tiba-tiba bersemangat dan tersenyum sumringah sambil melepas celemek dan perlengkapan lainnya. "Akhirnya! Sudah lama aku menunggumu, tau nggak?" suara Juan masih terdengar oleh Dania. "Kamu sih, kenapa tidak langsung memberi kabar?" Sambut seorang wanita cantik dan elegan. Dania terdiam mendengar suara itu, ia pergi mengintip untuk memastikan, ternyata memang Monika. Ia menjadi gelisah tanpa sebab. "Tau dari mana aku ada di sini?" tanya Juan. "Dari Rain, dia mengirim pesan padaku sekaligus alamat toko ini. Dania terdiam, rasa gelisahnya hilang begitu mendengar nama Rain disebut oleh Monika. Ia memilih kembali ke dapur dan menutup telinga dari percakapan mereka. "Ternyata memang benar, kalian masih ber







